• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para pemohon dalam pengujian UU Perseroan Terbatas (No. 40 Tahun 2007), khususnya berkaitan dengan kewajiban

tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) antara lain: Muhammad Suleiman Hidayat, Ketua Umum Pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Erwin Aksa, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Fahrina Fahmi Idris, Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), PT. Lili Panma diwakili oleh Hariyadi B Sukamdani, PT. Apac Centra Centertex, Tbk diwakili oleh Benny Soetrisno, dan PT. Kreasi Tiga Pilar diwakili oleh Febry Latief. Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima sebagian permohonan karena legal standing, menolak permohonan pengujian formil dan juga menolak secara keseluruhan pengujian materil yang diajukan oleh pemohon.

Dalam putusan yang dibacakan pada Rabu, 15 April 2009 itu, para pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) beserta penjelasannya yang menyatakan kewajiban perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan atas pembiayaan perseroan. Pasal 74 ayat (3) UU 40/2007 mengatur sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL).

Para Pemohon mendalilkan ketentuan tersebut akan menambah biaya produksi dan potensial mengurangi daya saing perusahaan, sehingga para Pemohon tidak dapat menjalankan perusahaan secara optimal. Menurut Pemohon, rumusan Corporate Sosial Responsibility (CSR) dalam UU 40/2007 bertentangan dengan prinsip dasar CSR yang bersifat etis, moral dan voluntair. Rumusan CSR dalam UU 40/2007 mengakibatkan Pemohon rugi karena adanya pemungutan ganda, yaitu pajak dan dana TJSL. Pengaturan CSR/TJSL pada UU 40/2007 juga bertendensi diskriminatif karena hanya mewajibkan CSR kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam. Kewajiban CSR/TJSL juga tidak dikenakan kepada Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang.

a. Perbedaan CSR dengan TJSL

Pemerintah memberikan keterangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa konsep TJSL sebagaimana dimaksud Pasal 74 UU 40/2007 berbeda dengan konsep CSR sebagaimana dipahami dan dilaksanakan oleh kalangan dunia usaha. Perbedaan mendasar TJSL dengan CSR adalah menyangkut tiga hal, yaitu hukum, pembiayaan, dan sanksi. Secara hukum TJSL hanya diwajibkan kepada perseroan yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam, sedangkan CSR diwajibkan kepada semua perseroan. Pembiayaan TJSL dibebankan pada biaya operasional perseroan yang besarnya ditentukan berdasar kepatutan dan kewajaran, sedangkan pembiayaan CSR diambil dari laba bersih perseroan. Pelanggaran TJSL dikenakan sanksi sesuai perundang-undangan sektoral, sedangkan pelanggaran CSR hanya merupakan sanksi moral.

Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa TJSL yang diatur dalam Pasal 74 UU 40/2007 telah sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia; berasaskan kekeluargaan dan bukan individualistik. Hal tersebut berbeda dengan CSR di negara barat yang cenderung pada asas ekonomi kapitalis dan liberal. Pemberlakuan TJSL, menurut DPR, yang diatur dalam Pasal 74 UU 40/2007 justru untuk mencapai kepastian hukum. Karena TJSL ditujukan untuk mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

b. TJSL sebagai tanggung jawab untuk bekerjasama

Mahkamah Konstitusi mengemukakan bahwa TJSL merupakan kebijakan negara yang menjadi tanggung jawab bersama untuk bekerjasama (to cooperate) antara negara, pelaku bisnis, perusahaan, dan masyarakat. TJSL merupakan DIÀUPDWLYH regulation yang menurut argumentasi aliran hukum alam bukan

saja menuntut untuk ditaati, tetapi menuntut kerja sama antara pemangku kepentingan.

Kerusakan sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia mengarahkan bahwa peranan negara dengan hak menguasai atas bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk hak untuk mengatur, mengusahakan, memelihara dan mengawasi, tidak boleh dikurangi atau bahkan diabaikan. Negara, masyarakat, dan perusahaan yang bergerak dalam eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya alam harus ikut bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum terhadap dampak negatif atas kerusakan lingkungan tersebut. Prinsip pareto superiority harus diterapkan, yaitu membangun dan mendapat keuntungan tanpa mengorbankan kepentingan orang lain.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penormaan TJSL menjadi kewajiban hukum merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Kebijakan hukum tersebut didasari adanya kondisi sosial dan lingkungan yang rusak sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan lingkungan. Terlebih, hubungan antara moral dan etik dengan hukum adalah bersifat gradual, dimana hukum merupakan formalisasi atau legalisasi dari nilai-nilai moral. Dalam hubungan ini, nilai-nilai moral dan etik yang diterima secara sukarela (voluntary) dan dianggap penting dapat saja diubah secara gradual menjadi hukum atau undang-undang agar lebih mengikat.

Dengan mendasarkan pada pandangan John Rawls, Mahkamah menilai penormaan CSR dalam Pasal 74 UU 40/2007 telah mencerminkan keadilan sosial. Dalam masyarakat yang menjalankan persaingan pasar bebas, apabila terdapat kepentingan yang berbeda disebabkan adanya perbedaan sosial ekonomi, maka kebijakan harus lebih mengutamakan kepentingan mereka yang paling kurang diuntungkan (the least advantage). Dengan demikian maka tingkat kesenjangan sosial

tidak semakin lebar dan akan lebih mendekatkan pada keadilan sosial. TJSL dapat dilihat sebagai sarana untuk menciptakan keadilan sekaligus memberikan keadilan pada generasi yang akan datang (the just saving principle).

Menurut Mahkamah, pengaturan TJSL bagi perseroan yang mengelola sumber daya alam berkaitan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga negara berhak untuk mengatur secara berbeda. Pemohon mendalilkan bahwa perubahan sifat CSR dari tanggung jawab moral menjadi kewajiban hukum telah meniadakan konsep demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam 3DVDO D\DW 88' NKXVXVQ\D IUDVD HÀVLHQVL berkeadilan.

Terhadap dalil ini, Mahkamah berpendapat bahwa sistem perekonomian Indonesia sebagaimana yang tertera dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah sistem perekonomian yang diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, HÀVLHQVL EHUNHDGLODQ EHUNHODQMXWDQ EHUZDZDVDQ ,LQJNXQJDQ kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Sebagai suatu perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, sistem ekonomi Indonesia bukanlah sistem ekonomi individual liberal. Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah untuk kemakmuran rakyat, oleh karena itu negara yang menguasai sepenuhnya bumi, air, dan kekayaan alam tidak hanya mempunyai kewenangan memungut pajak semata, tetapi harus pula diberikan kewenangan untuk mengatur mengenai bagaimana pengusaha mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.

Selain itu, prinsip dasar perekonomian di Indonesia adalah bersifat kerakyatan. Sehingga pengaturan CSR dengan suatu kewajiban hukum harus dilihat sebagai suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan

ekonomi masyarakat. Dengan demikian penormaan CSR dengan kewajiban hukum telah sejalan dan tidak bertentangan dengan 3DVDO D\DW 88' NKXVXVQ\D SDGD IUDVD HÀVLHQVL berkeadilan.

Dokumen terkait