• Tidak ada hasil yang ditemukan

Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:

Dalam dokumen Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci (Halaman 97-109)

Tuntunan Ibadah Haj

2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:

Hadits Anas, beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan’“ (Mutafaqun Alaih) Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)

Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya: “Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi) Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.

3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:

 Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan haji ifrad

 Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.

 Amalan Khulafaur Rasyidin

Sedangkan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat pertama dengan dalil:

a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana, lalu setelah shalat subuh beliau berkata:“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah” (Mutafaqun Alaihi)

b. Hadits Aisyah: “Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji, ketika kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka bertahalul ”(Mutafaqun ‘Alaih)

c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat -sahabatnya ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.

Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’ lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.

d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam “Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”.(H.R Muslim Ahmad no. 6/175)

e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah: “Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya) “(H.R Muslim) Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya, Wallahu’alam.

Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) makaqiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tama Radhiallahu’anhutu’lebih utama. Beliau berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia menge rjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, ber-tahalluldari ihram untuk umrah lebih utama” (Kitab Manasik hal. 14)

Hal-hal yang diwajibkan dalam haji 1.Ihram dari Miqot

Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah, dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk kepada kehormatan ibadah haji, maka dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya.Sehingga dapat diambil satu definisi syar’i bahwa ihram adalah salah satu niat dari duanusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan

(Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal 65 dan Syarhul Mumti’ 6/67), dari sini jelas terpahami sebagai suatu kesalahan apa yang telah dipahami sebagian kaum muslimin bahwaihram adalah berpakaian dengan kain ihram karena ihram adalah niat masuk kedalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan b agi seorang yang telah berihram. Dan melakukan ihram dari miqat merupakan satu kewajiban dari hal -hal yang wajib dilakukan oleh seorang yang ingin menunaikan haji atau umrah adalah pengambilan miqat sebagai tempat berihram sehingga mereka yang tidak berihram dari miqat berarti meninggalkan suatu kewajiban dalam haji dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan Dam (denda).

Adapun cara berihram, maka seorang yang telah berketetapan untuk haji atau umrah maka disunnahkan baginya untuk mencontoh RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan hal-hal yang berhubungan dengan amalannya sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih .

Adapun cara-caranya adalah :

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Lalu kami keluar bersamanyaShallallahu’alaihi Wasallam lalu tatkala sampai Dzul hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam(dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan? maka beliauShallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah2dan berihramlah.” (Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no.3074.)

2 Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya daarah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengaan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya, akan tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita). (Lihat syarah Muslim 8/404)

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak ber-tayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats sebagai firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah , dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); “(QS.Al Maidah :6)

maka tidak bisa dianalogikan (di-qiyas-kan) kepada yang lainnya,dan juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk ber-tayammum, apalagi kalau mandi ihram tersebut adalah untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma bintu Umais yang sedang haidh unt uk mandi tersebut.

2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah: “Aku memakaikan nabi wangi- wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah” (HR, Bukhory no.1539 dan Muslim no. 1189).

Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.”(Muttafaqun alaih).

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:

1. Memakainya sebelum mandi dan berihram,dan ini sepakat tidak ada permasalahan

2. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu”.(HR.Muslim no.2830 ).

Dan Aisyah berkata pula: “Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedangkan beliau dan keadaan ihram”. (HR. Muslim no. 2831 dan Bukhory no. 5923).

Masalah: Apabila sesorang memakai wangi- wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?

Jawab: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan (Lihat Syarhul Mumti’ 6/73-74

)

Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia lakukan maka akan menempelah minyak tersebut ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut? Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin dengan mengatakan: “Tidak perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan: (Syarhul Mumti’ 6/74)

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung (izar) dan selendang (rida’), sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.”(H. R Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir)

dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian padanya” (H.R Ahmad lihat syarahahmadsyakir 4/2219 dan berkata isnadnyaa shahih)

Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitab Manasik(hal. 21): “Dan disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan di bolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dibolehkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dan dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna -warna yang diperbolehkan, walaupun berwarna -warni”. (dinukil dari Syarhul Mumti‘ 6/75)

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma dalam shahih Bukhary bahwa RasulullahShallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan fi hajjatin.”

Dan hadits Jabir: “Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al -Baida’ berihram untuk haji”. (HR.Muslim).

Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat fardhu. Akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar Radhiallahu’an huma:“Shalatlah di Wadi ini”

b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108:

“Disunnahkan berihram setelah shalat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari dua pendapatnya dan yang lain kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram shala t yang khusus dan ini yang rajih.”

Dan berkata didalam Al Ikhtiyarat(hal. 116): “Dan berihram setelah shalat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya”. Demikianlah tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan Aisyah: “Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada tahun haji wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangny a(setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sya’i ) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzul Hijjah) “ (Mutafaq alaih)

Maka seorang yang ber-manasik ifrad mengatakan:

مهل uata dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan:

مهل uata dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

مهل uata dan sunnah yang ber-manasik Qiranmenyatakan: ل ي عم ج

6. Ber-talbiyah, yaitu membaca: Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal hamda wani’mata laka wal mulk laa syariikaa laka, dan yang sejenisnya.

6.1. Waktu Talbiyyah

Waktu talbiyah adalah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya, berkata Jabir Radhiallahu’anhu : “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik ……” (H.R Muslim)

6.2. Bacaan Talbiyah

Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah: a.ل ي ش ل إ ش مهل 6

b. ( ل ه ل ق ) ل إ غ c. مهل (ى ش ئ ) إ ش d. Talbiyah yang poin “a” namun ditambah kalimat:

(مل ث ) لض ذ ج ذ 6.3. Sebab dan maknanya

Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al- Hajj ayat 27. “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamudengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.’ (QS. al-Hajj 22:27)

Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhudalam menafsirkan firman Allah Ta’ala ini : “Ketika Allah Ta’ala memerintahkan Ibrahim ‘Alaihissalam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia berkata: “Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu beliau menerima panggilan ini apa saja yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apasaja yang ada, lalu mereka berkata مهل …… (H.R Ibnu Jarir 17/106)

Berkata Ibnu Hajar ; ”Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah dari sebagian dari Ulama’: “Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Ibrahim ‘Alaihissalam ketika memberitahukan manusia untuk berhaji””, (Fathul Bari 3/406)

Adapun ma’na dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah : ( لل م) :Wahai Allah

( ) :Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih ), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya

(ل ش ي ل ) :Berma’na tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu

(ل ي ) :Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja

(إ ل م ل عم ل لمل ) :Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan

(ل ش ي ل ) :Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu

Kalau kita melihat kepada ma’na kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis - jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir ( ل ل ي )(Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertalbiyah dengan tauhid”) Dan hal ini tampak kalau kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata (ل ي لل م ل ي ( ش ) naidumek ,natadabirep malad nakiriysek naadainep tapadret ( ش terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah Ta’ala semata, dan hal itupun mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid uluhiyyah, dan dalam kata (إ ل م ل عم ل ) terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada zat dan perbuatan Allah Ta’ala adalah hak dan hal ini adalah merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah Ta’ala.

Kalau demikian keharusan orang yang bertalbiya h maka dia akan selalu merasakan keagungan Allah dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.

6.4. Cara membacanya

Talbiyah ini dibaca dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah.”

Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjamaah akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu padahal jumlah mereka sangat banyak maka hal tersebut sangat memungkinan untuk terjadinya talbiyah dengan suara yang berbarengan, akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.

Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.

6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.

Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :

1. Ketika masuk haram,dan ini pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al Hasan serta mazdhab maliki,mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang lafadznya; “Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap dzi thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian”

2. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al Musayyib

3. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (Istilam) hajar aswad dan ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’: “Dia menghentikan talbiyah dalam umoh kalau telah menyentuh (istilam) hajar aswad” (HR Abu Daud,At Tirmidzy daan Al Baihaqy dan dilemahkan oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297)

Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzul qa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” (H.R Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh AL-Albanny dala Irwa’ 4/297)

Dan mereka berkata : “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf”. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam(Syarah Umdah 2/461) dan Ibnu Qudamah(Al-Mughny 5/256) akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah telah melakukannya, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah(Shahih Ibnu Khuzaimah 4/205-207).

Demikian juga pada haji terdapat beberapa pendapat ulama;

1. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-hasan Al-bashry dan madzhab malikiyah. Berdalil dengan hadits:“Haji itu adalah wuquf di Arafah”

Maka kalau telah sampai Arafah maka akan habis pemenuhan panggilan karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Raululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.

2 Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua pendapat;

a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al fadl bin Al Abbas ”Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan teru meneru bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah“(HR jama’ah)

dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz: “Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak mmeninggalkan talbiyah sampai beliau melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir”(HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa’, /2966).

Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara ma’na, maka seorang yang telah sampar Arafah- walaupun telah ampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau telah mmemulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya (Majmu’ Fatawa 26/173)

b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam jumroh Aqobah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl: “Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar” (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan beliau berkata:” ini hadits shahih yang menafsirkan apa yang belum jelas dalam riwayat-riwayat yang lain).

Dalam dokumen Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci (Halaman 97-109)