• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

Macam-Macam Najis

Pengertian Najis

Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan. (Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 1/22, Darul ‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H)

Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangk an dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini. (Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayid Saalim, 1/71, Al Maktabah At Taufiqiyah)

Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci

(2)

Macam-Macam Najis

1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia

Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya.” (HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daudmengatakan bahwa hadits ini shahih)

Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri, dsb. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H)

Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran manusia.(Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34) Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran manusia. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/71)

Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas, “(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.” (HR. Muslim no. 284)

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.” (Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22)

3,4 - Madzi dan Wadi

(3)

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.( Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)

Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliauradhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”(HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbasradhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih)

5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan

Contohnya adalah Kotoran keledai jinak: Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pada perang Khoibar memakan daging keledai jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)

(4)

Kotoran babi (Babi termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al An’am ayat 145). Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,“Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 70)

Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai jinak adalah najis.

6 – Darah haidh

Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah dengannya.” (HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291)

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”( Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30)

7 – Jilatan anjing

(5)

8 – Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/73) Najisnya bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin ‘Abbas, “Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.

Bangkai yang dikecualikan adalah :

a – Bangkai ikan dan belalang

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”( HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini shohih)

b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir

Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”(HR. Bukhari no. 5782)

c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai

(6)

Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan juga masih tersisa pembahasan bagaimana cara membersihkan najis.

Cara Membersihkan Najis

Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam najis dalam tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.

1 – Menyucikan kulit bangkai dengan disamak

(Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i) Dari Ibnu ‘Abbasradhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.” (HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:

[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci dengan disamak.

[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak (Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil dengan keumuman hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin itulah yang lebih tepat, sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas). Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.

(7)

Contoh kedua: Serigala mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih -lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaik h Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi. (Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr, cetakan pertama, tahun 1425 H)

Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah)

2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing

Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :

Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua riwayat (pendapat) Imam Ahmad.

Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.

Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.

Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”(HR. Muslim no. 279)

(8)

”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “ ”, yaitu tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”

Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaiminrahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencamp uri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing. (Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95)

3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh

(9)

Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.

Dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”

Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah).

Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan, “Aku bertanya pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman)”.” (HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

4 – Menyucikan ujung pakaian wanita

Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata, “Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?” Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.” (HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daudmengatakan bahwa hadits ini shohih)

(10)

menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H) dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.

Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kit a perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah)

Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah. (Idem)

5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan

Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki -laki cukup dengan diperciki.” (HR. Abu Daud no. 376 dan An Nasa’i no. 304. Syaikh Al Albani dalam Al Jami Ash Shogir wa Ziyadatuhu mengatakan bahwa hadits ini shohih)

(11)

Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut. “Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen).” (HR. Bukhari no. 5693 dan Muslim no. 287)

Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqi h Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullahmenjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena seandainya kita katakan demikian, bayi ketika awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan, pen).” (Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/214)

6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi

Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata, “Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian madzi yang mengenai pakaianku?’. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi’.”(HR. Abu Daud no. 210, Tirmidzi no. 115, dan Ibnu Majah no. 506. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini hasan)

(12)

Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu cukup diperciki. Sedangkan kemaluannya cukup dibersihkan dan bersucinya adalah dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.

7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat hal itu, mereka pun ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa kalian melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami juga ikut mencopot sandal kami.” Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku itu terdapat kotoran.” Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan keduanya.” (HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud bahwa hadits ini shohih)

(13)

8 – Menyucikan tanah

Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhuberkata, “Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan bukan untuk mempersulit”.”(HR. Bukhari no. 220)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya, maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau berkata, “Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak memerciki kencing anjing tersebut.” (HR. Bukhari no. 174)

Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan Air?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang masyhur dalam madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan pendapat baru dari Imam Asy Syafi’i, juga Asy Syaukani bahwa untuk menghilangkan najis disyaratkan dengan menggunakan air, tidak boleh berpaling pada yang lainnya kecuali jika ada dalil.

(14)

Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:

Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain, maka demikian pula setiap benda atau cairan yang bisa menyucikan dan menghilangkan najis benda lain juga berlaku demikian.

Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air pada beberapa perkara tertentu, namun syariat tidak memaksudkan bahwa setiap najis harus dihilangkan dengan air.

Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan selain air. Seperti ketika istijmar yaitu membersihkan kotoran ketika buang air dengan menggunakan batu. Contoh lainnya adalah menyucikan sendal yang terkena najis dengan tanah. Begitu pula membersihkan ujung pakaian wanita yang panjang dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang hal ini telah kami sebutkan.

Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun menghindarkan diri dari sesuatu yang mesti dijauhi. Jika najis tersebut telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis tersebut sudah dianggap hilang.

Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama yang menganggapnya najis) jika telah berubah menjadi cuka, maka ia dihukumi suci dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. (Lihat penjelasan dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86-87)

(15)

Fiqih Wudhu

Tanya: Niat apakah yang dimaksudkan dalam berwudhu dan mandi (wajib)? Apa hukum perbuatan yang dilakukan tanpa niat dan apa dalilnya?

Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib) adalah niat untuk menghilangkan hadats atau untuk menjadikan boleh suatu perbuatan yang diwajibkan bersuci, oleh karenanya amalan-amalan yang dilakukan tanpa niat tidak diterima. Dalilnya adalah firman Allah, “Dan mereka tidaklah diperintahkan melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”(QS. Al-Bayyinah: 5)

Dan hadits dari Umar bin al-Khaththab, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul -Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.”(HR. Bukhari: Jami’ush Shahih, no. 45, 163. Muslim: Jami’ush Shahih, no. 1907)

Tanya: Apakah wudhu itu? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu? Dan apa (serta berapa macam) yang mewajibkan wudhu?

(16)

Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Tanya: Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban tersebut kalau lupa atau tidak tahu?

Jawab: Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas wudhunya.”

Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapka n basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah hadits, “Dimaafkan untuk umatku, kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan mengucapkan bismillah.

Tanya: Apa sajakah syarat-syarat wudhu itu?

Jawab: Syarat-syarat (sahnya) wudhu adalah sebagai berikut:

(1). Islam, (2). Berakal, (3). Tamyiz (dapat membedakan antara baik dan buruk), (4). Niat, (5). Istishab hukum niat, (6). Tid ak adanya yang mewajibkan wudhu, (7). Istinja dan istijmar sebelumnya (bila setelah buang hajat), (8). Air yang thahur (suci lagi mensucikan), (9). Air yang mubah (bukan hasil curian -misalnya-), (10). Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap dalam pori-pori.

Tanya: Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu? Dan apa saja?

Jawab: Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu:

1. Membasuh muka (temasuk berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan). 2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.

(17)

4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. 5. Tertib (berurutan).

6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).

Tanya: Sampai dimana batasan wajah (muka) itu? Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu yang tumbuh di (daerah) muka ketika berwudhu?

Jawab: Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Waji b membasuh semua bagian muka bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya) beserta kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak lebat). Karena anda lihat sendiri, kalau rambut jenggotnya lebat ma ka wajib membasuh bagian luarnya dan di sunnahkan menyela -nyelanya. Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan bagian bawah jenggot yang jarang bisa terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan tertib (urut)? Apa dalil yang mewajibkannya dari al-Qur’an dan As-Sunnah?

Jawab: Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang mulia. Yaitu membasuh wajah, kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki.

Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas (ayat 6 surat al -Maidah). Di dalam ayat tersebut telah dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak melakukan hal ini melainkan untuk suatu fa edah tertentu yang tidak lain adalah tertib (urut).

Kedua, sabda Rasulullah, “Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya.”

(18)

wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa -dosa wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai ke siku, melainkan gugurlah dasa-dosa tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap kepalanya, melainkan gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua kakinya, melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)

Dan dalam riwayat Ahmad terdapat ungkapan, “Kemudian mengusap kepalanya (sebagaimana yang Allah perintahkan),… kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki sebagaimana yang Allah perintahkan.”

Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu. Wallahu A’lam.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan muwalah dan apa dalilnya?

Jawab: Maksudnya adalah jangan mengakhirkan membasuh anggota wudhu sampai mengering anggota sebelumnya setelah beberapa saat.

Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Nabi, bahwa beliau melihat seorang laki -laki di kakinya ada bagian sebesar mata uang logam yang tidak terkena air wudhu, maka beliau memerintahkan untuk mengulangi wudhunya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin al-Khathab bahwa seorang laki-laki berwudhu, tetapi meninggalkan satu bagian sebesar kuku di kakinya (tidak membasahinya dengan air wudhu). Rasulullah melihatnya maka beliau berkata, “Ber wudhulah kembali, kemudian shalatlah.” Sedangkan dalam riwayat Muslim tidak menyebutkan lafal, “Berwudhulah kembali.”

Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa yang dibasuh oleh orang yang buntung ketika berwudhu?

(19)

membasuh mukanya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak tiga kali, kemudian mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya, kemudian membasuh kedua kakinya beserta mata kakinya tiga kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-bagian yang wajib (dari anggota tubuhnya) yang tersisa. Jika yang buntung adalah persendiannya maka memulainya dari bagian lengan yang terputus. Demikian pula jika yang buntung adalah dari persendian tumit kaki, maka membasuh ujung betisnya.

Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan dalil-dalil tersebut secara lengkap?

Jawab: Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan dalilnya di atas. Dan dalam riwayat Abdullah bin Zaid tentang tatacara wudhu (terdapat lafal), “Kemudian Rasulullah memasukkan tangannya, kemudian berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung dengan satu tangan sebanyak tiga kali.”(Mutafaq ‘alaih)

“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air wudhu, maka ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, …kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali, kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula, kemudian berkata, ‘Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini.’” (Mutafaq alaih)

Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia berkata, “Dan Rasulullah mengusap kepalanya, menyapukannya ke belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)

(20)

Dan dalam riwayat Ibnu Amr tentang tata cara berwudhu, katanya, “Kemudian (Rasulullah) mengusap kepalanya, dan memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya, dan mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun telinganya.”(HR. Abu Dawud, Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Tanya: Apa saja yang termasuk sunnah-sunnah wudhu beserta dalilnya?

Jawab: Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu adalah:

1. Menyempurnakan wudhu.

2. Menyela-nyela antara jari jemari.

3. Melebihkan dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi yang berpuasa. 4. Mendahulukan anggota wudhu yang kanan.

5. Bersiwak.

6. Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali. 7. Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali. 8. Menyela-nyela jenggot yang lebat.

Dalil tentang siwak telah lalu penjelasannya. Adapun tentang membasuh dua telapak tangan sebelum berwudhu, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi ia berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu, maka beliau mencuci dua telapak tangannya sebanyak tiga kali.”

(21)

Dan dari ‘Aisyah, ia berkata,“Nabi suka mengawali sesuatu dengan yang kanan, dalam memakai terompah, bersisir, bersuci dan dalam segala sesuatu.”(Mutafaq alaih)

Adapun menyela-nyala jenggot, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Utsman, “Bahwa Nabi ada menyela-nyala jenggotnya.” (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi dan ia menshahihkannya). Cara menyela-nyela jenggot ini dengan mengambil seraup air dan meletakkannya dari bawahnya dengan jari-jemarinya atau dari dua sisinya dan menggosokkan keduanya. Dan dalam riwayat Abu Dawud dari Anas, “Bahwa Nabi jika berwudhu mengambil seraup air, kemudian meletakkannya di bawah dagunya dan berkata, ‘Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhan kepadaku.’”

Tanya: Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau mandi (junub)?

Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut ukuran orang Hijaz da n 2 liter menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Adapun untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas, katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih). Dan makruh (dibenci) berlebih-lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam berwudhu.

Tanya: Bacaan apa yang disunnahkan ketika selesai berwudhu?

(22)

Dan Tirmidzi menambahkan: “Alloohummaj’alni minat tawwabiina waj’alnii minl mutathohhiriin (Ya Allah jadikan aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang suka mensucikan diri).”

Nawaqidul Wudhu

Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?

Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu, seperti sesuatu yang keluar dari dua jalan (kencing dan berak), makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan syahwat, semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan, obat-obat yang menghilangkan kesadaran, dan murtad/keluar dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.

Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah berhadats hingga dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132. Muslim, hadits no. 225)

Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang bertanya, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)

Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang temasuk perkara yang membatalkan wudhu adalah buang air besar, buang air kecil, dan tidur.”

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan wudhu?

(23)

bertanya lagi, “Apakah kami (harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu bertanya, “Bolehkah shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no. 360)

Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta, maka beliau bersabda, ‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan Abu Dawud hadits no. 184)

Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti, makan hati, limpa, jeroan, lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara keseluruhan (tidak hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini, dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat dan paling berkah. Wallahu ‘alam.

Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur lama (pulas) membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah, ‘Mata adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no. 203)

Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu) adalah buang air besar, buang air kecil dan tidur.”

(24)

berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah dishahihkan Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)

Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah. Tatkala Rasulullah berdiri untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau memegang tanganku dan m enarikku supaya berada di samping kanannya. Lalu aku pun berada di samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau memakai obat-obatan yang menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?

Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu penjelasannya. Kedua hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak sadarannya lebih parah kalau dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan. Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akal lebih layak jika tidur lama saja membatalkan wudhu. Dan para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila, mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama. Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu bagi orang yang pingsan.

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika diiringi dengan syahwat?

Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:

(25)

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka janganlah melaksanakan shalat hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang paling shahih)

“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib atasnya untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan Ahmad Hadits no. 8199)

Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”

Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi bersabda, “Setiap laki-laki yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)

Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi ditanya tenta ng menyentuh kamaluan ketika shalat? Maka beliau bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata tubuhmu!?” (HR. Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni I/149, Majmu Zawaid I/244)

Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat hadits di atas, bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota tubuhnya yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa syahwat. Artinya ketika menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh daun telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits tersebut di atas diamalkan. Dan dengan cara penyatuan inila h yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah as-Habu Malik dan sebagian ulama hadits.

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya tanpa pembatas dengan syahwat membatalkan wudhu?

(26)

Telah berkata Ibnu Mas’ud,“Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil yang dijadikan pegangan bagi mereka yang berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa syahwat hanya pada ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang berpendapat seperti ini sebagai berikut:

Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah bermakna jima (senggama), dan sesuai dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah:

“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa mengulangi wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits no. 170)

Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku menyentuhnya, aku letakan tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi telah menshahihkan) Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan syahwat itu tidak membatalkan wudhu dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang benar.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan bahwa riddah itu membatalkan wudhu?

Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam, baik dengan ucapan, keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk Islam (sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan berwudhu) dia tidak boleh shalat sebelum berwudhu lagi.

(27)

Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)

Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats kemaluan. Hadits lisan lebih berat; dan dari keduanya mengharuskan wudhu.”

Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila hadats hingga berwudhu.”(Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554. Muslim hadits no. 225)

Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang memandikan mayat supaya berwudh u. Sedangkan riwayat dari Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti dilakukan orang yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak mengetahui ada dari kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan ma yat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman inilah mereka yang memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang yang tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia perbuat, termasuk jika ia berhadats).

(28)

(mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum tersebut menjadi wajib meskipun peng -istihbaban beliau dengan alasan adanya kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya karena itu merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah.

Bersuci Dengan Debu

Syari’at Islam adalah ajaran yang sangat sempurna. Sebuah ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Oleh karena itu siapa saja yang dengan lapang dada dan hati gembira menyambut syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai jalan hidupnya maka sesungguhnya dia telah menemukan cahaya penerang serta ruh kehidupannya. Para pembaca yang budiman, Islam mengajarkan umatnya untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan suci. Oleh karena itu disyariatkanlah syariat bersuci. Dan sebagaimana sudah dikenal di kalangan umat Islam bersuci itu meliputi wudhu, mandi dan tayamum. Nah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan membahas tentang masalah tayamum. Semoga Allah ta’ala mengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita.

Pengertian Tayamum

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaiminrahimahullah mendefinisikan tayamum sebagai berikut. Secara bahasa tayamum berarti bermaksud atau menyengaja. Sebagaimana ungkapan orang Arab tayyamamtu asy-syai’a yang maknanya qashadtuhu (saya menginginkannya). Adapun dalam terminologi syariat, yang dimaksud dengan tayamum yaitu: membasuh wajah dan kedua telapak tangan dengan menggunakan ash-sha’id yang suci sebagai pengganti bersuci dengan air yaitu ketika terhalangi memakai air. Bahkan syariat tayamum ini merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat ini. Allah mensyariatkannya demi menyempurnakan agama mereka, dan juga sebagai tanda bukti kasih sayang dan cinta kasih -Nya kepada mereka (lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 112)

Dalil Pensyari’atannya

(29)

kepadanya, “Wahai fulan, apakah yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang ?” Lelaki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, saya mengalami junub sedangkan air tidak ada.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya engkau bersuci dengan ash-sha’id, itu saja sudah cukup bagimu.” (HR. Bukhari no. 348 dalam At-Tayamum)

Yang dimaksud dengan ash-sha’id adalah permukaan bumi serta segala sesuatu yang berdiri di atasnya. Oleh sebab itu diperbolehkan bertayamum dengan apapun yang masih layak disebut sebagai bagian permukaan bumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/198) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila tidak ada air maka diperbolehkan bersuci dengan cara tayamum. Dan menunjukkan pula bahwa tayamum itu berkedudukan sebagaimana bersuci dengan air, selama air tidak ada atau tidak sanggup memakainya(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 113-114)

Sebab-Sebab Dilakukan Tayamum

Tayamum boleh dilakukan karena: (1) Ketika tidak sanggup memakai air, atau (2) Karena tidak ada air, atau (3) Karena khawatir akan bahaya yang timbul bila tersentuh air gara-gara badan sedang menderita sakit atau karena hawa dingin yang sangat menusuk. Bahkan mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang yang khawatir mati disebabkan hawa dingin yang sangat menusuk diperbolehkan untuk bertayamum, karena kondisinya serupa dengan keadaan orang yang sakit (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/196)

Dalil-dalilnya adalah: Allah ta’alaberfirman yang artinya, “Dan (apabila) kemudian kalian tidak berhasil menemukan air maka bertayamumlah dengan tanah yang suci.” (QS. An-Nisaa’: 43)

(30)

akhirnya meninggal. Tatkala kami berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau mendapat laporan tentang peristiwa itu. Beliau bersabda, “Mereka telah menyebabkan dia mati ! Semoga Allah membinasakan mereka. Kenapa mereka tidak mau bertanya ketika tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya. Sebenarnya dia cukup bertayamum saja.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim. Dinilai shahih oleh Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi. Lihat Al Wajiz hal. 55. Namun hadits ini dinilai lemah oleh Imam Al-Baihaqi dan Ibnu Hazm karena sanadnya lemah. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/195)

Tata Caranya

Diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; ‘Saya pernah mengalami junub dan ketika itu saya tidak mendapatkan air (untuk mandi, pen). Oleh karena itu saya pun bergulung-gulung di tanah (untuk bersuci, pen) dan kemudian saya menjalankan shalat. Maka hal itu pun saya ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Sebenarnya sudah cukup bagimu bersuci dengan cara seperti ini.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangannya di atas tanah dan meniup keduanya. Kemudian dengan kedua telapak tangan itu beliau membasuh wajah dan telapak tangannya.’ (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits ini dan juga hadits lainnya maka tata cara tayamum yang benar adalah cukup dengan menepukkan kedua telapak tangan (1X) ke tanah atau permukaan bumi yang lainnya, kemudian meniupnya, lalu membasuh dengan kedua telapak tangannya itu wajah dan telapak tangannya (dari ujung jari sampai pergelangan, bagian luar dan dalam telapak tangan) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/202-203)

(31)

Bertayamum Dengan Dinding

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbasradhiyallahu’anhumabahwa dia berkata; Saya datang bersama dengan ‘Abdullah bin Yasar bekas budak Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala kami bertemu dengan Abu Jahim bin Al-Harits bin Ash-Shamah Al-Anshari maka Abu Jahim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang dari arah sumur Jamal. Kemudian ada seorang lelaki yang menemuinya dan mengucapkan salam kepada beliau. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salamnya hingga beliau menyentuh dinding (dengan tangannya, pen) kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya. Baru setelah itu beliau mau menjawab salamnya.” (Muttafaq ‘alaih) Hadits ini menunjukkan bahwa bertayamum dengan mengusap dinding diperbolehkan (lihat Al-Wajiz, hal. 57)

Pembatal Tayamum

Tayamum menjadi batal karena hal-hal yang bisa membatalkan wudhu. Selain itu tayamum juga dinilai batal apabila air berhasil ditemukan oleh orang yang berusaha mencari namun belum menemukannya. Dan tayamum juga dinilai batal apabila seseorang yang pada awalnya tidak sanggup memakai air karena sakit atau alasan lainnya ternyata pada saat itu dia sudah kembali sanggup menggunakannya. Sedangkan shalat yang sudah dilakukan sebelumnya dengan bekal tayamum tersebut tetap dinilai sah dan tidak perlu diulangi.

(32)

Haruskah Mengusap Perban Jika Terluka?

Seseorang yang terluka atau patah salah satu bagian tubuhnya (anggota badan yang dikenai usapan wudhu atau tayamum, pen) maka dia tidak berkewajiban mengusapnya (ataupun perbannya, pen) tatkala berwudhu maupun tayamum. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah tidak akan membebankan kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Begitu pula sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila aku memerintahkan kalian untuk menjalankan sesuatu maka laksanakanlah menurut kemampuan kalian.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i)

Berdasarkan ayat al-Qur’an dan As-Sunnah ini maka gugurlah kewajiban dari setiap orang yang tidak berkesanggupan menjalankannya. Menentukan adanya pengganti tata cara tersebut (mengusap anggota badan, pen) dengan mengusap yang lain (seperti perban dan semacamnya, pen) adalah tindakan pensyari’atan. Sedangkan syariat tidak bisa digariskan kecuali dengan al -Qur’an atau as-Sunnah. Padahal tidak ada satu pun dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menyebutkan adanya pengganti tindakan mengusap anggota badan yang terluka dengan mengusap perban atau pembalut lukanya. Oleh karena itu pendapat yang menyatakan dituntunkan untuk mengusap perban adalah pendapat yang tertolak (lihat Al-Wajiz, hal. 57)

5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib

Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah, pembahasan ini akan dikaji secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi (al ghuslu).

(33)

ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah) bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk mandi. (Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 1/392, Mawqi’ Al Islam)

Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):

Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.

Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi (Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)

dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering, [2] birnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah. (Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H)

(34)

Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/163, Al Maktabah At Taufiqiyah. Juga lihat penjelasan dalam kitab Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 49, Darul ‘Aqidah, tahun 1428 H)

Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi mendapatkan sesuatu yang basah.” (Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 57, Darul ‘Aqidah, tahun 1425 H)

(35)

Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.” (Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wa jib mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.” (Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah,hal. 50)

Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh -sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Walaupun tidak keluar mani.”

(36)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqola ni dalam Fathul Bari. (Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379)

Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami sebutkan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/40-41, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392)

Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.

Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy, “Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).

(37)

Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.

Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashimradhiyallahu ‘anhu, “Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib (Faedah dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167). Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah(Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 59), Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al Khottobi ( Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/166).

Kelima: Karena kematian.

Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.( Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/617) Penjelasan lebih lengkap mengenai memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalamKitabul Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.

Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya, “Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (we wangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).

(38)

orang kafir. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang yang mati selain di medan pertempuran dan disebut syahid (seperti orang yang mati karena tenggelam dan sakit perut), maka mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang yang mati pada umumnya. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/619)

Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?

Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, m aka tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu….” (Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 51)

Tata Cara Mandi Wajib

Niat, Syarat Sahnya Mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang menjadi kebiasaan da n manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.

Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

(39)

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah. Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama. (Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah)

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.

Hadits pertama:

(40)

dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

Hadits kedua:

Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali -dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullahmengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.” (Fathul Bari, 1/360)

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Referensi

Dokumen terkait

118 Permen Koperasi dan UKM yang merevisi permen Koperasi dan UKM Nomor 19/PER/M.KUKM/XI/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi,

Kondisi ruang kelas yang nyaman akan membantu siswa untuk lebih mudah dalam berkonsentrasi, memeperoleh hasil belajar yang maksimal dan dapat menikmati

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: “apakah ada perbedaan yang signifikan dari kemampuan memahami preposisi bahasa inggris dari siswa kelas V SDN

Solusi Kegiatan nyata untuk mengatasi hal tersebut dilakukan dengan membuka pusat- pusat layanan rehabilitasi korban, memberikan pelatihan khusus kepada pencari kerja tentang

Parameter pemeriksaan hematologi meliputi jumlah sel darah putih, jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah dan volume trombosit, serta indeks eritrosit

Ketua Tim Pengendali DAK sub bidang KB Provinsi (Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi) dan Ketua Tim Pengendali DAK SKPD KB Provinsi secara berkala melakukan

Persoalan yang menjadi objek penelitian penulis adalah meneliti apakah terjadi politisasi dalam konflik antar warga Desa Balinuraga dengan Desa Agom dan akhirnya meluas

Maka implikasi teoritis yang bisa dikembangkan adalah bahwa untuk melaksanakan sebuah kurikulum dengan baik maka sebuah sekolah atau lembaga pendidikan harus