• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMIKIRAN PENDIDIKAN R.A KARTINI

A. R.A Kartini dan Pendidikan Perempuan

Perjuangan R.A Kartini dalam merintis pendidikan pada awalnya mengalami kesulitan, hambatan dan tantangan. Apalagi R.A Kartini adalah sosok seorang perempuan yang masih keturunan priyayi (kelas bangsawan Jawa), sehingga akses beliau untuk menempuh pendidikan banyak menemui hambatan. Namun niat R.A Kartini untuk memajukan perempuan Jawa, tidak berhenti begitu saja. Ide-ide yang terpendam dalam benak R.A Kartini, ia tuliskan kepada sahabat-sahabatnya dari Eropa. Surat yang ia tulis pada 7 Oktober 1900, kepada Nyonya R.M Abendanon–Mandri mencurahkan tentang keinginannya untuk memberdayakan perempuan agar mandiri.

Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, dan lubang. Jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendul, licin, belum dirintis. Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan tersebut sudah terbuka dan saya turut membantu meneratas jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan bumiputera. Saya sudah akan puas, apabila orangtua anak-anak perempuan lain yang

juga hendak berdiri sendiri, tidak akan lagi dapat mengatakan: „Masih

belum ada seorang pun di antara kita yang telah berbuat demikian.57 R.A Kartini menyadari bahwa pendidikan perempuan adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan. R.A Kartini dalam hal ini adalah seorang perintis dalam pendidikan perempuan di Indonesia. Pendidikan

57

R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) Kumpulan Surat R.A Kartini yang Menginspirasi Wanita-wanita di Indonesia Sepanjang Masa, Jakarta: Penerbit Narasi, 2011, 99.

bagi perempuan adalah sebuah pembebasan terutama dari kekangan tradisi dan norma-norma adat yang kurang mendukung pendidikan untuk perempuan.

Upaya R.A Kartini untuk memperjuangkan pendidikan perempuan bisa dilihat sebagai perwujudan agency R.A Kartini terutama aspek proyektifnya, yakni Kartini menginginkan bahwa perempuan Jawa punya kebebasan dalam menempuh pendidikan. Ini antara lain sejalan dengan perjuangan teman-teman R.A Kartini di Eropa yang memperjuangkan pendidikan perempuan. Upaya R.A Kartini juga bisa dilihat aspek agency

lainnya, yakni practical evaluative. Dalam hal ini R.A Kartini melihat bahwa tradisi dan budaya Jawa saat itu belum mendukung pendidikan perempuan. Masyarakat Jawa pada saat itu lebih melihat dan memposisikan perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan adalah pendukung suami dan dia tidak selayaknya diberi peran lain selain ibu rumah tangga. Idiom-idiom Jawa semacam kanca wingking, surga nunut neraka katut, menunjukkan kecenderungan ke arah sana.

Perjuangan R.A Kartini agar perempuan diberikan akses pendidikan terus ia gaungkan. Karena melalui tangan perempuan, seorang anak pertama kali mendapatkan nilai kasih sayang dan pendidikan dari sang ibu. Jika, ibunya memiliki pola asuh yang mengedepankan pendidikan, maka kelak ketika dewasa si anak juga akan mencontoh apa yang sudah diajarkan oleh seorang ibu. Sebagaimana yang ia tuangkan

dalam salah satu suratnya yang ia tujukan kepada Nyonya R.M Abendanon – Mandri, tertanggal 21 Januari 1901.

Dengan gembira saya benarkan pikiran suami nyonya yang demikian jelas terbaca dalam surat edaran tentang pengajaran untuk anak-anak perempuan bumiputra: perempuan sebagai pendukung peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau yang buruk akan berakibat besar bagi kehidupan: bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata. Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimanakah ibu-ibu bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?58

R.A Kartini menyadari peran sentral perempuan dalam pendidikan terutama dalam menyiapkan generasi penerus. R.A Kartini melihat bahwa perempuan adalah pendidik pertama dalam keluarga. Ungkapan Kartini “meninggikan kadar kesusilaan manusia”, menunjukkan posisi sentral perempuan dalam meneguhkan dan membangun pendidikan nilai sebuah bangsa yang tentunya dimulai dari keluarga. Dari sisi itu R.A Kartini melihat pentingnya mendidik perempuan antara lain karena peran mereka dalam mendidik bangsa dan generasi penerus. Masa depan bangsa sangat tergantung pada kadar pendidikan perempuan. Dalam hal ini kita bisa melihat agency R.A Kartini terutama aspek proyektifnya, yakni ambisi dan keinginan R.A Kartini untuk menyiapkan perempuan pendidik yang sangat penting bagi kemajuan bangsa.

58

Pemikiran pendidikan R.A Kartini dalam upaya memajukan perempuan di Indonesia dengan cara mendirikan sekolah untuk para perempuan. Sekolah tersebut merupakan salah satu cita-cita Kartini untuk memajukan perempuan Indonesia dari keterbelakangan. Dalam salah satu suratnya, R.A Kartini mengemukakan idenya tersebut kepada sahabatnya yang berada di Belanda, Tuan H.H van Kol. Di mana R.A Kartini, ingin sekolah ke Eropa (Belanda), tidak lain karena ingin memajukan pendidikan bagi perempuan di Jawa dengan mendirikan sekolah-sekolah.

Tujuan cita-cita ingin belajar di Eropa tersebut ialah: memberikan yang baik dari peradaban Belanda kepada bangsa kami, untuk memuliakan adat-istiadatnya; membawa bangsa itu kepada pandangan tata susila yang lebih tinggi sebagai sarana untuk mencapai keadaan masyarakat yang lebih baik dan lebih bahagia. Jalan yang kami harapkan untuk mencapai tujuan itu ialah: mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan Jawa. Untuk sementara sebagai percobaan dan contoh, adalah sebuah sekolah berasrama untuk anak-anak perempuan kepala-kepala Bumiputra. Tujuannya ialah: agar ibu-ibu di pulau Jawa yang maju dan cerdas, dan akan meneruskan kemajuan dan kecerdasannya itu kepada anak-anaknya; anak-anak perempuannya yang akan menjadi kaum ibu lagi; anak-anak laki-lakinya, yang suatu ketika akan dipanggil, turut menjaga suka duka bangsa!59

Tekad dan perjuangan R.A Kartini untuk maju dan berpikir secara modern, tentu tidak lepas dari buku-buku yang dibacanya. Dari kakaknya, Kartono ia selalu mendapat buku-buku mengenai masalah-masalah dunia modern, seperti emansipasi, revolusi Prancis, dan buku-buku sastra dari penulis kenamaan. Semua itu mengantarkan R.A Kartini kepada pengertian mengenai soal-soal sosial politik.60

59

R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 265.

60

Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, 2011, 64.

Ia selalu gemar sekali membaca, namun kini kesenangannya terhadap bacaan sudah menjadi bagian hidupnya. Apabila ia telah menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, segera ia memegang buku atau surat kabar. Ia membaca semuanya yang tertangkap oleh bola matanya. Ia melahap semua bacaan, bercampur antara yang baik dan yang buruk. Banyak sekali buku yang dinikmatinya, buku yang tak terkatakan bagusnya yang membuatnya dapat melupakan semua kesedihan dalam hidupnya. Tabiat-tabiat baik, pandangan hidup mulia, jiwa dan pikiran besar, membuat hatinya berkobar-kobar kegirangan dan gemetar karena berbesar hati. Ia menghayati sepenuhnya semua yang dibaca.61

Kegemaran R.A Kartini akan bacaan mengantarkan pengetahuannya yang luas dalam mengenal budaya dan wawasannya terhadap dunia. R.A Kartini tidak sekedar membaca buku, tapi ia berusaha menyelami pemikiran sang penulis dalam kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya hasil bacaan tersebut, menghasilkan renungan yang ia tuliskan dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat, dan teman penanya.

Sementara adat feodal yang terjadi di lingkungan kerajaan, membatasi akses perempuan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Karena perempuan pada usia 12 tahun juga harus diipingit, tidak diijinkan untuk bergaul dengan dunia luar. Hal ini R.A Kartini sampaikan kepada sahabat penanya di Belanda Nona Stella Zeehandelaar. Perkenalan Kartini dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Lelie, majalah wanita yang banyak membahas mengenai sosial dan sastra.

Itu pikiran yang mulia, nyonya. Kalau hal itu dilaksanakan tentu akan membawa berkah bagi dunia wanita bumiputra. Berkah itu akan menjadi semakin besar jika anak-anak perempuan juga diberi kesempatan mempelajari salah satu kepandaian yang memungkinkannya dapat menempuh jalan hidupnya sendiri. Tentunya apabila setelah mendapat pelajaran tersebut ia kembali lagi ke dunianya yang dulu. Anak perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan serta pandangannya telah diperluas tidak akan sanggup lagi hidup dalam dunia nenek moyangnya.62

61

R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 70.

62

Suratnya yang ditujukan kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soer, R.A Kartini mengutarakan agar perempuan diberikan kesempatan untuk pendidikan yang lebih tinggi. R.A Kartini bercerita kepada Nyonya Ovink yang dianggap sebagai ibunya sendiri, agar bisa pergi belajar ke Eropa (baca: Belanda). Kartini berkata, “Saya ingin belajar menjadi guru, agar dapat mengajarkan kepada para calon ibu- disamping ilmu pengetahuan- juga pengertian kasih dan keadilan seperti yang kami ketahui dari orang-orang Eropa”.

Keinginan R.A Kartini tersebut tentu tidak berlebihan, menginginkan agar perempuan dan laki-laki diberikan akses yang sama untuk menuntut ilmu. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hujarat ayat 13:

Artinya:

Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal (Q.S. al-Hujurat: 13).

Dalam konteks modern, pendidikan perempuan dianggap sebuah investasi yang strategis bagi pengembangan sumber daya manusia. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

Educating girls and women is probably the single most effective investment a developing country can make, whether or not women work outside the home. It creates a multitude of positive remunerations for families including better family health and nutrition, improved birth spacing, lower infant and child mortality, and enhanced educational attainment of children63

(Mendidik para gadis dan perempuan adalah investasi paling efektif dalam membangun bangsa, baik perempuan itu bekerja di luar rumah atau tidak. Ini menciptakan banyak manfaat positif bagi keluarga, termasuk kesehatan keluarga dan nutrisi, meningkatnya jarak kehamilan, menurunnya angka kematian bayi dan anak, dan meningkatnya tingkat pendidikan anak).

Dokumen terkait