• Tidak ada hasil yang ditemukan

Radikal Bebas dan Antioksidan

Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal bebas dan antioksidan. Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Reaksi oksidasi terjadi setiap saat, ketika kita bernafas reaksi oksidasi juga terjadi. Reaksi oksidasi dapat menimbulkan radikal bebas yang sangat aktif dan dapat merusak struktur dan fungsi sel. Tetapi reaktivitas radikal bebas dapat dihambat oleh system anti oksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh (Winarsih, 2007).

Dalam kehidupan aerobik, oksigen mempunyai beberapa peranan penting antara lain memproduksi energi, mensintesis berbagai senyawa esensial, menurunkan aktivitas molekul yang tidak dikehendaki dan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Pada orang dewasa, oksigen yang dikonsumsi 90-95 % akan diubah oleh proses respirasi di dalam mitokondria menjdi air (H2O). Sekitar 5-10% sisanya akan mengalami reduksi univalent atau bivalent menghasilkan senyawa oksigen reaktif, yaitu: radikal superoksida, hydrogen peroksida dan hidroksi radikal (Estaerbauer 1993; Wuryastuti 2000).

Untuk pertahanan diri terhadap senyawa kimia yang berbahaya dan mikrobah patogen yang masuk ke dalam tubuh, terdapat suatu sistem detoksikasi

39 dan respon imunologik yang melibatkan berbagai organ tubuh. Mekanisme detoksifikasi ditunjukan untuk menanggulangi senyawa-senyawa kimia asing seperti logam berat, pestisida, insektisida dan lain-lain. Berbagai logam berat dan logam transisi telah diketahui sebagai katalis radikal bebas (Halliwel et al.1992). Mekanisme detoksifikasi dapat meliputi pembentukan senyawa radikal (elektrofil) dan radikal bebas. Reaksi ini terjadi didalam hati melalui system enzim monooksigenase sitokrom P-50 (Zakaria 1996). Jumlah P-450 dalam hati tergantung ukuran tubuh dan jangka hidup serta berbanding terbalik dengan kemampuan jaringan membentuk peroksida. Selain itu, sitokrom P-450 memproduksi sejumlah besar oksigen aktif, dan NADPH-sitokrom P-450 reduktase yang membantu dalam pembentukan oksigen radikal.

Radikal Bebas

Radikal bebas, yang sering disebut sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR) adalah sebagai atom atau molekul yang mempunyai satu atom lebih yang tidak berpasangan pada orbital luarnya (Halliwell et al. 1992). Ada dua cara untuk terbentuknya radikal bebas yaitu: secara endogen, sebagai respon normal dari rantai biokimia di dalam tubuh, sel (intrasel) maupun ekstrasel; secara eksogen radikal bebas diperoleh dari polusi, makanan dan penyerapan kulit (Supari 1996). Radikal bebas dan senyawa reaktif yang diproduksi dalam jumlah normal sesungguhnya berperan penting dalam menjalankan fungsi biologik seperti sel darah putih menghasilkan H2O2 untuk membunuh beberapa jenis bekteri (Wuryastuti 2000). Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam upaya mendapat pasangan elektronnya, dan dapat membentuk radikal bebas baru dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya (Muhilal 1991).

Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron. Sebagai dampak kerja radikal bebas tersebut akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul elektronnya untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Tetapi apabila dua senyawa radikal bertemu dengan elektron-elektron yang tidak berpasangan, dan kedua senyawa tersebut akan bergabung membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sedangkan bila radikal bebas

40 bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas akan berpasangan dengan jalan:1. Radikal bebas memberikan elektronnya yang tidak berpasangan (reduktor) yang bukan radikal: 2. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas dan 3. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007; Halliwell et al. 1992).

Menurut Sadikin (2001), serangan radikal bebas terhadap molekul sekelilingnya akan menyebabkan terjadinya reaksi berantai, kemudian menghasilkan senyawa radikal baru. Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas dapat bermacam-macam dimulai dari kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif hingga kanker. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan di berbagai bagian sel, karena sangat reaktif dalam gerakan yang tidak beraturan (Halliwell et al. 1992; Muhilal 1991). Kerusakan dapat terjadi pada komponen penyusun membran sel seperti asam lemak tak jenuh yang merupakan bagian dari fosfolipid, kerusaakan lebih lanjut terjadi pada organel sel sampai pada kerusakan DNA di dalam inti (Halliwel 2005).

Pembentukan radikal bebas pada awalnya diketahui terjadi di netrofil dan makrofag yang terinfeksi mikroorganisme (Jenssen et al. 1993). Radikal anion superoksida (O2٭

-) dapat dibentuk dari oksigen tereduksi menjadi air dengan penambahan 4 elektron selama proses fosforilasi oksidatif. Radikal anion kemudian akan dubah menjadi peroksida (H2O2) oleh enzim superoksid dismutase. Oksigen yang teraktivasi dapat terjadi dalam brbagai sel, termasuk mitokondra, glioksosom, perioksisom dan sitosol (Elastner,1991). Ion superoksida terbentuk dalam kloroplas, mitokondria dan peroksisom merupakan senyawa oksigen yang sangat reaktif (Fridovich 1986). Molekul H2O2 dapat tereduksi membentuk radikal hidroksil (OH٭) yang sangat aktif dengan adanya ion logam melalui reaksi feton (Breen & Murphy 1995). Radikal hidroksil dapat juga terbentuk akibat reaksi non enzimatis selama pemaparan radiasi ion (Clark et al. 1987).

Peroksidasi lipid dapat mempegaruhi struktur dan fungsi membran seperti: penurunan kandungan relatif asam eikosapentaenoat (C20:5) dan asam dokosaheksaenoat (C22:6), pembentukan lipid hidroksi peroksida yang dapat merangsang atau menghambat enzim spesifik yang berhubungan dengan

41 biomembran. Selain itu terjadinya oksidasi tiol grup dapat mempengaruhi aktivitas enzim di dalam membran, konformasi protein yang berhubungan dengan lipoprotein, penurunan fluiditas lipid biomembran. Terbebasnya produk pecahan dari peroksidasi lipid akan menghasilkan efek-efek kerusakan sel (Donelly & Robinson 1990). Bahan aditif pangan seperti asam karmiat dapat membentuk radikal bebas yang berperan sebagai inisiator dalam proses peroksidasi lipid sehingga menimbulkan kerusakan jaringan (Zakaria 1996).

Penelitian terhadap radikal bebas dan antioksidan sampai saat ini cukup menarik. Telah diketahui bahwa berbagai pengaruh radikal bebas dapat menyebabkan kanker, penyakit jantung koroner, rematik, gangguan respiratorik, hepar, diabetes melitus dan proses penuaan. Akibat kerusakan sel ini dapat mengakibatkan terjadinnya berbagai penyakit degenertif. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan bahwa reaksi senyawa elektrofil dapat diredam oleh antioksidan (Esterbeurer 1991; Thies & Siege 1989). Radikal bebas di dalam tubuh dapat dicegah pembentukannya dengan menghindari sinar matahari, langsung, asap rokok, polusi udara, serta meningkatkan asupan makanan yang kaya akan senyawa antioksidan seperti sayuran, buah-buahan , biji-bijian serta kacang-kacangan.

Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa/ zat yang dalam konsentrasi kecil dapat mencegah reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Secara biologis, antioksidan adalah senyawa yang mampu meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga senyawa oksidan tersebut dapat dihambat reaksinya (Winarsi 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa, konsumsi antioksidan dapat menurunkan kejadian penyakit degeneratif seperti: penyakit jantung koroner, kenker, aterosklerosis dan osteoporosis. Antioksidan dapat meningkatkan status imunologis dan menghambat timbulnya penyakit degeneratif akibat penuaan.

Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting karena berkaitan dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh. Kondisi ini untuk menjaga intergrites

42 dan fungsinya lipid, protein sel, asam nukleat dan mengontrol tranduksi sinal yang diekspresikan gen dalam imun. Komponen terbesar penyusun membrane sel adalah senyawa asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh sangat sensitif terhadap perubahan keseimbangan oksidan-antioksidan. Membran merupakan barier penting agar sel dapat berfungsi normal, demikian juga dengan sistem membran sel imun terhadap serangan berbagai benda asing (antigen). Sehingga sel imun membutuhkan antioksidan dalam jumlah besar dibandingkan sel-sel lainnya (Meydani et al. 1995; Winarsi 2007). Pada kondisi patologis, keseimbangan normal antara produksi senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan pertahanan antioksidan akan mengalami gangguan. Efek semua ini dapat menggoyahkan rantai oksidasi-reduksi normal sehingga terjadi kerusakan oksidatf jaringan yang disebut sebagai stress oksidatif (Halliwell & Chirico 1993).

Antioksidan dapat dikatagorikan menjadi dua golongan yaitu, 1) golongan zat gizi seperti vitamin A dan karotenoit, vitamin E, C dan B2, Zn, Cu, Se dan protein; 2) zat non gizi seperti biogenik amin, senyawa fenol (tirosol, vanillin, asam vanilat, karpakrol, gingerol, zingiron), senyawa polifenol (flavonoid, flavon, flavonol, heterosida flavonoat, kalkon auron, biflavonoid), tanin (asam galat, asam elegat, proantosianidin) dan komponen tetrapirolik (klorofil dan feofitin) (Belleville-Nabet 1996).

Menurut Krinsky (1992), antioksidan biologi dapat dibagi berdasarkan proses enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik adalah superoksida dismustase (SOD), katalase dan selenium glutation peroksidase. Antioksidan non-enzimatik adalah antioksidan larut lemak (tokoferol, karotenoid, flavonoid, kuinon dan bilirubin); antioksidan larut air (asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme). Antioksidan enzimatik dan non enzimatik saling bekerja sama dalam memerangi senyawa oksidan di dalam tubuh. Stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-enzim antioksidan dan antioksidan non enzimatik.

Berabagai antioksidan telah banyak diteliti dan diketahui fungsinya. Antioksida non enzimatis banyak dijumpai dalam sayuran dan buah-buahan. Kahkonten et al. (1999) menyatakan bahwa komponen antioksidan yang terdapat dalam sayuran dan buhan-buahan berupa vitamin C, E, β karoten, flavonoid,

43 isoflavon, flavon, antisianin, katekin dan isokatekin. Senyawa-senyawa fitokimia ini membantu melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas.

Komponen sayuran, buah-buahan dan komponen penyusunnya telah banyak dibuktikan oleh beberapa peneliti terhadap efek hiperkolesterolemia. Stasse-Wolthuis (1980) menyatakan bahwa konsumsi sayuran 570 g/hari dan apel segar 600 g/hari mampu menurunkan kolesterol sebesar 4%. Menurut Sable-Amplis et al. (1983) konsumsi apel 350 - 400 g/hari dapat menurunkan kolesterol sebanyak 8-11%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Robertson at al. (1976), dengan mengkonsumsi wortel sebanyak 200 g/hari ternyata dapat menurunkan konsentrasi kolesterol sebesar 11%.

Vitamin C atau biasa dikenal sebagai L-asam askorbat merupakan antioksidan yang larut dalam air, mempunyai kemampuan sebagai scavenger radikal bebas di sitoplasma. Vitamin C tidak berfungsi sebagai scavenger radikal lipid di dalam reaksi propagasi, tetapi mempunyai kemampuan dalam menurunkan oksidasi vitamin E (Siekmeier et al. 2007). Zakaria et al. (1996) menyatakan, senyawa tersebut merupakan bagian dari sistem tubuh terhadap senyawa oksiogen reaktif dalam plasma dan sel. Bentuk Isomer-L vitamin C mempunyai aktivitas lebih besar dibaningkan dengan isomer-D.

Menurut Levine et al. (1995), sebagai antioksidan vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan cara: memindahkan satu elektron ke ion Cu2+; memberikan elektronnya ke dalam reaksi biokimia intraselular dan ekstraselular; menghilangkan oksigen reaktif di dalam sel netrofil, monosit, protein lensa, dan retina; diluar sel mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif dan mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer elektron ke dalam tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam di dalam saluran pencernaan.

Vitamin E yang disebut α-tokoferol merupakan antioksidan yang larut di dalam lemak, dan banyak terdapat di dalam eritrosit maupun lipoprotein plasma. Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi sebagai donor ion hidrogen yang mampu mengubah radikal peroksil (hasil oksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga mampu mencegah kerusakkan rantai asam lemak. Menurut Siekmeier et al. (2007), menyatakan bahwa vitamin E mampu

44 menghambat pembentukkan oksidasi LDL dari trombin yang dilakukan secara in vitro. Secara alami vitamin E mempunyai 8 isomer yang dikelompokkan dalam 4 tokoferol (α, β, γ,δ) dan 4 tokotrienol (α, β, γ,δ) yang homolog. Vitamin E ini telah diketahui dan dipercaya dapat berfungsi sebagai antioksidan potensial. Asupan vitamin E mampu menrurunkan penyakit aterosklerosis dengan cara melindungi LDL dari oksidasi. Antioksidan vitamin E mampu bereaksi dengan radikal bebas pada mebran lipid membentuk radikal vitamin E yang sedikit reaktif.

Menurut Halliwell et al. (1992), radikal vitamin E dapat mengalami regenerasi dengan adanya glutation atau asam askorbat melelui mekanisme sebagai berikut: 1. Tokoferol memindahkan atom hidrogen yang mempunyai elektron tunggal sehingga dapat menhilangkan radikal bebas peroksil lebih cepat dibandingkan dengan rantai radikal. 2. Radikal tokoferol yang tidak reaktif akan dieliminasi oleh asam askorbat. 3. Radikal tokoferol akan bereaksi dengan ubikuinon di dalam mitikondria kemudian dioksidasi lebih lanjut menjadi kuinon yang dapat diekskresikan melalui urin.

Penelitian tentang mekanisme penghambatan awal aterosklerosis ditingkat seluler masih perlu dilakukan. Aterosklerosis, dapat menyebabkan infraksi sel-sel otot jantung, stroke iskhemik yang merupakan penyakit radang (Hanson 2009). Seperti telah diuraikan sebelumnya, LDL yang teroksidasi merupakan salah satu penyebab terjadinya plak ateroma. Proses oksidasi LDL merupakan suatu mekanisme pembentukan LDL abnormal pada dinding arteri. Dengan mengkaji dan mengetahu efek kurkuminoid ekstrak temu mangga, back to nature merupakan alternatif terbaik bagi masyarakat dalam pencegahan dini terhadap kejadian PJK. Hal ini ditunjang dengan studi epidemiologi yang telah banyak dilakukan bahwa, PJK merupakan salah satu penyebab utama kematian yang melebihi angka kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi.

Dokumen terkait