BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.3. Radikal Bebas
Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, dapat bereaksi dengan molekul lain menimbulkan reaksi rantai yang sangat dekstruktif (Soeatmadji, 1998; Goldmann and Klatz, 2003). Pengertian radikal bebas dan oksidan sering dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat, serta memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda (Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).
2.3.2 Sifat-sifat Radikal Bebas
Radikal bebas memiliki reaktifitas tinggi, adanya satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang atau menarik elektron molekul yang berada di sekitarnya (Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, dengan kata lain radikal bebas dapat mengubah suatu molekul atau senyawa menjadi suatu radikal bebas baru, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi rantai (chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010).
Pemahaman radikal bebas sebagai oksidan memang tidak salah. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik elektron. Pengertian oksidan dalam ilmu kimia adalah, senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menerima atau menarik elektron, disebut juga oksidator, misalnya ion ferri (Fe +++)
Fe3+ + e- → Fe2+
Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya, dibandingkan dengan senyawa non radikal (Halliwell and Gutteridge, 1985; Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).
Reaktivitas dari radikal bebas baru akan berhenti bila ada peredam atau diredam (quenched) oleh senyawa yang bersifat antioksidan, seperti glutation (Winarsi, 2010).
•OH + GSH H2O + GS• (Radikal glutation)
GS• + GS• GSSG
2.3.3 Sumber Oksidan
Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber (Halliwell dan
Gutteridge, 1985) yaitu :
1. Yang berasal dari tubuh sendiri, yaitu senyawa-senyawa yang sebenarnya berasal dari proses-proses biologik normal (fisiologis), namun oleh suatu sebab terdapat dalam jumlah besar.
2. Yang berasal dari proses peradangan
3. Yang berasal dari luar tubuh, seperti misalnya : obat-obatan dan senyawa pencemar (polutan).
4. Radiasi.
Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus menerus, baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan respon terhadap pengaruh dari luar, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok dll. Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga meningkat. Secara endogenus, hal ini bekaitan dengan laju metabolisme seiring dengan betambahnya usia. Bertambahnya glikolisis juga akan menyebabkan peningkatan oksidasi glukosa dalam siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan terbentuk lebih banyak. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010).
2.3.4 Tahap Pembentukan Radikal Bebas
Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan reaksi berikut
1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, menjadikan senyawa non radikal menjadi radikal. Misalnya:
Fe ++ + H2O2 Fe +++ + OH- + •OH R1 _H + •OH R1• + H2O
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal, dimana reaksi berantai radikal bebas diperluas sehingga membentuk beberapa radikal bebas baru.
R2_H + R1• R2 • + R1_H R3_H + R2• R3 • + R2_H
3. Tahap terminasi, yaitu pembentukan non radikal dari radikal bebas, bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah..
R1 • + R1 • R1_R1 R2 • + R1 • R2_R1
R2 • + R2 • R2_R2 dan seterusnya (Winarsi, 2010) :
2.3.5 Senyawa Oksigen Reaktif
Pada dasarnya radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara eksogen (misalnya dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Supari, 1996).
Teraktivasinya oksigen dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksigen, yang disebut anion superoksida (O2● ). Secara invitro senyawa radikal ini akan membentuk kompleks dengan senyawa organik. Banyak faktor yang menyebabkan senyawa tersebut membentuk kompleks, antara lain adanya sifat permukaan membran, muatan listrik, sifat pengikatan makromolekul, dan bagian enzim, substrat, maupun katalisator. Senyawa kompleks ini dapat terjadi pada berbagai sel yang masih normal maupun tidak normal atau telah teraktivasi (Belleville-Nabet, 1996).
Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (SOR), dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya, sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk memusnahkan senyawa oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu adalah sistem antioksidan enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan. Oksigen teraktivasi juga dapat terbentuk karena fungsi enzim atau sistem transfer elektron terganggu. Sebagai akibatnya adalah gangguan metabolik yang mengakibatkan stres oksidatif (Winarsi, 2010).
Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O2), yaitu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya manusia. Senyawa oksigen ini
digunakan organisme aerob untuk menghasilkan energi berupa ATP, melalui proses fosforilasi oksidatif dalam mitokondria, dengan reaksi sebagai berikut.
2NADH + 2H+ + O2 2NAD+ + 2H2O + energi
ADP + energi ATP
Dalam proses ini, 1 molekul oksigen akan tereduksi menjadi 2 molekul air menurut reaksi sebagai berikut.
O2 + 4H+ + 4e- 2H2O
Reduksi satu molekul oksigen menjadi dua molekul air terjadi dengan memindahkan empat elektron. Namun dalam keadaan tertentu, proses pemindahan elektron ini tidak terjadi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terjadinya senyawa oksigen reaktif. Adapun tahapan pembentukan senyawa oksigen reaktif adalah sebagai berikut. O2 + e - O2-• O2 + e- + H+ • OOH O2 + 2e- + 2H + H2O2 O2 + 3e- + 3H + • OH + H2O O2 + 4e - + 4H + 2H2O
Dari tahapan reaksi tersebut, tampak bahwa radikal ion superoksida, radikal peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terbentuk sebagai akibat pemindahan elektron yang kurang sempurna dalam proses reduksi oksigen (Winarsi, 2010).
Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif menyebabkan stres oksidatif yang mengakibatkan berbagai penyakit. Kejadian ini diawali oleh reaksi oksidasi dalam tubuh. Bahkan meningkatnya kejadian penyakit kardiovaskuler, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker diyakini berkorelasi positif dengan tingginya radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif dalam tubuh (Winarsi, 2010).
2.3.5.1 Radikal Ion Superoksida (O2●)
Radikal ion superoksida disebut juga anion superoksida. Senyawa ini diproduksi di beberapa tempat yang memiliki rantai transpor elektron. Oksigen teraktivasi dapat terjadi dalam berbagai bagian sel, termasuk mitokondria, kloroplas, mikrosom, glikosom, peroksisom, dan sitosol (Elstner, 1991).
Pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme sebagai berikut (Cadenas and Packer, 2002 (a)):
1. Reaksi samping dalam reaksi yang melibakan Fe++, misalnya dalam proses: a. Fosforilasi oksidatif
b. Oksigenasi hemoglobin
c. Hidroksilasi oleh enzim monooksigenase (dalam sitokrom P450 dan sitokrom b4)
d. Fe++ + O2 Fe+++ + O2•-
2. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH oksidase.
NADH + O2 NAD+ + H+ + O2•-
3. Reaksi yang dikatalisis oleh xantin oksidase (XO) XH + H2O + 2 O2 XO X-OH + 2 O2•- + 2 H+
Xantin Asam urat
Dalam keadaan normal, di dalam sel mamalia tidak terdapat enzim xantin oksidase. Enzim ini berasal dari enzim xantin dehidrogenase (XD) yang mengalami proteolisis dan berubah menjadi xantin oksidase (XO), ketika terjadi iskemia atau hipoksia.
XD XO + peptida
Xantin oksidase
Perubahan xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase bersifat irreversibel. Artinya bila suplai oksigen kembali normal maka akan terbentuk senyawa lain, yaitu ion superoksida yang lebih reaktif yang mengakibatkan kerusakan jaringan.
2.3.5.2 Radikal Peroksil (●OOH)
Sebetulnya ion superoksida tidak terlalu reaktif bila dibandingkan dengan bentuk perubahannya yang berupa radikal peroksil.
O2•- + H+ ●OOH
Radikal peroksil
Radikal peroksil ini sangat reaktif, dan akan membentuk radikal baru melalui reaksi sebagai berikut.
●OOH + XH ●X + H2O2
Dari reaksi ini terlihat bahwa radikal peroksil lebih berbahaya daripada H2O2 (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007).
Hidrogen peroksida (H2O2) terbentuk karena aktivitas enzim-enzim oksidase yang mengkatalisis reaksi dalam retikulo endoplasmik (mikrosom) dan peroksisom.
RH2 + O2 R + H2O2
Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidan yang sangat kuat dan dapat mengoksidasi berbagai senyawa dalam sel, seperti glutation.
2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O
Hidrogen peroksida tidak hanya bersifat sebagai oksidator, melainkan juga dapat membentuk radikal bebas, bila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe++ dan Cu+ dalam reaksi Fenton.
Fe++ + H2O2 Fe+++ + OH- + ●OH Cu+ + H2O2 Cu ++ + OH- + ●OH
Efek negatif yang lain dari oksidator hidrogen peroksida adalah kemampuannya untuk membentuk ion hipoklorit (ClO-) melalui reaksi yang dikatalisis oleh enzim mieloperoksidase dalam sel inflamasi, seperti granulosit, monosit, dan makrofag (Cadenas and Packer, 2002 (a)).
H2O2 + Cl- H2O + ClO-
R + ClO- RO + Cl-
2.3.5.4 Radikal Hidroksil (●OH)
Keberadaan senyawa H2O2 dapat berbahaya bila bersama-sama ion superoksida karena akan membentuk radikal hidroksil (OH●) melalui reaksi Haber-Weiss berikut.
O2●- + H2O2 O2 + OH- + ●OH
Reaksi Haber-Weiss memerlukan ion Fe+++ atau Cu++ dan terjadi melaui dua tahap.
Fe+++ + O
2●- Fe++ + O2
Fe+++ + H2O2 Fe+++ + OH- + ●OH
Dari berbagai bentuk senyawa oksigen reaktif tersebut, radikal hiroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil bukan merupakan produk primer proses biologis, melainkan berasal dari H2O2 dan O2●- (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007).
2.3.5.5 Singlet Oksigen (1O2)
Singlet oksigen merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen bentuk ground state. Senyawa ini akan terbentuk melaui reaksi yang dikatalisis oleh enzim-enzim (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007):
a. Enzim monooksigenase yang menggunakan sitokrom P450 dengan substrat peroksida.
b. Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase, yaitu suatu enzim yang bekerja dalam pembentukan prostaglandin dalam asam arakidonat.
c. Enzim mieloperoksidase, yang mengkatalisis reaksi hipoklorit dengan H2O2.
2.3.6 Stres Oksidatif
Tubuh dapat mengatasi radikal bebas, namun jika radikal bebas yang dihasilkan melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif (Wiyono, 2003). Stres
oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan, untuk meredam efek buruk radikal bebas, yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001).
2.3.6.1 Dampak Negatif Senyawa Oksigen reaktif
Senyawa oksigen reaktif merusak komponen sel, sehingga ketahanan integritas dan kehidupan sel terganggu. Dampak dari senyawa oksigen reaktif sangat luas dan mekanisme molekulernya masih belum terkuak secara jelas (Bagiada, 2001).
2.3.6.2 Dampak Negatif Radikal Hidroksil
Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya. Merusak tiga jenis senyawa. yang penting untuk mempertahankan integritas sel (Halliwel dan Cross, 1994), yaitu:
a. Asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel.
b. DNA, yang merupakan perangkat genetik
c. Protein, yang memegang berbagai peran penting, seperti enzim, reseptor, antibodi dan penyusun matriks serta sitoskeleton.
Dampak terhadap membran sel, dapat menyerang komponen penting membran sel seperti: asam linoleat, linolenat dan arakidonat, yang dapat menimbulkan reaksi rantai peroksidasi lipid. Terputusnya rantai asam lemak tidak jenuh menghasilkan
senyawa toksik seperti: aldehid, MDA, 9-OH noneal,etana, F2-Isoprostan dan lain-lain. Juga dapat membentuk ikatan silang (cross-linking) (Cadenas and Packer, 2002 (a) (b); Winarsi, 2007).
Dampak terhadap DNA, hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin serta terputusnya rantai fosfodiester DNA, replikasi sel terganggu. Terjadi mutasi, bila sistim perbaikan DNA terlampaui atau terjadi error prone (bila sistim perbaikan DNA salah) (Winarsi, 2007). DNA mitokondria (mtDNA) merupakan target utama senyawa oksigen reaktif (SOR). Paparan senyawa oksigen reaktif pada mtDNA, ditemukan pada penderita berbagai penyakit degeneratif yang berkaitan dengan aging. Akibatnya adalah penurunan fungsi mitokondria, dan bahkan kerusakan pada mtDNA. Kerusakan pada mitokondria , dapat digunakan sebagai biomarker pada penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh senyawa oksigen reaktif (Yakes and Van Houten, 1997).
Dampak terhadap protein, terjadi reaksi dengan asam amino penyusun protein dan yang paling rawan adalah sistein (SH)= ikatan sulf hidril
RSH + •OH RS• + H2O RS. + RS. R-S-S-R
Ikatan S-S (disulfida linkage), menyebabkan protein kehilangan aktivitasnya (Winarsi, 2007)
Melawan/membunuh organisme patogen yang dihasilkan oleh granulosit, makrofag dan monosit. Bila produksi oksidan berlebihan menimbulkan kerusakan jaringan (Bagiada, 2001).
2.3.7 Pengukuran Peroksidasi Lipid
Peroksidasi lipid terjadi dalam beberapa tahapan. Banyak teknik tersedia untuk mengukur tingkat peroksidasi, hilangnya substrat asam lemak penyebab terjadinya rantai peroksidasi lemak, sehingga prinsipnya secara sederhana pengukuran peroksidasi adalah untuk menguji hilangnya asam lemak, salah satunya dengan mengukur kadar f2-isoprostan, yang merupakan produk akhir yang toksik dari peroksidasi lipid (Cadenas and Packer, 2002 (b)).
F2-isoprostan dapat ditemukan di jaringan dan cairan tubuh (termasuk urin) manusia dan hewan, yang mengandung f2-isoprostan dan metabolitnya dalam tingkat rendah ( ̴ 30-40 pg/mL di plasma segar manusia, ̴ 2 ng/mg kreatinin di urin manusia). Tingkat f2-isoprostan in vivo meningkat dalam kondisi stres oksidatif (misalnya dalam plasma dan urin perokok, dalam nafas penderita asma, pada penderita diabetes, dalam cairan paru yang terpapar O2 tinggi, dalam plasma tikus yang kelebihan beban besi, dan pada hewan yang diberi perlakuan dengan CCl4. Isoprostan juga dapat terbentuk dalam makanan, tetapi berkontribusi sedikit untuk kadar plasma pada manusia (Cadenas and Packer, 2002 (a) (b)).