• Tidak ada hasil yang ditemukan

Radio Communication

Dalam dokumen Teori dan Aplikasi Hasnawir (Halaman 56-71)

Ken to n g an Mon ito ring sed im en

42

Sistem peringatan berbasis ambang batas empiris menggunakan komponen terkait dengan prakiraan curah hujan, real-time pengamatan curah hujan dan ambang batas curah hujan dengan tanah longsor atau aliran debris. Sistem peringatan ini pertama kali dikembangkan oleh USGS di San Francisco (Keefer et al., 1987; Wilson danWieczorek, 1995). Sistem peringatan ini didasarkan pada perkiraan kuantitatifcurah hujan (6 jam curah hujan mendatang) dari kantor pelayanan cuaca nasional dalam sebuah sistem jaringan alat pengukur curah hujan real-time lebih dari 40 buah secara terus menerus dan ambang batas curah hujan yang menginisiasi tanah longsor (Cannon dan Ellen, 1985).

Sistem serupa juga dikembangkan di Hong Kong (Brand et al., 1984.), Italia (Sirangelo dan Braca, 2001), Jepang (Onodera et al., 1974), Selandia Baru (Crozier, 1999), Afrika Selatan (Gardland dan Olivier, 1993) dan Virginia (Wieczorek dan Guzzetti, 1999). Di Hong Kong telah menerapkan sistem komputer secara otomatis untuk sistem peringatan tanah longsor dan ini merupakan sistem yang pertama kali di dunia untuk pendugaan tanah longsor (Premchitt, 1997). Sistem peringatan tanah longsor ini berdasarkan perkiraan curah hujan jangka pendek dan sistem ini dilengkapi alat pengukur curah hujan sebanyak 86 buah. Peringatan akan tanah longsor umumnya dikeluarkan jika dalam 24 jam hujan diperkirakan akan melebihi 175 mm atau dalam satu jam curah hujan diperkirakan akan melebihi 70 mm. Dalam situasi seperti ini radio lokal dan stasiun televisi diminta untuk menyiarkan peringatan kepada publik secara berkala.

Ketika mengidentifikasi ambang batas peringatan maka adalah penting untuk mempertimbangkan dua hal pokok yaitu kecenderungan untuk memicu ambang batas dan masalah logistik yang bisa terjadi selama prosedur darurat evakuasi. Misalnya, batasan peringatan dapat didefinisikan sebagai kurva yang sejajar dengan ambang memicu (kurva A pada Gambar 18), atau kurva yang ditetapkan sebagai waktu kritis “∆tc

43

(yaitu waktu minimum yang diperlukan untuk mengevakuasi penduduk dari bahaya), bersifat konstan tidak terpengaruh dari jalur hujan dari curah hujan kritis, ∆tc1= ∆tc2 (kurva B pada Gambar18). Sedangkan diagram alir proses pengeluaran peringatan dini terhadap tanah longsor dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 18: Kurva peringatan bencana sedimen berdasarkan ambang batas curah hujan. Kurva peringatan didefinisikan sebagai batas di mana jika terlampaui maka prosedur keadaan darurat segera dilakukan (modifikasi dari Aleotti, 2004).

T

KONDISI TIDAK STABIL

KONDISI STABIL 120 80 40 0 0 10 20 30 40 T O TA L C U R A H H U JA N ( m m )

WAKTU (Jam) (DURASI HUJAN) Dtc1

Dtc0 Dtc2

Dtl1 Dtl2

44

Gambar 19: Diagram alir proses pengeluaran peringatan dini terhadap tanah longsor (dimodifikasi dari Aleotti, 2004).

KEADAAN KRITIS Melebihi KEADAAN BIASA Ambang?

Penilaian bahaya longsor pada wilayah terkait

Longsor mengancam

wilayah?

MULAI PROSEDUR PERINGATAN DINI

Pengambilan data hujan sebelumnya (15 hari)

Pengambilan data hujan berjalan (real-time)

Pengambilan statistik hujan berjalan (MAP, kala ulang dll)

Identifikasi awal kumulatif dari pengukuran berjalan Identifikasi awal hujan kritis

(to) Hujan berakhir (min. 6 jam Waktu kritis Dtc meningkat Melebihi ambang peringatan KEADAAN KRITIS BERAKHIR PEMBERIAN PERINGATAN DINI

Mulai prosedur darurat (Evakuasi) Gambar lintasan hujan pada

kurva ambang PRAKIRAAN HUJAN

REGIONAL

Ulangi prakiraan hujan

Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya U la ngi pr aki ra an huj an Ya

45

Suatu penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan tentang ambang batas curah hujan terhadap tanah longsor khususnya tanah longsor dangkal. Penelitian ini menunjukkan bahwa durasi hujan pendek dengan intensitas curah hujan tinggi memicu tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menunjukkan pula bahwa intensitas curah hujan di atas 50 mm/jam dapat menyebabkan tanah longsor dangkal yang dapat mengakibatkan kerusakan harta benda dan kehilangan jiwa manusia (Gambar 20, 21 dan Gambar 22).

Gambar 20:Tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan.

Gambar 21: Ambang batas curah hujan untuk tanah longsor dangkal di Provinsi Sulawesi Selatan, di atas garis peringatan kemungkinan tanah longsor dangkal terjadi (Hasnawir et al., 2012). I= 52D-0.79 0 1 10 100 1 10 100 In te n si ta s (m m /ja m ) Durasi (jam)

46

Gambar 22: Distribusi tanah longsor dangkal dengan kondisi: a) curah hujan, b) elevasi, c) geologi dan d) tipe tanah di Sulawesi Selatan.

a) b)

d)

c)

47

Beberapa kendala yang dihadapi di Indonesia terutama pada daerah-daerah pengunungan dalam menerapkan sistem peringatan dini terhadap bencana sedimen salah satunya adalah ketersediaan dan keterbatasan informasi curah hujan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat penakar curah hujan yang tersedia. Secara sederhana untuk memonitoring curah hujan dapat menggunakan botol plastik ataupun desain sederhana seperti terlihat pada Gambar 23 di bawah ini. Selain itu dapat pula mengaplikasikan suatu alat sensor peringatan terhadap tanah longsor, aliran debris ataupun kegagalan lereng jarak jauh hasil rekayasa alat dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar seperti ditunjukkan pada Gambar 24.

Gambar 23: Penakar curah hujan sederhana dengan botol plastik dan desain alat sederhana penakar hujan hasil rekayasa Balai Penelitian Kehutanan Makassar yang dapat digunakan untuk aplikasi peringatan bencana sedimen.

Bagian saluran hujan

Bagian menampung hujan

48

Gambar 24: Alat sensor peringatan tanah longsor hasil rekayasa Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Alat ini mendeteksi tanah longsor yang ditempatkan pada daerah yang berisiko tinggi untuk runtuh.

49 4.2 Kasus-Kasus Evakuasi

Hampir setiap hari orang mengungsi dari rumah, kantor, tempat umum, bahkan kapal, dalam menanggapi ancaman aktual atau diprediksi suatu bahaya atau bencana. Evakuasi adalah aksi utama dari perlindungan atas bencana seperti banjir, tsunami, letusan gunung berapi dan tanah longsor atau aliran debris.

Beberapa kasus evakuasi yang berhasil di Jepang terutama kasus bencana sedimen, misalnya, di Fudonokuchi pada tahun 1981, ketika penduduk mengalami bencana sedimen. Penduduk dievakuasi 3 jam sebelum terjadinya aliran debris skala besar (Tabel 8). Sumikawa-Akita vulkanik daerah, di mana pada tahun 1997 tanah longsor terjadi disertai aliran debris. Peringatan diberitahu dengan klakson mobil, penduduk dievakuasi. Beberapa jam kemudian, longsor terjadi disertai aliran debris. Pada tahun 1997 di Nagasaki, hujan deras memicu tanah longsor skala besar. Rumah-rumah terkubur di bawah tanah tebal, akan tetapi penduduk sudah dievakuasi. Keberhasilan evakusi di Nagasaki disebabkan beberapa hal antara lain; observasi pergerakan tanah dan seorang pria bijaksana memberitahukan melalui sistem informasi, dan juga kerjasama yang baik dari pihak terkait serta waktu peringatan untuk evakuasi yang tepat (Tabel 9).

50

Tabel 8: Evakuasi dari aliran debris di Misugi, Jepang pada tanggal 1-8-1982 (Omura, 2002)

Tabel 9: Evakuasi dari tanah longsor di Nagasaki, Jepang pada bulan Juli 1997 (Omura, 2002)

Waktu Fenomena Mengatasi Tanah Longsor

12:45 Peringatan akan hujan lebat

Menetapkan ukuran peringatan dari kantor pusat

15:00 Gema kuat pada radar Evakuasi garis pertama

16:00 Evakuasi garis kedua

17:13 Evakuasi garis ketiga

Persiapan darurat dari grup pemadam kebakaran

20:00 Curah hujan maksimum

Resesi level air Signal tanda aliran debris

Batu-batu bergulir

21:00 Aliran debris

Tanggal Waktu Fenomena Mengatasi Tanah Longsor

15 rembesan dari celah baru Pemberitahuan yang melihat gejala kepada masyarakat Menetapkan ukuran peringatan dari kantor pusat

16 Batu-batu kecil jatuh

18 18:20 Tanah longsor skala kecil Pemberitahuan kepada pemerintah kota

19:30 Memulai evakuasi secara spontan

21:00 Meminta 25 keluarga untuk mengungsi

19 1:10 Spontan sebanyak 29 keluarga mengungsi

2:00 Tanah longsor skala kecil

2:18 Tanah longsor skala sedang Formal peringatan bencana di kota 3:00

3:16 Tanah longsor skala besar 63 keluarga dianjurkan mengungsi 3:49

51

5. PENUTUP

Bencana sedimen adalah fenomena yang menyebabkan kerusakan baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia dan harta benda, ketidaknyamanan bagi kehidupan masyarakat, dan atau kerusakan lingkungan, melalui suatu skala besar pergerakan tanah dan batuan. Bencana sedimen khususnya tanah longsor merupakan salah satu tipe bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Mitigasi bencana diperlukan sebagai tindakan untuk mengurangi dampak bencana sedimen yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.

Buku dengan judul “Mitigasi Bencana Sedimen: Teori dan Aplikasi” memuat dasar-dasar teori bencana sedimen seperti faktor mekanis dan faktor pendorong yang mengakibatkan bencana sedimen, mekanisme terjadinya bencana sedimen, konsep mitigasi bencana sedimen, strategi mitigasi bencana sedimen, langkah pengendalian bencana sedimen serta pengembangan sistem peringatan dan evakuasi dari bencana sedimen. Buku ini memuat pula beberapa kasus bencana sedimen dan aplikasi ambang batas curah hujan untuk peringatan dini terhadap bencana sedimen disamping memuat kasus-kasus evakuasi bencana sedimen yang pernah terjadi. Teori dan aplikasi dari mitigasi bencana sedimen khususnya tanah longsor, aliran debris dan kegagalan lereng dalam buku ini diharapkan dapat berkonstribusi dalam menyediakan informasi dan petunjuk dalam upaya mengurangi dampak bencana sedimen di Indonesia.

52

Daftar Pustaka

Aleotti, P. (2004): A warning system of rainfall-induced shallow failure. Engineering Geology, Vol.73, pp.247–265.

Brand, E.W., Premchitt, J. and Phillipson, H.B. (1984): Relationship between rainfall and landslides in Hong Kong. Proc. of theIV International Symposium on Landslides, Toronto, vol. 1, pp. 377–384.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BNPB(2012) : Data Informasi Bencana Indonesia, Jakarta.

Cannon, S.H. and Ellen, S.D. (1985): Rainfall conditions for abundant debris avalanches, San Francisco Bay region, California. Geology, Vol.38, pp.267–272.

Coburn, A.W, Spences, R.J.S.and Pomonis, A. (1994) Disaster Mitigation. Cambridge Architectural Research Limited, United Kingdom. Crozier, M.J. (1999): Prediction of rainfall-triggered landslides: a test of

the antecedent water status model. Earth Surface Processes and Landforms, Vol.24, pp.825–833.

Gardland, G.G. and Olivier, M.J. (1993): Predicting landslides from rainfall in a humid, subtropical region. Geomorphology, Vol. 8, pp.165– 173.

Hasnawir, Kubota T. and Castillo L.S. (2012): Rainfall-induced shallow landslides in South Sulawesi, Indonesia. International Session of Sabo meeting, 23-25 May 2012, Kochi,Japan.

Highland, L.M. and Bobrowsky, P. (2008): The Landslide Handbook-A Guide to Understanding Landslides. Reston, Virginia, U.S. Geological Survey Circular 1325, 129 p.

Ikeya, H. (1976): Introduction to sabo works: The preservation of land against sediment disaster. The Japan Sabo Association, Japan.

53

Keefer, D.K.,Wilson, R.C., Mark, R.K., Brabb, E.E., Brown,W.M.,Ellen, S.D., Harp, E.L., Wieczorek, G.F., Alger, C.S. and Zatkin, R.S. (1987): Real time landslide warning system during heavy rainfall. Science, Vol. 238, pp.921–925.

Ministry of Land, Infrastructure and Transport-Japan (2004): Development of warning and evacuation system against sediment disasters in developing countries.

Omura, H. (2002): Evolution of mitigation strategy of debris flow disaster in Japan. First International Conference on Debris Flow Disaster Mitigation Strategy, 3-4 December 2002, Taipe, Taiwan.

Onodera, T., Yoshinaka, R. and Kazama, H. (1974): Slope failures caused by heavy rainfall in Japan. Proc. of the II International Congress International Association of Engineering Geology, Sao Paulo, Brasil, Vol. 11, pp.1–10.

Premchitt, J. (1997): Warning system based on 24-hour rainfall in Hong Kong. Manual for zonation on areas susceptible to raininduced slope failure. Asian Technical Committee on Geotechnology for Natural Hazards in International Society of Soil Mechanics and Foundation Engineering, pp.72– 81.

Sirangelo, B. and Braca, G. (2001): L‟individuazione delle condizioni dipericolo di innesco elle colate rapide di fango. Applicazione del modello FlaIR al caso di Sarno. Atti del Convegno: „„Il dissesto idrogeologico: inventario e prospettive‟‟, Roma.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun2007 tentang Penanggulangan Bencana (2007) : Presiden Republik Indonesia, Jakarta.

Wilson, R.C. and Wieczorek, G.F. (1995): Rainfall threshold for the initiation of debris flow at La Honda, California. Environmental and Engineering Geoscience , Vol.11, pp.11–27.

54

Wieczorek, G.F. and Guzzetti, F. (1999): A review of rainfall thresholds for triggering landslides. Proc. of the EGS Plinius Conference, Maratea, Italy October 1999, pp. 407– 414.

55 Singkatan-Singkatan

BNPB : Badan Nasional Penanggulangan Bencana BPK : Balai Penelitian Kehutanan

P3KR : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

SATKOR-LAK PB : Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana

SATLAK PB : Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana UN-ISDR : United Nations International Strategy for

Disaster Reduction

UNESCO : United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

USGS : United States Geological Survey UPT : Unit Pelaksana Teknis

56

TENTANG PENULIS

Hasnawir, S.Hut, M.Sc, Ph.D adalah Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Memulai karir peneliti sejak tahun 2000. Menyelesaikan studi doktoral dan master bidang konservasi hutan dan pengendalian erosi padaGraduate School of Bioresource and

Bioenvironmental Sciences, Kyushu University, Japantahun 2010 dan

2007. Sarjana bidang manajemen hutan diperoleh pada Universitas Hasanuddin, Makassar tahun 1998. Beberapa tulisan dimuat pada jurnal internasional antara lain:International Journal of Erosion Control

Engineering,International Journal of Ecology&Development,dan

Journal of Agriculture. Penulis buku dengan judulEarly Warning of

Sediment Related Disasters in Mountain Rangesditerbitkan oleh LAP

LAMBERT Academic Publishing, Germany, tahun 2012.Anggota dari the

Dalam dokumen Teori dan Aplikasi Hasnawir (Halaman 56-71)

Dokumen terkait