• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ramadan, Iktikaf, dan Lailatulqadar

Dalam dokumen Puasa dalam Dimensi Fikih-Sufistik (Halaman 128-132)

lumpur, sehingga aku melihat bekas lumpur itu di wajah beliau.” (Hr. Bukhari).

Hadis di atas menjelaskan bahwa Rasul dan sahabatnya tidak secara eksplisit menyatakan bahwa mereka mengalami

laylatulqadar, dan laylatulqadar itu pasti turun pada bulan

Ramadan. Untuk itu Nabi menganjurkan untuk selalu mencari

lailatulqadar pada seluruh malam bulan Ramadan terutama

malam ganjil di sepuluh terakhir. Seorang muslim yang merasa yakin bahwa laylatulqadar sudah turun malam Ahad 23 Ramadan, itu hanya perasaan yang tidak mengikat orang muslim lain untuk meyakininya. Sebab, jika itu mengikat kaum Muslim lain, maka pencarian laylatulqadar dianggap sudah berakhir, padahal Rasul yang mengalami laylatulqadar masih memerintahkan agar para sahabatnya terus memburunya seperti tersebut dalam hadis di atas. Semoga Bapak mafhum terhadap penjelasan saya ini. Wallahu a’lam.

51. Ramadan, Iktikaf, dan Lailatulqadar

 Penjelasan kiai di Harian Bangsa 14 Agustus 2012 tentang

lailatulqadar terkesan ada korelasi antara puasa, iktikaf dan lailatulqadar itu sendiri, bahkan terkait juga dengan bulan Ramadan. Apa betul iktikaf itu harus dilakukan dalam rangka “memburu lailatulqadar”, yang tentu terjadi pada bulan Ramadan? Mengapa suasana iktikaf pada bulan Ramadan terutama pada sepuluh terakhirnya –sepanjang pengalaman saya– tidak terasa eksistensinya di kalangan kaum Muslim Indonesia? (Atina, Gununganyar Surabaya).

Kiranya lebih baik jika saya memulai penjelasan dengan

takrif iktikaf. Iktikaf secara bahasa berarti diam, tekun, konsisten pada sesuatu. Secara fikih, iktikaf adalah tinggal di masjid dengan niat mendekatkan diri dan ibadah pada Allah. Beberapa ayat dalam Alquran menjelaskan arti bahasa dan fikih di atas. Misalnya Allah berfirman:

ِﻡﺎ َﻘ ﱠﻣ ﻦِﻣ ﺍﻭُﺬ ِﺨﱠﺗﺍَﻭ ﺎًﻨْﻣَﺃَﻭ ِﺱﺎﱠﻨﻠِّﻟ ًﺔَﺑﺎَﺜَﻣ َﺖْيَﺒْﻟﺍ ﺎَﻨْﻠَﻌَﺟ ْﺫِﺇَﻭ

ﺍَﺮ ِّهَﻃ ﻥَﺃ َﻞﻴِﻋﺎَﻤ ْﺳِﺇَﻭ َﻢﻴِهﺍَﺮْﺑِﺇ ٰىَ ِﺇ ﺎَﻧْﺪِهَﻋَﻭ ۖ ىًّ َﺼُﻣ َﻢﻴِهﺍَﺮْﺑِﺇ

ِﺩﻮ ُج ﱡسﻟﺍ ِﻊﱠﻛﱡﺮﻟﺍَﻭ َﻥ ِﻔِﻛﺎَﻌْﻟﺍَﻭ َﻥ ِﻔِﺋﺎﱠﻄﻠِﻟ َ ِ ْﻴَﺑ

“…dan ingatlah ketika Kami jadikan al-bait sebagai tujuan manusia dan tempat yang aman. Jadikanlah makam (maqam) Ibrahim itu sebagai tempat salat. Dan Kami berpesan pada Ibrahim dan Ismail agar Anda berdua selalu mensucikan rumahKu bagi orang-orang yang tawaf, mereka yang iktikaf dan yang rukuk-sujud.” (Qs. al-Baqarah [2]: 125).

Pada ayat ini iktikaf dilaksanakan di “rumahKu”, maksud rumah di sini adalah baitullah/Kakbah dan Masjidilharam. Kemudian, istilah “rumahKu” ini dianalogikan pada semua tempat yang digunakan untuk sujud dan beribadah kepada Allah yang kemudian populer dengan masjid.

Ayat ini juga tidak menentukan waktu dan bulan tertentu untuk melakukan iktikaf. Jadi tata cara dan tempat iktikaf bersifat umum. Rupanya iktikaf sudah menjadi tradisi ibadah di kalangan para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Dalam

konteks ayat di atas adalah syariat ibadah Nabi Ibrahim dan Ismail. Kita tahu bahwa syariat Nabi Muhammad adalah kelanjutan dari syariat Nabi Ibrahim. Pada sisi lain, iktikaf dikaitkan dengan puasa dan harus dilakukan di masjid secara umum. Allah berfirman:

َﻥﻮ ُﻔ ِﻛﺎَﻋ ْﻢُﺘﻧﺃَﻭ ﱠﻦ ُهﻭُﺮ ِﺷﺎَﺒُﺗ َ َﻻَﻭ ِﻞْﻴﱠﻠﻟﺍ ىَ ِﺇ َﻡﺎَﻴ ِّﺼﻟﺍ ﺍﻮﱡﻤِﺗَﺃ ﱠﻢُﺛ

ِﺪ ِﺟﺎ َﺴَ ْﳌﺍ يِ

“…kemudian sempurnakan puasa itu sampai waktu malam; dan janganlah Anda menggauli mereka (para istri) dalam keadaan Anda sedang beriktikaf di masjid…” (Qs. al-Baqarah [2]: 187).

Ayat ini adalah kelanjutan penjelasan tentang tata cara berpuasa yang sebelumnya juga menjelaskan tentang kewajiban berpuasa dan Alquran yang diturunkan pada bulan Ramadan. Jadi rangkaian 4 ayat di surat al-Baqarah [2]: 183-187 menjelaskan keterkaitan antara puasa, Ramadan, Alquran, masjid dan iktikaf.

Rangkaian empat ayat tersebut yang menjadi landasan pemahaman bahwa iktikaf itu terkait dengan puasa,

laylatulqadar (karena Alquran diturunkan pada laylatulqadar),

dan dilaksanakan di masjid. Pemahaman demikian menjadi lebih kuat, karena Rasulullah menurut laporan Ibn Umar, Anas dan Aisyah ra.

َﺮ ْﺸَﻌْﻟﺍ ُﻒ ِﻜَﺘْﻌَي ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ى ﺻ ﷲ ُﻝﻮ ُﺳَﺭ َﻝﺍَﺯ ﺎ َﻣ

ﷲ ﻪ َﻀِﺒَﻗ ّ َﺣ َﺮ ِﺧﺍَﻭَ ْﻷﺍ

“selalu beriktikaf pada sepuluh terakhir di bulan Ramadan sejak beliau tiba di Madinah (hijrah) sampai Allah mewafatkannya.” (Hr. Bukhari, Muslim dan Malik).

Pada sisi lain, Rasul memerintahkan untuk mencari

lailatulqadar pada malam ganjil di sepuluh terakhir bulan

Ramadan seperti hadis yang telah saya paparkan kemarin. Dengan demikian, terdapat korelasi yang sangat kuat antara puasa di bulan Ramadan dan pencarian lailatulqadar dengan cara beriktikaf di masjid. Tradisi iktikaf di sepuluh terakhir di bulan Ramadan itu berlangsung dengan diberi contoh oleh Rasulullah kemudian para sahabatnya (terutama para istri beliau) dan para ulama generasi demi generasi sampai sekarang. Tradisi iktikaf saat ini marak di Makkah, Madinah dan beberapa kota di kawasan negara-negara di Timur Tengah.

Sayangnya tradisi iktikaf ini di kalangan kaum Muslim Indonesia tidak begitu populer. Jika ada yang melakukannya biasanya dilaksanakan di masjid yang terdapat kuburan walinya, seperti masjid Ampel, masjid Kudus, masjid Demak dan lain-lain. Bahkan tujuan kaum Muslim tersebut untuk mendatangai masjid-masjid itu bukan untuk beriktikaf tetapi untuk berziarah ke kuburan wali. Indikatornya, mereka justru mengaji, berzikir dan salat di dekat kuburan tidak di dalam masjid. Cara ibadah yang memilih kuburan wali sebagai “tempat iktikaf ” adalah tradisi yang menyalahi ajaran agama yang lebih utama (khilaf al-aula), jika tidak mau dikatakan sebagai penyimpangan agama (bidah).

Sebetulnya tujuan ajaran iktikaf agar kaum Muslim yang dalam keadaan berpuasa dan diberi motivasi pahala yang sangat besar dengan anugerah laylatulqadar yang hanya diberikan pada umat Muhammad itu agar mereka berkenan merenungi kesalahan dirinya sendiri terhadap semua dosa-dosa yang telah dilakukan dengan memohon rahmat dan magfirah Allah. Dengan demikian, hati mereka menjadi bersih dan sensitif merespon semua qada dan qadar Allah. Indikatornya, ketika mereka membaca Alquran dan berzikir sewaktu-waktu muncul rasa sangat terharu mengharapkan rida-Nya dan sangat takut terhadap siksa-Nya. Rasa haru itu disertai dengan linangan air mata sebagai tangis kebahagiaan atas limpahan rahmat-Nya dan ketakutan terhadap siksa dan neraka-Nya, di akhirat nanti. Semoga kita diberi kekuatan untuk dapat melaksanakan iktikaf di bulan Ramadan yang tinggal 5 hari lagi. Wallahu a’lam.

Dalam dokumen Puasa dalam Dimensi Fikih-Sufistik (Halaman 128-132)

Dokumen terkait