• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.3. Keadaan Perekonomian

i = 1 m = 1

Keterangan :

PS = produksi pertanian per tahun yang “hilang” (ton) PSi = produksi pertanian per tahun dari lahan pertanian

dengan jenis penggunaan lahan-i yang terkonversi (ton)

i = 1, … 4, dimana 1, 2, 3, 4 masing-masing menunjukkan jenis penggunaan lahan hutan, kebun, tegalan dan sawah yang terkonversi

Si = luas lahan pertanian dengan jenis penggunaan-i yang terkonversi (Ha)

Hm = produktivitas usahatani pada musim tanam-m dari lahan pertanian dengan jenis penggunaan –i (ton/Ha)

m = 1, 2, 3, masing-masing menunjukkan musim tanam I, II dan III

2. Fungsi Sosial (Penyedia Lapangan Kerja) a. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan langsung (observasi) di lapangan dan wawancara dengan petani di Sub DAS Keduang. Pengambilan contoh petani responden dilakukan dengan metode acak sederhana (simple random sampling). Wilayah Sub DAS Keduang dikelompokkan secara geografis menjadi tiga bagian, yaitu wilayah hulu (Kecamatan Jatipurno), tengah (Kecamatan Jatisrono) dan hilir (Kecamatan Ngadirojo) Sub DAS. Dari masing-masing wilayah tersebut diambil 40 petani lahan sawah dan lahan kering secara acak.

b. Jenis Data Yang Dikumpulkan

Jenis data primer fungsi lahan pertanian sebagai penyedia lapangan kerja yang dikumpulkan dan sumber data tertera pada Tabel 4.

c. Teknik Analisis Data

Dampak konversi lahan terhadap ketenagakerjaan dilakukan dengan mendeskripsikan kesempatan kerja yang hilang akibat konversi lahan pertanian. Kesempatan kerja yang “hilang”, dibatasi pada kesempatan

kerja yang secara langsung terkait dengan penggunaan lahan/usahatani. Jadi mencakup kesempatan kerja pada usahatani selama satu tahun. Selanjutnya, mengacu pada hasil pengamatan di lapang dilakukan pula estimasi kesempatan kerja yang “hilang” pada kegiatan pasca panen (sebagai contoh penggilingan padi dan pengusahaan beras untuk usahatani sawah). Secara matematis, kesempatan kerja pada usahatani yang “hilang” per tahun dari luas lahan pertanian yang terkonversi adalah:

KERJA = KERJA1 + KERJA2 + KERJA3

KERJA1, KERJA2 dan KERJA3 masing-masing didefinisikan sebagai penyerapan tenaga kerja pada usahatani MT I, MT II dan MT III yang seharusnya tercipta dari luasan lahan pertanian yang terkonversi. Peubah KERJA dengan demikian dipengaruhi oleh pola tanam pada masing-masing jenis lahan pertanian yang terkonversi maupun teknologi usahatani yang digunakan.

Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Fungsi Lahan Pertanian Sebagai Penyedia Tenaga Kerja serta Cara Pengumpulannya

Jenis

Data DikumpulkanData Yang Pengumpulan Cara Data

Sumber

Data Analisis Teknik Data Data

primer  Identitas petaniLuas penguasaan lahan  Penggunaan Tenaga Kerja  Penggunaan faktor- faktor produksi  Produksi pertanian  Pendapatan petani

 Wawancara Responden Analisis Kesempatan Kerja Yang Hilang

3. Fungsi Lingkungan (Pengendali Erosi dan Pemelihara Tata Air) a. Teknik Pengumpulan Data

Data fungsi lahan pertanian sebagai pengendali erosi dan pemelihara tata air merupakan data sekunder tahun 1993 sampai dengan 2008 yang dikumpulkan dari instansi yang terkait seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo, Perum Jasa Tirta I, Balai

Penelitian Kehutanan (BPK) Surakarta, Bappeda Kabupaten Wonogiri, Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian, dan Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Wonogiri.

b. Jenis Data Yang Dikumpulkan

Jenis data fungsi lahan pertanian sebagai pengendali erosi dan pemelihara tata air yang dikumpulkan dan sumber data tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Fungsi Lahan Pertanian Sebagai Pengendali Erosi dan Pemelihara Tata Air serta Cara Pengumpulannya

Jenis Data Data Yang

Dikumpulkan Pengumpulan Cara Sumber Data Teknik Analisis Data Data fisik dan kimia tahun 1993- 2008  Laju erosi  Curah hujan  Jenis tanah  Panjang lereng  Distribusi kelas kelerengan lahan  Tindakan konservasi  Laju sedimentasi  Debit air  Kontinuitas debit  Kualitas air Studi

Dokumen Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo Perum Jasa Tirta I BPK Surakarta BPS Dinas Pertanian Dinas Pengairan PPLH UNS Metode USLE Sediment Delivery Ratio Perbandingan Qmax/Qmin Koefisien Aliran Permukaan Baku Mutu Air

c. Teknik Analisis Data

1). Pengendali Erosi dan Sedimentasi

Salah satu fungsi lahan pertanian adalah sebagai pengendali erosi dan sedimentasi yang terjadi di wilayah DAS waduk. Untuk mengetahui dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian terhadap erosi dan sedimentasi dilakukan dengan menghitung besarnya prakiraan erosi dan sedimentasi di wilayah Sub DAS Keduang.

Prediksi erosi dilakukan dengan menggunakan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE)yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) sebagai berikut :

A = R * K * L * S * C * P Keterangan :

A = banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun) R = faktor erosivitas hujan

K = faktor erodibilitas tanah L = faktor panjang lereng (m) S = faktor kecuraman lereng

C = faktor vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah

Mempertimbangkan bahwa dalam suatu sub DAS terdapat variasi besarnya curah hujan, jenis dan tipe tanah, pola tataguna lahan, pola aliran sungai dan kemiringan lereng, maka dalam memprakirakan besarnya laju erosi untuk skala sub DAS perlu ditentukan nilai rata- rata dari masing-masing faktor yang tercantum dalam rumus USLE tersebut.

Di dalam model AGNPS (Agricultural Non Point Source of Pollution) yang digunakan untuk memprediksi besarnya erosi pada suatu kejadian hujan dari suatu DAS, sering digunakan USLE untuk memprediksi besarnya erosi setiap grid-cell dalam suatu DAS, meskipun persamaan USLE tidaklah cocok untuk maksud tersebut. Oleh sebab itu agar dapat digunakan dengan lebih baik dalam model AGNPS, Kinnel dan Risse (1998) dalam Arsyad (2010) melakukan modifikasi persamaan USLE yang dinamai USLE-M. Namun karena keterbatasan data curah hujan yang ada, maka pada penelitian ini prediksi erosi masih dilakukan dengan menggunakan persamaan USLE.

Pada metode USLE, prakiraan besarnya erosi adalah dalam kurun waktu per tahun (tahunan), maka angka rata-rata faktor Rdihitung dari data curah hujan tahunan sebanyak mungkin. Faktor erosivitas hujan,

dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Bols (1978), sebagai berikut :

Rn = 6,119*(CH^1,21*HH^-0,47*CHm^0,53) Keterangan :

Rn = erosivitas hujan bulan ke-n CH = jumlah curah hujan (cm)

HH = jumlah hari hujan rerata bulanan

CHm = curah hujan maksimum selama 24 jam rerata bulanan (cm)

Nilai K dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Arsyad (2010), sebagai berikut :

100 K = 1,292 {2,1 M1,14(10-4) (12-a) + 3,25 (b – 2) + 2,5 (c-3)} K = faktor erodibilitas tanah

M = indeks tekstur tanah

M = (% pasir sangat halus + debu) (100 - % lempung) a = kandungan bahan organik

b = kelas struktur tanah c = kelas permeabilitas tanah

Menentukan nilai faktor panjang lereng (L) dengan cara :  Ukur panjang aliran sungai (km)

 Ukur luas sub-DAS (km2)

 Tentukan kerapatan aliran (d) = (panjang aliran) / (luas)  Tentukan kemiringan lereng rata-rata sub DAS

 Tentukan nilai faktor panjang lereng (L).

Faktor panjang lereng (L) didefinisikan secara matematik sebagai berikut:

L = (l / 22,1)m

L = faktor panjang lereng

l = panjang kemiringan lereng (m)

m = angka eksponen yang dipengaruhi oleh interaksi antara panjang lereng dan kemiringan lereng dan dapat juga dipengaruhi oleh karakteristik tanah dan tipe vegetasi

Faktor kemiringan lereng S didefinisikan secara matematis (Asdak, 2004) sebagai berikut :

S = (0,43 + 0,30 s+ 0,04 s2) / 6,61 s = kemiringan lereng aktual ( %)

Seringkali dalam prakiraan erosi menggunakan persamaan USLE komponen panjang dan kemiringan lereng (L dan S) diintegrasikan menjadi faktor LS dan dihitung (Arsyad, 2010) dengan rumus :

LS = L1/2(0,00138 S2+ 0,00965 S+ 0,0138) L = panjang lereng (m)

S = kemiringan lereng ( % )

Faktor pengelolaan tanaman (C), merupakan nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang bertanaman dengan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan diolah bersih. Faktor tindakan konservasi (P), merupakan nisbah antara besarnya erosi tanah dengan tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang diolah menurut arah lereng.

Nilai faktor C dan P, atau nilai faktor CP berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dikumpulkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor (Abdurrachrnan et al., 1984; Hammer, 1990; dan Arsyad, 2010), disajikan pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.

Cara memprakirakan besarnya hasil sedimen (sediment yield) dengan menghitung besarnya Sediment Delivery Ratio/SDR sub DAS Keduang, dengan rumus sebagai berikut (Asdak, 2004) :

Y = E(SDR) Ws

Y = hasil sedimen per satuan luas E = jumlah erosi

SDR = nisbah pelepasan sedimen Ws = luas sub DAS

2). Laju Erosi yang Dapat Ditoleransikan (ETol)

Laju erosi terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi

secara lestari disebut erosi yang dapat ditoleransikan, dan disingkat ETol.

Batas tertinggi erosi yang masih dapat ditoleransikan kadang- kadang ditetapkan dengan tujuan utama untuk pengendalian kualitas air atau untuk mengendalikan laju pendangkalan waduk. Kriteria penetapan nilai ETol untuk maksud tersebut tidak sama dengan kriteria yang bertujuan untuk memelihara kelestarian produktivitas tanah. Jika nilai ETol yang ditetapkan untuk melestarikan produktivitas tanah tidak cukup untuk menghindari percepatan pendangkalan waduk atau gagal memberikan air dengan kualitas yang ditetapkan, maka dapat ditetapkan khusus untuk nilai ETol untuk DAS di hulu waduk, tanpa mengubah batas-batas maksimum yang telah ditetapkan secara umum (Arsyad, 2010).

Penetapan besarnya erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol) dapat diprakirakan dengan menggunakan rumus Hammer (1981) atau Arsyad (2010). Di dalam penelitian ini, dengan pertimbangan selain menjaga produktivitas lahan juga untuk menghindari percepatan pendangkalan waduk, maka untuk memprediksikan ETol menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Arsyad sebagai berikut :

ETol = WPT

DE dimana :

ETol : erosi yang dapat ditoleransikan (mm/th)

DE : kedalaman ekuivalen (kedalaman efektif tanah x faktor kedalaman tanah)

WPT : waktu pengusahaan tanah (tahun)

Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman tanah sampai suatu lapisan (horison) yang menghambat pertumbuhan akar tanaman. Nilai faktor kedalaman tanah dikalikan dengan kedalaman efektif tanah akan didapatkan kedalaman ekuivalen. Dimana kedalaman ekuivalen adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi

produktivitasnya berkurang dengan 60% dari produktivitas tanah yang tidak tererosi. Sedangkan ketebalan tanah minimum adalah merupakan suatu kedalaman tanah yang harus dipelihara agar terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik bagi tempat berjangkarnya akar tanaman dan untuk tempat menyimpan air serta unsur hara yang diperlukan oleh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik (Arsyad, 2010).

Penetapan nilai ETol dimaksudkan untuk mengetahui apakah sistem pengelolaan DAS yang diterapkan dapat berkelanjutan atau tidak. Jika nilai prediksi erosi < ETol, maka sistem pengelolaan DAS yang diterapkan dapat berkelanjutan. Sebaliknya, jika nilai prediksi erosi > ETol, maka sistem pengelolaan DAS yang diterapkan tidak berkelanjutan, melainkan pada DAS tersebut suatu saat tidak produktif lagi dan akan menjadi DAS yang kritis. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan dalam sistem pengelolaan DAS, terutama perubahan terhadap faktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor tindakan konservasi (P). Kriteria tersebut dapat ditulis sebagai berikut :

A  ETol atau RKLSCP ETol CP 

RKLS

ETol

Besarnya nilai prediksi erosi berdasarkan metode USLE dinyatakan dalam ton/ha/tahun, sedangkan besarnya nilai ETol dinyatakan dalam mm/tahun. Menurut Arsyad (2010), untuk mengkonversikan besaran tersebut dinyatakan sebagai berikut :

mm/tahun x Berat Volume x 10 = ton/ha/tahun tahun mm BVx tahun ha ton / 10 / /

2). Pemelihara Tata Air

Dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian terhadap tata air dapat dilihat berdasarkan perubahan koefisien aliran permukaan, yang dirumuskan (Asdak, 2004) sebagai berikut :

aliran permukaan (mm) Koefisien aliran permukaan (C) = ---

curah hujan (mm)

Cara perhitungan untuk menentukan besarnya koefisien aliran permukaan pada suatu DAS (Asdak, 2004) adalah :

 Hitung curah hujan rata-rata DAS pada tahun tertentu (t) misalnya P = mm/tahun.

 Ubah satuan curah hujan tersebut menjadi m/tahun yaitu dengan mengalikan bilangan 1/1000, sehingga curah hujan tersebut menjadi P/1000 m/tahun.

 Hitung jumlah air yang mengalir melalui outlet(debit) sungai yang bersangkutan pada tahun t tersebut.

12

Jumlah debit setahun = ∑ dnX 86.400 X Qn (m3) n = 1

 Hitung volume jumlah curah hujan di DAS tersebut dengan cara mengalikannya terhadap luas areal DAS (A), yaitu :

Volume P = P/1000 x A P = curah hujan (mm/tahun) A = luas DAS (m2)

 Koefisien aliran permukaan (C) kemudian dapat dihitung, yaitu: 12

C = ∑ {(dnX 86.400 X Qn) / (P/1000 X A)} n = 1

Kerusakan DAS dapat dinilai dengan membandingkan debit maksimum (Qmax) dengan debit minimum (Qmin) sebelum dan sesudah konversi lahan. Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin rusak DAS yang bersangkutan.

Untuk mengetahui dampak terhadap kualitas air dilakukan dengan membandingkan Baku Mutu Lingkungan Perairan sebelum dan sesudah terjadinya konversi lahan. Data kualitas air yang ada dibandingkan dengan Baku Mutu Air sesuai kelasnya berdasarkan PP

No.82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Parameter kualitas air yang diperlukan adalah BOD, DO, karbon anorganik, karbon nitrogen, karbon fosfat, residu pestisida, pH, zat padat terlarut (TDS) dan zat beracun (Soemarwoto, 2003b).

3.2.3. Studi Valuasi Ekonomi Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Valuasi ekonomi konversi lahan pertanian ke non pertanian dilakukan dengan pendekatan hilangnya nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian akibat konversi lahan pertanian ke non pertanian tersebut. Pada penelitian ini nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada fungsi penghasil komoditas pertanian, fungsi sebagai penyedia lapangan kerja, fungsi sebagai pengendali erosi dan sedimentasi serta fungsi sebagai pemelihara tata air.

1. Nilai Ekonomi Sebagai Penghasil Komoditas Pertanian

Konversi lahan pertanian ke non pertanian akan berdampak hilangnya produksi pertanian. Nilai produksi yang “hilang”, dapat dirumuskan sebagai berikut :

4 n 3

NPS =  NPSi, dimana NPSi = Si   Pl Clt i = 1 m = 1 t = 1

Keterangan :

NPS = nilai produksi pertanian per tahun yang “hilang” (Rupiah)

NPSi = nilai produksi pertanian per hektar lahan pertanian dengan jenis penggunaan lahan-i yang terkonversi (Rupiah)

Pl = harga komoditi-i yang ditanam (Rupiah)

Clt = produksi per hektar komoditi-i pada musim tanam t

Dengan menggunakan harga pada saat penelitian, nilai produksi (nilai output) kumulatif yang telah hilang dapat pula dihitung.

2. Nilai Ekonomi Sebagai Penyedia Lapangan Kerja

Konversi lahan pertanian akan berdampak pada hilangnya lapangan kerja sektor pertanian. Nilai ekonomi lahan pertanian sebagai penyedia lapangan kerja dianalisis berdasarkan nilai upah tenaga kerja/petani yang hilang akibat lahannya dikonversi. Adapun rumus untuk menghitung nilai upah tenaga kerja/petani dari usahatani yang “hilang” per tahun adalah :

4 3  =  Si i, dimana i =  Km i = 1 m = 1 Keterangan :

 = nilai upah tenaga kerja/petani dari usahatani per tahun yang “hilang” (Rupiah)

i = nilai upah tenaga kerja per hektar usahatani per tahun dari lahan pertanian dengan jenis penggunaan lahan-i yang terkonversi (Rupiah)

Km = nilai upah tenaga kerja per hektar usahatani pada musim tanam-m di lahan pertanian yang terkonversi

3. Nilai Ekonomi Sebagai Pengendali Erosi dan Sedimentasi

Metode valuasi ekonomi sebagai pengendali erosi dan sedimentasi yang digunakan terdiri atas 2 cara :

a. Penilaian di hulu (on-site) dengan biaya pengganti (replacement cost)unsur hara yang hilang akibat erosi

Erosi menyebabkan tingkat kesuburan lahan berkurang, karena kadar bahan organik dan unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman berkurang (hilang). Oleh sebab valuasi ekonomi erosi dapat didekati melalui perhitungan biaya pengganti (replacement cost) yang dibutuhkan untuk memulihkan tingkat kesuburan tersebut.

Dari peta kesesuaian lahan dapat diketahui tingkat kesuburan dan kadar dari masing-masing unsur hara di daerah penelitian, sehingga besarnya biaya pupuk organik dan anorganik yang dibutuhkan untuk memulihkan kadarnya bisa dihitung.

Nilai ekonomi erosi merupakan penjumlahan dari biaya-biaya diperlukan untuk mengganti kadar bahan organik dan unsur hara makro (N, P dan K) yang hilang.

 Nilai bahan organik yang hilang dihitung berdasarkan nilai pupuk organik setara dengan kadar bahan organik yang hilang.

 Nilai unsur Nitrogen (N) dihitung berdasarkan nilai pupuk N (Urea) yang setara dengan kadar unsur N yang hilang.

 Nilai unsur Phospor (P) dihitung berdasarkan nilai pupuk P (TSP) yang setara dengan kadar unsur P yang hilang.

 Nilai unsur Kalium (K) dihitung berdasarkan nilai pupuk K (KCl) yang setara dengan kadar unsur K yang hilang.

Biaya kehilangan unsur hara akibat erosi tersebut dapat dihitung dengan rumus (Hulfschmidt, et al., 1996) :

4 n

NEE = ∑ ∑ (UHij X HPi X LAj) i = 1 j = 1

4 n

UHij = ∑ ∑ (JTij X PUHij) i = 1 j = 1

Keterangan :

NEE = Nilai ekonomi erosi (Rp)

UHij = Jumlah unsur hara ke-i yang hilang akibat erosi pada luas penggunaan lahan j (kg/ha)

HPi = harga pupuk ke-i (Rp)

LAj = luas penggunaan lahan ke-j (ha)

JTij = jumlah tanah tererosi per hektar pada penggunaan lahan j (ton/ha)

PUHij = proporsi unsur hara ke-i dari 1ton tanah yang tererosi (kg)

i = jenis unsur hara/pupuk (Pupuk organik, Urea, TSP dan KCl)

b. Penilaian di Hilir (Off-site)denganbiaya pengerukan sedimen

Sedimentasi terus menerus mengancam keberadaan Waduk Wonogiri. Adanya sedimentasi dapat mengurangi umur ekonomis waduk. Dampak konversi lahan pertanian terhadap umur ekonomis waduk dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pengerukan. Metode valuasi yang digunakan dengan pendekatan biaya perbaikan/biaya pengerukan sedimen :

Biaya Pengerukan = Jumlah sedimen (m3) per tahun x Biaya pengerukan per m3sedimen

4. Nilai Ekonomi Sebagai Pemelihara Tata Air

Metode valuasi ekonomi yang digunakan untuk menilai fungsi lahan pertanian sebagai pemelihara tata air adalah dengan menghitung nilai ekonomi air di wilayah Sub DAS tersebut, yang dirumuskan sebagai berikut (Hulfschmidt, et al., 1996) :

a. Nilai Ekonomi Air di Hulu (on-site)

n n

NEA = ∑ ∑ (JKAijX WTPi X LAj) i = 1 j = 1

NEA = nilai ekonomi air (Rp)

JKAij = jumlah kebutuhan air pada penggunaan i di daerah j

WTPi = kemauan membayar per m3 air dari masyarakat pada daerah j didekati dengan harga air minum pada musim kemarau di daerah j dan harga air untuk sawah di daerah j LAj = luas lahan yang membutuhkan air di j

b. Nilai Ekonomi Air di Hilir (off-site)

Penilaian dilakukan dengan pendekatan manfaat yang hilang akibat kurangnya pasokan air.

NEA = NEPL + NEAM + NEAKI + NEI + NEP + NER NEA = nilai ekonomi air (Rp)

NEPL = nilai ekonomi produksi listrik (Rp) NEAM = nilai ekonomi air minum (Rp)

NEI = nilai ekonomi air untuk irigasi (Rp) NEP = nilai ekonomi perikanan (Rp) NER = nilai ekonomi rekreasi (Rp) Nilai Ekonomi Produksi Listrik (NEPL) :

NEPL = NPL – PS – HPL NPL = RJIT x HLI RJIT = KWHR x JH NPL = nilai produksi listrik (Rp)

RJIT = rata-rata jumlah produksi KWh/tahun dalam kondisi normal (kwh/tahun)

HLI = harga listrik per Kwh (Rp/kwh)

KWHR = rata-rata jumlah produksi Kwh per hari (kwh/hari) JH = jumlah hari dalam satu tahun

Penggelontoran Sedimen (PS) PS = JSD x BG

PS = biaya penggelontoran sedimen per tahun (Rp) JSD = jumlah sedimen per tahun (ton/tahun)

BG = biaya penggelontoran per ton (Rp/ton) Kehilangan Produksi Listrik (HPL)

HPL = JHTP x KWHR x HLI

HPL = kehilangan produksi listrik per tahun (Rp) JHTP = jumlah hari tidak beroperasi (hari)

KWHR = rata-rata jumlah produksi Kwh per hari (kwh/hari) HLI = harga listrik per kwh (Rp/kwh)

Nilai Ekonomi Air Minum (NEAM) NEAM = NKAMij - BPAMj

NEAM = nilai ekonomi air minum (Rp/tahun)

NKAMij = nilai kebutuhan untuk air minum (Rp/tahun) BPAM = biaya penyediaan air minum (Rp/tahun) Nilai kebutuhan untuk air minum (NKAMij)

KAMTij = KAMHij x JH

NKAMij = KAMHij x JPAMj x WHAMij

NKAMij = nilai kebutuhan untuk air minum (Rp/tahun) JPAMij = jumlah pelanggan air minum di land unit-j (orang) HAM = harga air minum per meter kubik (Rp/m3)

KAMTij = kebutuhan air minum per orang per tahun (m3/tahun) KAMHij = kebutuhan air minum per orang/hari land unit j

(m3/hari)

JH = jumlah hari dalam setahun (hari)

WHAMij = kesediaan per orang penduduk ke-i, untuk membayar air minum per meter kubik pada land unitj (Rp/m3) i = jumlah responden penduduk pada land unit

j = land unit

Biaya Penyediaan Air Minum (BPAM) BPAMj = BOAMij + BLAMj

BPAM = biaya penyediaan air minum (Rp)

BOAM = rata-rata biaya produksi per tahun dalam land unit (Rp/tahun)

BLAM = rata-rata biaya pemeliharaan per tahun dalam land unit (Rp/tahun)

Nilai Ekonomi Air Kebutuhan Industri NEAKI = NAKIij - BPAKIij

NEAKI = nilai ekonomi air kebutuhan industri (Rp/tahun) NAKIij = nilai air kebutuhan industri (Rp/tahun)

BPAKIj = biaya penyediaan air kebutuhan industri (Rp/tahun) Nilai Ekonomi Irigasi :

NEI = NPSij – BPUSij

NEI = nilai ekonomi irigasi (Rp/tahun) NPSij = nilai pendapatan sawah (Rp/tahun)

Nilai Ekonomi Perikanan : NEP = NEPb + NEPt

NEP = (MBPb X PPb) + (MBPt X PPt) Keterangan :

NEP = nilai ekonomi perikanan (Rp)

NEPb = nilai ekonomi perikanan budidaya (Rp) NEPt = nilai ekonomi perikanan tangkap (Rp)

MBPb = keuntungan rata-rata petani per kg ikan (Rp/kg) PPb = produksi ikan budidaya selama 1 tahun (kg)

MBPt = keuntungan rata-rata nelayan tangkap per kg ikan (Rp/kg)

PPb = hasil tangkapan ikan selama 1 tahun (kg) Nilai Ekonomi Rekreasi :

Pendekatan yang dilakukan untuk menghitung nilai ekonomi rekreasi ini adalah pendekatan manfaat yang hilang akibat penurunan kualitas lingkungan waduk.

3.2.4. Studi Kebijakan Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian 1. Teknik Pengumpulan Data

Data kebijakan tentang konversi lahan pertanian ke non pertanian dikumpulkan melalui studi pustaka. Untuk memperoleh data implementasi kebijakan dan pengendalian kebijakan konversi lahan pertanian ke non pertanian dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) dengan tokoh-tokoh (stake holder) yang berkompeten, baik tokoh formal maupun non formal. Penentuan tokoh formal (pejabat pemerintah) dan non formal dilakukan secara purposif.

Pejabat yang dijadikan informan berasal dari instansi-instansi yang terkait, diantaranya adalah Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Wonogiri, Bappeda Kabupaten Wonogiri, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Wonogiri, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Surakarta, Perum Jasa Tirta I Direktorat Bengawan Solo, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Wonogiri, Dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri, Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kab. Wonogiri

serta Camat di daerah penelitian Dari masing-masing instansi tersebut diambil 1 orang sebagai informan.

Tabel 6. Teknik Pengambilan dan Jumlah Informan tentang Kebijakan Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Unit Populasi Jumlah Teknik Pengambilan

Informan Pejabat

Tokoh Masyarakat (formal dan non formal)

10 18

Purposif Purposif

Tokoh masyarakat diambil dari desa yang terpilih sebagai lokasi penelitian. Dari tiap desa diambil 2 orang, yang terdiri atas 1 orang tokoh formal (kepala/perangkat desa) dan 1 orang tokoh informal. Teknik pengambilan dan jumlah informan dapat dilihat pada Tabel 6. 2. Jenis Data Yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis data, cara pengumpulan dan sumber data tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis dan Sumber Data Kebijakan Pemerintah Tentang

Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian serta Cara Pengumpulannya

Jenis

Data DikumpulkanData Yang Pengumpulan Cara Data

Sumber

Data Analisis DataTeknik Data

primer  Isi kebijakanImplementasi kebijakan  Pengendalian

kebijakan

Wawancara

mendalam PejabatTokoh masyarakat Isi kebijakan Implementasi kebijakan Pengendalian kebijakan Data

Sekunder  Undang-undangPeraturan Pemerintah  Keputusan Presiden  Keputusan Menteri  Keputusan Gubernur