• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1993)

HILDA RAFIKA WATY C3408

2 TINJAUAN PUSTAKA

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1993)

Rancangan percobaan pada penelitian utama digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi kitosan terhadap parameter subjektif dan objektif yaitu rancangan acak kelompok in time (RAK in time). Rancangan ini adalah percobaan yang melibatkan pengamatan berulang terhadap satu objek. Disamping perlakuan yang dicobakan, diharapkan juga mampu melihat perkembangan respon selama penelitian berjalan. Sehingga pengaruh waktu akan sangat bermanfaat untuk dikaji disamping perlakuan yang diberikan.

Perlakuan yang diberikan yaitu konsentrasi kitosan. Perlakuan konsentrasi kitosan terdiri dari 5 taraf, yaitu kontrol negatif (kitosan 0 %), kontrol positif (plester komersil), Chitoplast 0,5 %; 1,0 %; dan 1,5 %. Menurut Steel dan Torie (1993) dengan model uji rancangan acak kelompok in time sebagai berikut :

Keterangan :

Yijk = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j dan waktu ke-k. μ = nilai rata-rata

αi =pengaruh faktor A taraf ke-i, ijk = komponen acak perlakuan,

ωk = pengaruh waktu pengamatan ke-k,

αωkj = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A, jk = komponen acak waktu pengamatan,

ijk = komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan. l = nilai respon terhadap kelompok ke-l.

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan yaitu kontrol negatif (kitosan 0 %), kitosan 0,5 %, kitosan 1,0 %, kitosan 1,5 % dan

Yijk= µ + αi + l+ ijk+ ωk+αωkj+ jk +

kontrol positif (plester komersil). Selanjutnya plester dicobakan pada tikus percobaan dengan perbedaan perlakuan. Sampel dari masing-masing tikus percobaan diambil pada rentang waktu sebelum menggunakan penutup luka, jam ke-24 dan jam ke-48. Tikus dibuat luka sayat di daerah punggung yang diberikan anestesi lokal sebelumnya agar tidak menyakiti hewan coba, kemudian diberikan plester sesuai dengan konsentrasi dan perlakuannya.

Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam oneway ANOVA. Apabila hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (tolak H0), maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Analisis mutu kitosan menggunakan uji deskriptif untuk melihat pengaruh modifikasi kitosan menjadi chitoplast terhadap beberapa parameter yang diamati, berupa analisis proksimat dan derajat deasetilasi.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Tahapan penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui mutu kitosan komersil yang digunakan, antara lain meliputi kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, pengujian antibakteri kitosan, dan pengukuran derajat deasetilasi.

4.1.1 Identifikasi kitosan komersil

Kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan komersil yang didapatkan dari CV Bioteksurindo, Cirebon. Hasil pengujian karakterisasi kitosan komersil dapat dilihat pada Tabel 2 yang menyajikan hasil pengujian mutu kitosan larut asam dengan standar mutu kitosan yang ada.

Tabel 2 Hasil karakterisasi kitosan komersil

Spesifikasi Hasil Uji Standar Kitosan*

Penampakan Bubuk putih Serpihan/Bubuk Putih Kadar air (%berat kering) 8,13 % ≤ 10 %

Kadar abu (%berat kering) 0,69 % ≤β % Kadar N (%berat kering) 2,27 % <5 % Derajat deasetilasi 73,45 % >70 % *Sumber: Protan Laboratories dalam Suptijah et al. (1992)

Kitosan dilarutkan dalam asam organik seperti asam asetat dengan konsentrasi 1,0 % (v/v). Menurut Ornum (1992), pelarut kitosan yang baik adalah asam format dan asam asetat dengan konsentrasi masing-masing 0,2-1,0 % dan 1,0-2,0 %. Kitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1,0-2,0 % dan akan membentuk suatu garam ammonium asetat (Tang et al. 2007). Kitosan larut dalam asam organik/mineral encer melalui protonasi gugus amino bebas (NH2  NH3+

) pada pH kurang dari 6,5.

Kelarutan kitosan menurun dengan bertambahnya berat molekul kitosan (Wiyarsi dan Priyambodo 2008). Kitosan merupakan polimer kationik dengan jumlah monomer sekitar 2.000-3.000 monomer, tidak toksik dengan tingkat LD50 sebesar 16 gr/kg berat badan, mempunyai bobot molekul sekitar 800 KDa (Janes dan Alonso 2003). Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen

dari kitosan (Tang et al. 2007). Kitosan komersil yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kitosan Komersil (Sumber : Science 2012)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa mutu kitosan komersil berupa penampakan bubuk putih sesuai dengan standar mutu kitosan pada umumnya. Hasil analisis menunjukan bahwa nilai kadar air kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian telah sesuai dengan standar, yakni sebesar 8,13 %. Menurut Multazam (2002) dalam Rochima et al. (2004) kadar air kitosan dari cangkang udang adalah ≤10 %. Nilai persentase kadar air dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya disebabkan karena waktu penyimpanan dan kondisi lingkungan yang lembab. Faktor lingkungan yang lembab merupakan faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap nilai kandungan air dalam kitosan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kumar (2000) bahwa kitosan memiliki sifat yang mudah menyerap air.

Kadar abu kitosan larut asam yang diperoleh adalah sebesar 0,69 %. Nilai tersebut telah memenuhi syarat, dimana syarat untuk persentase kadar mineral menurut penelitian Suptijah et al. (1992) adalah kurang dari 2 %. Faktor yang mempengaruhi kadar abu adalah proses demineralisasi, pencucian dan kualitas air. Kadar abu yang yang tinggi menunjukkan kandungan mineral yang tinggi. Semakin tinggi kadar abu yang dihasilkan maka mutu dan tingkat kemurnian kitosan tersebut semakin rendah. Proses pencucian yang baik hingga pH netral juga berpengaruh terhadap kadar abu (Angka dan Suhartono 2000). Selain itu air yang digunakan dalam proses penetralan sebaiknya tidak mengandung mineral karena dapat meningkatkan kadar mineral dalam bahan, sehingga jumlah pengotor semakin meningkat dan disarankan untuk menggunakan akuades/air yang telah dilakukan proses penghilangan mineral melalui destilasi (Suptijah 2006).

Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang berinteraksi dengan gugus lainnya. Menurut Abun (2006), kadar total nitrogen yang tersisa dalam deproteinasi dapat dijadikan sebagai indikator proses deproteinasi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin tinggi suhu deasetilasi maka kadar nitrogen cenderung semakin kecil. Kadar nitrogen kitosan larut asam adalah 2,27 %. Kadar nitrogen ini sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Kadar nitrogen ini menunjukkan tingkatan dari luasnya tingkat derajat deasetilasi dan nitrogen dalam kitosan sebagian besar terdapat dalam bentuk kelompok amino alifatik primer (Kumar 2000). Rincian data hasil karakterisasi kitosan komersil disajikan pada Lampiran 1.

4.1.2 Hasil pengujian antibakteri kitosan

Mengacu pada penelitian Wulandari (2010), konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) kitosan terhadap pertumbuhan bakteri target, yaitu E. coli dan S. aureus adalah sebesar 0,125 %. Berdasarkan penelitian tersebut maka penentuan konsentrasi kitosan sebagai bahan antibakteri kitosan dibagi menjadi beberapa perlakuan, yaitu 0,25 %, 0,50 %, 0,75 %, 1,0 % dan 1,5 % dengan control negatif (asam asetat 1,0 % atau kitosan 0 %) serta kontrol positif (zat aktif iodine 1,0 % pada plester komersil). Hasil pengujian aktivitas antibakteri pada beberapa konsentrasi larutan kitosan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengujian antibakteri kitosan

Bakteri uji Zona Hambat (mm)

0,25% 0,5% 0,75% 1,0% 1,5% K(+)

Staphylococcus aureus 7 7 7 7 13 7

Bacillus fumilis 7 7 7 7 7 7

Escherichia coli 10 12 11 12 13 13

P. aeruginosa 7 10 7 12 13 15

Bakteri uji yang dipilih adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus Pseudomonas dan Bacillus fumilis. Bakteri yang digunakan merupakan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang biasanya terdapat pada luka, yaitu E. coli, S. aureus dan P. aeruginosa. Jenis bakteri ini merupakan bakteri yang umum ditemukan dalam luka terinfeksi (DePaola 1990 dan Yuherman 2001 dalam Marlina 2008).

Bakteri P. aeruginosa dan S. aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada luka ataupun melalui kontak udara atau kontak langsung dengan pasien yang beresiko tinggi terkena infeksi, sedangkan bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif dan dipilih karena berpeluang pada beberapa infeksi dibandingkan bakteri lainnya (Todar 2004 dalam Rostinawati 2009).

Hasil uji antibakteri dengan rentang konsentrasi kitosan 0,25 % sampai konsentasi 1,5 % menunjukan adanya aktivitas antibakteri kitosan melalui terbentuknya zona bening. Aktivitas antibakteri tersebut beragam tergantung jenis bakteri uji dan konsentrasi kitosan. Tabel 3 menunjukan bahwa kitosan memberikan penghambatan yang lebih besar pada bakteri E. coli, S. aureus dan P. aeruginosa sebesar 13 mm pada konsentrasi 1,5 %. Hasil ini berbeda dengan penelitian Jeon et al. (2001) dan Hong et al. (2002) yang menyatakan bahwa efek penghambatan umunya lebih besar pada bakteri gram positif dibandingkan gram negatif. Akan tetapi, menurut Meidina et al. (2006), aktivitas antibakteri pada kitosan berhubungan dengan kehidrofilikan dinding sel bakteri. Kitosan dapat menyerap lebih baik pada bakteri gram negatif dibandingkan dengan gram positif karena muatan negatif pada permukaan sel bakteri gram negatif lebih banyak dari pada gram positif. Muatan negatif dari kitosan yang didistribusikan secara signifikan menuju permukaan dinding sel bakteri gram negatif dan selanjutnya akan menghambat aktivitas bakteri yang diujikan.

Hasil pengujian antibakteri dari sampel kitosan terhadap biakan bakteri menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan belum tentu menghasilkan zona bening yang semakin luas. Hal ini berhubungan dengan kemampuan difusi larutan kitosan pada media biakan, karena semakin banyak kitosan yang diserap maka akan menghasilkan perubahan yang besar terhadap struktur dinding sel dan permeabilitas membran sel bakteri (Fajrina 2008). Selain itu konsentrasi kitosan juga memiliki batas optimum sebagai antibakteri.

Menurut Hong et al. (2002), perbedaan daya hambat yang diperoleh mungkin disebabkan oleh variasi kondisi penelitian, seperti metode, pH dan media. Todar (1997) mengemukakan bahwa ketentuan kekuatan antibakteri, antara lain zona hambat sebesar 2 cm atau lebih berarti sangat kuat, zona hambat 1,0-2,0 cm berarti kuat, zona hambat 0,5-1,0 cm berarti sedang dan zona hambat

0,5cm atau kurang berarti lemah. Berdasarkan uji aktivitas antibakteri, kitosan yang diuji memiliki daya hambat yang tergolong sedang sampai kuat karena memiliki diameter rata-rata 0,5-1,0 cm dan 1,0-2,0 cm.

Wang (1992) meneliti bahwa konsentrasi kitosan yang lebih tinggi (1-1,5 %) dapat menginaktivasi S. aureus setelah 2 hari di inkubasi dalam medium pada pH 5,5-6,5. Ia juga melaporkan bahwa pencegahan bakteri yang terbaik setelah 2 hari selama inkubasi dengan 0,5 % ataupun 1,0 % kitosan pada pH 5.5. Melalui tahapan penelitian pengujian aktivitas antibakteri, perlakuan konsentrasi kitosan yang terbaik dalam menghambat bakteri untuk dijadikan perlakuan dalam pengujian chitoplast dipilih dengan rentang konsentrasi kitosan 0,5-1,5 %.

Derajat keasaman (pH) merupakan parameter penting pada produk, karena pH dapat mempengaruhi daya absorpsi pada kulit. Hasil pengukuran pH terhadap konsentrasi kitosan yang digunakan dalam pembuatan chitoplast dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pengujian tingkat keasaman larutan kitosan Konsentrasi kitosan Nilai pH

Kitosan 0,50 % 4,50

Kitosan 1,0 % 4,72

Kitosan 1,5 % 5,86

Hasil pengujian terhadap pH larutan kitosan menunjukkan bahwa larutan kitosan cenderung memiliki pH asam. Hal ini karena bahan dasar penyusun kitosan bersifat asam karena dilarutkan menggunakan asam asetat. Menurut Purwatiningsih et al. (2009), kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organic pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5. Selain itu, keberadaan perbedaan derajat deasetilasi kitosan dapat menyebabkan hasil penelitian yang berbeda (Shahidi et al 1999).

4.1.3 Hasil analisis FTIR (fourier transform infrared)

Spektrum inframerah digunakan untuk penentuan derajat deasetilasi kitosan yang digunakan, mengetahui gugus fungsi kitosan. Derajat deasetilasi adalah penghilangan gugus asetil (COCH3) yang terdapat pada kitin. Kitin yang mengalami proses deasetilasi disebut kitosan. Derajat deasetilasi dari kitosan

menentukan banyaknya gugus asetil yang telah hilang selama proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Semakin besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif karena semakin banyak gugus amina menggantikan gugus asetil. Gugus amina lebih reaktif dibandingkan gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur kitosan (Muzzarelli dan Peter 1997 dalam Kencana 2009). Hasil analisis FTIR dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Spektrum FTIR kitosan

Gambar 6 menunjukan nilai Derajat deasetilasi (DD) kitosan yang dihasilkan sebesar 73,45 % (Lampiran 3). Hal ini menandakan bahwa kitosan yang digunakan sudah cukup optimal berdasarkan nilai derajat deasetilasi kitosan standar, yakni >70 %, karena menurut Muzarelli dan Peter (1997) kitin dengan nilai derajat deasetilasi lebih dari 70 % dapat dikatakan sebagai kitosan. Selain itu terlihat juga dari hasil deteksi FTIR yang dibandingkan dengan standar menunjukkan hasil yang tidak berbeda signifikan terhadap gugus fungsi kitosan pada umumnya, yaitu gugus OH, CH, NH, amida dan karbonil. Kitosan yang dihasilkan identik dengan kitosan standar dengan sedikit pergeseran bilangan gelombang dapat disebabkan sedikit perbedaan kadar air dan kondisi lingkungan pengujian yang berbeda.

Derajat deasetilasi sangat penting untuk menentukan karakteristik kitosan dan akan mempengaruhi penggunaannya. Semakin tinggi derajat deasetilasinya semakin tinggi kemurniannya artinya kitin dan kitosan sudah murni dari pengotornya yaitu protein, mineral dan pigmen serta gugus asetil untuk kitosan

yang disertai kelarutannya yang sempurna dalam konsentrasi asam asetat 1,0 % (Suptijah 2004).

Menurut Suptijah (2006) untuk menghasilkan kitosan dengan nilai DD (derajat deasetilasi) sebesar 84 % dibutuhkan pemanasan pada suhu 130 °C selama 4 jam atau suhu 120 °C selama 6–7 jam. Perendamanan dengan NaOH selain dapat meningkatkan derajat deasetilasi dapat juga mengakibatkan terjadinya depolimerisasi, oleh karena itu perendaman dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan waktu yang singkat.

4.2 Penelitian Utama

Tahap penelitian utama yakni tahap pengujian efektivitas transdermal patch chitoplast antibakteri yang selanjutnya dilakukan pengujian pengaruh konsentrasi kitosan dalam chitoplast. Waktu pengambilan sampel dilakukan saat sebelum menggunakan plester, jam ke-24 dan jam ke-48. Pengamatan terhadap pengaruh kitosan dalam chitoplast dilakukan secara objektif berupa total plate count (TPC) dan derajat infeksi pada luka.

4.2.1 Efektivitas chitoplast sebagai transdermal patch antibakteri

Transdermal adalah salah satu rute untuk penghantaran obat dan salah satu bentuk sediaan transdermal adalah patch (potongan). Sediaan patch ada dua tipe yaitu patch tipe membran dan patch tipe matriks. Efektivitas suatu sediaan farmasi ditentukan oleh jumlah obat yang terlepas dari pembawa dan selanjutnya terpenetrasi. Jumlah obat yang terlepas dari sediaan patch tipe membran ditentukan oleh reservoir dan polimer yang berfungsi sebagai membran pengontrol pelepasan, sedangkan sediaan tipe matriks ditentukan oleh komposisi matriks pembentuknya (Hendradi et al. 2010).

Plester yang dimodifikasi dengan kitosan dalam bentuk penyerapan larutan kitosan menggunakan larutan kitosan sebanyak 8 tetes (konversi 4 mg/ml). Menurut Summit (1983), beberapa derajat kelarutan jenis zat dianggap penting dalam absorpsi perkutan, yaitu absorpsi suatu zat dari luar kulit ke posisi bawah kulit yang masuk ke dalam aliran darah. Hal ini ditunjukan oleh adanya konsentrasi pada daerah absorpsi dan koefisien partisi yang mempengaruhi jumlah kelarutan zat dalam minyak mineral dan air sebanyak >1mg/ml sehingga dapat meresap ke dalam kulit. Dengan demikian, melalui hasil konversi jumlah tetesan

kitosan tersebut diharapkan kitosan sudah cukup optimal dalam mempercepat proses penyerapan dan penyembuhan luka.

Sistem penyampaian obat secara transdermal telah dikembangkan untuk menyajikan pemberian obat dalam keadaan steady state selama 72 jam (3 hari). Penelitian ini menggunakan perlakuan selama 24 jam dan 48 jam dilatarbelakangi oleh analisis pengujian bakteri yang dapat dihambat selama 2 hari. Wang (1992) meneliti bahwa konsentrasi kitosan yang lebih tinggi (1,0-1,5 %) dapat menginaktivasi bakteri S. aureus setelah 2 hari di inkubasi dalam medium pada pH 5,5-6,5.

Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan jenis plester komersil lainnya yang menggunakan salah satu bahan kimia seperti pavidone iodine. Pada pengujian antibakteri pada kontrol positif, sampel yang digunakan menggunakan zat aktif pavidone iodine yang merupakan zat aktif murni yang umum digunakan sebagai zat aktif obat pada salah satu plester komersil. Povidone iodine merupakan salah satu pengobatan luka secara kimiawi yang sering kali digunakan dalam penyembuhan luka. Pavidone iodine memiliki efek antimikroba yang dapat menciptakan lingkungan lembab dan dapat menginduksi angiogenesis. Obat ini juga dilaporkan dapat mencegah inflamasi, namun pavidone iodine 10 % dikatakan pula memiliki efek menghambat pertumbuhan fibroblast pada percobaan kultur in vitro(Ballin et al 2002 dalam Atik dan Januarsih 2009).

Pavidone iodine memiliki keuntungan dapat mempercepat proses reepitelisasi dan dapat memberikan suasana lembab pada luka sayat, namun bila dibandingkan dengan menggunakan kitosan, kitosan dapat menstimulir pembentukan jaringan baru pada bagian luka tanpa suasana yang lembab pada bagian kasa setelah melalui proses pengeringan. Pillai et al. (2009) menuturkan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai pembentuk fibroblast dalam aplikasi sebagai bahan benang, bahan penutup dan substrat yang bersifat biodegradable untuk pertumbuhan epitel kulit manusia dari hasil penelitian yang dilaporkan. Beberapa jenis plester komersil juga masih menggunakan bahan kimia tambahan seperti zat silver yang akan berpengaruh pada sebagian kulit yang sensitif terhadap alergi zat silver.

Penyembuhan luka yang normal merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis, tetapi mempunyai suatu pola yang dapat diprediksi. Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga fase pokok, yaitu homeostasis dan inflamasi, proliferasi, maturasi dan remodeling. Proses penyembuhan luka terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1) sel inflamatori dari jaringan sekeliling akan berpindah ke arah tempat luka, 2) fibroblast kelihatan dan mulai menghasilkan serat penghubung kolagen yang memberi tensile strength ke jaringan yang dihasilkan dan 3) secara serentak, kapiler-kapiler mulai terbentuk menyediakan tempat dengan nutrient dan oksigen serta sel epithelial pada ujung dari luka mulai terisi pada daerah di bawah luka sehingga epithelium terbentuk dan luka dapat disembuhkan (Wikesman et al. 2007 dalam Atik dan Januarsih 2009).

4.2.2 Uji total plate count (TPC) pada hewan coba

Kitosan memiliki kemampuan sebagai zat antibakteri karena memiliki sifat mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini disampaikan oleh Simpson (1997) bahwa kemampuan kitosan dalam menghambat ataupun membunuh bakteri dengan mekanisme terjadinya lisis pada membran sel bakteri. Chitoplast berbahan zat antibakteri kitosan dengan berbagai konsentrasi diaplikasikan secara in vivo dengan cara dilekatkan pada 10 ekor tikus percobaan yang digunakan dan 2 tikus percobaan lainnya sebagai hewan coba tanpa menggunakan penutup luka. Selang pengambilan sampel dilakukan dengan perlakuan tanpa penutup luka dan perlakuan konsentrasi kitosan pada jam ke-24 dan jam ke-48.

Jumlah bakteri pada luka sayat yang diberikan dapat diketahui dengan menggunakan analisis TPC. Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni percawan. Nilai TPC dapat dihitung dengan mengkalikan jumlah koloni bakteri per jumlah pengencerannya (Fardiaz 1992). Perhitungan nilai TPC dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 4.

Hasil analisis ragam terhadap kandungan nilai TPC berdasarkan perbedaan waktu selama 24 dan 48 jam selama pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan waktu dalam 24 dan 48 jam tidak memberikan pengaruh berbeda nyata, karena

(p<0,05) terhadap kandungan nilai TPC yang dihasilkan pada setiap taraf pengambilan sampel dan konsentrasi chitoplast yang diujikan. Hal ini diduga karena konsentrasi kitosan masih memiliki kondisi dan kemampuan yang sama dalam menurunkan jumlah bakteri yang ada dalam selang waktu 24 dan 48 jam. Hasil analisis TPC pada luka sayat tikus disajikan dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Keterangan: Huruf (a,b) pada diagram batang menunjukan perbedaan interaksi pada setiap taraf konsentrasi yang memberikan pengaruh terhadap nilai TPC luka sayat pada tikus percobaan kontrol negatif; kontrol positif; kitosan 0,5 %; kitosan 1,0 %

kitosan 1,5 % ; tanpa penutup luka

Gambar 7. Nilai rata-rata TPC pada setiap taraf interaksi konsentrasi dan waktu pengambilan sampel

Hasil analisis ragam terhadap interaksi antara konsentrasi kitosan dalam chitoplast dengan waktu pengambilan sampel (Lampiran 2a) menghasilkan data pengaruh yang berbeda. Hasil perbedaan konsentrasi dalam chitoplast memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai TPC pada luka yang diujikan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 2b) menunjukan hambatan bakteri yang terjadi dari perlakuan tanpa adanya penutup luka dan perbandingan antara kontrol negatif serta kontrol positif dibandingkan dengan perlakuan beberapa konsentrasi kitosan (0,5 %; 1,0 %; dan 1,5 %) membuktikan bahwa perbedaan konsentrasi kitosan dalam chitoplast memberikan pengaruh yang nyata. Hambatan bakteri terbaik terdapat pada perlakuan jam ke-24 dihasilkan dari penutupan luka dengan chitoplast 1,5 % yang mampu menghambat bakteri sebesar 99,74 % atau mampu menghambat dari 6,00 x 105 hingga 1,59 x 103 koloni bakteri persampel, sedangkan untuk hasil hambatan bakteri terkecil dihasilkan dari penutupan luka dengan kontrol negatif yang mampu menghambat

bakteri sebesar 88,58 % atau mampu menghambat bakteri dari 6,00x105 hingga sebesar 6,85x104 koloni bakteri. Beda hal nya dengan hambatan bakteri yang dihasilkan oleh kontrol positif, yang hanya bisa mengahambat bakteri sebesar 94,4 %, yakni mengahambat bakteri hingga sebesar 3,36x104 koloni. Sementara untuk chitoplast dengan konsentrasi 0,5 % dan 1,0 % secara berturut turut hanya mampu menghambat bakteri sebesar 97,3 % dan 96,02 % pada perlakuan waktu dalam 24 jam.

Hambatan bakteri terbaik pada perlakuan jam ke-48 juga dihasilkan dari penutupan luka dengan chitoplast 1,5 % yang mampu menghambat bakteri sebesar 96,01% atau mampu menghambat dari 7,35x104 menjadi 2,93x103 koloni bakteri persampel, sedangkan untuk hasil hambatan bakteri terkecil dihasilkan dari penutupan luka dengan kontrol positif yang mampu menghambat bakteri sebesar 8,03 % atau mampu menghambat bakteri dari 7,35x105 hingga 6,76x104 koloni bakteri dan tidak berbeda signifikan denga kitosan 1,0 % yang mampu menghambat koloni bakteri dari 7,35x105 hingga sebesar 6,75x104 koloni bakteri . Sementara untuk chitoplast 0,5 % menghasilkan jumlah bakteri yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa penutup pada perlakuan waktu dalam 48 jam. Adanya penurunan jumlah persentase pada kontrol positif dapat disebabkan oleh zat kimia yang terkandung pada plester komersil yang digunakan karena berada pada kondisi kelembaban yang cukup tinggi.

Pada jam ke-48 hasil yang didapatkan dari semua perlakuan penutupan luka tidak berbeda jauh secara signifikan terhadap jumlah bakteri dibandingkan pada saat jam ke-24. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 2b) menunjukan bahwa chitoplast dengan konsentrasi 1,5 % memiliki hambatan yang berbeda nyata (p<0,05) serta menghasilkan hambatan bakteri yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perbedaan daya hambat bakteri yang terjadi pada setiap taraf konsentasi chitoplast mendukung pernyataan Liu (2003), yang menjelaskan bahwa aktivitas antibakteri tergantung pada konsentrasi kitosan dalam larutan. Aktivitas antibakteri dari kitosan dalam medium akan meningkat jika konsentrasi kitosan meningkat.

Menurut Rafaat et al. (2008), interaksi awal antara polikationik kitosan dan polimer dinding sel yang bermuatan negatif dipengaruhi oleh interaksi

elektrostatis dan asam teikoat. Akibatnya, pengikatan kitosan pada polimer

Dokumen terkait