• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PENGADILAN NIAGA DAN KLAUSULA ARBITRASE

C. Rancangan Undang-Undang (RUU)

Eksistensi Pengadilan Niaga di Indonesia telah ada sejak tahun 1998 pada saat krisis moneter melanda Negara Indonesia melalui PERPU No. 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan dengan UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan (UU mana kemudian diganti dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan & PKPU). Keberadaan Pengadilan Niaga ini tidak lepas dari tuntutan kebutuhan perangkat hukum yang dapat menyelesaikan sengketa di bidang komersial.

Sejak terbentuknya hingga saat ini, Pengadilan Niaga sudah menangani dan menyelesaikan banyak kasus khususnya di bidang Kepailitan dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Keberadaan lembaga ini tidak bisa dinafikan memiliki peran yang sangat besar dalam dunia peradilan dan penyelesaian

perselisihan di bidang komersial. Namun, dasar hukum atas keberadaan Pengadilan Niaga ini masih tersebar di peraturan perundang-undangan kepailitan dan HAKI, serta belum diatur di dalam UU tersendiri. Selain itu, kompetensi dan kewenangan Pengadilan Niaga saat ini masih sebatas dalam penanganan dan penyelesaian kasus di bidang kepailitan dan HAKI. Padahal, kasus-kasus di bidang komersial cukup luas cakupannya. Alhasil, terdapat beberapa pertanyaan yang perlu dijawab tentang apakah pengadilan niaga telah memiliki karakteristik kelembagaan yang telah memenuhi persyaratan dalam mengadili perkara-perkara di bidang perniagaan.

Sehubungan dengan yang dikemukakan singkat di atas dan sehubungan dengan rekomendasi yang ditawarkan oleh Cetak Biru dan Rencana Aksi tentang Pengadilan Niaga yang dibuat oleh Tim Pengarah Pengadilan Niaga, Indonesia Anti Corruption & Commercial Court Enhancement (In ACCE) Project berinisiatif menyusun RUU tentang Pengadilan Niaga yang melibatkan beberapa stakeholder terkait diantaranya Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Advokat, Kurator, LSM, akademisi, dan media. Dan kegiatan terkini yang dilakukan adalah rapat pembahasan tim yang menghasilkan RUU Pengadilan Niaga versi terakhir dan Notulen Rapat dalam membahas permasalahan fundamental tentang keberadaan Pengadilan Niaga di Indonesia.

D. Hukum Acara Perdata yang berlaku di dalam Pengadilan Niaga

Berdasarkan Pasal 300 UU No.34/2004 jo Pasal 280 ayat (1) UU No.4/1998 dibentuk suatu pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, yaitu Pengadilan Niaga, yang menurut ketentuan dalam Pasal 280 ayat (2) mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan pembayaran hutang serta berwenang pula memeriksa dan memutus

perkara lain dalam bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya dengan adanya tuntutan perkembangan, maka berdasarkan Kepres No.97/1999 dibentuk 5 (lima) Pengadilan Niaga, yaitu di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makasar (d/h Ujung Pandang), yang masing-masing berada dalam lingkungan pengadilan negeri.

Hukum Acara Perdata yang berlaku di Pengadilan Niaga Kecuali yang telah ditentukan lain oleh UUK, hukum acara dan hukum pembuktian yang berlaku pada Pengadilan Niaga adalah Hukum Acara Perdata dan pembuktian berdasarkan HIR (Herziene Indonesich Reglement) untuk Pengadilan Niaga di Jawa dan Madura serta Rbg (Reglement Buite Gewesten) untuk Pengadilan Niaga di luar Jawa dan Madura

E. Pengangkatan Hakim Niaga

Kompetensi Pengadilan Niaga memiliki kekuasaan absolut. Kekuasaannya absolut dalam hal menerima dan memeriksa serta memutuskan tentang semua permohonan pernyataan pailit dan penundan kewajiban membayar hutang.

Didalam memberikan daya dukung bagi mekanisme peradilan niaga maka direkrut Hakim Pengadilan Niaga yang dipilih dari Hakim Pengadilan Negeri sebagai Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc dari berbagai kalangan profesi hukum. Hakim yang telah direkrut tersebut kemudian diberikan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan Hakim dalam menangani perkara Pengadilan Niaga. Hakim-hakim yang mengikuti pelatihan tersebut tidak semuanya menjadi Hakim Niaga. Hakim Niaga yang terdiri dari Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya berdasarkan Keputusan Presiden dan Hakim Karir yang pengangkatanya melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Dibentuknya Pengadilan Niaga secara tidak langsung membawa konsekuensi diselenggarakannya pembentukan Hakim yang secara khusus menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran hutang. Pasal 302 Undang-Undang Kepalitan mentukan persyaratan Hakim Niaga, yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan peradilan umum; 2. Memiliki dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah

yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan ;

3. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; dan

4. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai Hakim pada pengadilan.

Pengangkatan Hakim Niaga di Jakarta Pusat terdiri dari 2 (dua) gelombang besar yaitu Gelombang I pada tahun 1998 dan Gelombang II pada tahun 2003. Pengangkatan Gelombang I diangkat dengan dasar hukum SK Ketua MA-RI No. KMA/023/SK/VIII/1998. Gelombang II diangkat dengan dasar hukum SK Ketua MA-RI No. KMA/051/SK/X/2003. Selain itu SK Individual akan dikeluarkan apabila ada kebutuhan pengangkatan Hakim niaga baru di Jakarta Pusat. Pengangkatan Hakim Niaga tersebut dipilih dari peserta-peserta pendidikan dan pelatihan pembentukan Ada dua tahap pendidikan dan latihan Hakim niaga (selanjutnya disebut dengan “diklat”), yaitu diklat pembentukan Hakim niaga yang kemudian dilanjutkan dengan diklat teknis fungsional. Runutan Pendidikan dan Pelatihan Niaga adalah sebagai berikut :

1. Diklat pra pembentukan Pengadilan Niaga diselenggarakan oleh Mahkamah Agung sebelum bulan Juli 1998 dengan peserta kurang lebih 57 (lima puluh tujuh) orang.

2. Diklat pra pembentukan yang diselenggarakan oleh BPHN dengan IMF pada bulan Juli 1998 di Jakarta dan Bulan April-Mei 1998 di kota-kota lain seperti Surabaya, Semarang, Makasar, Medan.

3. Diklat pasca pembentukan Pengadilan Niaga diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum (PPH) sejak tahun 1999.13

Diklat pembentukan Hakim niaga pertama kali diselenggarakan Mahkamah Agung pada tahun 1998. Diklat tersebut diikuti oleh 32 (tiga puluh dua) Hakim peserta dari berbagai wilayah pengadilan negeri serta juga diikuti oleh Hakim yustisial dari Mahkamah Agung RI. Dari diklat tersebut ditunjuk 17 (tujuh belas) Hakim Niaga yang kemudian ditempatkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sedangkan diklat pembentukan Hakim Niaga yang kedua dilaksanakan pada tahun 2002 setelah diadakan pembentukan Pengadilan Niaga di wilayah lain (wilayah Surabaya, Medan, Ujung Pandang dan Semarang). Dari diklat yang dilaksanakan di Jakarta tersebut diangkat 8 (delapan) orang Hakim untuk menjadi Hakim niaga pada tahun 2003. Sampai saat ini Hakim-Hakim yang pernah dan masih bertugas di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 36 (tiga puluh enam) orang. Sehingga yang diangkat menjadi Hakim niaga melalui SK Individual sebanyak 11 (sebelas) orang.

F. Pengertian Klausula Arbitrase

Proses atau cara penyelesaian sengketa bisnis yang saat ini sedang populer adalah arbitrase. Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrate (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Proses atau tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini, dalam praktiknya sudah lama

13

MaPPI FHUI, 2005, Pengembangan Karir Serta Pendidikan Latihan Hakim Niaga, http ://www.pemantauperadilan.com

dikenal di Indonesia, bahkan sebelum kemerdekaan pun penyelesaian sengketa lewat arbitrase sudah ada dan dikenal. Dalam bidang perdagangan, setelah kemerdekaan ada beberapa badan arbitrase tetap yang didirikan oleh berbagai perkumpulan dan organisasi perdagangan di Indonesia yang sekarang tentu saja tidak aktif lagi.14

Subekti menyatakan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang Hakim atau para Hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh Hakim yang mereka pilih.15

Menurut M. Yahya Harahap : Pada umumnya perjanjian arbitrase merupakan pelengkap atau perjanjian tambahan yang sering dilekatkan dalam suatu persetujuan bisnis atau persetujuan komersial, hampir selalu dibarengi dengan persetujan arbitrase, sedangkan perjanjian komersial yang berskala nasional di mana para pihak terdiri dari kalangan orang Indonesia sendiri belum seluruhnya dibarengi dengan persetujuan arbitrase.16

Menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 1, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Menurut Peraturan Prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), arbitrase adalah memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan, industri, keuangan, baik

14

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, Mengenal Arbitrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 27

15

Subekti, 1992, Arbitrase perdagangan, Bina Cipta, Bandung, halaman 1 16

bersifat nasional maupun internasional. Defenisi arbitrase menurut Peraturan Prosedur BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia), arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian. Sehubungan dengan defenisi arbitrase di atas, dapat dilihat asas-asas dalam perjanjian arbitrase adalah sebagai berikut :

a. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan secara damai.

b. Asas musyawarah, setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri.

c. Asas limitatif, yaitu pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbitrase terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan/bisnis dan industri.

d. Asas final dan binding yaitu suatu putusan arbitrase bersifat putusan akhir yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain.

Sehubungan dengan asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan/bisnis dan industri, dan hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit yang dapat menghambat penyelesaian perselisihan. Secara umum dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan antara lain :

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;

b. Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena prosedur dan administratif;

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan

e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Selain itu, ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan. Pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Ketidakpercayaan para pihak kepada Pengadilan Negeri.

Penyelesaian sengketa dengan membuat suatu gugatan melalui pengadilan akan menghabiskan jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini disebabkan biasanya melalui pengadilan umum akan melalui berbagai tingkatan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan bisa sampai ke Mahkamah Agung. Di samping itu, seringkali dijumpai bahwa dimana-mana seperti di lembaga peradilan umum dijumpai adanya tunggakan-tunggakan perkara yang menyebabkan semakin lamanya penyelesaian perkara di pengadilan.

b. Proses cepat.

Menurut Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) proses arbitrase memerlukan waktu paling lama enam bulan. Di negara sudah maju, proses

arbitrase memerlukan waktu sekitar 60 (enam puluh) hari sehingga prosesnya relatif cepat, terutama jika para pihak beritikat baik.

c. Dilakukan secara rahasia.

Suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk menyerahkan suatu sengketa kepada badan/majelis arbitrase, yaitu bahwa pemeriksaan maupun pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase dilakukan secara tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para pihak dijaga kerahasiaannnya. Sedangkan pada sidang pengadilan dilaksanakan dengan sifat terbuka untuk umum.

d. Bebas memilih arbiter.

Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang akan menyelesaikan persengketaan mereka. Jika dalam hal ini para pihak tidak bersepakat dalam memilih arbiter, dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.

e. Diselesaikan oleh ahlinya.

Dalam hal penyelesaian melalui arbitrase, saksi ahli tidak mesti diperlukan karena para pihak yang bersengketa dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter yang serba mengetahui masalah yang dipersengketakan. Dengan demikian, para pihak memilih arbitrase ini karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter terhadap persoalan yang dipersengketakan dibandingkan jika mereka menyerahkan kepada pengadilan negeri.

f. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding).

Putusan arbitrase pada umumnya dianggap final dan binding (tidak ada upaya untuk banding). Namun apabila hukum yang berlaku dalam yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksanaan putusan arbitrase melalui pengadilan, pengadilan harus mengesahkan dan tidak berhak meninjau kembali persoalan (materi) dari putusan tersebut.

g. Biaya lebih murah.

Biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya pendaftaran, biaya administrasi dan biaya arbiter yang dudah ditentukan tarifnya. Prosedur arbitrase dibuat sesederhana mungkin, tidak terlalu formal. Di samping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi di bidang atau pokok yang dipersengketakan sehingga diharapkan akan mampu memberikan putusan yang cepat dan objektif. Hal ini tentunya menghemat biaya jika dibandingkan dengan melalui pengadilan. h. Bebas memilih hukum yang diberlakukan.

Para pihak dapat memilih hukum yang akan diberlakukan, yang ditentukan oleh para pihak sendiri dalam perjanjian.

i. Eksekusinya mudah.

Pelaksanaan putusan arbitrase ini tergantung pada peraturan arbitrase yang berlaku dalam yurisdiksi di mana para pihak meminta umtuk melaksanakan putusan arbitrase. Keputusan arbitrase mungkin akan lebih cepat dilaksanakan daripada melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini disebabkan putusan arbitrase dianggap final dan tidak dapat diajukan banding, kecuali ada alasan atau dasar yang khusus.

j. Kepekaan arbiter.

Ciri penting lainnya dari arbitrase yang mendasari para pihak memilih arbitrase adalah kepekaan/kearifan dari arbiter, termasuk perangkat hukum yang akan diterapkan dalam menyelesaikan perselisihan. Sekalipun para Hakim di pengadilan dan arbiter menerapkan ketentuan hukum untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan sengketa yang dihadapinya, dalam hal-hal relevan arbiter akan memberikan perhatian yang besar terhadap keinginan, realitas dan praktik dagang para pihak.

k. Kecenderungan yang modern.

Dalam dunia perdagangan (bisnis) modern, kecenderungan yang terlihat adalah liberalisasi peraturan perundang-undangan arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan.

BAB IV

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MENGADILI PERKARA KEPAILITAN DAN KAITANNYA DENGAN

PERJANJIAN ARBITRASE

A. Kewenangan Pengadilan Niaga

Didalam menjalankan suatu usaha, satu hal yang pasti perusahaan akan memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika perusahaan itu memperoleh keuntungan, tentu saja perusahaan itu akan terus berkembang bahkan bisa menjadi perusahaan raksasa, tetapi apabila perusahaan itu mengalami kerugian, maka untuk mempertahankan usahanya akan dirasakan sangat sulit. Didalam mempertahankan usahanya tersebut biasanya perusahaan akan melakukan peminjaman kepada pihak lain. Perusahaan sebagai debitur melakukan peminjaman kepada kreditur dengan asumsi kreditur percaya debitur dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya. Pelunasan hutang oleh debitur kepada kreditur tidak selalu dapat berjalan dengan lancar adakalanya debitur tidak mampu membayar hutangnya kepada kreditur walaupun telah jatuh tempo.

Pelaksanaan perjanjian antara debitur dan kreditur biasanya tidak selalu berjalan dengan lancar sehingga dalam menyepakati suatu perjanjian para pihak adakalanya memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjian tersebut, yang mana klausul arbitrase ini sangat diperlukan bagi para pihak, terutama apabila terjadi sengketa atau perselisihan diantara para pihak. Perselisihan atau persengketaan dalam perjanjian menurut M. Yahya Harahap dapat berupa :17

17

1. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian; 2. Pelanggaran perjanjian (breaks of contract);

3. Pengakhiran perjanjian (termination of contract); dan

4. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase lebih dipilih oleh para pihak karena arbiter yang ditunjuk oleh pihak yang bersengketa dapat lebih bertanggungjawab daripada Hakim pengadilan negeri. Apalagi menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbiter atau majelis arbiter dapat dikenakan tanggung jawab hukum atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung, apabila terbukti ada itikad yang tidak baik.

Perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis baik diadakan sebelum atau sesudah perselisihan. Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak sesuai dengan isi dari Pasal 1338 KUH Perdata. Defenisi perjanjian arbitrase yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan kesepakatan berupa :

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian yang tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa.

2. Suatu perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya sengketa.

Para pihak yang dalam suatu perjanjiannya sepakat menggunakan arbitrase jika dikemudian hari terjadi perselisihan atau sengketa terhadap pelaksanaan perjanjian yang mereka buat, maka sengketa apapun yang terjadi mereka akan menggunakan arbitrase sebagai penyelesaiannya. Jika salah satu pihak dalam suatu

perjanjian kreditur dan pihak yang lain debitur, pihak debitur yang dikarenakan oleh salah satu sebab tidak membayar/berhenti membayar hutangnya kepada kreditur, maka menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga.

Terhadap hal yang demikian apabila dalam perjanjian tersebut ada klausula arbitrase apakah debitur atau kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga atau apakah Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa perkara tersebut.

Menurut M. Yahya Harahap di dalam arbitrase dikenal dua teori mengenai kekuatan perjanjian arbitrase yaitu :

1. Aliran yang Menyatakan Perjanjian Arbitrase Bukan Public Order.

Perjanjian arbitrase menurut aliran ini bukan merupakan Public Order karena arbitrase tidak mutlak menyingkirkan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang timbul dari perjanjian. Aliran ini mengakui beralihnya kewenangan menyelesaikan sengketa yang terjadi pada

arbitrase, namun peralihan kewenangan tersebut tidak mutlak. Pengadilan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara sepanjang pihak lawan tidak mengajukan eksepsi yang menyatakan bahwa perjanjian telah terikat perjanjian Arbitrase.

2. Aliran yang Menekankan Asas Pacta Sunt Servanda Pada Kekuatan Perjanjian Arbitrase.

Pacta Sunt Servanda mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang sah

(legal agreement) mengikat kepada para pihak atau agrement or promise be kept, oleh karena itu para pihak harus menaatinya. Lebih lanjut lagi maknanya dipertegas

dalam ungkapan semua persetujuan dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Jika makna pacta sunt servanda dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, serta dikaitkan dengan perjanjian, terdapat beberapa asas yang sangat esensial untuk diterapkan menentukan kewenangan yuridiksi arbitrase :

a. Setiap perjanjian mengikat para pihak;

b. Kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang; dan

c. Hanya dapat ditarik kembali atas kesepakatan bersama para pihak.

Aliran ini berpendirian, sejak para pihak mengadakan perjanjian arbitrase, para pihak mutlak telah terikat. Keterikatan itu mengakibatkan arbitrase memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dari perjanjian. Arbitrase menjadi tidak berwenang apabila para pihak sepakat untuk menarik kembali penggunaan arbitrase tersebut. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3 menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjiajn arbitrase. Hal ini berarti bahwa setiap perjanjian yang mencantumkan klausula arbitrase yang dibuat para pihak menghapus kewenangan dari pengadilan negeri untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut.

Terhadap perkara kepailitan menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang menyatakan permohonan pernyataan pailit diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga, jadi dalam hal perkara kepailitan yang berwenang dalam memeriksa dan memutuskan perkara kepalilitan adalah Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga berwenang memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah melakukan

perjanjian arbitrase karena arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa, yang bertujuan menyelesaikan perselisihan para pihak akibat dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sedangkan kepailitan berhubungan dengan status personal seseorang. Jadi dapat dikatakan Pengadilan Niaga tidak dapat memakai alasan adanya klausula arbitrase yang telah diperjanjikan oleh para pihak sebagai alasan untuk menolak suatu permohonan pailit. Alasan pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Adanya perbedaan kegunaan instrumen kepailitan dengan instrumen arbitrase. Arbitrase adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa, yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan antara para pihak akibat dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sementara kepailitan adalah suatu mekanisme yang berhubungan dengan status personal orang, dari tidak pailit menjadi pailit dengan segala konsekuensi publiknya. Artinya meskipun arbitrase dapat berperan sebagai pengganti badan peradilan dalam menyelesaikan sengketa perdata antara para pihak yang disebabkan terjadinya wanprestasi, tapi pertanyaannya apakah kewenangan arbitrase juga dapat menggantikan peran proses kepailitan yang secara langsung berhubungan dengan status personal seseorang atau badan hukum.

2. Perbedaan syarat pengajuan kepailitan, jika dibandingkan dengan syarat pengajuan gugatan kepada arbitrase.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, suatu permohonan kepailitan dapat diajukan apabila debitur memiliki dua atau lebih hutang, dan salah satu hutang telah jatuh tempo, dan dapat dibuktikan secara sederhana. Sementara arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa)

yang mewajibkan adanya sengketa/perselisihan yang perlu diselesaikan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa arbitrase dan kepailitan merupakan dua hal yang berbeda,

Dokumen terkait