• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS ATAS KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MEMUTUS PERKARA KEPAILITAN DENGAN ADANYA

KLAUSUL ARBITRASE DALAM PERJANJIAN PARA PIHAK YANG BERSENGKETA

SKRIPSI

O l e h :

RUTH ERIKA BANGUN NIM : 060 200 290

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS ATAS KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MEMUTUS PERKARA KEPAILITAN DENGAN ADANYA

KLAUSUL ARBITRASE DALAM PERJANJIAN PARA PIHAK YANG BERSENGKETA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

O l e h :

RUTH ERIKA BANGUN NIM : 060 200 290

Departemen : Hukum Keperdataan Program Khusus : Perdata BW

Disetujui Oleh :

Departemen Hukum Keperdataan Ketua

Dr. HASIM PURBA, SH, M.Hum NIP.196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. TAN KAMELLO, SH, MS M. HAYAT, SH NIP. 19620421198803104 NIP. 195008081980021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAKSI

Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang secara khusus berwenang menangani perkara kepailitan, kewenangan pengadilan Niaga adalah mutlak walaupun sebelumnya para pihak telah melakukan perjanjian arbitrase. Permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah sejauhmana sejauh mana kewenangan Pengadilan Niaga mengadili perkara kepailitan dalam kaitannya dengan keberadaan perjanjian arbitrase,bagaimana bentuk penanganan perkara kepailitan pada pengadilan niaga, dan, dan untuk mengetahui akibat hukum putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga terhadap para pihak yang berperkara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan, penanganan, dan akibat putusan kepailitan pada Pengadilan Niaga. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normarif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kepailitan dan arbitrase. Teknik Pengumpulan Data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan.. Pengolahan dan analisis data dan informasi yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengadilan Niaga berwenang memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah melakukan perjanjian arbitrase, karena arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa yang bertujuan menyelesaikan perselisihan para pihak akibat dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sedangkan kepailitan berhubungan dengan status personal seseorang.

Penanganan perkara kepailitan pada Pengadilan Niaga dilakukan berdasarkan tata cara yang telah diatur dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Apabila tidak diatur secara khusus oleh Undang-Undang Kepailitan maka penanganan diatur berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku. Dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, pernyataan pailit mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan.

(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar belakang... 1

B. Perumusan masalah... 7

C. Tujuan dan manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian penulisan ... 8

E. Tinjauan kepustakaan... 8

F. Metode penelitian... 13

G. Sistematika penulisan... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEPAILITAN A. Tinjauan umum tentang Kepailitan... 17

B. Lembaga Kepailitan dan pihak-pihak yang berhak dalam Kepailitan... 22

C. Syarat-syarat yuridis dan proses dalam mengajukan dan melakukan permintaan Kepailitan... 24

BAB III : PENGADILAN NIAGA DAN KLAUSULA ARBITRASE A. Pengertian Pengadilan Niaga ... 29

B. Sejarah lahirnya Pengadilan Niaga... 30

C. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Niaga... 36

D. Hukum Acara Perdata yang berlaku di dalam

(5)

5

Pengadilan Niaga ... 37

E. Pengangkatan Hakim Niaga... 38

F. Pengertian Klausula Arbitrase... 41

BAB IV : KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MENGADILI

PERKARA KEPAILITAN DAN KAITANNYA DENGAN PERJANJIAN ARBITRASE

a. Kewenangan Pengadilan Niaga ... 48

b. Proses penanganan perkara Kepailitan pada

Pengadilan Niaga ... 59

C. Akibat hukum putusan Pailit... 68

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 73

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA

(6)

ABSTRAKSI

Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang secara khusus berwenang menangani perkara kepailitan, kewenangan pengadilan Niaga adalah mutlak walaupun sebelumnya para pihak telah melakukan perjanjian arbitrase. Permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah sejauhmana sejauh mana kewenangan Pengadilan Niaga mengadili perkara kepailitan dalam kaitannya dengan keberadaan perjanjian arbitrase,bagaimana bentuk penanganan perkara kepailitan pada pengadilan niaga, dan, dan untuk mengetahui akibat hukum putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga terhadap para pihak yang berperkara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan, penanganan, dan akibat putusan kepailitan pada Pengadilan Niaga. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normarif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kepailitan dan arbitrase. Teknik Pengumpulan Data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan.. Pengolahan dan analisis data dan informasi yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengadilan Niaga berwenang memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah melakukan perjanjian arbitrase, karena arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa yang bertujuan menyelesaikan perselisihan para pihak akibat dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sedangkan kepailitan berhubungan dengan status personal seseorang.

Penanganan perkara kepailitan pada Pengadilan Niaga dilakukan berdasarkan tata cara yang telah diatur dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Apabila tidak diatur secara khusus oleh Undang-Undang Kepailitan maka penanganan diatur berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku. Dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, pernyataan pailit mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi

yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal

dari berbagai sumber, baik dari Bank, penanaman modal, penerbitan obligasi

maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan

penyelesaian hutang piutang dalam masyarakat. Bahwa krisis moneter yang

melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah

menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan

nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat

terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga

tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi

kewajiban pembayaran hutangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya

masalah-masalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak

lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya.

Keadaan perekonomian saat ini sangat memperihatinkan terlebih dengan

terjadinya krisis global yang awalnya terjadi di Amerika Serikat yang secara

otomatis merembet ke seluruh negara termasuk Indonesia dikarenakan

ketergantungan dunia terhadap Dollar Amerika. Krisis finansial dalam perusahaan

tidak dapat dihindarkan dimana perusahaan tidaklah selalu berjalan dengan baik

dan terkadang mengalami kesulitan di bidang keuangan sehingga perusahaan

(8)

usahanya, perusahaan membutuhkan modal, baik berupa uang ataupun berupa

barang-barang. Didalam menjalankan usaha, satu hal yang pasti perusahaan akan

memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika perusahaan itu memperoleh

keuntungan, tentu saja perusahaan itu akan terus berkembang bahkan bisa menjadi

perusahaan besar, tetapi apabila perusahaan tersebut mengalami kerugian, maka

untuk mempertahankan usahanya akan dirasakan sangat sulit.

Untuk mempertahankan usahanya tersebut perusahaan dapat melakukan

peminjaman uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Dalam kehidupan memang

tersedia sumber-sumber dana bagi seseorang atau badan hukum yang ingin

memperoleh pinjaman, dari sumber-sumber dana itulah kekurangan dana dapat

diperoleh. Pemberian pinjaman oleh kreditur kepada debitur didasarkan pada

asumsi bahwa kreditur percaya debitur dapat mengembalikan hutang tepat pada

waktunya. Pelunasan hutang oleh debitur kepada kreditur tidak selalu dapat

berjalan dengan lancar adakalanya debitur tidak membayar hutangnya kepada

kreditur walaupun telah jatuh tempo. Debitur yang tidak mampu melunasi

hutangnya, maka harta kekayaan debitur yang bergerak maupun tidak bergerak dan

baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan atas

hutangnya. Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata, dengan kata lain Pasal

1131 tersebut tidak hanya menentukan bahwa harta kekayaan seseorang debitur

demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban yang berupa membayar hutangnya

kepada kreditur yang menghutanginya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua

kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu

timbul karena undang-undang maupun karena perjanjian selain perjanjian kredit

(9)

Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditur

memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain

oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan

daripada kreditur-kreditur lainnya. Kedua Pasal yang tersebut di atas merupakan

jaminan bagi kreditur untuk mendapatkan pelunasan bagi semua piutangnya, tapi

untuk melaksanakan pembayaran hutang oleh debitur kepada kreditur dengan adil

diperlukan peraturan khusus, salah satunya adalah peraturan khusus yang mengatur

tentang kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Ketentuan yang mengatur secara

khusus tentang kepailitan pada awalnya terdapat dalam Wet Boek Van Koophandel

(WVK) buku III, namun dicabut dan diganti dengan Staatblad 1905 No. 217

Tentang Faillissemens Verordening staatblad 1906 No.348.1

Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Kepailitan yang kemudian pada tanggal 9 September 1998 ditetapkan

menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Kewajiban

Pembayaran Hutang. Pada tahun 2004, peraturan ini disempurnakan lagi dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang yang selanjutnya dikenal dengan

Undang-Undang Kepailitan (UU Kepailitan). Menurut ketentuan Undang-Undang

Kepailitan (UU Kepailitan) tersebut, kreditur dapat mengajukan permohonan

pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga.

1

(10)

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, dapat disimpulkan

bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan apabila memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut :

1. Debitur paling sedikit mempunyai dua kreditur dengan kata lain harus memiliki

lebih dari satu kreditur.

2. Debitur paling sedikit tidak membayar satu hutang kepada kreditur, dan

3. Hutang yang tidak dibayar itu telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.

Didalam pelaksanaan perjanjian antara debitur dan kreditur biasanya tidak

selalu berjalan dengan lancar sehingga dalam menyepakati suatu perjanjian para

pihak adakalanya memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjian tersebut, yang

mana klausul arbitrase ini sangat diperlukan bagi para pihak, terutama apabila

terjadi sengketa atau perselisihan diantara para pihak. Penyelesaian perselisihan

yang terjadi dapat dilakukan para pihak melalui peradilan umum dan arbitrase,

tetapi pada saat ini para pihak lebih banyak menggunakan arbitrase daripada

peradilan umum karena lebih menguntungkan para pihak dan dengan waktu yang

lebih singkat. Dasar pokok arbitrase adalah kesepakatan para pihak yang

bersengketa yang dituangkan dalam perjanjian tertulis dan mereka menunjuk pihak

ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan sengketa. Para pihak berjanji

untuk mematuhi putusan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Selain itu, di

dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa arbitrase mempunyai

(11)

1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;

2. Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena prosedur dan

administratif;

3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya;

4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah

serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan

5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui

tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Para pihak jika dalam perjanjiannya sepakat akan menggunakan arbitrase,

jika ternyata dikemudian hari terjadi perselisihan atau sengketa terhadap

pelaksanaan perjanjian yang mereka buat maka sengketa apapun yang terjadi, para

pihak tersebut akan menggunakan arbitrase sebagai penyelesaiannya.

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, kreditur dapat mengajukan

permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga apabila salah satu pihak

dalam suatu perjanjian kreditur dan pihak yang lain debitur, pihak debitur yang

dikarenakan oleh salah satu sebab tidak membayar/berhenti membayar hutangnya

kepada kreditur Terhadap hal yang demikian apabila dalam perjanjian tersebut ada

klausul arbitrase, apakah debitur atau kreditur dapat mengajukan permohonan pailit

kepada Pengadilan Niaga yang berwenang untuk memeriksa perkara tersebut atau

diselesaikan melalui prosedur arbitrase sesuai dengan isi perjanjian. Seperti dalam

perkara kepailitan antara PT. Invironmental Network Indonesia sebagai pemohon

pernyataan pailit/kreditur melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF

International Corporation sebagai termohon pailit/debitur, berdasarkan perjanjian

(12)

agrikultur atau proyek tambak udang dari termohon I dengan mengeluarkan biaya

terlebih dahulu, termasuk membayar tenaga kerja yang diperlukan, dan secara

berkala akan diganti oleh termohon I dengan menggunakan uang dari termohon II

selaku penyandang dana, akan tetapi sebelum perjanjian berakhir pihak termohon

mengakhiri secara paksa perjanjian tersebut, selain itu terdapat perbedaan jumlah

hutang yang harus dibayarkan oleh termohon kepada pemohon. Berdasarkan fakta

tersebut pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat. Akan tetapi majelis Hakim tidak mengabulkan permohonan

tersebut karena para pihak memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjiannya.

Perkara kepailitan antara PT. Invironmental Network Indonesia melawan PT. Putra

Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation tersebut diselesaikan

sampai dengan upaya hukum Peninjauan Kembali.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menulis skripsi

tentang : “Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam

Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa”.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dan dikaitkan dengan judul

skripsi, maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Niaga mengadili perkara kepailitan

dalam kaitannya dengan keberadaan perjanjian arbitrase ?

2. Bagaimana Proses penanganan perkara kepailitan pada Pengadilan Niaga ?

3. Bagaimana akibat hukum putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan

(13)

C. Tujuan dan manfaat penulisan

1. Tujuan penelitian.

a. Untuk mengetahui pihak-pihak yang berhak dalam kepailitan serta

syarat-syarat yuridis dalam mengajukan proses permintaan kepailitan.

b. Untuk mengetahui Rancangan Undang-undang tentang pengadilan niaga,

pengangkatan hakim niaga serta peraturan-peraturan hukum acara perdata

dalam pengadilan niaga dan arbitrase.

c. Untuk mengetahui kewenangan pengadilan niaga mengadili perkara

kepailitan dan kaitannya dengan perjanjian arbitrase.

2. Kegunaan penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dalam rangka pengembangan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Kepailitan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk

penelitian yang akan datang.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah “Tinjauan Yuridis Atas Kewenangan

Pengadilan Niaga Dalam Memutus Perkara Kepailitan Dengan Adanya Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Para Pihak Yang Bersengketa”. Judul

skripsi ini belum pernah ditulis, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak

ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian

(14)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Kepailitan

1.1. Pengertian Kepailitan

Dalam Black’s Law Dictionary pengertian pailit atau bankrupt adalah : “The

state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality)

whois unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person

against whom an involuntary petition has been filled, or who has filled a voluntary

petition, or whohas been adjudged a bankrupt.”

Berdasarkan pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary

tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan

ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang debitor atas utang-utangnya yang

telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan

nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri,

maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitor), suatu permohonan

pernyataan pailit ke Pengadilan Sedangkan pada UU No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan PembayaranUtang sebagai pengganti dari UU No. 4

Tahun 1998 definisi mengenai kepailitan dapat kitalihat di dalam Pasal 1 angka 1

yaitu : “Kapailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan

hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan

pendapat para ahli, dikemukakan bahwa Kepailitan adalah suatu usaha bersama

untuk mendapatkan pembayaran semua piutang secara adil.

1.2. Peraturan Perundang-undangan tentang Kepailitan

Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir

(15)

Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia”

sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348

Faillissements Verordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatif masih

banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh

Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan

ke Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak

hutang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk

membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan

dibidang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau biasanya

disingkat PKPU.

Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan

Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun

1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan

atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).

Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan

kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905

No. 217 juncto Staatbladstahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan

menambah. Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang

kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4

tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements

Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah

(16)

permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan

bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.

1.3. Tujuan Utama Kepailitan.

Adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan

debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan

terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan

mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada

semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

1.4. Lembaga Kepailitan

Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi

terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak

mampu membayar.

Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu :

a) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur

tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua

hutang-hutangnya kepada semua kreditur.

b) Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur

terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi

keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai

suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas

sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH

Perdata.

1.5. Para Pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu :

a) Atas permohonan debitur sendiri.

(17)

c) Oleh kejaksaan atas kepentingan umum.

d) Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga Bank.

e) Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan

perusahaan efek.

1.6. Syarat Yuridis untuk kepailitan adalah :

a) Adanya hutang.

b) Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

c) Adanya debitur.

d) Adanya kreditur (lebih dari satu).

e) Permohonan peryataan pailit.

f) Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga.

1.7. Adapun para pihak yang dapat melakukan permintaan kepailitan adalah :

a) Debitur.

b) Kreditur.

c) Kejaksaan demi kepentingan umum.

d) Bank Indonesia.

e) Badan Pengawas Pasar Modal.

2. Hukum Niaga dan Pengadilan Niaga

2.1. Pengertian Hukum Niaga

Hukum Niaga adalah Seperangkat peraturan-peraturan hukum yang

mengatur tentang hal yang berhubungan dengan Kepailitan, Penundaan Kewajiban

Pembayaran Hutang (PKPU), Hak atas Kekayaan Intelektuan (HaKI), Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS), dan Perkara lain di bidang perniagaan yang

(18)

2.2. Pengertian Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang dibentuk dalam

lingkungan peradilan umum dan satu-satunya pengadilan yang memiliki wewenang

untuk mengadili perkara-perkara niaga sebagai berikut :

1. Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang (PKPU), serta

hal-hal yang berkaitan dengannya, termasuk kasus-kasus actio pauliana dan

prosedur renvoi tanpa memperhatikan apakah pembuktiannya sederhana atau

tidak;

2. Hak atas Kekayaan Intelektual :

a) Desain Industri.

b) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

c) Paten.

d) Merek.

e) Hak Cipta.

3. Lembaga Penjamin Simpanan :

a.Sengketa dalam proses likuidasi.

b. Tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum Bank yang mengakibatkan

berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban Bank, yang dilakukan

dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha.

4. Perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan

Undang-undang.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat sesuai dengan permasalahan yang ada

maka perlu adanya metode dalam penelitian tersebut. Pada penulisan ini metode

(19)

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan

hukum yang berkaitan dengan kepailitan dan arbitrase.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer.

Bahan penelitian yang berasal dari peraturan perundang-undangan dan

yurisprudensi yang berkaitan dengan penulisan yang dilakukan.

b. Bahan Hukum Sekunder.

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti

buku-buku dan literatur-literatur yang ada hubungannya dengan penulisan.

c. Bahan Hukum Tersier atau Bahan Hukum Penunjang.

Bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum. Teknik pengumpulan

data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.

Penghimpunan data-data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan,

mempelajari, dan menganalisa teori-teori dan peraturan yang berhubungan

dengan permasalahan yang dibahas.

4. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah bahan hukum dikumpulkan dan diolah, kemudian dianalisis secara

kualitatif dengan menggunakan kerangka berpikir secara deduktif dan induktif

untuk menjawab permasalahan. Metode induktif yaitu menggunakan pola pikir

yang berangkat dari kenyataan yang bersifat khusus kemudian digeneralisasikan

(20)

Sedangkan metode deduktif yaitu menggunakan pola pikir yang berangkat

dari teori-teori atau aturan-atuiran yang bersifat umum kemudian dikonkritisasi

kepada fakta-fakta yang bersifat khusus yang ditemui di dalam penelitian.

Selanjutnya hasil penelitian ini disusun secara sistematis dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan

sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5

(lima) bab yaitu sebagai berikut :

Bab I. Merupakan pendahuluan yang terbagi dalam 7 (tujuh) sub bab, yaitu

latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan yang

di dalamnya menguraikan tentang pendekatan masalah, sumber data, teknik

pengumpulan data, dan analisis data, serta diuraikan pula mengenai sistematika

penulisan.

Bab II. Merupakan pembahasan mengenai Tinjauan Umum tentang

Kepailitan yang membahas tentang Pengertian dan latar belakang Kepailitan,

Lembaga Kepailitan dan pihak-pihak yang berhak dalam Kepailitan dan

Syarat-syarat yuridis dan proses dalam mengajukan dan melakukan permintaan

Kepailitan.

Bab III. Merupakan pembahasan mengenai Pengadilan Niaga dan Klausula

Arbitrase. Pengertian, sejarah lahirnya Pengadilan Niaga, Rancangan

Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Niaga, peraturan-peraturan hukum acara perdata

dalam pengadilan niaga dan Arbitrase, pengangkatan Hakim Niaga serta pengertian

(21)

Bab IV. Merupakan pembahasan mengenai bagaimana Kewenangan

Pengadilan Niaga Mengadili Perkara Kepailitan Dan Kaitannya Dengan Perjanjian

Arbitrase.

Bab V. Kesimpulan dan Saran. Berisikan tentang kesimpulan dan

saran-saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari

rumusan masalah baik permasalahan yang pertama kedua, maupun permasalahan

yang ketiga agar lebih jelas. Dan bagian kedua adalah saran. Saran merupakan

rekomendasi penulis kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya

(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEPAILITAN

A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Pengertian Kepailitan

Secara etimologi, kepailitan berasal kari kata pailit, selanjutnya istilah

“pailit” berasal dari bahasa Belanda faillet yang mempunyai arti ganda yaitu

sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah faillet sendiri berasal dari Perancis yaitu

faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan dalam

Bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail dengan arti sama, dan dalam bahasa latin

disebut failure. Kemudian istilah kepailitan dalam pengertian hukum istilah faillet

mengandung unsur-unsur tersendiri yang dibatasi secara tajam, namun definisi

mengenai pengertian itu tidak ada dalam undang-undang. Selanjutnya istilah pailit

dalam Bahasa Belanda adalah faiyit, maka ada pula sementara orang yang

menerjemahkan sebagai paiyit dan faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada

negara-negara yang berbahasa inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan

mempergunakan istilah Bankrupt dan Bankruptcy.2

Menurut Munir Fuady yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah

suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara

debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di

antara para kreditur.3

2

Viktor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan

Indonesia, Rineka Cipta Jakarta, Halaman 18 3

(23)

R. Subekti berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk

mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang secara adil.4

H. M. N. Puwosutjipto berpendapat bahwa kepailitan adalah segala sesuatu

yang berhubungan dengan peristiwa pailit. Pailit adalah keadaan

berhenti membayar (hutang-hutangnya).5

Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah ”the state or

condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is

unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person

against whom an voluntary petition has been filed, or who has been adjudged a

Bankrupt.6

Berdasarkan pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary

tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan

ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitur) atas hutang-hutangnya

yang telah jatuh tempo, ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu

tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur

sendiri maupun permintaan pihak ketiga.7

Di dalam kamus hukum dikemukakan bahwa :

Pailit diartikan sebagai keadaan dimana seorang debitur telah berhenti membayar

hutang-hutangnya. Setelah orang yang demikian atas permintaan para krediturnya

atau permintaan sendiri oleh pengadilan dinyatakan pailit maka harta kekayaan

4

R.Subekti, 1995, Pokok-Pokok Hukum Dagang, Intermasa, Jakarta, Halaman 28

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Dan Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, Halaman 28

6

Bryan A. Garner, 1999, Black Law’s Dictionary, West Group, St. Paul, Halaman 141. 7

(24)

dikuasai oleh balai harta peninggalan selaku curtirice (pengampu) dalam usaha

kepailitan tersebut untuk dimanfaatkan oleh semua kreditur.8

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan

menyebutkan defenisi kepailitan, yaitu :

1) Kepailitan berarti penyitaan umum dari semua aset dari Debitur Pailit yang

akan dikelola dan dilikuidasi oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim

Pengawas sebagaimana diatur di dalamnya;

2) Kreditur harus berarti orang yang memiliki piutang dari perjanjian atau hukum

yang dapat dikumpulkan sebelum pengadilan;

3) Debitur berarti seseorang yang memiliki hutang yang mungkin dituntut untuk

membayar sebelum pengadilan;

4) Pailit Debitur adalah suatu debitur yang telah dinyatakan pailit dengan

keputusan pengadilan;

5) Kurator akan berarti Orphan's Chamber atau individu yang ditunjuk oleh

pengadilan untuk mengelola dan melikuidasi aset Pailit Debitur di bawah

pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur di dalamnya;

6) Hutang akan berarti suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan

dalam satuan moneter di bawah Indonesia atau mata uang asing yang ada

sekarang atau setelahnya atau kontingen yang timbul dari perjanjian atau sesuai

dengan hukum yang berlaku dan harus dipenuhi oleh Debitur, yang gagal

Kreditur menjadi berhak untuk memulihkan pinjaman dari aset dari Debitur;

7) Pengadilan berarti pengadilan niaga dalam pengadilan publik;

8

(25)

8) Hakim Pengawas berarti Hakim ditunjuk oleh pengadilan pada keputusan pailit

atau penundaan kewajiban pembayaran hutang;

9) Hari adalah hari kalender dan apabila hari terakhir periode jatuh pada hari

Minggu atau hari libur, hari berarti hari berikutnya.

10) Periode berarti durasi waktu yang mengecualikan hari dimulai pada periode.

11) Orang harus berarti alam atau perusahaan orang termasuk perusahaan dalam

bentuk badan hukum atau tidak dalam likuidasi.

2. Sejarah Peraturan Kepailitan dan Tujuan Kepailitan.

2.1. Sejarah peraturan Kepailitan

Peraturan khusus tentang kepailitan, sudah ada sejak zaman penjajahan

Belanda, pada awalnya diatur dalam Wetboek van Koophandel (W.v. K). Buku

ketiga, yang berjudul van vorrzieningen in geval van onvermogen van kooplieden.

Kemudian peraturan ini dicabut dan diganti pada tahun 1905 dengan

diundangkannya Faillissements Verordening (S.1905-217) yang dinyatakan mulai

berlaku tanggal 1 November 1906.9 Kemudian peraturan ini disempurnakan

kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan akhirnya pada tanggal 9 September

1998 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998

Tentang perubahan atas Undang-Undang Kepailitan itu telah ditetapkan menjadi

Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan. Kemudian pada tahun 2004

peraturan ini kembali disempurnakan dengan diundangkannya Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar

Hutang. Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian

9

(26)

disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998

tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905

No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi,

menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan

pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan

pengadilan mengenai perkara kepailitan

Dasar umum kepailitan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

khususnya Pasal 1131 dan Pasal 1132. Sedangkan dasar khusus tentang kepailitan

di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang.

2.2. Tujuan utama Kepailitan

Tujuan utama Kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para

kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk

menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan

menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur

dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

B. Lembaga Kepailitan dan pihak-pihak yang berhak dalam Kepailitan

Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi

terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak

mampu membayar.

Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu :

a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur

tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua

(27)

b. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur

terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi

keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau

sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat

asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132

KUH Perdata.

Adapun para pihak yang dapat melakukan permintaan kepailitan adalah :

1) Debitur.

Debitur yang mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya harus dapat

mengemukakan dan membuktikan bahwa debitur memiliki lebih dari satu

kreditur, selain itu debitur harus bisa membuktikan bahwa ia tidak membayar

Hutang kreditur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

2) Kreditur.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan (UU Kepailitan) dinyatakan

bahwa salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit

adalah seorang kreditur atau lebih sepanjang debitur memiliki dua atau lebih

kreditur dan tidak membayar hutangnya.

3) Kejaksaan untuk Kepentingan Umum

Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk

kepentingan umum, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

Kepailitan (UU Kepailitan), yang dimaksud dengan kepentingan umum disini

adalah kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas

misalnya :

a) debitur melarikan diri;

(28)

c) debitur mempunyai hutang pada BUMN atau badan usaha lain yang

menghimpun dana dari masyarakat;

d) debitur mempunyai hutang yang berasal dari penghimpunan dana dari

masyarakat luas;

e) debitur tidak beritikat baik atau kooperatif dalam menyelesaikan masalah

hutang piutang yang telah jatuh tempo atau telah jatuh waktu;

f) dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

4) Bank Indonesia

Pengajuan permohonan pailit bagi Bank sepenuhnya merupakan

kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian

kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan.

5) Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM)

Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam

hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansiinstansi yang

berada dibawah pengawasannya seperti Bank Indonesia.

6) Menteri Keuangan

Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana

pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang

kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan

oleh menteri keuangan.

C. Syarat-syarat Yuridis dan Proses Dalam Mengajukan dan Melakukan Permintaan Kepailitan

Ada beberapa syarat yuridis untuk mengajukan dan melakukan permintaan

(29)

1. Adanya hutang.

2. Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

3. Adanya debitur.

4. Adanya kreditur (lebih dari satu).

5. Permohonan peryataan pailit.

6. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Adapun Langkah-langkah dalam mengajukan dan melakukan permintaan

kepailitan :

1) Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4

Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis diatas.

2) Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai

sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.

3) Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran hutang-piutang, pada langkah ini

dilakukan pendataan berapa jumlah hutang dan piutangyang dimiliki oleh

debitur. Verifikasi hutang merupakan tahap yang paling penting dalam

kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing-masing

kreditur. Rapat verifikasi dipimpin oleh Hakim pengawas dan dihadiri oleh :

a) Panitera (sebagai pencatat),

b) Debitur (tidak boleh diwakilkan karena nanti debitur harus menjelaskan

kalau nanti terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah tagihan,

c) Kreditur atau kuasanya (jika berhalangan untuk hadir tidak apa-apa,

nantinya mengikuti hasil rapat),

d) Kurator (harus hadir karena merupakan pengelola aset).

4) Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika

(30)

diupayakan dan diagendakan. Ada beberapa perbedaan antara perdamaian yang

terjadi dalam proses kepailitan dengan perdamaian yang biasa. Perdamaian

dalam proses kepailitan meliputi :

a) Mengikat semua kreditur kecuali kreditur separatis, karena kreditur separatis

telah dijamin tersendiri dengan benda jaminan yang terpisah dengan harta

pailit umumnya.

b) Terikat formalitas,

c) Ratifikasi dalam sidang homologasi,

d) Jika pengadilan niaga menolak adanya hukum kasasi,

e) Ada kekuatan eksekutorial, apa yang tertera dalam perdamaian,

pelaksanaanya dapat dilakukan secara paksa.

Tahap-tahap dalam proses perdamaian antara lain :

a) Pengajuan usul perdamaian,

b) Pengumuman usulan perdamaian,

c) Rapat pengambilan keputusan,

d) Sidang homologasi,

e) Upaya hukum kasasi,

f) Rehabilitasi.

5) Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika

proses perdamaian diterima.

6) Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar-benar tidak

mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlahnya

dengan hutangnya. Hal tentang insolvensi ini sangat menentukan nasib debitur,

apakah akan ada eksekusi atau terjadi restrukturisasi hutang dengan damai.

(31)

(a) Saat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian,

(b) Penawaran perdamaian ditolak,

(c) Pengesahan perdamaian ditolak oleh Hakim.

Dengan adanya insolvensi maka harta pailit segera dieksekusi dan dibagi

kepada para kreditur.

7) Pemberesan/likuidasi, yaitu ppenjualan harta kekayaan debitur pailit, yang

dibagikan kepad kreditur konkuren, setelah dikurangi biaya-biaya.

8) Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi

dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian ditolak

maka rehabilitasi tidak ada. Syarat rehabilitsi adalah : telah terjadi perdamaian,

telah terjadi pembayaran hutang secara penuh dan Kepailitan berakhir.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) maka dapat disimpulkan debitur

dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Debitur paling sedikit memiliki 2 (dua) kreditur. Keberadaan 2 (dua) kreditur

merupakan syarat yang disebutkan dalam Undang-Undang Kepailitan (UU

Kepailitan) ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata bahwa harta kekayaan debitur

harus dibagi secara adil kepada setiap kreditur.

2. Debitur paling sedikit tidak membayar 1 (satu) hutang kepada salah satu

kreditur.

Pengertian keadaan berhenti membayar hutang-hutang harus diartikan sebagai

suatu keadaan bahwa debitur tidak membayar hutangnya yang seharusnya

dibayar. Apabila debitur baru satu kali tidak membayar, maka dia belum dapat

dikatakan suatu keadaan berhenti membayar. Keadaan berhenti membayar

adalah adanya lebih dari satu kali tidak membayar, keadaan ini merupakan

(32)

3. Hutang yang belum dibayar telah jatuh tempo dan sudah dapat ditagih. Hutang

jatuh waktu dan dapat ditagih memiliki pengertian yang berbeda. Hutang yang

telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi hutang yang dapat ditagih, namun

hutang yang telah dapat ditagih belum tentu hutang yang telah jatuh waktu.

Hutang dikatakan jatuh waktu apabila telah sampai jadwal waktunyan untuk

dilunasi oleh debitur. Suatu hutang sekalipun waktunya belum tiba, tetapi

mungkin saja hutang itu dapat ditagih karena terjadi wanprestasi sebagaimana

(33)

BAB III

PENGADILAN NIAGA DAN KLAUSULA ARBITRASE

A. Pengertian Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang secara khusus berwenang

menangani perkara kepailitan, kewenangan pengadilan Niaga adalah mutlak

walaupun sebelumnya para pihak telah melakukan perjanjian arbitrase.

Permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah sejauhmana sejauh mana

kewenangan Pengadilan Niaga mengadili perkara kepailitan dalam kaitannya

dengan keberadaan perjanjian arbitrase, bagaimana bentuk penanganan perkara

kepailitan pada pengadilan niaga, dan, dan untuk mengetahui akibat hukum putusan

pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga terhadap para pihak yang berperkara.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengadilan Niaga berwenang

memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah melakukan perjanjian

arbitrase, karena arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa yang

bertujuan menyelesaikan perselisihan para pihak akibat dilanggarnya

ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sedangkan kepailitan berhubungan dengan status

personal seseorang.

Penanganan perkara Kepailitan pada Pengadilan Niaga dilakukan

berdasarkan tata cara yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang pada Pasal 6

sampai dengan Pasal 14. Apabila tidak diatur secara khusus oleh Undang-Undang

Kepailitan maka penanganan diatur berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku.

Dalam Pasal 24 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

(34)

debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya,

terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan.

B. Sejarah Lahirnya Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga merupakan pengadilan sehari-hari bagi golongan rakyat

yang berkecimpung dalam dunia usaha perniagaan, perdagangan, perekonomian,

keuangan, perbankan, industri dan sebagainya, yang didalam menjalankan

manajemen perusahaan sering mengalami masa pertumbuhan dan masa kesulitan

atau bahkan menuju kebangkrutan. Secara khusus Pengadilan Niaga yang dibentuk

atas dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) yang

menangani secara terbatas masalah-masalah yang berkaitan dengan kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran hutang (PKPU). Pembentukan Pengadilan Niaga

ini merupakan diferensiasi atas Peradilan Umum yang dimungkinkan

pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang

Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Kepailitan, peradilan khusus ini disebut Pengadilan Niaga.

Diundangkannya Undang-Undang Kepailitan sebagai perbaikan terhadap

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kepailitan dan membawa

beberapa perubahan penting, diantaranya adalah pembentukan Pengadilan Niaga

sebagai wadah untuk menyelesaikan perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Hutang (PKPU). Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan

(35)

Niaga merupakan suatu langkah awal bagi reformasi peradilan untuk memenuhi

kebutuhan dalam bidang perekonomian.10

Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Pengadilan Niaga perlu

dibentuk. Salah satunya adalah keadaan ekonomi Indonesia saat itu yang

diperkirakan akan mengalami lonjakan besar kasus kepailitan. Pembentukan

Pengadilan Niaga juga dimaksudkan sebagai model percontohan bagi pengadilan

Indonesia yang dapat bekerja secara baik dan tertib. Rencana untuk memiliki

institusi sejenis Pengadilan Niaga telah bergulir sejak diundangkannya

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai Kekuasaan KeHakiman. Selain membagi

kekuasaan pengadilan di 4 (empat) lingkungan peradilan, menurut undang-undang

ini juga tidak tertutup kemungkinan diadakannya suatu pengkhususan

(diferensiasi/spesialisasi) di masing-masing lingkungan peradilan. Misalnya dalam

Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas,

Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya sesuai dengan aturan

dalam Undang- Undang.11

Hal senada juga ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1986 tentang Peradilan Umum mengenai Peradilan Umum yang menyebutkan

bahwa dalam lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengkhususan yang

diatur dalam undang-undang.

Pengkhususan inilah yang kini diwujudkan dalam bentuk Pengadilan Niaga

yang dikenal saat ini. Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang tersebut mengemukakan :

Yang dimaksud dengan diadakan pengkhususan ialah diadakannya

diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan umum, misalnya Pengadilan Lalu

10

MaPPI FHUI, 2005, Pengembangan Karir Serta Pendidikan Latihan Hakim Niaga, http ://www.pemantauperadilan.com

11

(36)

Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan ekonomi. Pada dasarnya telah pernah ada

contoh pengkhususan pada Pengadilan Umum, yaitu Pengadilan Ekonomi pada

tahun 1955.

Pengadilan Ekonomi pada saat itu mempunyai kewenangan yang istimewa

dalam memeriksa perkara-perkara tindak pidana ekonomi secara khusus oleh

Hakim-Hakim istimewa yang memang mempunyai keahlian khusus di bidang itu.12

Pengkhususan ini kemudian diikuti dengan pembentukan Pengadilan Anak

sebagai hasil dari keleluasaan yang diberikan oleh Pasal 10 Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970. Kedua pengkhususan pengadilan ini terlihatberbeda. Pengadilan

ekonomi bukan saja mempunyai kekhususan pada hukum acara namun juga

mempunyai Hakim ekonomi khusus, jaksa khusus, serta gedung yang khusus pula.

Berbeda halnya dengan Pengadilan Anak yang hanya mempunyai hukum acara

yang khusus saja. Meskipun disebutkan bahwa dalam Pengadilan Anak diperlukan

Hakim yang khusus namun pada kenyataanya Hakim ini adalah Hakim umum yang

mendapat pelatihan khusus untuk menjadi Hakim Anak. Kemudian hanya di

Bandung saja yang mempunyai gedung khusus bagi Pengadilan Anak, selain itu

semua gedung Pengadilan Anak tetap menyatu dengan gedung Pengadilan Negeri.

Kenyataan saat ini menunjukan bahwa Pengadilan Niaga lebih diperlakukan

sebagai pengkhususan pengadilan seperti yang dicontohkan oleh Pengadilan Anak

daripada pengadilan pengkhususan seperti yang dicontohkan oleh Pengadilan

Ekonomi di tahun 1955. Dengan demikian tak heran apabila sistem pendukung

pengadilan seperti sistem kepegawaian Hakim, sistem kepegawaian staf-staf

pengadilan lainnya, dan sistem pengadaan infrastruktur pengadilan tunduk pada

peraturan yang berlaku di Peradilan Umum.

12

(37)

Kecenderungan ini bukan saja diberlakukan pada Pengadilan Niaga saja

tetapi juga pada semua pengadilan baru lain yang merupakan pengkhususan dari 4

lingkup Pengadilan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Hal ini

menunjukan bahwa Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

diterjemahkan sebagai suatu pengkhususan pada prosedur suatu perkara tertentu

saja tanpa kekhususan lain pada sistem pendukung Pengadilan tersebut. Keadaan

ini dianggap telah melenceng dari tujuan awal semula yang memaksudkan

Pengadilan Niaga untuk mendekati contoh pengkhususan Pengadilan Ekonomi,

dengan segala perangkat istimewa untuk mengatasi perkara-perkara niaga yang

dikhawatirkan dan diperkirakan akan membludak akibat krisis ekonomi di

Indonesia pada saat itu.

Secara konvensi teori perundang-undangan, pembentukan suatu pengadilan

khusus biasanya dilakukan melalui satu undang-undang tersendiri yang

mengamanatkan pembentukannya tersebut. Keistimewaan pembentukan Pengadilan

Niaga tersebut tak lepas dari upaya perbaikan terhadap peraturan mengenai

kepailitan yang ada sebelum tahun 1998, yaitu Failissement Verordening (FV)

Staatsblaad 1905 No. 217 tahun 1906 No. 348. Upaya perbaikan tersebut dianggap

merupakan salah satu solusi utama yang perlu mendapat prioritas karena Indonesia

mengalami krisis perekonomian pada tahun 1998, sehingga lahirlah Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang (Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang) Nomor 1 tahun 1998, yang kemudian oleh Dewan Perwakilan Rakyat

menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (Undang-Undang Kepailitan).

Dalam Undang-Undang inilah pendirian Pengadilan Niaga diatur, yaitu dalam Pasal

1 angka (1), Pasal 280 angka (2) serta Pasal 281. Penjelasan Pasal 1 angka (1)

(38)

adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan dibidang

perniagaan yang dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum…..”

Pembentukan Pengadilan Niaga adalah dipisahkannya yurisdiksi untuk

memeriksa permohonan pailit dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Niaga.

Undang-undang mengatur bahwa dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, maka

permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran hutang hanya dapat

diperiksa oleh Pengadilan Niaga. Undang-Undang Kepailitan hanya memerintahkan

pembentukan satu Pengadilan Niaga, yaitu pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Namun secara bertahap, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber

daya manusia, maka keberadaan Pengadilan Niaga akan diperluas ke daerah-daerah

lain. Tidak lama setelah Pengadilan Niaga beroperasi pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, maka melalui Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999, pemerintah

membentuk Pengadilan Niaga pada empat wilayah Pengadilan Negeri lainnya, yaitu

di Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan

Surabaya, dan Pengadilan Semarang.

Sebelum pembentukan Pengadilan Niaga di wilayah lain, maka Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk menerima permohonan pailit atas debitur di

seluruh wilayah Indonesia. Dengan dibentuknya empat Pengadilan Niaga Tersebut,

maka pembagian wilayah yurisdiksi relatif bagi perkara yang diajukan kepada

Pengadilan Niaga menjadi sebagai berikut. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi wilayah propinsi Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Propinsi

Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Daerah Istimewa

(39)

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi

propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,

Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-Timur.

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang

meliputi propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembagian ini

sekaligus mereduksi kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat, sehingga hanya daerah hukumnya hanya meliputi Propinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.

Bagi permohonan pailit yang tengah dalam proses penyelesaian di Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat diperkenankan untuk menyelesaikan permohonan pailit

tersebut di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sedangkan bagi permohonan pailit yang

sudah diajukan namun belum diproses, maka penanganannya dapat mulai dialihkan

ke Pengadilan lain yang memiliki kewenangan relatif tersebut.

C. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Niaga

Eksistensi Pengadilan Niaga di Indonesia telah ada sejak tahun 1998 pada

saat krisis moneter melanda Negara Indonesia melalui PERPU No. 1 Tahun 1998

yang kemudian disahkan dengan UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan (UU

mana kemudian diganti dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan &

PKPU). Keberadaan Pengadilan Niaga ini tidak lepas dari tuntutan kebutuhan

perangkat hukum yang dapat menyelesaikan sengketa di bidang komersial.

Sejak terbentuknya hingga saat ini, Pengadilan Niaga sudah menangani dan

menyelesaikan banyak kasus khususnya di bidang Kepailitan dan Hak Atas

Kekayaan Intelektual (HAKI). Keberadaan lembaga ini tidak bisa dinafikan

(40)

perselisihan di bidang komersial. Namun, dasar hukum atas keberadaan Pengadilan

Niaga ini masih tersebar di peraturan perundang-undangan kepailitan dan HAKI,

serta belum diatur di dalam UU tersendiri. Selain itu, kompetensi dan kewenangan

Pengadilan Niaga saat ini masih sebatas dalam penanganan dan penyelesaian kasus

di bidang kepailitan dan HAKI. Padahal, kasus-kasus di bidang komersial cukup

luas cakupannya. Alhasil, terdapat beberapa pertanyaan yang perlu dijawab tentang

apakah pengadilan niaga telah memiliki karakteristik kelembagaan yang telah

memenuhi persyaratan dalam mengadili perkara-perkara di bidang perniagaan.

Sehubungan dengan yang dikemukakan singkat di atas dan sehubungan

dengan rekomendasi yang ditawarkan oleh Cetak Biru dan Rencana Aksi tentang

Pengadilan Niaga yang dibuat oleh Tim Pengarah Pengadilan Niaga, Indonesia Anti

Corruption & Commercial Court Enhancement (In ACCE) Project berinisiatif

menyusun RUU tentang Pengadilan Niaga yang melibatkan beberapa stakeholder

terkait diantaranya Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat, Advokat, Kurator, LSM, akademisi, dan media. Dan kegiatan

terkini yang dilakukan adalah rapat pembahasan tim yang menghasilkan RUU

Pengadilan Niaga versi terakhir dan Notulen Rapat dalam membahas permasalahan

fundamental tentang keberadaan Pengadilan Niaga di Indonesia.

D. Hukum Acara Perdata yang berlaku di dalam Pengadilan Niaga

Berdasarkan Pasal 300 UU No.34/2004 jo Pasal 280 ayat (1) UU No.4/1998

dibentuk suatu pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, yaitu

Pengadilan Niaga, yang menurut ketentuan dalam Pasal 280 ayat (2) mempunyai

kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan

(41)

perkara lain dalam bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan

Peraturan Pemerintah. Selanjutnya dengan adanya tuntutan perkembangan, maka

berdasarkan Kepres No.97/1999 dibentuk 5 (lima) Pengadilan Niaga, yaitu di

Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makasar (d/h Ujung Pandang), yang

masing-masing berada dalam lingkungan pengadilan negeri.

Hukum Acara Perdata yang berlaku di Pengadilan Niaga Kecuali yang telah

ditentukan lain oleh UUK, hukum acara dan hukum pembuktian yang berlaku pada

Pengadilan Niaga adalah Hukum Acara Perdata dan pembuktian berdasarkan HIR

(Herziene Indonesich Reglement) untuk Pengadilan Niaga di Jawa dan Madura

serta Rbg (Reglement Buite Gewesten) untuk Pengadilan Niaga di luar Jawa dan

Madura

E. Pengangkatan Hakim Niaga

Kompetensi Pengadilan Niaga memiliki kekuasaan absolut. Kekuasaannya

absolut dalam hal menerima dan memeriksa serta memutuskan tentang semua

permohonan pernyataan pailit dan penundan kewajiban membayar hutang.

Didalam memberikan daya dukung bagi mekanisme peradilan niaga maka

direkrut Hakim Pengadilan Niaga yang dipilih dari Hakim Pengadilan Negeri

sebagai Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc dari berbagai kalangan profesi hukum.

Hakim yang telah direkrut tersebut kemudian diberikan pelatihan guna

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan Hakim dalam menangani perkara

Pengadilan Niaga. Hakim-hakim yang mengikuti pelatihan tersebut tidak semuanya

menjadi Hakim Niaga. Hakim Niaga yang terdiri dari Hakim Ad-Hoc yang

pengangkatannya berdasarkan Keputusan Presiden dan Hakim Karir yang

(42)

Dibentuknya Pengadilan Niaga secara tidak langsung membawa

konsekuensi diselenggarakannya pembentukan Hakim yang secara khusus

menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran hutang. Pasal

302 Undang-Undang Kepalitan mentukan persyaratan Hakim Niaga, yaitu antara

lain sebagai berikut :

1. Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan peradilan umum;

2. Memiliki dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah

yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan ;

3. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; dan

4. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai Hakim pada

pengadilan.

Pengangkatan Hakim Niaga di Jakarta Pusat terdiri dari 2 (dua) gelombang

besar yaitu Gelombang I pada tahun 1998 dan Gelombang II pada tahun 2003.

Pengangkatan Gelombang I diangkat dengan dasar hukum SK Ketua MA-RI No.

KMA/023/SK/VIII/1998. Gelombang II diangkat dengan dasar hukum SK Ketua

MA-RI No. KMA/051/SK/X/2003. Selain itu SK Individual akan dikeluarkan

apabila ada kebutuhan pengangkatan Hakim niaga baru di Jakarta Pusat.

Pengangkatan Hakim Niaga tersebut dipilih dari peserta-peserta pendidikan dan

pelatihan pembentukan Ada dua tahap pendidikan dan latihan Hakim niaga

(selanjutnya disebut dengan “diklat”), yaitu diklat pembentukan Hakim niaga yang

kemudian dilanjutkan dengan diklat teknis fungsional. Runutan Pendidikan dan

Pelatihan Niaga adalah sebagai berikut :

1. Diklat pra pembentukan Pengadilan Niaga diselenggarakan oleh Mahkamah

Agung sebelum bulan Juli 1998 dengan peserta kurang lebih 57 (lima puluh

(43)

2. Diklat pra pembentukan yang diselenggarakan oleh BPHN dengan IMF pada

bulan Juli 1998 di Jakarta dan Bulan April-Mei 1998 di kota-kota lain seperti

Surabaya, Semarang, Makasar, Medan.

3. Diklat pasca pembentukan Pengadilan Niaga diselenggarakan oleh Pusat

Pengkajian Hukum (PPH) sejak tahun 1999.13

Diklat pembentukan Hakim niaga pertama kali diselenggarakan Mahkamah

Agung pada tahun 1998. Diklat tersebut diikuti oleh 32 (tiga puluh dua) Hakim

peserta dari berbagai wilayah pengadilan negeri serta juga diikuti oleh Hakim

yustisial dari Mahkamah Agung RI. Dari diklat tersebut ditunjuk 17 (tujuh belas)

Hakim Niaga yang kemudian ditempatkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Sedangkan diklat pembentukan Hakim Niaga yang kedua dilaksanakan pada tahun

2002 setelah diadakan pembentukan Pengadilan Niaga di wilayah lain (wilayah

Surabaya, Medan, Ujung Pandang dan Semarang). Dari diklat yang dilaksanakan di

Jakarta tersebut diangkat 8 (delapan) orang Hakim untuk menjadi Hakim niaga

pada tahun 2003. Sampai saat ini Hakim-Hakim yang pernah dan masih bertugas di

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 36 (tiga puluh enam) orang. Sehingga

yang diangkat menjadi Hakim niaga melalui SK Individual sebanyak 11 (sebelas)

orang.

F. Pengertian Klausula Arbitrase

Proses atau cara penyelesaian sengketa bisnis yang saat ini sedang populer

adalah arbitrase. Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrate (bahasa latin) yang

berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Proses atau

tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini, dalam praktiknya sudah lama

13

(44)

dikenal di Indonesia, bahkan sebelum kemerdekaan pun penyelesaian sengketa

lewat arbitrase sudah ada dan dikenal. Dalam bidang perdagangan, setelah

kemerdekaan ada beberapa badan arbitrase tetap yang didirikan oleh berbagai

perkumpulan dan organisasi perdagangan di Indonesia yang sekarang tentu saja

tidak aktif lagi.14

Subekti menyatakan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan

sengketa oleh seorang Hakim atau para Hakim berdasarkan persetujuan bahwa para

pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh Hakim yang

mereka pilih.15

Menurut M. Yahya Harahap : Pada umumnya perjanjian arbitrase

merupakan pelengkap atau perjanjian tambahan yang sering dilekatkan dalam suatu

persetujuan bisnis atau persetujuan komersial, hampir selalu dibarengi dengan

persetujan arbitrase, sedangkan perjanjian komersial yang berskala nasional di

mana para pihak terdiri dari kalangan orang Indonesia sendiri belum seluruhnya

dibarengi dengan persetujuan arbitrase.16

Menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 1, Arbitrase adalah cara

penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Menurut Peraturan Prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia),

arbitrase adalah memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam

sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan, industri, keuangan, baik

14

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, Mengenal Arbitrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 27

15

Subekti, 1992, Arbitrase perdagangan, Bina Cipta, Bandung, halaman 1 16

(45)

bersifat nasional maupun internasional. Defenisi arbitrase menurut Peraturan

Prosedur BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia), arbitrase adalah

penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri,

keuangan, jasa dan lain-lain serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa

adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan

perjanjian. Sehubungan dengan defenisi arbitrase di atas, dapat dilihat asas-asas

dalam perjanjian arbitrase adalah sebagai berikut :

a. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan

perselisihan secara damai.

b. Asas musyawarah, setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara

musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu

sendiri.

c. Asas limitatif, yaitu pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui

arbitrase terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan/bisnis

dan industri.

d. Asas final dan binding yaitu suatu putusan arbitrase bersifat putusan akhir yang

tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain.

Sehubungan dengan asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk

menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan/bisnis dan industri, dan hak

pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan

suatu putusan yang cepat dan adil tanpa adanya formalitas atau prosedur yang

berbelit yang dapat menghambat penyelesaian perselisihan. Secara umum

dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan

(46)

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;

b. Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena prosedur dan

administratif;

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai

pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah

yang disengketakan, jujur dan adil;

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah

serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan

e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui

tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Selain itu, ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk

memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan. Pertimbangan tersebut

adalah sebagai berikut :

a. Ketidakpercayaan para pihak kepada Pengadilan Negeri.

Penyelesaian sengketa dengan membuat suatu gugatan melalui pengadilan akan

menghabiskan jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini disebabkan biasanya

melalui pengadilan umum akan melalui berbagai tingkatan, yaitu Pengadilan

Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan bisa sampai ke Mahkamah Agung. Di

samping itu, seringkali dijumpai bahwa dimana-mana seperti di lembaga

peradilan umum dijumpai adanya tunggakan-tunggakan perkara yang

menyebabkan semakin lamanya penyelesaian perkara di pengadilan.

b. Proses cepat.

Menurut Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) proses arbitrase

Referensi

Dokumen terkait

Utan Utomo : Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan…, 2005 USU Repository © 2008... Utan Utomo : Analisis Utang Pada Beberapa Putusan

Seorangt debitor dapat dikatakan dalam keadaan jatuh pailit setelah adanya pernyataan kepailitan oleh pengadilan negeri dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga

Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) penerapan Pembuktian Sederhana dalam praktik di Pengadilan Niaga atas perkara kepailitan, dan (2) Hambatan yang terjadi

Kompetensi Relative pada Pengadilan Niaga tercantum dalam Pasal 3 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dimana

kewenangan Pengadilan Niaga yang saat ini keberadaanya diatur dalam Undang- Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta undang-undang yang menyangkut

Penanganan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak terlepas dari bukti awal yang dimiliki oleh Pemohon Pailit, apakah alat-alat bukti yang dimiliki oleh Pemohon Pailit

mengadili jatuh kepada Pengadilan Umum (Negeri). Eksistensi Pengadilan Niaga saat ini adalah memeriksa perkara kepailitan/PKPU dan bidang HaKI. Berbagai masalah yang terkait

Penanganan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak terlepas dari bukti awal yang dimiliki oleh Pemohon Pailit, apakah alat-alat bukti yang dimiliki oleh Pemohon Pailit