- Undang-Undang Arbitrase telah memberikan pengaturan yang sangat jelas mengenai hal ini. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase disebutkan bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perselisihan antara pihak-pihak yang terikat pada suatu perjanjian arbitrase”. Untuk mengatasi permasalahan yang ada, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UU Kepailitan 1998 ). Pada awal berdirinya, pengadilan niaga hanya mempunyai kewenangan memutus perkara kepailitan dan perkara lain di bidang perdagangan, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 280 ayat (2) Undang-undang Kepailitan tahun 1998: “...juga berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara lain di bidang perdagangan...".
Seiring berjalannya waktu, yurisdiksi pengadilan niaga semakin meluas dengan diberlakukannya beberapa undang-undang yang menyebutkan pengadilan niaga sebagai badan yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul berdasarkan aturan undang-undang tersebut. Seperti pada UU KPKPU yang memperluas kewenangan peradilan niaga yang semula hanya berupa pengadilan khusus (pengadilan luar biasa) pada lingkungan peradilan umum yang hanya memutus perkara kepailitan, maka undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pengadilan niaga untuk memutus perkara utang. penundaan. Kewajiban Pembayaran (PKPU). Selain itu penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian yang memuat klausul arbitrase merupakan salah satu bentuk perwujudan asas pacta sunt servanda, karena akibat hukum perjanjian atau klausul arbitrase tersebut memberikan kekuasaan mutlak kepada lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya, karena perjanjian yang dicapai adalah sah sebagai undang-undang bagi mereka yang menyetujui perjanjian itu. 60.
Sedangkan penyelesaian perkara kepailitan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, merupakan kewenangan Pengadilan Niaga dengan aturan yang sangat jelas dalam Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan Tahun 1998 dan dalam Pasal 300 ayat (1) UU KPKPU, dimana UU KPKPU mencabut UU Kepailitan Tahun 1998. Ketika Undang-Undang Kepailitan tahun 1998 mulai berlaku, belum ada ketentuan yang secara jelas menyebutkan lembaga mana yang mempunyai kewenangan mutlak untuk menyelidiki dan menangani perkara kepailitan yang didalam perjanjian antara salah satu pihak dengan debitur terdapat klausul atau perjanjian arbitrase. Perkara dengan pola seperti ini terus terjadi seiring dengan belum adanya undang-undang yang mengatur secara jelas mengenai kewenangan pengadilan niaga dalam penyidikan perkara kepailitan yang memuat klausul arbitrase, salah satunya adalah perkara kepailitan tingkat kasasi No. 12K/N/1999 dimana putusan dalam perkara ini menjadi hukum perkara.
Pada tanggal 18 Oktober 2004, Presiden Republik Indonesia saat itu, Megawati Soekarnoputri, mengesahkan dan mengundangkan UU KPKPU. Undang-undang ini memperkenalkan beberapa ketentuan baru, salah satunya adalah pengaturan mengenai yurisdiksi pengadilan niaga dalam memeriksa perkara kepailitan yang mengandung klausul arbitrase. Pasal 303 UU KPKPU menyatakan bahwa “Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan tuntutan permulaan kepailitan oleh para pihak yang terikat oleh perjanjian yang memuat klausula arbitrase, apabila utang yang menjadi dasar permulaan kepailitan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2(1) Undang-undang ini."
67 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bahwa UU KPKPU dipandang sebagai perwujudan asas lex specialis derogat legi generalis dari UU Arbitrase karena UU KPKPU dengan jelas menyebutkan bahwa yang berwenang memutus dan meninjau perkara kepailitan hanyalah Pengadilan Ekonomi. 69 Penjelasan Pasal 303 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pasal 303 UU KPKPU sebagai aturan baru UU Kepailitan menggantikan ketentuan-ketentuan yang merupakan yurisdiksi arbitrase absolut dalam UU Arbitrase mengenai perkara kepailitan yang memuat klausul arbitrase. Dalam literatur lain, kewenangan peradilan niaga dipandang tidak bertentangan dengan UU Arbitrase ketika mengadili perkara kepailitan yang memuat klausul arbitrase. Menurut UU KPKPU, pengajuan pailit hanya diwajibkan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo.
Oleh karena itu, pengadilan niaga tetap berwenang mengusut perkara kepailitan yang dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase sebagaimana tercantum secara tegas dalam pasal 303 UU KPKPU, sepanjang syarat-syarat pokok kepailitan dapat dipenuhi dan dibuktikan secara sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat. (1) ya.
ANALISIS KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM PENYELESAIAN KASUS PADA PUTUSAN NOMOR
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Majelis hakim berpendapat eksepsi yang diajukan yaitu Exceptiono Dilatoria dan Exceptiono Non Adimpleti Contractus, materi eksepsi yang bersangkutan masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, apabila menyentuh inti materi pokok perkara, oleh karena itu sah tidak tepat untuk menyerahkannya pada tahap pengecualian ini. Selanjutnya, dalam pokok perkara, majelis hakim mempertimbangkan utang yang disangkakan masing-masing pihak dengan memperhatikan syarat pernyataan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU. Dalam pemeriksaan persidangan, muncul fakta persidangan mengenai hubungan timbal balik antara Pemohon dan Termohon Pailit.
Pengadilan menilai penggugat dapat bertindak sebagai kreditur dengan adanya kesepakatan bersama, yaitu sebagai pihak yang memasok bahan baku dan jasa utilitas kepada tergugat sebagai debiturnya, dan sebaliknya Pemohon dapat menjadi debitur dalam posisi menerima gas dari pelanggan PT SMR. Senat juga berpendapat bahwa penggugat harus membuktikan posisinya sebagai kreditur (pemasok bahan baku dan jasa utilitas) kepada tergugat sebagai debitur. Penggugat telah merealisasikan prestasinya, namun tergugat belum memenuhi kewajiban membayar prestasi penggugat, sehingga tergugat berhutang budi kepada penggugat.
Majelis hakim berpendapat, meskipun ketentuan Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menetapkan bahwa suatu perkara yang diajukan ke arbitrase (adanya klausul arbitrase) tidak menutup kemungkinan adanya permohonan pailit, namun sudah sepantasnya para pihak sepakat bahwa klausul arbitrase masih tetap berlaku dalam perjanjian. Sebenarnya ditolaknya permohonan pailit ini bukan karena adanya klausul arbitrase dan sengketa utang tersebut telah didaftarkan di BANI, melainkan karena majelis hakim berkesimpulan bahwa perkara ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana, sebagaimana terlihat dari ringkasan. fakta hukum dari uraian musyawarah Majelis Hakim : “…Bahwa masih terjadi perbedaan pendapat mengenai pihak mana yang melanggar perjanjian para pihak (Exception Non Adimpleti Contractus)” dan mempertimbangkan Majelis Hakim yang berbunyi “Menimbang dengan fakta hukum di atas, maka majelis hakim berkesimpulan bahwa pembuktian adanya utang tergugat sebagaimana yang didakwakan dalam permohonan pemohon adalah rumit dan tidak sederhana, untuk dapat diproses lebih lanjut. diperlukan pembuktian.Walaupun ditolaknya permohonan pailit ini bukan karena adanya klausul arbitrase dalam perjanjian dan telah terlebih dahulu didaftarkan pada BANI oleh tergugat pailit, namun perkara ini tetap merupakan perkara kepailitan yang mempunyai klausul arbitrase. dalam perjanjian dan sebelumnya telah terdaftar di BANI.
Analisis Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Perkara No
Dalam hal ini, Senat dengan tegas menyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai wilayah hukum peradilan niaga ketika memeriksa perkara kepailitan yang memuat klausul arbitrase, dengan dasar hukum Pasal 303 UU KPKPU, dimana pasal tersebut menegaskan bahwa peradilan niaga adalah dasar hukumnya pada Pasal 303 UU KPKPU. masih mempunyai kewenangan meninjau dan memutus perkara kepailitan yang memuat klausul arbitrase. Dengan demikian, eksepsi yang diajukan pihak pailit dalam perkara ini, sebagaimana diputuskan oleh majelis, harus ditolak. Perkara kepailitan yang memuat klausul arbitrase dalam kontraknya tetap dapat diajukan ke pengadilan niaga apabila syarat-syarat kepailitan diatur dalam ayat 2 (1) jo.
Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang cukup menunjukkan bahwa syarat-syarat pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Dalam hal ini seluruh syarat untuk menyatakan pailit telah dipenuhi, kecuali syarat dapat dibuktikan dengan mudah. Berdasarkan tidak terpenuhinya syarat tersebut, majelis hakim memutuskan menolak permohonan pailit yang diajukan PT Pupuk Indonesia. Perusahaan induk dan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang. Persyaratan Pasal 8(4) tidak terpenuhi karena dalam hal ini pemohon dan tergugat sama-sama mempunyai kinerja yang harus dipenuhi (Exceptio non Adimpleti Contractus) dan kedua belah pihak juga wanprestasi.
Dalam berbagai literatur, banyak ulama yang menyatakan bahwa kewenangan absolut Pengadilan Niaga tidak tepat karena bertentangan dengan asas Pacta Sunt Servanda. Marihot Janpieter Hutajulu mengatakan dalam literaturnya bahwa Undang-Undang Kepailitan tidak dapat membatalkan klausul arbitrase, dan harus digunakan oleh para pihak untuk menghindari proses kepailitan debitur dan majelis hakim harus menggunakan klausul arbitrase untuk menyatakan permohonan pailit tersebut tidak dapat diterima. Ia juga berpendapat bahwa kewenangan mutlak Pengadilan Niaga tidak boleh dilaksanakan secara sembarangan dan ia mengutip dari buku M.
Literatur lain mengemukakan bahwa apabila terjadi suatu perselisihan dimana perjanjian tersebut memuat klausul arbitrase sebagai sarana penyelesaian perselisihan yang timbul, maka klausul yang terdapat dalam perjanjian tersebut harus dihormati sesuai dengan asas Pacta Sunt Servanda. karena perjanjian menjadi undang-undang bagi para pihak, maka arbitrase adalah kewenangannya.79 Dengan demikian, berdasarkan pendapat para ulama tersebut, dalam hal ini Majelis Hakim hendaknya memandang bahwa asas Pacta Sunt Servanda Pacta Sunt Servanda tidak dapat diabaikan. oleh kewenangan Pengadilan Ekonomi karena perjanjian para pihak menjadi undang-undang bagi para pihak. 79 Mahdi Surya Apriliansyah, 2017, Tinjauan Hukum Penyelesaian Sengketa Kepailitan Terhadap Keberadaan Klausul Arbitrase, MORALITAS: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. Sebaliknya peneliti berpendapat sebaliknya, kewenangan Pengadilan Ekonomi dalam memeriksa perkara yang memuat klausul arbitrase merupakan kewenangan mutlak Pengadilan Ekonomi.
Asas Lex Specialist Derogat Legi Generali mengacu pada kenyataan bahwa kewenangan pengadilan niaga dalam memeriksa perkara yang memuat klausul arbitrase merupakan kewenangan mutlak pengadilan niaga. Arbitrase mempunyai yurisdiksi absolut (extraordinary jurisdiksi) terhadap klausul arbitrase, namun tidak dapat menang atas yurisdiksi peradilan niaga (extraordinary power) yang secara khusus diberikan oleh UU KPKPU.80 Pasal 303 UU KPKPU juga memberikan kejelasan mengenai ketidakpastian hukum . sebagai dasar hakim pengadilan dalam memeriksa perkara kepailitan yang memuat klausula arbitrase dalam perjanjiannya, namun apabila syarat kepailitan itu tidak dipenuhi maka perkara itu dikembalikan kepada kekuasaan mutlak untuk arbitrase.81 Dengan demikian, berdasarkan pendapat para ulama tersebut, pertimbangan majelis hakim sangat tepat dalam hal ini, yaitu didasarkan pada bunyi Pasal 303. 80 Ni Made Asri Alvionita, 2014, Kewenangan Penyelesaian Kepailitan Dimana Perjanjian Termasuk Klausul Arbitrase, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. .