• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA

DALAM PERKARA KEPAILITAN

(STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR

65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

TESIS

Oleh

SATRIA BRAJA HARIANDJA

097005016/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA

DALAM PERKARA KEPAILITAN

(STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR

65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SATRIA BRAJA HARIANDJA

097005016/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

Nama Mahasiswa : Satria Braja Hariandja Nomor Pokok : 097005016

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH,M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 28 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

JURIDICAL ANALYSIS OF TRADE COURT COMPETENCY IN BANKRUPTCY CASE ( CASE STUDY OF COURT DECISION

NO.65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).

Satria Braja Hariandja1) Bismar Nasution**)

Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)

ABSTRACT

Jakarta Pusat Trade Court does not have ayuthority examining and making decision of the case bankruptcy between PT. BANK CIMB NIAGA (Applicant for Bankruptcy I) and PT. ARITA PRIMA PERKASA (Applicant for Bankruptcy II) againts PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Pleaded to be bankrupt) in relation with the relative Competency of Trade Court based on the legal position of the pleaded which has been clearly regulated in law No.37/2004 on Bankruptcy an Delay of Loan Repayment Obligation. Yet, Jakarta Pusat Trade Court has made the decision of the case under the registration No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA. JKt.PST. Based on the acove description, the title of this study is “Juridical Analysis of Trade Court Competency in bankruptcy Case ( Case Study of Court Decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).

The research questions to be answered were to word extent the authority of Trade Court can examine bankruptcy case based on law No.37/2004 on Bankruptcy and Delay of Loan Repayment Obligation, what legal consideration the judge took in court decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., and how the judge’s decisions in this bankruptcy case was implmented.

This study employed the normatve legal research method and statute approach. As an analytical descriptive study, the process of analyzing decision No.65/ Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., was done by using qualitative analysis to deeply reveal the opinions and concepts needed and will be described cmprehensively to answer the problems found in this thesis. The conclusion was drawn by using deductive-inductive approaches.

The legal concideration taken by the judge in this thesis, which is related to Relative Competency, is not appropriate to the stipulation of bankruptcy application

      

(6)
(7)

ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN

(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

ABSTRAK

Satria Braja Hariandja* Bismar Nasution**)

Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidaklah berwenang memeriksa dan memutus perkara Kepailitan antara PT.BANK CIMB NIAGA (Pemohon Pailit I) dan PT.ARIMA PRIMA PERKASA (Pemohon Pailit II) melawan PT. MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Termohon Pailit) karena terkait dengan Kompetensi Relatif dari Pengadilan Niaga berdasarkan kedudukan hukum dari si termohon pailit telah jelas diatur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun demikian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memutus perkara tersebut dengan register nomor. 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas tulisan yang berjudul : “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)”.

(8)

Pertimbangan Hukum hakim dalam tesis ini terkait kompetensi relatif, tidaklah sesuai dengan ketentuan dalam hal Pengajuan permohonan Pailit dalam hal ini Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini. Ketentuan mengenai Pengajuan Permohonan ini diatur secara tegas dalam Pasal 3 ayat (1) s/d (5) Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah bapa, Putranya Yesus Kristus

dan Roh Kudus, yang melimpahkan kasih karunia dan berkat sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis yang sangat sederhana ini, dimana penuh kelemahan, baik dalam

penulisan hingga pengambilan kesimpulan dan pemberian saran. Tesis ini diajukan

untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar

Magister Hukum dalam Program studi Magister Ilmu Hukum, yang berjudul

“Analisis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus

Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST.)”.

Permasalahan pnelitian ini adalah Bagaimanakah kewenangan Pengadilan

Niaga memeriksa perkara Kepailitan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nmor

37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan

no.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., serta bagaimanakah pelaksanaan putusan ini

nantinya.

Pnulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada seluruh pihak yang

secara langsung maupun tidak langsung memberi bantuan dalam penyusunan tesis

ini, antara lain :

1. Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu., DTM & H,M.SC (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang dibrikan untuk

dapat mengikuti pendidikan program sttudi Magister Ilmu hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof.Dr.Runtung,SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Univesitas

Sumatera Utara;

3. Prof.Dr.Suhaidi,SH.,MH. Selaku ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Dr.Mahmul Siregar,SH.,M.Hum, selaku sekretaris Program studi Magister Ilmu

(10)

5. Prof.Dr.Bismar Nasution, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing I yang

membimbing dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis selesai;

6. Prof.Dr.Sunarmi,SH.,M.Hum., Selaku Dosen Pembimbing II yang membimbing

dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis ini selesai;

7. Dr.T.Keizerina Devi.,SH.,CN.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III yang

membimbing dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis ini selesai.

8. Seluruh Dosen yang memberikan perkuliahan kepada penulis selama menjadi

mahasiswa, dan seluruh staf pegawai Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas sumatera Utara;

9. Teristimewa kepada papa tercinta Kol.Purn.M.Hariandja.,S.sos, dan mama

R.br.Simatupang, yang tanpa henti memberikan dukungan moril dan materil

yang luar biasa.

10. Kel.Laeku Mayor .Inf. H.Sitinjak/ Monaria br. Hariandja beserta bere-bereku

yaitu Hotmangaradja, Gerald Alvano. And Lisa Angelina;

11. Kel.Laeku Kapten.Inf. BB.Sitindaon/Joys.br.Hariandja.,M.psi.

12. Kel.laeku AKP.BE.Bandjarnahor/Heny Trisnawati,SH beserta bereku Matthew

Batara Sojuaon;

13. Teman-Teman Magister Ilmu Hukum angkatan 2009 seluruhnya, dan Program

Pararel B khususnya, sukses trussss buat kita sema;

Akhir kata, kiranya Tuhan yang menjadikan kehendakNya kepada mereka,

dan semoga tulisan ini berguna baggi Nusa dan Bangsa.

Medan, 27 Juni 2011

Satria Braja Hariandja

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : SATRIA BRAJA HARIANDJA

Tempat/Tgl.Lahir : Medan,02 Juni 1987

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan : SD Santa Maria Tarutung (Lulus Tahun 1999)

SLTP Putri Cahaya Medan (Lulus Tahun 2002)

SMA Negeri 4 Medan ( Lulus Tahun 2005)

S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(Lulus Tahun 2008)

S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(12)

DAFTAR ISI

B. Rumusan Permasalahan... 2

C. Tujuan Penelitian... 2

D.Manfaat Penelitian... 3

E. Keaslian Penelitian ... 3

F. Kerangka Teoritis Dan Konsepsi... 4

1. Kerangka Teori ... 4

BAB II : KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MEMERIKSA PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 9

A. Pengadilan Niaga... 9

1.Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga ... 9

2.Kedudukan & Pembentukan Pengadilan Niaga... 9

3.Hakim Pengadilan Niaga ... 9

B. Kompetensi Pengadilan Niaga... ... 11

C. Pemeriksaan Perkara Kepailitan 1.Hukum Acara Perdata ... 13

(13)

b. Tuntutan Hak & Gugatan dalam Hukum

Acara Perdata... 14

c. Kompetensi peradilan dalam Hukum acara Perdata ... 14

d. Tempat Pengajuan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata... 15

e. Pelaksanaan Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata... 16

2.Hukum Acara Kepailitan ... 17

a. Pengadilan yang Berwenang... 17

b. Pengajuan Permohonan Kepailitan... 17

c. Pembuktian Dalam Kepailitan... ... 17

d. Upaya Hukum Dalam Kepailitan... 18

BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST ... 19

A. Duduk Perkara ... 19

B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 19

C. Analisis Putusan Hakim Dengan Nomor 65/Pailit/ 2010/PN.JKT,PST Tentang Kompetensi Relatif – Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Dalam Memeriksa Dan Memutus perkara ... 19

BAB IV : PELAKSANAN KEPUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA NOMOR65/Pailit/2010/PN.JKT.PST A. Akibat Kepailitan ... 21

B. Penunjukan Kurator... ... 21

C. Penunjukan Hakim Pengawas... 21

D. Pelaksanaan Putusan Hakim... ... 21

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 22

A. Kesimpulan ... 22

B. Saran... 24

(14)

JURIDICAL ANALYSIS OF TRADE COURT COMPETENCY IN BANKRUPTCY CASE ( CASE STUDY OF COURT DECISION

NO.65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).

Satria Braja Hariandja1) Bismar Nasution**)

Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)

ABSTRACT

Jakarta Pusat Trade Court does not have ayuthority examining and making decision of the case bankruptcy between PT. BANK CIMB NIAGA (Applicant for Bankruptcy I) and PT. ARITA PRIMA PERKASA (Applicant for Bankruptcy II) againts PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Pleaded to be bankrupt) in relation with the relative Competency of Trade Court based on the legal position of the pleaded which has been clearly regulated in law No.37/2004 on Bankruptcy an Delay of Loan Repayment Obligation. Yet, Jakarta Pusat Trade Court has made the decision of the case under the registration No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA. JKt.PST. Based on the acove description, the title of this study is “Juridical Analysis of Trade Court Competency in bankruptcy Case ( Case Study of Court Decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).

The research questions to be answered were to word extent the authority of Trade Court can examine bankruptcy case based on law No.37/2004 on Bankruptcy and Delay of Loan Repayment Obligation, what legal consideration the judge took in court decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., and how the judge’s decisions in this bankruptcy case was implmented.

This study employed the normatve legal research method and statute approach. As an analytical descriptive study, the process of analyzing decision No.65/ Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., was done by using qualitative analysis to deeply reveal the opinions and concepts needed and will be described cmprehensively to answer the problems found in this thesis. The conclusion was drawn by using deductive-inductive approaches.

The legal concideration taken by the judge in this thesis, which is related to Relative Competency, is not appropriate to the stipulation of bankruptcy application

      

(15)
(16)

ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN

(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

ABSTRAK

Satria Braja Hariandja* Bismar Nasution**)

Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidaklah berwenang memeriksa dan memutus perkara Kepailitan antara PT.BANK CIMB NIAGA (Pemohon Pailit I) dan PT.ARIMA PRIMA PERKASA (Pemohon Pailit II) melawan PT. MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Termohon Pailit) karena terkait dengan Kompetensi Relatif dari Pengadilan Niaga berdasarkan kedudukan hukum dari si termohon pailit telah jelas diatur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun demikian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memutus perkara tersebut dengan register nomor. 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas tulisan yang berjudul : “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)”.

(17)

Pertimbangan Hukum hakim dalam tesis ini terkait kompetensi relatif, tidaklah sesuai dengan ketentuan dalam hal Pengajuan permohonan Pailit dalam hal ini Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini. Ketentuan mengenai Pengajuan Permohonan ini diatur secara tegas dalam Pasal 3 ayat (1) s/d (5) Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi yang semakin meningkat dan seiring dengan gejolak

moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan

yang berat terhadap kemampuan perekonomian negara terutama di sektor riil.

Kelangsungan ekonomi secara defacto sangat berpengaruh terhadap menurunnya

usaha, sehingga kemampuan setiap perusahaan untuk memenuhi kewajiban terhadap

kreditor menjadi sulit dilaksanakan, tertunda bahkan ada yang sama sekali tidak dapat

membayar lagi. Keadaan ini akan berdampak terhadap sektor lainnya yang apabila

tidak di selesaikan secara tuntas akan menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap

gejolak sosial, politik di masyarakat luas.

Dalam rangka mengantisipasi kecenderungan tidak dapat dipenuhinya

kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka sebagai salah satu sarana hukum

untuk penyelesaian utang-piutang, pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang

signifikan terhadap Undang-Undang Kepailitan yaitu

Failisements-Verordening,S.1905 Nomor 217 jo S.1906 Nomor 348.

Materi peraturan ini dianggap belum memadai lagi untuk dipakai menangani

berbagai kasus-kasus kebangkrutan dan kredit macet yang terjadi di Indonesia, Pada

(19)

(PERPU) nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Kepailitan

(PERPU Kepailitan).2

Dalam bagian konsideran PERPU Kepailitan, disebutkan sebagai berikut :

a. Bahwa untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan

sebagai debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana

hukum yang dapat digunakan secara cepat , terbuka dan efektif.

b. Bahwa salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian hutang

piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

c. Bahwa untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap

perekonomian saat ini, salah satunya yang menjadi persoalan yang mendesak dan

memerlukan pemecahan adalah penyelesaian hutang-piutang perusahaan, dan

dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban

pembayaran utang yang dapat digunakan oleh para debitor dan kreditor secara

adil, cepat dan terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera

diwujudkan.

d. Bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang

piutang tersebut di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara

secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu Pengadilan khusus di

lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa

      

2

(20)

dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di

bidang Kepailitan dan penundaan pembayaran utang, juga sangat diperlukan

dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada

umumnya.

Dalam perkembanganya, PERPU Kepailitan ditingkatkan menjadi

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang tentang

Kepailitan menjadi Undang-Undang Kepailitan (UUK). UUK hanya terdiri dari dua

pasal, dimana Pasal 1 UUK pada dasarnya menegaskan PERPU Kepailitan ditetapkan

menjadi Undang-Undang, dan Pasal 2 UUK menyatakan bahwa UUK mulai berlaku

sejak di Undangkan yaitu tanggal 9 september 1998.3

Kemudian UUK ini direvisi kembali menjadi Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau

disingkat dengan (UUK-PKPU). Beberapa pokok materi baru dalam UUK ini antara

lain:

Pertama, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UUK-PKPU ini

pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh

waktu.

Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan

permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya

pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit

dan/atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.       

3  

(21)

Lahirnya UUK-PKPU, tentunya pengaturan dalam hal permohonan Kepailitan

telah diatur lebih tegas, seperti mengenai Pengajuan Permohonan dalam hal

Pengadilan Niaga Mana yang berwenang untuk memeriksa perkara ini. Setelah

kurang lebih 6 tahun UUK-PKPU ini terbit, terdapat permasalahan terkait dalam hal

Kompetensi Relatif dalam memeriksa perkara. Satu di antaranya adalah mengenai

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor : 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST, antara

PT.BANK CIMB NIAGA sebagai Pemohon Pailit I dan PT.ARITA PRIMA

PERKASA sebagai Pemohon Pailit II vs PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA sebagai

Termohon Pailit.

Permasalahan Kompetensi Relatif ini sangat penting dibahas demi untuk

kepastian hukum dan putusan hakim yang berkualitas. Dari segi kepastian hukum

yakni, adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan

mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai

kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut maka penilaian

mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan

tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum

yang lebih berjaya, karena diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum.4

Dalam hal hukum yang berkualitas, maka menurut Wasis,SP, Hukum

berkualitas adalah hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh

masyarakat dan sesuai dengan kehendak / aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang

       4  

(22)

baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap

orang. Tujuan hukum, di samping menjaga kepastian hukum juga menjaga

sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat.5

Mengenai peranan hakim dalam menegakkan kepastian Hukum, maka tidak

dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, Untuk

menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi

faktor penting dan menentukan, Pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan

untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan.6

Dalam Putusan atas permohonan pernyataan Pailit dalam putusan Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat nomor : 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST., permasalahan yang timbul

adalah tidak berjalannya ketentuan tentang prosedur permohonan Kepailitan dimana

menurut UUK-PKPU dalam Pasal 3 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Permohonan diatur

berdasarkan kedudukan si debitor, di tempat kedudukan terakhir debitor, di tempat

kedudukan pesero atau firma tersebut, di kantor pusat tempat si debitor menjalankan

profesi, bila badan hukum berdasarkan kedudukan hukum sebgaimana yang diatur

dalam anggaran dasar badan hukum tersebut, tetapi kenyataannya dalam perkara ini

ternyata Pengadilan yang mengadili yaitu Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

berdasarkan Perjanjian Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian Pinjaman,

dalam Pasal 7 ayat (4) dalam Perjanjian tersebut sepakat memilih Pilihan Hukum

yang di antaranya Kompetensi Relatif. Acuan mengenai Pengadilan Niaga yang

      

5

Wasis ,SP, Pengantar Ilmu Hukum, (Malang:UMM Press,2002), hlm.21.

6

(23)

berwenang untuk memeriksa perkara ini haruslah mengacu kepada UUK-PKPU yakni

Pasal 3 ayat 5 UUK-PKPU yang menyatakan : “ Dalam hal debitor merupakan badan

hukum tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran

dasarnya ”.

Dalam hal kedudukan hukum si debitor sebagai badan hukum sendiri yaitu

PT.Mestika Sawit Intijaya berada di Jalan Tembakau Deli I No.4-1, Kabupaten Deli

Serdang, Provinsi Sumatera Utara dan berdasarkan Anggaran Dasarnya (AD)

berkedudukan hukum di Medan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat 5

UUK-PKPU jo Keppres No 97 tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada

Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri

Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang dalam Pasal 2 dinyatakan :

(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang

meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.

(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi

Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan

Daerah Istimewa Aceh.7

(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi

Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan

Timor Timur.

      

7

(24)

(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi

Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam perkara ini Kreditor yaitu PT.BANK CIMB NIAGA Tbk.,beralamat di

Graha Niaga, Jalan jenderal Sudirman Kaveling 58 Jakarta 12190, yang selanjutnya

disebut dengan Pemohon Pailit I dan PT.ARITA PRIMA PERKASA beralamat di

kompleks Bilal Harmonis No.05 Kel.P.Brayan Darat I, Kec.Medan timur, Kota

Medan, Provinsi Sumatera Utara selanjutnya disebut dengan Pemohon Pailit II,

mengajukan gugatan Pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berdasarkan Perjanjian

Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian Pinjaman yang ditanda tangani para

pihak pada tanggal 22 Desember 2009 dalam Pasal 7 ayat (4), sepakat untuk memilih

Pilihan Hukum pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Niaga dalam

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima untuk memeriksa perkara ini dan telah

diputus pada tanggal 06 Oktober 2010 dengan Majelis Hakim, Tjokorda Rai Suamba,

SH. (Hakim Ketua Majelis), H.Syarifuddin, SH, M.Hum, Jupriyadi, SH.,M.Hum

(masing sebagai Hakim anggota).

Berdasarkan uraian di atas, agar dapat mengkaji secara yuridis kewenangan

Pengadilan Niaga yang berwenang memeriksa perkara Kepailitan ini dengan

mengacu pada UUK-PKPU jo Keppres No.97 tahun 1999, karena Pengadilan Niaga

merupakan Pengadilan khusus yang merupakan chamber dari Pengadilan Umum,

seperti halnya dengan Pengadilan anak dan Pengadilan lalu lintas. Kasus yang

diajukan ke Pengadilan Niaga akan diperiksa dan diputuskan dalam tingkat pertama

(25)

dengan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, sesuai dengan

hukum/Undang-Undang yang berlaku dan keyakinan hakim.8

Dalam Putusan hukum oleh Majelis Hakim dalam perkara Kepailitan ini,

hakim mengabulkan Permohonon Pemohon Pailit untuk seluruhnya dan menyatakan

debitor PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA Pailit dengan segala akibat hukumnya.

Dalam kasus ini Menarik untuk diteliti, eksepsi termohon Pailit ditolak seluruhnya,

eksepsi terkait kompetensi Relatif dalam hal yurisdiksi Pengadilan Niaga yang berhak

untuk memeriksa dan memutus perkara ini sesuai Undang-Undang No.37 tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU).

Berdasarkan Pasal 3 ayat (5) yang menyatakan oleh karena termohon Pailit

adalah badan hukum maka permohonan Pailit diajukan di domisili hukum sesuai

yang telah dinyatakan dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut yaitu Kota

Medan maka seharusnya permohonan Pailit seharusnya diajukan di Pengadilan Niaga

dalam Pengadilan Negeri Medan bukan di Pengadilan Niaga dalam Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat, oleh karena itu seharusnya Permohonan Pernyataan Pailit

Pemohon Pailit I dan II menurut hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima

(N.O).

       

9

 

8

Binsar Gultom, Pandangan Kritis seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia,

(Medan:Pustaka Bangsa Press,2008), hlm.114.

9

Tuntutan yang kurang jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak dapat diterimannya tuntutan tersebut, demikian pula gugatan yang bertentangan satu sama lain atau disebut obscuur libel

(26)

Yang menarik dalam putusan ini adalah hakim tetap memeriksa perkara ini

dengan hanya berdasarkan pilihan hukum pada kesepakatan bersama mengenai

penyelesaian pinjaman. Apabila putusan ini sudah ditetapkan permasalahan yang

muncul adalah bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tersebut terkait

langkah-langkah yang ditempuh oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan

mengacu pada kedudukan hukum dari si debitor yang berada di Kab.Deli Serdang dan

objek dan jaminan berada di Desa Pematang Seleng, Kecamatan Bilah Hulu,

Kabupaten Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara padahal tujuan dasar dari

UUK-PKPU bahwa untuk meningkatkan pemerataan dan mempermudah masyarakat baik

secara

s Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara

Kepailitan ( Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor : 65/Pailit/2010/

diid

1. a Perkara Kepailitan

ajiban Pembayaran Utang?

perorangan atau badan usaha dalam menyelesaikan sengketa di bidang

perniagaan secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas tesis yang

berjudul “Analisi

PN.JKT.PST )”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, timbul beberapa permasalahan yang dapat

entifikasikan sebagai berikut :

Bagaimanakah Kewenangan Pengadilan Niaga Memeriks

Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004 Tentang

(27)

2. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Nomor

65/Pailit/2010/PN.JKT.PST.?

. Bagaimanakah Pelaksanaan Keputusan Hakim dalam perkara Nomor. 65/ Pailit/

?

C.

1. radilan dalam

daan Kewajiban Pembayaran Utang.

3. lit/2010/PN.JKT.PST.

sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang nomor.37 tahun 2004 tentang

daan Kewajiban Pembayaran Utang?

1.

iharapkan dapat menambah dan memberikan

2. 3

2010/ PN. JKT. PST

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaturan terkait Kompetensi Relatif pe

memeriksa perkara Kepailitan menurut Undang-Undang nomor 37 tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penun

2. Untuk mengkaji dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor

65/Pailit.2010.PN.JKT.PST.

Untuk mengetahui pelaksanaan putusan nomor 65/Pai

Kepailitan dan Penun

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

Manfaat secara teoritis

Secara teoritis, penelitian ini d

manfaat untuk mengembangkan pemikiran di bidang hukum Kepailitan.

(28)

hal ini hakim dan advokat, agar dapat menegakkan hukum

dan keadilan bagi para pihak dalam sengketa Kepailitan, terlebih mengetahui

menjatuhkan putusan Kepailitan dalam rangka penegakan

nya. Namun permasalahan yang terdapat di dalam tesis tersebut tidak sama

n

erseroan”

2. mawati, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian Utang Piutang

elalui Hukum Kepailitan suatu Antisipasi Terhadap Kredit Bermasalah”. Secara praktis tulisan ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada aparat

penegak hukum dalam

pola pikir hakim dalam

hukum di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di

Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan sekolah Pasca sarjana,

maka penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga

Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor

65/Pailit/2010/PN.JKT.PST.)”, belum pernah ada yang melakukan penelitian

sebelum

dengan permasalahan dalam tesis ini sehingga penelitian ini adalah asli dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang menyangkut dengan masalah Kepailitan,

yaitu :

1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Hukum

Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailita

P

At

(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Hakekat penulisan karya ilmiah sebagai salah satu landasan dalam hal

perkembangan ilmu hukum tidaklah terlepas dari teori sebagai landasannya dan tugas

hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum postulat-postulatnya hingga

uphoria reformasi segala bidang. Maka untuk mengantisipasi adanya

penegakan hukum, karena kaedah hukum akan tampak ketika penegakan hukum

tersebut terjadi. Fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan

aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, Sehingga penelitian ini tidaklah dapat

terlepas dari teori-teori hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran ahli

hukum sendiri.

Apabila ditinjau secara teoritis, lahirnya Undang-Undang Nomor 37 tahun

2004 adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di

Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik akibat

terjadinya e

kecenderungan dunia usaha yang bangkrut, Pemerintah pun menerbitkan

Undang-Undang ini menjadi suatu kaedah hukum positif dalam sistem perundang-undangan di

Indonesia.

(30)

mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work)

yang ditetapkan oleh suatu Undang-Undang atau hukum.10

Bila hal itu dikaitkan dengan pembangunan hukum, maka pendekatannya

tidak sekadar pembaharuan aturan-aturan hukum. Pembangunan hukum bertujuan

membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional (Legal

system). Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum Indonesia

yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan

substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan

menentukan sejauh mana sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional

mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru.

Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup

pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan.11 Bagaimana

pembangunan, pembaharuan atau pembinaan bentuk dan isi dari peraturan

perundang-undangan inilah yang menjadi substansi dari kebijakan legislatif.

Kebijakan Legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik

dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat Undang-Undang

(Legislator) dalam bentuk norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam

      

10

Calire Seltz et.,al:1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia (UI-Press),1986), hlm.9.

11

(31)

bentuk peraturan perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa

yang dikatakan oleh Austin , “The Command of the Sovereign”.12 Penelitian ini pada

dasarnya menggunakan teori hukum Positivis, sebagai landasan dan sebagai pisau

analisis guna mengkaji hal-hal yang dianggap sebagai permasalahan mendasar dalam

penelitian ini.

Menurut John Austin, tokoh yang menganut Hukum Positif, dengan menganut

sub aliran hukum positif yang analitis dengan teori Analytical Jurisprudence

menganut prinsip sebagai berikut:

Pertama, merupakan perintah dari penguasa (Law is a command of the law giver).

Maksudnya, perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang

memegang kedaulatan. Hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur

mahluk berfikir, dan perintah itu diberikan oleh mahluk berfikir yang memegang

kekuasaan. Dengan kata lain, hukum berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam

kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan

karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya

suatu instansi yang berwenang. Hukum dipandang semata-mata dalam formalnya,

yang dapat dipisahkan dari bentuk hukum materialnya. Artinya bahwa proses

pembentukan hukum tersebut dilakukan melalui cara tertentu, agar hukum tersebut

mempunyai dasar validitasnya. Dengan demikian hukum hanya didasarkan pada

kekuasaan dari pihak yang berkuasa, tidak didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip

      

12

(32)

moralitas baik dan buruk.13 Dengan demikian , perbedaan antara Hukum positif dan

hukum alam adalah bahwa dalam Hukum positif, hukum dibuat oleh pihak yang

berkuasa dan pembuatanya didasarkan pula pada pihak yang berkuasa. Meskipun

hukum tersebut dirasakan tidak adil atau tidak bermoral, namun karena pembuatan

hukum tersebut didasarkan pada pihak yang berkuasa maka hukum ini tetap sah

sebagai hukum. Sedangkan dalam hukum alam, hukum dibuat berdasarkan agama,

prinsip keadilan, atau prinsip moralitas yang baik atau buruk. Dalam hal ini, hukum

tersebut tetap dibuat oleh pihak yang berkuasa, misalnya oleh lembaga legislatif dan

eksekutif, tapi pembuatanya didasarkan pada pertimbangan agama, keadilan dan

moral.

Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (Closed

Logical System). Maksudnya adalah, bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat

atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum

yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik,

dan ukuran-ukuran moral.14 Pandangan ini jelas mendapat pengaruh ketat dari cara

berfikir sainsmodern, Ilmu dianggap sebagai penyelidikan mandiri yang objeknya

harus dipisahkan dari nilai.

Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu unsur perintah, sanksi,

kewajiban, dan kedaulatan. Apabila tidak memenuhi keempat unsur tersebut, dia

      

13

W.Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & sons Limited, Third Edition, 1953), hlm.151.

14

(33)

bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality). Unsur perintah berarti

bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya. Pihak yang

diperintah akan dikenakan sanksi apabila perintah itu tidak ditaati.15 Sebagai contoh,

Jika A (warga Negara) melakukan pelanggaran/kejahatan, maka B (aparat hukum)

diberikan wewenang untuk mengenakan Y (sanksi).16 Perintah tersebut merupakan

pembebanan kewajiban bagi yang diperintah, dan kewajiban ini hanya dapat

terlaksana jika yang memerintah tersebut adalah pihak yang berdaulat. Dan yang

memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang.17 Sedangkan

contoh moral positif misalnya hukum internasional yang tidak mempunyai sanksi.

Sebagai penganut aliran positivisme dengan teori hukum murni, Hans Kelsen

juga menyatakan prinsip dasar dalam aliran positivisme adalah :

Pertama, hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir non-yuridis seperti anasir etis

(moral), sosiologis, politis, dan sebagainya. Karena dipisahkanya hukum dari unsur

non-yuridis itulah, sehingga teori yang dikemukakan oleh Hans kelsen disebut teori

hukum murni.18 Pada dasarnya Hans kelsen berpendapat:

“it is called a “pure” theory of law, because it only describes the law and attemps to eliminate from the object of this description ever beratything that is not strictly law. Its aim is to free the science of law from alien elements”.19

      

15

Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat & Teori Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004), hlm.59.

16

Ibid, hlm.43.

17

Ibid 

18

Pembahasan mengenai konsep pemisahan antara hukum dan moral tampaknya memperoleh perhatian yag cukup besar dari para ahli hukum. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam R.M Dworkin,The Philosophy of Law,(New Jersey:Oxford University Press,1977),hlm.17-37.

19

(34)

Dipisahkanya hukum dari unsur etis, mengindikasikan bahwa Hans Kelsen

tidak memberikan tempat bagi berlakunya hukum alam. Hal ini karena etika

memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk, dan ajaran Kelsen menghindari

diri dari soal penilaian ini. Begitu pula pemisahan dari unsur sosiologis, berarti ajaran

Hans kelsen tidak memandang penting hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat, dan seterusnya.

Kedua, ilmu hukum menurut Hans Kelsen termasuk dalam Sollenkatagori (hukum

sebagai keharusan), bukan Seinskatagori (hukum sebagai kenyataan). Artinya, Kelsen

hanya memandang hukum sebagai keharusan yang terlepas sama sekali dari hukum

sebagai kenyataan. Orang mentaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya

sebagai suatu perintah negara. Contohnya: setiap orang yang membeli barang harus

membayar (hukum sebagai keharusan), tetapi apabila dalam kenyataanya ada orang

yang tidak membayar, maka hal itu bukan menjadi wewenang ilmu hukum, tetapi

persoalan nyata dalam masyarakat.20

Ketiga, ajaran tentang “stuffentheorie” yang dikembangkan muridnya Adolf Merkl,

yaitu bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari

peringkat terendah hingga peringkat tertinggi (grundnorm). Hukum yang lebih rendah

harus berdasar,bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih

tinggi. Sifat yang bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan

batalnya daya laku hukum itu, sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar

dan sumber dari hukum yang lebih rendah. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam       

20

(35)

peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya dan

semakin rendah pangkatnya, semakin nyata dan operasional sifat norma yang

dikandungnya.21 Dalam hal penggunaan istilah hukum telah terjadi

pencampuradukkan antara defenisi Pilihan Hukum dan Pilihan Forum sebagaimana

diketahui bahwa Pilihan Hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku untuk

suatu perjanjian yang melibatkan dua hukum dua hukum dari dari negara yang

berbeda. Sedangkan Pilihan Forum merupakan adalah mengenai badan mana yang

berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi22, bisa diselesaikan

melalui Pengadilan Maupun jalur arbitrase yang dalam perkara No.

65/Pailit/PN.JKT.PST, dimungkinkan melakukan Pilihan forum sebagaimana diatur

dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang telah bersifat final dan mengikat.

Indonesia sebagai negara hukum dan penganut aliran hukum positif, setiap

aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan

pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan

Legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa

dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan

pada asas legalitas.23 Demikian juga halnya dengan para subjek hukum lainnya

bertindak dan bertingkah laku dalam aspek kehidupan haruslah berpedoman pada

ketentuan yang ada yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

      

21

Hans kelsen, Op.cit, hlm.126-137. 

22

Yansen Dermanto Latip, Pilihan Hukum Dan Pilihan Forum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2002), hlm.1.

23

(36)

Bertumpu pada teori di atas maka dapat dikatakan bahwa Pasal 3 ayat (1),

(2),(3),(4), dan (5) UUK-PKPU merupakan suatu keharusan yang harus diterapkan

oleh hakim sebagai acuan dalam memutus dan memeriksa perkara ini tanpa

memperhatikan asal mula dari mana pasal tersebut terbentuk.

2. Kerangka Konsepsi

Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Kompetensi

Kompetensi adalah kewenangan, kekuasaan.24 Dalam hal ini kompetensi

relatif dari Pengadilan Niaga.

b. Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk dalam Pengadilan

Umum.25 Dalam hal ini pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

c. Kepailitan

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sita umum atas

semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesanya dilakukan oleh

Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini.

      

24

Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta:PrandjaParamita,1971), hlm.26.

25

(37)

d. Putusan Hakim

Putusan dalam hal ini putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan suatu

pemeriksaan perkara yang didasarkan pada pertimbangan yang menetapkan

hukuman.26 Dalam hal ini Putusan hakim yang tertuang dalam putusan nomor . 65/

Pailit/ 2010/ PN.JKT.PST.

e. Pertimbangan Hakim

Dalam Undang-undang Kehakiman maupun literatur lain tidak ditemukan

defenisi secara tegas mengenai apa yang dimaksud dengan pertimbangan hakim,

namun beberapa pendapat mengenai gambaran umum tentang yang dimaksud dengan

pertimbangan hakim adalah ukuran untuk menyatakan putusan guna memenuhi rasa

keadilan masyarakat .27 Dalam hal ini pertimbangan hakim yang tertuang dalam

putusan nomor. 65/ Pailit/ 2010/PN.JKT.PST.

f. Eksekusi

Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan.28 Dalam hal ini eksekusi

terhadap putusan nomor 65/ Pailit/ 2010/ PN.JKT.PST.

      

26

Subekti,Op.cit.,hlm.85.

27

Binsar Gultom, Op.cit., hlm.24

28

(38)

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi dan Sifat penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian Hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan pengadilan,29 yang berkaitan dengan analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan

dalam Perkara Kepailitan.

Penelitian hukum Normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum

positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum

in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah

penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in

abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan

fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor.

Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in

concreto, yang dimaksud.30 Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis,yaitu

untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

      

29

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo persada,2004), hlm.14.

30

(39)

2. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada

penelitian kepustakaan (Library research), (Library research) yang dilakukan

dengan menghimpun data sekunder, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya

mempunyai otoritas.31 Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang

terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan

maupun putusan-putusan pengadilan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah

yang ada relevansinya dengan penelitian ini dan dapat memberi petunjuk dan

inspirasi bagi penulis dalam rangka melakukan penelitian.32

c. Bahan hukum Tertier, yakni memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder,33 seperti kamus umum, kamus hukum, dan

bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk

melengkapi hasil penelitian ini.

3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan , dipergunakan tehnik penelitian

kepustakaan (Library research) dalam menganalisa putusan No.

65/2010/Pailit/PN.JKT.PST. dan menggunakan pendekatan perundang-undangan

      

31

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana,2008), hlm.141.

32

Ibid,hlm.155.

33

(40)

(statute approach). Pendekatan tersebut, melakukan pengkajian peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.34 Alat yang digunakan

untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.

4. Analisis Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan

dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang

sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu

menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden,

kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai

aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan35 yang ada dalam tesis ini, serta

penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif.

Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan

kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

      

34

Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia,2005), hlm.241.

35

(41)

BAB II

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MEMERIKSA PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG

A. Pengadilan Niaga

1. Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga

Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah

Pasal 27 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berisi :

(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan

yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25

UU.No.48 Tahun 2009.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dan Oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

Dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara).

Beberapa bentuk Pengadilan khusus lainnya, antara lain seperti Pengadilan

Hubungan Industrial yang ditetapkan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang

(42)

Peradilan umum, Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan UU No.3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak, yang berada di bawah lingkup Peradilan Umum.36

Demikian halnya UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.8

Tahun 2004 Tentang peradilan Umum, dalam Pasal 8 dinyatakan secara tegas “Di

lingkungan Peradilan Peradilan Umum dapat diadakan Pengkhususan yang diatur

dengan Undang-Undang”.

Undang-Undang memberikan ruang untuk terbentuknya Pengadilan khusus

yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum dengan syarat bahwa

pembentukan pengadilan khusus tersebut ditetapkan melalui UU.

Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa perkembangan

sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari

segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bahagian khusus di

dalam lingkungan Peradilan Umum.37

Tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi

sarana hukum bagi penyelesaian hutang piutang diantara para pihak yaitu Debitor dan

kreditor secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, sehingga dengan demikian dapat

meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada

umumnya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing

dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta38, hal ini merupakan salah satu

langkah positif dalam hal memperbaiki carut-marutnya UUK terdahulu yang lahir

      

36

Jono, Hukum Kepailitan, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 81-82.

37

Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: sofmedia, 2010),hlm.227.

38

(43)

akibat desakan International Monetery Fund (IMF) karena peraturan kepailitan yang

merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan

kurang memenuhi tuntutan zaman.39 guna Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah

memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa

permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang

memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).40 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan

tidak dapat memeriksa gugatan/ permohonan yang diajukan kepadanya apabila

ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan

mutlak Pengadilan lain.41

2. Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga

Lembaga Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi

penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal

1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap hutang-hutangnya.42

Menurut Pasal 1131 : segala kebendaan berhutang baik yang bergerak

maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan.

      

39

Ahmad yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan, (Jakarta : Rajawali Pers, 1999),hlm.1-2.

(44)

Pasal 1132 menentukan Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama

bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda

itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang

masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk

didahulukan.

Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada kreditur

bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/ lunas dengan jaminan dari kekayaan

debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian hari Pasal

1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata itu merupakan perwujudan adanya asas

jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan.43

Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur

merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya secara proporsional, kecuali

bagi krediturnya dengan hak mendahului (hak preferensi).

Jadi pada dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH perdata

dan 1132 KUH perdata ini adalah bahwa UU mengatur tentang hak menagih bagi

kreditur atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur.

Bertolak dari asas tersebut di atas sebagai lex generalis, maka ketentuan

kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional.

Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai

dua fungsi sekaligus yaitu :

      

43

(45)

(1) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa

debitur tidak akan berbuat curang, dan bertanggung jawab atas semua

hutang-hutangnya kepada semua kreditur-krediturnya.

(2) Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi

massal oleh kreditur-krediturnya.

Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau

sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai

dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka

memberikan kepastian hukum.

Oleh karena itu lembaga kepailitan berfungsi sebagai pengawas implementasi

pelaksanaan Peraturan Kepailitan dan mekanisme pembayaran utang terhadap semua

kreditur dengan mengacu yang diperintahkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH

Perdata yang merupakan dasar hukum dari kepailitan.44

Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga, menurut Sudargo Gautama

merupakan pencangkokan institusi baru, Artinya Pencangkokkanya itu diambil dari

berbagai lembaga baru dalam sistem hukum dan praktek hukum yang sudah ada

dalam rangka Faillisemen. Dianggap wajar oleh pembuat Undang-Undang, jika

dalam rangka untuk menyediakan sarana hukum sebagai landasan untuk

menyelesaikan hutang piutang, dianggap perlu peraturan kepailitan yang dapat

      

44

(46)

memenuhi kebutuhan dunia usaha yang makin berkembang secara cepat dan bebas.45

PERPU (Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang) No.1 Tahun 1998 dipilih

untuk melakukan penyempurnaan atas peraturan Faillissemen yang sudah ada.

Karena dengan demikian dapat diharapkan bertindak lebih cepat dengan dasar

pertimbanganya yaitu :

(1) Adanya kebutuhan yang besar yang sifatnya mendesak untuk secepatnya

mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang dapat berlangsung secara

cepat, adil, terbuka, dan efektif untuk menyelesaikan piutang perusahaan yang

besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional.

(2) Dalam rangka penyelesaian akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak

pertengahan tahun 1997, khususnya berkenaan dengan masalah utang piutang di

kalangan dunia usaha nasional, dianggap perlu adanya penyelesaian yang cepat

mengenai masalah ini. Untuk itu perlu kesediaan perangkat hukum untuk

memenuhi kebutuhan. Penyelesaian masalah utang piutang. Dengan demikian

perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi secara normal. Bila kegiatan

ekonomi berjalan kembali, akan berarti pengurangan tekanan sosial yang

menurut pengamatan pemerintah sudah terasa banyak di lapangan kerja. Maka

perlu diwujudkan penyelesaian utang-piutang ini secara cepat dan efektif.46

Dalam Pasal 8 UU No. 3 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Umum disebutkan

bahwa : “Yang dimaksud dengan ‘diadakanya pengkhususan’ ialah adanya

      

45

Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung:Citra Adytia Bakti, 1998), hlm.9.

46

(47)

diferensiasi / spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya Pengadilan Lalu

Lintas, Pengadilan Anak dan Pengadilan Ekonomi”. Dengan demikian dalam UU No.

4 Tahun 1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan

Khusus di lingkungan Peradilan Umum.

Ketentuan Pasal 300 UUK-PKPU secara tegas menentukan :

(1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa

dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula

memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya

dilakukan dengan Undang-Undang.

(2) Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara

bertahap dengan Keputusan Presiden (KEPRES), dengan memperhatikan

kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.

Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak

(absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan

menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk

menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU).47 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa

gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan

tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain.48

      

47

Sunarmi, Loc.cit.hlm.229.

48

(48)

Pasal 300 ayat (1) memberikan kekuasaan kepada Pengadilan Niaga untuk

memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan selain perkara

Kepailitan dan PKPU. Namun tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan

perkara lain di bidang perniagaan tersebut, hal ini disebabkan Undang-Undang yang

mengatur hal tersebut belum ada. Dengan demikian, Undang-Undang yang akan

mengatur hal tersebut kelak, hendaknya harus jelas bidang-bidang perniagaan apa

saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi dalam mengadili antara Pengadilan Niaga

dengan Pengadilan Negeri.

Undang-Undang di bidang HAKI49 telah secara tegas menetukan bahwa

perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan Niaga. Hal

ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain menyelesaikan sengketa –

sengketa di bidang kepailitan dan PKPU, juga menyelesaikan sengketa HAKI.

3. Hakim Pengadilan Niaga

Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah

Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim sebagaimana dimaksud

pada Pasal 302 ayat (2), adalah :

a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;

b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah

yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan;

c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan       

49

(49)

d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada

pengadilan.

Dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal

302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua

Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai hakim Ad-hoc, baik

pada tingkat pertama, Kasasi, maupun pada Peninjauan Kembali (Pasal 302

UUK-PKPU).

Dalam hal pemeriksaan perkara Kepailitan, ada 2 jenis hakim yang dapat

memeriksa perkara Kepailitan yaitu :

1. Hakim Tetap.

2. Hakim Ad-Hoc.50

ad 1. Hakim Tetap

Hakim Tetap, yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan

Ketua Mahkamah Agung untuk menjadi Hakim Pengadilan Niaga. Landasan

hukumnya dapat merujuk pada Pasal 302 ayat (1), dan pasal 302 ayat (2)

UUK-PKPU.

ad 2. Hakim Ad-hoc

Untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian

utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan dibentuknya Pengadilan Niaga, juga

di introdusir hakim Ad-hoc untuk dapat menjadi bagian dari majelis hakim yang

memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga.       

50

(50)

Ide awal keterlibatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga didasarkan pada

penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung

bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada

lingkup Niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari “Hakim Karir”

yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi “Hakim Niaga”.51

Pengangkatan hakim Ad-hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam UU No.4 Tahun

1998 yang kemudian dikuatkan kembali dalam UU No. 37 Tahun 2004. Selama

berlakunya UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan oleh UU No.37

tahun 2004, pengangkatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga telah dilakukan 2 (dua)

kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama, Keppres No. 71/M/1999

tertanggal 27 Februari 1999 berisi pengangkatan 4 (empat) orang hakim ad-hoc

untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Kedua, Keppres No.108/M/2000, berisikan

Pengangkatan 9 (sembilan) hakim Ad-hoc. Penempatan hakim Ad-hoc dalam majelis

hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim Ketua Pengadilan Niaga dalam

Pengadilan Niaga yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu adanya permohonan

dari salah satu pihak yang berperkara (Pemohon Pailit).

Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 283 ayat

(3) UU No. 4 Tahun 1998, maka bila tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka

hakim Ad-hoc tersebut tidak bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan

sistem hakim Ad-hoc tidak bekerja.

      

51

(51)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat (3), maka persyaratan pengangkatan

seorang sebagai hakim Ad-hoc yang membedakan dengan hakim Pengadilan Niaga

lain adalah hakim ad-hoc tersebut haruslah seorang “ahli”.

Jadi berdasarkan usulan dengan “hakim Niaga”dari Ketua Mahkamah Agung

melalui Keppres maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang ahli sebagai

hakim Ad-hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “hakim Niaga”

atau “hakim karir” seperti mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang masalah

yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus

tetap dipenuhi.52

Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa kemungkinan pengangkatan

hakim Ad-hoc (sebagai hakim pengawas atau hakim majelis) adalah:

1. Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan penetapan Ketua

Pengadilan Niaga yang selayaknya diberikan jika wajar (should not be

reasonably).

2. Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas kewenanganya

sendiri.53

Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup terdapat check

and balance. Biaya atau imbalan bagi hakim Ad-hoc tersebut, jika perlu tambahan

dapat diambil dari harta Pailit.

Dalam Pasal 304 UUK-PKPU menentukan bahwa :

      

52

Ibid, hlm.235-236.

53

(52)

Perkara yang pada waktu UU ini berlaku:

a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah diperiksa

tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan peraturan

perundang-undangan di bidang Kepailitan sebelum berlakunya UU ini;

b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan ketentuan

dalam UU ini;

Pasal 305 UUK-PKPU menentukan bahwa :

“ Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU

tentang Kepailitan (Faillissements-verordening, Stbld 1905:217 jo Stbld 1906: 348)

yang diubah dengan Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang

Kepailitan yang ditetapkan menjadi UU berdasarkan UU No.4 Tahun 1998 pada saat

UU diundangkan masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan atau belum

diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU ini.

Berlakunya UUK-PKPU No.37 tahun 2004 mencabut dan menyatakan tidak

berlaku lagi ( Faillissements-verordening Staatblad 1905:217 jo Staablad 1906:348 )

dan UU No.4 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 307 UUK-PKPU yang menyatakan :

“ Pada saat UU ini mulai berlaku, UU Tentang Kepailitan (Fv dan UU No.4 Tahun

1998) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Selain Hakim tetap dan Hakim Ad-hoc di atas ada 1 hakim lagi yang berperan

dalam perkara Kepailitan yakni Hakim Pengawas. Hakim pengawas ini berperan

(53)

yang diangkat oleh Pengadilan. Dahulu untuk hakim pengawas tersebut disebut

sebagai hakim komisaris, tetapi jika ada keberatan terhadap hakim pengawas dapat

ditempuh prosedur keberatan. Dan Pengadilan wajib mendengar pendapat hakim

pengawas sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan

harta pailit.54

Secara umum, tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan

pemberesan harta pailit, seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 UUK-PKPU, yang

intinya sama dengan ketentuan Pasal 63 Fv yang tidak diubah dan dicabut oleh UU

No.4 Tahun 1998.

B. Kompetensi Pengadilan Niaga

Menurut UUK-PKPU, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara

permohonan Kepailitan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah

tempat kedudukan hukum si debitur.55 Dan apabila debitur adalah badan Hukum

maka merujuk pada kedudukan hukum yang terdapat pada anggaran dasarnya (Pasal

3 ayat (5)

Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia,

Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan Pailit

      

54

Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi,

(Bandung:Alumni,2007), hlm.56.

55

(54)

adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir

Debitor.56

Bila dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang

memutuskan.57

Dalam hal Debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia

tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia,

Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat si debitor menjalankan profesi atau

usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.58

Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya

adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.59

Yang dimaksud pengadilan menurut UUK-PKPU ini adalah Pengadilan Niaga

yang merupakan pengkhususan Pengadilan di bidang Perniagaan yang dibentuk

dalam lingkup Peradilan Umum.60

Pengadilan Niaga yang pertama kali di dirikan di Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat. Pembentukan Pengadilan Niaga dilakukan secara bertahap dengan keputusan

Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang di

perlukan. Sebelum Pengadilan Niaga terbentuk, semua perkara yang menjadi lingkup

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Tetas Secara rinci daya tetas telur itik dengan fumigasi asap cair tempurung kelapa tertinggi 66,67 persen dihasilkan dari telur

Perencanaan, pada tahap ini kegiatan yang dilakukan meliputi, 1) Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) menggunakan Cooperative Leaarning Tipe TPS (Think

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada umumnya pengaruh media gambar terhadap peningkatan pemahaman menghitung siswa kelas II SDN 3 Lepak tergolong cukup

C 10 Desember 2012 14:00 wib YOSEPH BAMBANG - YOSEPH F ANITA Dhyah Ayu Retno Elsa Wahyu

Bahwa Tergugat dalam membuat keputusannya melanggar Asas Proporsionalitas. Yang dimaksud dengan "Asas Proporsionalitas" adalah asas yang mengutamakan keseimbangan

[r]

Surat Keterangan Lunas SPP Dari Biro Administrasi Umum & Keuangan (BAUK) - Untirta2. Transkrip Hasil Studi

[r]