ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA
DALAM PERKARA KEPAILITAN
(STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR
65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
TESIS
Oleh
SATRIA BRAJA HARIANDJA
097005016/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA
DALAM PERKARA KEPAILITAN
(STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR
65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
SATRIA BRAJA HARIANDJA
097005016/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
Nama Mahasiswa : Satria Braja Hariandja Nomor Pokok : 097005016
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a
(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH,M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 28 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
:
1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
JURIDICAL ANALYSIS OF TRADE COURT COMPETENCY IN BANKRUPTCY CASE ( CASE STUDY OF COURT DECISION
NO.65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).
Satria Braja Hariandja1) Bismar Nasution**)
Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)
ABSTRACT
Jakarta Pusat Trade Court does not have ayuthority examining and making decision of the case bankruptcy between PT. BANK CIMB NIAGA (Applicant for Bankruptcy I) and PT. ARITA PRIMA PERKASA (Applicant for Bankruptcy II) againts PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Pleaded to be bankrupt) in relation with the relative Competency of Trade Court based on the legal position of the pleaded which has been clearly regulated in law No.37/2004 on Bankruptcy an Delay of Loan Repayment Obligation. Yet, Jakarta Pusat Trade Court has made the decision of the case under the registration No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA. JKt.PST. Based on the acove description, the title of this study is “Juridical Analysis of Trade Court Competency in bankruptcy Case ( Case Study of Court Decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).
The research questions to be answered were to word extent the authority of Trade Court can examine bankruptcy case based on law No.37/2004 on Bankruptcy and Delay of Loan Repayment Obligation, what legal consideration the judge took in court decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., and how the judge’s decisions in this bankruptcy case was implmented.
This study employed the normatve legal research method and statute approach. As an analytical descriptive study, the process of analyzing decision No.65/ Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., was done by using qualitative analysis to deeply reveal the opinions and concepts needed and will be described cmprehensively to answer the problems found in this thesis. The conclusion was drawn by using deductive-inductive approaches.
The legal concideration taken by the judge in this thesis, which is related to Relative Competency, is not appropriate to the stipulation of bankruptcy application
ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
ABSTRAK
Satria Braja Hariandja* Bismar Nasution**)
Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidaklah berwenang memeriksa dan memutus perkara Kepailitan antara PT.BANK CIMB NIAGA (Pemohon Pailit I) dan PT.ARIMA PRIMA PERKASA (Pemohon Pailit II) melawan PT. MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Termohon Pailit) karena terkait dengan Kompetensi Relatif dari Pengadilan Niaga berdasarkan kedudukan hukum dari si termohon pailit telah jelas diatur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun demikian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memutus perkara tersebut dengan register nomor. 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas tulisan yang berjudul : “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)”.
Pertimbangan Hukum hakim dalam tesis ini terkait kompetensi relatif, tidaklah sesuai dengan ketentuan dalam hal Pengajuan permohonan Pailit dalam hal ini Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini. Ketentuan mengenai Pengajuan Permohonan ini diatur secara tegas dalam Pasal 3 ayat (1) s/d (5) Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah bapa, Putranya Yesus Kristus
dan Roh Kudus, yang melimpahkan kasih karunia dan berkat sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis yang sangat sederhana ini, dimana penuh kelemahan, baik dalam
penulisan hingga pengambilan kesimpulan dan pemberian saran. Tesis ini diajukan
untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar
Magister Hukum dalam Program studi Magister Ilmu Hukum, yang berjudul
“Analisis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus
Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST.)”.
Permasalahan pnelitian ini adalah Bagaimanakah kewenangan Pengadilan
Niaga memeriksa perkara Kepailitan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nmor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan
no.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., serta bagaimanakah pelaksanaan putusan ini
nantinya.
Pnulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada seluruh pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung memberi bantuan dalam penyusunan tesis
ini, antara lain :
1. Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu., DTM & H,M.SC (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang dibrikan untuk
dapat mengikuti pendidikan program sttudi Magister Ilmu hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Prof.Dr.Runtung,SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Univesitas
Sumatera Utara;
3. Prof.Dr.Suhaidi,SH.,MH. Selaku ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Dr.Mahmul Siregar,SH.,M.Hum, selaku sekretaris Program studi Magister Ilmu
5. Prof.Dr.Bismar Nasution, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing I yang
membimbing dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis selesai;
6. Prof.Dr.Sunarmi,SH.,M.Hum., Selaku Dosen Pembimbing II yang membimbing
dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis ini selesai;
7. Dr.T.Keizerina Devi.,SH.,CN.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III yang
membimbing dan mengarahkan penulis hingga penulisan tesis ini selesai.
8. Seluruh Dosen yang memberikan perkuliahan kepada penulis selama menjadi
mahasiswa, dan seluruh staf pegawai Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas sumatera Utara;
9. Teristimewa kepada papa tercinta Kol.Purn.M.Hariandja.,S.sos, dan mama
R.br.Simatupang, yang tanpa henti memberikan dukungan moril dan materil
yang luar biasa.
10. Kel.Laeku Mayor .Inf. H.Sitinjak/ Monaria br. Hariandja beserta bere-bereku
yaitu Hotmangaradja, Gerald Alvano. And Lisa Angelina;
11. Kel.Laeku Kapten.Inf. BB.Sitindaon/Joys.br.Hariandja.,M.psi.
12. Kel.laeku AKP.BE.Bandjarnahor/Heny Trisnawati,SH beserta bereku Matthew
Batara Sojuaon;
13. Teman-Teman Magister Ilmu Hukum angkatan 2009 seluruhnya, dan Program
Pararel B khususnya, sukses trussss buat kita sema;
Akhir kata, kiranya Tuhan yang menjadikan kehendakNya kepada mereka,
dan semoga tulisan ini berguna baggi Nusa dan Bangsa.
Medan, 27 Juni 2011
Satria Braja Hariandja
RIWAYAT HIDUP
Nama : SATRIA BRAJA HARIANDJA
Tempat/Tgl.Lahir : Medan,02 Juni 1987
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SD Santa Maria Tarutung (Lulus Tahun 1999)
SLTP Putri Cahaya Medan (Lulus Tahun 2002)
SMA Negeri 4 Medan ( Lulus Tahun 2005)
S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(Lulus Tahun 2008)
S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
B. Rumusan Permasalahan... 2
C. Tujuan Penelitian... 2
D.Manfaat Penelitian... 3
E. Keaslian Penelitian ... 3
F. Kerangka Teoritis Dan Konsepsi... 4
1. Kerangka Teori ... 4
BAB II : KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MEMERIKSA PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 9
A. Pengadilan Niaga... 9
1.Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga ... 9
2.Kedudukan & Pembentukan Pengadilan Niaga... 9
3.Hakim Pengadilan Niaga ... 9
B. Kompetensi Pengadilan Niaga... ... 11
C. Pemeriksaan Perkara Kepailitan 1.Hukum Acara Perdata ... 13
b. Tuntutan Hak & Gugatan dalam Hukum
Acara Perdata... 14
c. Kompetensi peradilan dalam Hukum acara Perdata ... 14
d. Tempat Pengajuan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata... 15
e. Pelaksanaan Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata... 16
2.Hukum Acara Kepailitan ... 17
a. Pengadilan yang Berwenang... 17
b. Pengajuan Permohonan Kepailitan... 17
c. Pembuktian Dalam Kepailitan... ... 17
d. Upaya Hukum Dalam Kepailitan... 18
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST ... 19
A. Duduk Perkara ... 19
B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 19
C. Analisis Putusan Hakim Dengan Nomor 65/Pailit/ 2010/PN.JKT,PST Tentang Kompetensi Relatif – Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Dalam Memeriksa Dan Memutus perkara ... 19
BAB IV : PELAKSANAN KEPUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA NOMOR65/Pailit/2010/PN.JKT.PST A. Akibat Kepailitan ... 21
B. Penunjukan Kurator... ... 21
C. Penunjukan Hakim Pengawas... 21
D. Pelaksanaan Putusan Hakim... ... 21
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 22
A. Kesimpulan ... 22
B. Saran... 24
JURIDICAL ANALYSIS OF TRADE COURT COMPETENCY IN BANKRUPTCY CASE ( CASE STUDY OF COURT DECISION
NO.65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).
Satria Braja Hariandja1) Bismar Nasution**)
Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)
ABSTRACT
Jakarta Pusat Trade Court does not have ayuthority examining and making decision of the case bankruptcy between PT. BANK CIMB NIAGA (Applicant for Bankruptcy I) and PT. ARITA PRIMA PERKASA (Applicant for Bankruptcy II) againts PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Pleaded to be bankrupt) in relation with the relative Competency of Trade Court based on the legal position of the pleaded which has been clearly regulated in law No.37/2004 on Bankruptcy an Delay of Loan Repayment Obligation. Yet, Jakarta Pusat Trade Court has made the decision of the case under the registration No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA. JKt.PST. Based on the acove description, the title of this study is “Juridical Analysis of Trade Court Competency in bankruptcy Case ( Case Study of Court Decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST).
The research questions to be answered were to word extent the authority of Trade Court can examine bankruptcy case based on law No.37/2004 on Bankruptcy and Delay of Loan Repayment Obligation, what legal consideration the judge took in court decision No.65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., and how the judge’s decisions in this bankruptcy case was implmented.
This study employed the normatve legal research method and statute approach. As an analytical descriptive study, the process of analyzing decision No.65/ Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST., was done by using qualitative analysis to deeply reveal the opinions and concepts needed and will be described cmprehensively to answer the problems found in this thesis. The conclusion was drawn by using deductive-inductive approaches.
The legal concideration taken by the judge in this thesis, which is related to Relative Competency, is not appropriate to the stipulation of bankruptcy application
ANALISIS YURIDIS KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)
ABSTRAK
Satria Braja Hariandja* Bismar Nasution**)
Sunarmi**) T.Keizerina Devi**)
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidaklah berwenang memeriksa dan memutus perkara Kepailitan antara PT.BANK CIMB NIAGA (Pemohon Pailit I) dan PT.ARIMA PRIMA PERKASA (Pemohon Pailit II) melawan PT. MESTIKA SAWIT INTIJAYA (Termohon Pailit) karena terkait dengan Kompetensi Relatif dari Pengadilan Niaga berdasarkan kedudukan hukum dari si termohon pailit telah jelas diatur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun demikian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memutus perkara tersebut dengan register nomor. 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas tulisan yang berjudul : “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)”.
Pertimbangan Hukum hakim dalam tesis ini terkait kompetensi relatif, tidaklah sesuai dengan ketentuan dalam hal Pengajuan permohonan Pailit dalam hal ini Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini. Ketentuan mengenai Pengajuan Permohonan ini diatur secara tegas dalam Pasal 3 ayat (1) s/d (5) Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi yang semakin meningkat dan seiring dengan gejolak
moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan
yang berat terhadap kemampuan perekonomian negara terutama di sektor riil.
Kelangsungan ekonomi secara defacto sangat berpengaruh terhadap menurunnya
usaha, sehingga kemampuan setiap perusahaan untuk memenuhi kewajiban terhadap
kreditor menjadi sulit dilaksanakan, tertunda bahkan ada yang sama sekali tidak dapat
membayar lagi. Keadaan ini akan berdampak terhadap sektor lainnya yang apabila
tidak di selesaikan secara tuntas akan menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap
gejolak sosial, politik di masyarakat luas.
Dalam rangka mengantisipasi kecenderungan tidak dapat dipenuhinya
kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka sebagai salah satu sarana hukum
untuk penyelesaian utang-piutang, pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang
signifikan terhadap Undang-Undang Kepailitan yaitu
Failisements-Verordening,S.1905 Nomor 217 jo S.1906 Nomor 348.
Materi peraturan ini dianggap belum memadai lagi untuk dipakai menangani
berbagai kasus-kasus kebangkrutan dan kredit macet yang terjadi di Indonesia, Pada
(PERPU) nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Kepailitan
(PERPU Kepailitan).2
Dalam bagian konsideran PERPU Kepailitan, disebutkan sebagai berikut :
a. Bahwa untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan
sebagai debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana
hukum yang dapat digunakan secara cepat , terbuka dan efektif.
b. Bahwa salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian hutang
piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
c. Bahwa untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap
perekonomian saat ini, salah satunya yang menjadi persoalan yang mendesak dan
memerlukan pemecahan adalah penyelesaian hutang-piutang perusahaan, dan
dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang yang dapat digunakan oleh para debitor dan kreditor secara
adil, cepat dan terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera
diwujudkan.
d. Bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang
piutang tersebut di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara
secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu Pengadilan khusus di
lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa
2
dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di
bidang Kepailitan dan penundaan pembayaran utang, juga sangat diperlukan
dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada
umumnya.
Dalam perkembanganya, PERPU Kepailitan ditingkatkan menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang tentang
Kepailitan menjadi Undang-Undang Kepailitan (UUK). UUK hanya terdiri dari dua
pasal, dimana Pasal 1 UUK pada dasarnya menegaskan PERPU Kepailitan ditetapkan
menjadi Undang-Undang, dan Pasal 2 UUK menyatakan bahwa UUK mulai berlaku
sejak di Undangkan yaitu tanggal 9 september 1998.3
Kemudian UUK ini direvisi kembali menjadi Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau
disingkat dengan (UUK-PKPU). Beberapa pokok materi baru dalam UUK ini antara
lain:
Pertama, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UUK-PKPU ini
pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh
waktu.
Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya
pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit
dan/atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3
Lahirnya UUK-PKPU, tentunya pengaturan dalam hal permohonan Kepailitan
telah diatur lebih tegas, seperti mengenai Pengajuan Permohonan dalam hal
Pengadilan Niaga Mana yang berwenang untuk memeriksa perkara ini. Setelah
kurang lebih 6 tahun UUK-PKPU ini terbit, terdapat permasalahan terkait dalam hal
Kompetensi Relatif dalam memeriksa perkara. Satu di antaranya adalah mengenai
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor : 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST, antara
PT.BANK CIMB NIAGA sebagai Pemohon Pailit I dan PT.ARITA PRIMA
PERKASA sebagai Pemohon Pailit II vs PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA sebagai
Termohon Pailit.
Permasalahan Kompetensi Relatif ini sangat penting dibahas demi untuk
kepastian hukum dan putusan hakim yang berkualitas. Dari segi kepastian hukum
yakni, adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan
mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai
kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut maka penilaian
mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan
tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum
yang lebih berjaya, karena diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum.4
Dalam hal hukum yang berkualitas, maka menurut Wasis,SP, Hukum
berkualitas adalah hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh
masyarakat dan sesuai dengan kehendak / aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang
4
baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap
orang. Tujuan hukum, di samping menjaga kepastian hukum juga menjaga
sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat.5
Mengenai peranan hakim dalam menegakkan kepastian Hukum, maka tidak
dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, Untuk
menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi
faktor penting dan menentukan, Pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan
untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan.6
Dalam Putusan atas permohonan pernyataan Pailit dalam putusan Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat nomor : 65/Pailit/2010/PN.JKT.PST., permasalahan yang timbul
adalah tidak berjalannya ketentuan tentang prosedur permohonan Kepailitan dimana
menurut UUK-PKPU dalam Pasal 3 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Permohonan diatur
berdasarkan kedudukan si debitor, di tempat kedudukan terakhir debitor, di tempat
kedudukan pesero atau firma tersebut, di kantor pusat tempat si debitor menjalankan
profesi, bila badan hukum berdasarkan kedudukan hukum sebgaimana yang diatur
dalam anggaran dasar badan hukum tersebut, tetapi kenyataannya dalam perkara ini
ternyata Pengadilan yang mengadili yaitu Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
berdasarkan Perjanjian Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian Pinjaman,
dalam Pasal 7 ayat (4) dalam Perjanjian tersebut sepakat memilih Pilihan Hukum
yang di antaranya Kompetensi Relatif. Acuan mengenai Pengadilan Niaga yang
5
Wasis ,SP, Pengantar Ilmu Hukum, (Malang:UMM Press,2002), hlm.21.
6
berwenang untuk memeriksa perkara ini haruslah mengacu kepada UUK-PKPU yakni
Pasal 3 ayat 5 UUK-PKPU yang menyatakan : “ Dalam hal debitor merupakan badan
hukum tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran
dasarnya ”.
Dalam hal kedudukan hukum si debitor sebagai badan hukum sendiri yaitu
PT.Mestika Sawit Intijaya berada di Jalan Tembakau Deli I No.4-1, Kabupaten Deli
Serdang, Provinsi Sumatera Utara dan berdasarkan Anggaran Dasarnya (AD)
berkedudukan hukum di Medan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat 5
UUK-PKPU jo Keppres No 97 tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada
Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri
Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang dalam Pasal 2 dinyatakan :
(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang
meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi
Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan
Daerah Istimewa Aceh.7
(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi
Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
Timor Timur.
7
(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi
Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam perkara ini Kreditor yaitu PT.BANK CIMB NIAGA Tbk.,beralamat di
Graha Niaga, Jalan jenderal Sudirman Kaveling 58 Jakarta 12190, yang selanjutnya
disebut dengan Pemohon Pailit I dan PT.ARITA PRIMA PERKASA beralamat di
kompleks Bilal Harmonis No.05 Kel.P.Brayan Darat I, Kec.Medan timur, Kota
Medan, Provinsi Sumatera Utara selanjutnya disebut dengan Pemohon Pailit II,
mengajukan gugatan Pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berdasarkan Perjanjian
Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian Pinjaman yang ditanda tangani para
pihak pada tanggal 22 Desember 2009 dalam Pasal 7 ayat (4), sepakat untuk memilih
Pilihan Hukum pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Niaga dalam
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima untuk memeriksa perkara ini dan telah
diputus pada tanggal 06 Oktober 2010 dengan Majelis Hakim, Tjokorda Rai Suamba,
SH. (Hakim Ketua Majelis), H.Syarifuddin, SH, M.Hum, Jupriyadi, SH.,M.Hum
(masing sebagai Hakim anggota).
Berdasarkan uraian di atas, agar dapat mengkaji secara yuridis kewenangan
Pengadilan Niaga yang berwenang memeriksa perkara Kepailitan ini dengan
mengacu pada UUK-PKPU jo Keppres No.97 tahun 1999, karena Pengadilan Niaga
merupakan Pengadilan khusus yang merupakan chamber dari Pengadilan Umum,
seperti halnya dengan Pengadilan anak dan Pengadilan lalu lintas. Kasus yang
diajukan ke Pengadilan Niaga akan diperiksa dan diputuskan dalam tingkat pertama
dengan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, sesuai dengan
hukum/Undang-Undang yang berlaku dan keyakinan hakim.8
Dalam Putusan hukum oleh Majelis Hakim dalam perkara Kepailitan ini,
hakim mengabulkan Permohonon Pemohon Pailit untuk seluruhnya dan menyatakan
debitor PT.MESTIKA SAWIT INTIJAYA Pailit dengan segala akibat hukumnya.
Dalam kasus ini Menarik untuk diteliti, eksepsi termohon Pailit ditolak seluruhnya,
eksepsi terkait kompetensi Relatif dalam hal yurisdiksi Pengadilan Niaga yang berhak
untuk memeriksa dan memutus perkara ini sesuai Undang-Undang No.37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU).
Berdasarkan Pasal 3 ayat (5) yang menyatakan oleh karena termohon Pailit
adalah badan hukum maka permohonan Pailit diajukan di domisili hukum sesuai
yang telah dinyatakan dalam anggaran dasar dari badan hukum tersebut yaitu Kota
Medan maka seharusnya permohonan Pailit seharusnya diajukan di Pengadilan Niaga
dalam Pengadilan Negeri Medan bukan di Pengadilan Niaga dalam Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, oleh karena itu seharusnya Permohonan Pernyataan Pailit
Pemohon Pailit I dan II menurut hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima
(N.O).
9
8
Binsar Gultom, Pandangan Kritis seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia,
(Medan:Pustaka Bangsa Press,2008), hlm.114.
9
Tuntutan yang kurang jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak dapat diterimannya tuntutan tersebut, demikian pula gugatan yang bertentangan satu sama lain atau disebut obscuur libel
Yang menarik dalam putusan ini adalah hakim tetap memeriksa perkara ini
dengan hanya berdasarkan pilihan hukum pada kesepakatan bersama mengenai
penyelesaian pinjaman. Apabila putusan ini sudah ditetapkan permasalahan yang
muncul adalah bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tersebut terkait
langkah-langkah yang ditempuh oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan
mengacu pada kedudukan hukum dari si debitor yang berada di Kab.Deli Serdang dan
objek dan jaminan berada di Desa Pematang Seleng, Kecamatan Bilah Hulu,
Kabupaten Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara padahal tujuan dasar dari
UUK-PKPU bahwa untuk meningkatkan pemerataan dan mempermudah masyarakat baik
secara
s Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara
Kepailitan ( Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor : 65/Pailit/2010/
diid
1. a Perkara Kepailitan
ajiban Pembayaran Utang?
perorangan atau badan usaha dalam menyelesaikan sengketa di bidang
perniagaan secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas tesis yang
berjudul “Analisi
PN.JKT.PST )”.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, timbul beberapa permasalahan yang dapat
entifikasikan sebagai berikut :
Bagaimanakah Kewenangan Pengadilan Niaga Memeriks
Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor.37 Tahun 2004 Tentang
2. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Nomor
65/Pailit/2010/PN.JKT.PST.?
. Bagaimanakah Pelaksanaan Keputusan Hakim dalam perkara Nomor. 65/ Pailit/
?
C.
1. radilan dalam
daan Kewajiban Pembayaran Utang.
3. lit/2010/PN.JKT.PST.
sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang nomor.37 tahun 2004 tentang
daan Kewajiban Pembayaran Utang?
1.
iharapkan dapat menambah dan memberikan
2. 3
2010/ PN. JKT. PST
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaturan terkait Kompetensi Relatif pe
memeriksa perkara Kepailitan menurut Undang-Undang nomor 37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penun
2. Untuk mengkaji dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor
65/Pailit.2010.PN.JKT.PST.
Untuk mengetahui pelaksanaan putusan nomor 65/Pai
Kepailitan dan Penun
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
Manfaat secara teoritis
Secara teoritis, penelitian ini d
manfaat untuk mengembangkan pemikiran di bidang hukum Kepailitan.
hal ini hakim dan advokat, agar dapat menegakkan hukum
dan keadilan bagi para pihak dalam sengketa Kepailitan, terlebih mengetahui
menjatuhkan putusan Kepailitan dalam rangka penegakan
nya. Namun permasalahan yang terdapat di dalam tesis tersebut tidak sama
n
erseroan”
2. mawati, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian Utang Piutang
elalui Hukum Kepailitan suatu Antisipasi Terhadap Kredit Bermasalah”. Secara praktis tulisan ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada aparat
penegak hukum dalam
pola pikir hakim dalam
hukum di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan sekolah Pasca sarjana,
maka penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga
Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor
65/Pailit/2010/PN.JKT.PST.)”, belum pernah ada yang melakukan penelitian
sebelum
dengan permasalahan dalam tesis ini sehingga penelitian ini adalah asli dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang menyangkut dengan masalah Kepailitan,
yaitu :
1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Hukum
Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailita
P
At
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Hakekat penulisan karya ilmiah sebagai salah satu landasan dalam hal
perkembangan ilmu hukum tidaklah terlepas dari teori sebagai landasannya dan tugas
hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum postulat-postulatnya hingga
uphoria reformasi segala bidang. Maka untuk mengantisipasi adanya
penegakan hukum, karena kaedah hukum akan tampak ketika penegakan hukum
tersebut terjadi. Fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan
aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, Sehingga penelitian ini tidaklah dapat
terlepas dari teori-teori hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran ahli
hukum sendiri.
Apabila ditinjau secara teoritis, lahirnya Undang-Undang Nomor 37 tahun
2004 adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di
Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik akibat
terjadinya e
kecenderungan dunia usaha yang bangkrut, Pemerintah pun menerbitkan
Undang-Undang ini menjadi suatu kaedah hukum positif dalam sistem perundang-undangan di
Indonesia.
mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work)
yang ditetapkan oleh suatu Undang-Undang atau hukum.10
Bila hal itu dikaitkan dengan pembangunan hukum, maka pendekatannya
tidak sekadar pembaharuan aturan-aturan hukum. Pembangunan hukum bertujuan
membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional (Legal
system). Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum Indonesia
yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan
substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan
menentukan sejauh mana sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional
mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru.
Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup
pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan.11 Bagaimana
pembangunan, pembaharuan atau pembinaan bentuk dan isi dari peraturan
perundang-undangan inilah yang menjadi substansi dari kebijakan legislatif.
Kebijakan Legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik
dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat Undang-Undang
(Legislator) dalam bentuk norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam
10
Calire Seltz et.,al:1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia (UI-Press),1986), hlm.9.
11
bentuk peraturan perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa
yang dikatakan oleh Austin , “The Command of the Sovereign”.12 Penelitian ini pada
dasarnya menggunakan teori hukum Positivis, sebagai landasan dan sebagai pisau
analisis guna mengkaji hal-hal yang dianggap sebagai permasalahan mendasar dalam
penelitian ini.
Menurut John Austin, tokoh yang menganut Hukum Positif, dengan menganut
sub aliran hukum positif yang analitis dengan teori Analytical Jurisprudence
menganut prinsip sebagai berikut:
Pertama, merupakan perintah dari penguasa (Law is a command of the law giver).
Maksudnya, perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang
memegang kedaulatan. Hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur
mahluk berfikir, dan perintah itu diberikan oleh mahluk berfikir yang memegang
kekuasaan. Dengan kata lain, hukum berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam
kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan
karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya
suatu instansi yang berwenang. Hukum dipandang semata-mata dalam formalnya,
yang dapat dipisahkan dari bentuk hukum materialnya. Artinya bahwa proses
pembentukan hukum tersebut dilakukan melalui cara tertentu, agar hukum tersebut
mempunyai dasar validitasnya. Dengan demikian hukum hanya didasarkan pada
kekuasaan dari pihak yang berkuasa, tidak didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip
12
moralitas baik dan buruk.13 Dengan demikian , perbedaan antara Hukum positif dan
hukum alam adalah bahwa dalam Hukum positif, hukum dibuat oleh pihak yang
berkuasa dan pembuatanya didasarkan pula pada pihak yang berkuasa. Meskipun
hukum tersebut dirasakan tidak adil atau tidak bermoral, namun karena pembuatan
hukum tersebut didasarkan pada pihak yang berkuasa maka hukum ini tetap sah
sebagai hukum. Sedangkan dalam hukum alam, hukum dibuat berdasarkan agama,
prinsip keadilan, atau prinsip moralitas yang baik atau buruk. Dalam hal ini, hukum
tersebut tetap dibuat oleh pihak yang berkuasa, misalnya oleh lembaga legislatif dan
eksekutif, tapi pembuatanya didasarkan pada pertimbangan agama, keadilan dan
moral.
Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (Closed
Logical System). Maksudnya adalah, bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat
atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum
yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik,
dan ukuran-ukuran moral.14 Pandangan ini jelas mendapat pengaruh ketat dari cara
berfikir sainsmodern, Ilmu dianggap sebagai penyelidikan mandiri yang objeknya
harus dipisahkan dari nilai.
Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu unsur perintah, sanksi,
kewajiban, dan kedaulatan. Apabila tidak memenuhi keempat unsur tersebut, dia
13
W.Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & sons Limited, Third Edition, 1953), hlm.151.
14
bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality). Unsur perintah berarti
bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya. Pihak yang
diperintah akan dikenakan sanksi apabila perintah itu tidak ditaati.15 Sebagai contoh,
Jika A (warga Negara) melakukan pelanggaran/kejahatan, maka B (aparat hukum)
diberikan wewenang untuk mengenakan Y (sanksi).16 Perintah tersebut merupakan
pembebanan kewajiban bagi yang diperintah, dan kewajiban ini hanya dapat
terlaksana jika yang memerintah tersebut adalah pihak yang berdaulat. Dan yang
memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang.17 Sedangkan
contoh moral positif misalnya hukum internasional yang tidak mempunyai sanksi.
Sebagai penganut aliran positivisme dengan teori hukum murni, Hans Kelsen
juga menyatakan prinsip dasar dalam aliran positivisme adalah :
Pertama, hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir non-yuridis seperti anasir etis
(moral), sosiologis, politis, dan sebagainya. Karena dipisahkanya hukum dari unsur
non-yuridis itulah, sehingga teori yang dikemukakan oleh Hans kelsen disebut teori
hukum murni.18 Pada dasarnya Hans kelsen berpendapat:
“it is called a “pure” theory of law, because it only describes the law and attemps to eliminate from the object of this description ever beratything that is not strictly law. Its aim is to free the science of law from alien elements”.19
15
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat & Teori Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004), hlm.59.
16
Ibid, hlm.43.
17
Ibid
18
Pembahasan mengenai konsep pemisahan antara hukum dan moral tampaknya memperoleh perhatian yag cukup besar dari para ahli hukum. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam R.M Dworkin,The Philosophy of Law,(New Jersey:Oxford University Press,1977),hlm.17-37.
19
Dipisahkanya hukum dari unsur etis, mengindikasikan bahwa Hans Kelsen
tidak memberikan tempat bagi berlakunya hukum alam. Hal ini karena etika
memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk, dan ajaran Kelsen menghindari
diri dari soal penilaian ini. Begitu pula pemisahan dari unsur sosiologis, berarti ajaran
Hans kelsen tidak memandang penting hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat, dan seterusnya.
Kedua, ilmu hukum menurut Hans Kelsen termasuk dalam Sollenkatagori (hukum
sebagai keharusan), bukan Seinskatagori (hukum sebagai kenyataan). Artinya, Kelsen
hanya memandang hukum sebagai keharusan yang terlepas sama sekali dari hukum
sebagai kenyataan. Orang mentaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya
sebagai suatu perintah negara. Contohnya: setiap orang yang membeli barang harus
membayar (hukum sebagai keharusan), tetapi apabila dalam kenyataanya ada orang
yang tidak membayar, maka hal itu bukan menjadi wewenang ilmu hukum, tetapi
persoalan nyata dalam masyarakat.20
Ketiga, ajaran tentang “stuffentheorie” yang dikembangkan muridnya Adolf Merkl,
yaitu bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari
peringkat terendah hingga peringkat tertinggi (grundnorm). Hukum yang lebih rendah
harus berdasar,bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih
tinggi. Sifat yang bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan
batalnya daya laku hukum itu, sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar
dan sumber dari hukum yang lebih rendah. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam
20
peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya dan
semakin rendah pangkatnya, semakin nyata dan operasional sifat norma yang
dikandungnya.21 Dalam hal penggunaan istilah hukum telah terjadi
pencampuradukkan antara defenisi Pilihan Hukum dan Pilihan Forum sebagaimana
diketahui bahwa Pilihan Hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku untuk
suatu perjanjian yang melibatkan dua hukum dua hukum dari dari negara yang
berbeda. Sedangkan Pilihan Forum merupakan adalah mengenai badan mana yang
berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi22, bisa diselesaikan
melalui Pengadilan Maupun jalur arbitrase yang dalam perkara No.
65/Pailit/PN.JKT.PST, dimungkinkan melakukan Pilihan forum sebagaimana diatur
dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang telah bersifat final dan mengikat.
Indonesia sebagai negara hukum dan penganut aliran hukum positif, setiap
aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan
pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan
Legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa
dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan
pada asas legalitas.23 Demikian juga halnya dengan para subjek hukum lainnya
bertindak dan bertingkah laku dalam aspek kehidupan haruslah berpedoman pada
ketentuan yang ada yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
21
Hans kelsen, Op.cit, hlm.126-137.
22
Yansen Dermanto Latip, Pilihan Hukum Dan Pilihan Forum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2002), hlm.1.
23
Bertumpu pada teori di atas maka dapat dikatakan bahwa Pasal 3 ayat (1),
(2),(3),(4), dan (5) UUK-PKPU merupakan suatu keharusan yang harus diterapkan
oleh hakim sebagai acuan dalam memutus dan memeriksa perkara ini tanpa
memperhatikan asal mula dari mana pasal tersebut terbentuk.
2. Kerangka Konsepsi
Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Kompetensi
Kompetensi adalah kewenangan, kekuasaan.24 Dalam hal ini kompetensi
relatif dari Pengadilan Niaga.
b. Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk dalam Pengadilan
Umum.25 Dalam hal ini pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
c. Kepailitan
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sita umum atas
semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesanya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
24
Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta:PrandjaParamita,1971), hlm.26.
25
d. Putusan Hakim
Putusan dalam hal ini putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan suatu
pemeriksaan perkara yang didasarkan pada pertimbangan yang menetapkan
hukuman.26 Dalam hal ini Putusan hakim yang tertuang dalam putusan nomor . 65/
Pailit/ 2010/ PN.JKT.PST.
e. Pertimbangan Hakim
Dalam Undang-undang Kehakiman maupun literatur lain tidak ditemukan
defenisi secara tegas mengenai apa yang dimaksud dengan pertimbangan hakim,
namun beberapa pendapat mengenai gambaran umum tentang yang dimaksud dengan
pertimbangan hakim adalah ukuran untuk menyatakan putusan guna memenuhi rasa
keadilan masyarakat .27 Dalam hal ini pertimbangan hakim yang tertuang dalam
putusan nomor. 65/ Pailit/ 2010/PN.JKT.PST.
f. Eksekusi
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan.28 Dalam hal ini eksekusi
terhadap putusan nomor 65/ Pailit/ 2010/ PN.JKT.PST.
26
Subekti,Op.cit.,hlm.85.
27
Binsar Gultom, Op.cit., hlm.24
28
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi dan Sifat penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian Hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan,29 yang berkaitan dengan analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan
dalam Perkara Kepailitan.
Penelitian hukum Normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum
positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum
in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah
penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in
abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan
fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor.
Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in
concreto, yang dimaksud.30 Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis,yaitu
untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo persada,2004), hlm.14.
30
2. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada
penelitian kepustakaan (Library research), (Library research) yang dilakukan
dengan menghimpun data sekunder, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya
mempunyai otoritas.31 Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang
terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan
maupun putusan-putusan pengadilan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah
yang ada relevansinya dengan penelitian ini dan dapat memberi petunjuk dan
inspirasi bagi penulis dalam rangka melakukan penelitian.32
c. Bahan hukum Tertier, yakni memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder,33 seperti kamus umum, kamus hukum, dan
bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk
melengkapi hasil penelitian ini.
3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan , dipergunakan tehnik penelitian
kepustakaan (Library research) dalam menganalisa putusan No.
65/2010/Pailit/PN.JKT.PST. dan menggunakan pendekatan perundang-undangan
31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana,2008), hlm.141.
32
Ibid,hlm.155.
33
(statute approach). Pendekatan tersebut, melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.34 Alat yang digunakan
untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.
4. Analisis Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan
dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang
sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu
menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden,
kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai
aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan35 yang ada dalam tesis ini, serta
penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif.
Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan
kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.
34
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia,2005), hlm.241.
35
BAB II
KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MEMERIKSA PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
A. Pengadilan Niaga
1. Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga
Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah
Pasal 27 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berisi :
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
UU.No.48 Tahun 2009.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dan Oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara).
Beberapa bentuk Pengadilan khusus lainnya, antara lain seperti Pengadilan
Hubungan Industrial yang ditetapkan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang
Peradilan umum, Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan UU No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, yang berada di bawah lingkup Peradilan Umum.36
Demikian halnya UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.8
Tahun 2004 Tentang peradilan Umum, dalam Pasal 8 dinyatakan secara tegas “Di
lingkungan Peradilan Peradilan Umum dapat diadakan Pengkhususan yang diatur
dengan Undang-Undang”.
Undang-Undang memberikan ruang untuk terbentuknya Pengadilan khusus
yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum dengan syarat bahwa
pembentukan pengadilan khusus tersebut ditetapkan melalui UU.
Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa perkembangan
sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari
segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bahagian khusus di
dalam lingkungan Peradilan Umum.37
Tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi
sarana hukum bagi penyelesaian hutang piutang diantara para pihak yaitu Debitor dan
kreditor secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, sehingga dengan demikian dapat
meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada
umumnya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing
dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta38, hal ini merupakan salah satu
langkah positif dalam hal memperbaiki carut-marutnya UUK terdahulu yang lahir
36
Jono, Hukum Kepailitan, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 81-82.
37
Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: sofmedia, 2010),hlm.227.
38
akibat desakan International Monetery Fund (IMF) karena peraturan kepailitan yang
merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan
kurang memenuhi tuntutan zaman.39 guna Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah
memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa
permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang
memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).40 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan
tidak dapat memeriksa gugatan/ permohonan yang diajukan kepadanya apabila
ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan
mutlak Pengadilan lain.41
2. Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga
Lembaga Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi
penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal
1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap hutang-hutangnya.42
Menurut Pasal 1131 : segala kebendaan berhutang baik yang bergerak
maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan.
39
Ahmad yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan, (Jakarta : Rajawali Pers, 1999),hlm.1-2.
Pasal 1132 menentukan Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama
bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda
itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang
masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.
Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada kreditur
bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/ lunas dengan jaminan dari kekayaan
debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian hari Pasal
1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata itu merupakan perwujudan adanya asas
jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan.43
Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur
merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya secara proporsional, kecuali
bagi krediturnya dengan hak mendahului (hak preferensi).
Jadi pada dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH perdata
dan 1132 KUH perdata ini adalah bahwa UU mengatur tentang hak menagih bagi
kreditur atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur.
Bertolak dari asas tersebut di atas sebagai lex generalis, maka ketentuan
kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional.
Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai
dua fungsi sekaligus yaitu :
43
(1) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa
debitur tidak akan berbuat curang, dan bertanggung jawab atas semua
hutang-hutangnya kepada semua kreditur-krediturnya.
(2) Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi
massal oleh kreditur-krediturnya.
Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau
sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka
memberikan kepastian hukum.
Oleh karena itu lembaga kepailitan berfungsi sebagai pengawas implementasi
pelaksanaan Peraturan Kepailitan dan mekanisme pembayaran utang terhadap semua
kreditur dengan mengacu yang diperintahkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH
Perdata yang merupakan dasar hukum dari kepailitan.44
Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga, menurut Sudargo Gautama
merupakan pencangkokan institusi baru, Artinya Pencangkokkanya itu diambil dari
berbagai lembaga baru dalam sistem hukum dan praktek hukum yang sudah ada
dalam rangka Faillisemen. Dianggap wajar oleh pembuat Undang-Undang, jika
dalam rangka untuk menyediakan sarana hukum sebagai landasan untuk
menyelesaikan hutang piutang, dianggap perlu peraturan kepailitan yang dapat
44
memenuhi kebutuhan dunia usaha yang makin berkembang secara cepat dan bebas.45
PERPU (Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang) No.1 Tahun 1998 dipilih
untuk melakukan penyempurnaan atas peraturan Faillissemen yang sudah ada.
Karena dengan demikian dapat diharapkan bertindak lebih cepat dengan dasar
pertimbanganya yaitu :
(1) Adanya kebutuhan yang besar yang sifatnya mendesak untuk secepatnya
mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang dapat berlangsung secara
cepat, adil, terbuka, dan efektif untuk menyelesaikan piutang perusahaan yang
besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional.
(2) Dalam rangka penyelesaian akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak
pertengahan tahun 1997, khususnya berkenaan dengan masalah utang piutang di
kalangan dunia usaha nasional, dianggap perlu adanya penyelesaian yang cepat
mengenai masalah ini. Untuk itu perlu kesediaan perangkat hukum untuk
memenuhi kebutuhan. Penyelesaian masalah utang piutang. Dengan demikian
perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi secara normal. Bila kegiatan
ekonomi berjalan kembali, akan berarti pengurangan tekanan sosial yang
menurut pengamatan pemerintah sudah terasa banyak di lapangan kerja. Maka
perlu diwujudkan penyelesaian utang-piutang ini secara cepat dan efektif.46
Dalam Pasal 8 UU No. 3 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Umum disebutkan
bahwa : “Yang dimaksud dengan ‘diadakanya pengkhususan’ ialah adanya
45
Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung:Citra Adytia Bakti, 1998), hlm.9.
46
diferensiasi / spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya Pengadilan Lalu
Lintas, Pengadilan Anak dan Pengadilan Ekonomi”. Dengan demikian dalam UU No.
4 Tahun 1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan
Khusus di lingkungan Peradilan Umum.
Ketentuan Pasal 300 UUK-PKPU secara tegas menentukan :
(1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa
dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula
memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya
dilakukan dengan Undang-Undang.
(2) Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara
bertahap dengan Keputusan Presiden (KEPRES), dengan memperhatikan
kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.
Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak
(absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan
menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk
menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU).47 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa
gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan
tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain.48
47
Sunarmi, Loc.cit.hlm.229.
48
Pasal 300 ayat (1) memberikan kekuasaan kepada Pengadilan Niaga untuk
memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan selain perkara
Kepailitan dan PKPU. Namun tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan
perkara lain di bidang perniagaan tersebut, hal ini disebabkan Undang-Undang yang
mengatur hal tersebut belum ada. Dengan demikian, Undang-Undang yang akan
mengatur hal tersebut kelak, hendaknya harus jelas bidang-bidang perniagaan apa
saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi dalam mengadili antara Pengadilan Niaga
dengan Pengadilan Negeri.
Undang-Undang di bidang HAKI49 telah secara tegas menetukan bahwa
perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan Niaga. Hal
ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain menyelesaikan sengketa –
sengketa di bidang kepailitan dan PKPU, juga menyelesaikan sengketa HAKI.
3. Hakim Pengadilan Niaga
Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah
Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim sebagaimana dimaksud
pada Pasal 302 ayat (2), adalah :
a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah
yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan;
c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
49
d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada
pengadilan.
Dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal
302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai hakim Ad-hoc, baik
pada tingkat pertama, Kasasi, maupun pada Peninjauan Kembali (Pasal 302
UUK-PKPU).
Dalam hal pemeriksaan perkara Kepailitan, ada 2 jenis hakim yang dapat
memeriksa perkara Kepailitan yaitu :
1. Hakim Tetap.
2. Hakim Ad-Hoc.50
ad 1. Hakim Tetap
Hakim Tetap, yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung untuk menjadi Hakim Pengadilan Niaga. Landasan
hukumnya dapat merujuk pada Pasal 302 ayat (1), dan pasal 302 ayat (2)
UUK-PKPU.
ad 2. Hakim Ad-hoc
Untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian
utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan dibentuknya Pengadilan Niaga, juga
di introdusir hakim Ad-hoc untuk dapat menjadi bagian dari majelis hakim yang
memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga.
50
Ide awal keterlibatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga didasarkan pada
penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung
bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada
lingkup Niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari “Hakim Karir”
yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi “Hakim Niaga”.51
Pengangkatan hakim Ad-hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam UU No.4 Tahun
1998 yang kemudian dikuatkan kembali dalam UU No. 37 Tahun 2004. Selama
berlakunya UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan oleh UU No.37
tahun 2004, pengangkatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga telah dilakukan 2 (dua)
kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama, Keppres No. 71/M/1999
tertanggal 27 Februari 1999 berisi pengangkatan 4 (empat) orang hakim ad-hoc
untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Kedua, Keppres No.108/M/2000, berisikan
Pengangkatan 9 (sembilan) hakim Ad-hoc. Penempatan hakim Ad-hoc dalam majelis
hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim Ketua Pengadilan Niaga dalam
Pengadilan Niaga yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu adanya permohonan
dari salah satu pihak yang berperkara (Pemohon Pailit).
Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 283 ayat
(3) UU No. 4 Tahun 1998, maka bila tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka
hakim Ad-hoc tersebut tidak bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan
sistem hakim Ad-hoc tidak bekerja.
51
Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat (3), maka persyaratan pengangkatan
seorang sebagai hakim Ad-hoc yang membedakan dengan hakim Pengadilan Niaga
lain adalah hakim ad-hoc tersebut haruslah seorang “ahli”.
Jadi berdasarkan usulan dengan “hakim Niaga”dari Ketua Mahkamah Agung
melalui Keppres maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang ahli sebagai
hakim Ad-hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “hakim Niaga”
atau “hakim karir” seperti mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang masalah
yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus
tetap dipenuhi.52
Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa kemungkinan pengangkatan
hakim Ad-hoc (sebagai hakim pengawas atau hakim majelis) adalah:
1. Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan penetapan Ketua
Pengadilan Niaga yang selayaknya diberikan jika wajar (should not be
reasonably).
2. Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas kewenanganya
sendiri.53
Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup terdapat check
and balance. Biaya atau imbalan bagi hakim Ad-hoc tersebut, jika perlu tambahan
dapat diambil dari harta Pailit.
Dalam Pasal 304 UUK-PKPU menentukan bahwa :
52
Ibid, hlm.235-236.
53
Perkara yang pada waktu UU ini berlaku:
a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah diperiksa
tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang Kepailitan sebelum berlakunya UU ini;
b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan ketentuan
dalam UU ini;
Pasal 305 UUK-PKPU menentukan bahwa :
“ Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU
tentang Kepailitan (Faillissements-verordening, Stbld 1905:217 jo Stbld 1906: 348)
yang diubah dengan Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang
Kepailitan yang ditetapkan menjadi UU berdasarkan UU No.4 Tahun 1998 pada saat
UU diundangkan masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan atau belum
diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU ini.
Berlakunya UUK-PKPU No.37 tahun 2004 mencabut dan menyatakan tidak
berlaku lagi ( Faillissements-verordening Staatblad 1905:217 jo Staablad 1906:348 )
dan UU No.4 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 307 UUK-PKPU yang menyatakan :
“ Pada saat UU ini mulai berlaku, UU Tentang Kepailitan (Fv dan UU No.4 Tahun
1998) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain Hakim tetap dan Hakim Ad-hoc di atas ada 1 hakim lagi yang berperan
dalam perkara Kepailitan yakni Hakim Pengawas. Hakim pengawas ini berperan
yang diangkat oleh Pengadilan. Dahulu untuk hakim pengawas tersebut disebut
sebagai hakim komisaris, tetapi jika ada keberatan terhadap hakim pengawas dapat
ditempuh prosedur keberatan. Dan Pengadilan wajib mendengar pendapat hakim
pengawas sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan
harta pailit.54
Secara umum, tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit, seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 UUK-PKPU, yang
intinya sama dengan ketentuan Pasal 63 Fv yang tidak diubah dan dicabut oleh UU
No.4 Tahun 1998.
B. Kompetensi Pengadilan Niaga
Menurut UUK-PKPU, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara
permohonan Kepailitan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah
tempat kedudukan hukum si debitur.55 Dan apabila debitur adalah badan Hukum
maka merujuk pada kedudukan hukum yang terdapat pada anggaran dasarnya (Pasal
3 ayat (5)
Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia,
Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan Pailit
54
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi,
(Bandung:Alumni,2007), hlm.56.
55
adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir
Debitor.56
Bila dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang
memutuskan.57
Dalam hal Debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia
tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia,
Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat si debitor menjalankan profesi atau
usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.58
Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya
adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.59
Yang dimaksud pengadilan menurut UUK-PKPU ini adalah Pengadilan Niaga
yang merupakan pengkhususan Pengadilan di bidang Perniagaan yang dibentuk
dalam lingkup Peradilan Umum.60
Pengadilan Niaga yang pertama kali di dirikan di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Pembentukan Pengadilan Niaga dilakukan secara bertahap dengan keputusan
Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang di
perlukan. Sebelum Pengadilan Niaga terbentuk, semua perkara yang menjadi lingkup