• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rantai nilai agroindustri

2 PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI TERINTEGRAS

2.6 Rantai nilai agroindustri

Istilah rantai pasok (supply chain) dan rantai nilai (value chain) menurut Vorst et al. (2007) sering digunakan secara interchangeable. Sturgeon (2000) mendefinisikan rantai nilai adalah serangkaian kegiatan produktif (seperti pemberian nilai tambah) hingga penggunaan akhir. Istilah lain untuk rantai nilai adalah rantai pasok, rantai komoditas, rantai produksi, rantai kegiatan atau pipeline. Ide rantai nilai (value chain) yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Michael Porter (1985) mendapatkan perhatian serius di sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir sebagai respon terhadap sejumlah faktor ekonomi dan trend konsumen yang mempengaruhi usaha di bidang pangan.

Menurut Feller et al. (2006) perbedaan pokoknya antara rantai pasok dan rantai nilai adalah jika rantai pasok fokus pada aliran dari pemasok ke konsumen, sebaliknya rantai nilai fokus pada sektor hilir pada penciptaan nilai di mata konsumen seperti diilustrasikan pada Gambar 2.7.

Produk RANTAI NILAI Permintaan konsumen

Komponen2

strategis Manufaktur

Produk

Final Konsumen

Permintaan

produk RANTAI PASOK Konsumen

Gambar 2.7. Ilustrasi rantai nilai dan rantai pasok (Feller et al., 2006) Porter (1985) mendefinisikan nilai sebagai jumlah yang bersedia dibayarkan oleh pembeli untuk apa yang diberikan oleh penjual, dan mengartikan rantai nilai sebagai kombinasi dari seluruh aktivitas penambahan nilai yang bekerja sama untuk memberikan nilai kepada pelanggan. Sejumlah peneliti, organisasi dan perusahaan memberikan definisi yang berbeda tentang rantai nilai. Menurut Devanney (2006), definisi-definisi ini mengarah pada istilah-istilah seperti “kemitraan”, “aliansi” dan “kolaborasi” yang fokus pada nilai tambah, peningkatan pangsa pasar, dan kepuasan atau melampaui permintaan konsumen. Rantai nilai adalah kemitraan saling menguntungkan antara semua pelaku yang terlibat dalam produksi suatu produk dimana masing-masing mitra berkontribusi dan berbagi pengetahuan, informasi serta menyumbangkan keahlian guna

31 meningkatkan (mendiferensiasi) produk akhir untuk meningkatkan kepuasan konsumen terkait dengan para pesaing.

Kaplinsky and Moris (2001) mendefinisikan rantai nilai adalah gambaran seluruh rentang aktivitas yang dibutuhkan untuk membawa produk atau jasa dari konsepsi, melalui berbagai fase (value chain) produksi (melibatkan kombinasi transformasi fisik dan input berbagai jasa produsen), mengirimkan ke konsumen akhir, dan pembuangan akhir. Definisi ini juga digunakan oleh Miller dan da Silva (2007) yang menekankan adanya link antar proses. Perbedaan definisi ini juga berimplikasi pada perbedaan prioritas. Jika definisi pertama (Devanney, 2006) menekankan kemitraan yang saling menguntungkan semua pihak yang terlibat, maka definisi kedua (Kaplinsky and Morris, 2000; Miller and da Silva, 2007) lebih menekankan perlunya link antara proses atau fase. Namun kedua pendekatan ini memiliki titik temu, dimana tujuan akhirnya adalah memenuhi tuntutan konsumen dan memenangkan persaingan.

Menurut Reidel et al. (2009) analisis dayasaing sayuran segar dapat dilakukan dengan kombinasi pendekatan klaster dan rantai nilai melalui penciptaan nilai dengan melibatkan aktor lokal. Keterlibatan aktor lokal (petani) dalam hal ini sangat penting guna meningkatkan pendapatan para petani, kesempatan kerja serta keamanan pangan.

Dalam analisis rantai nilai terdapat kaitan vertikal dan horisontal. Kaitan vertikal adalah kaitan antara pelaku-pelaku yang berbeda sepanjang rantai nilai seperti pemasok dan pengolah, atau antara distributor dan konsumen akhir. Kaitan horizontal adalah kaitan antara sejumlah pelaku pada level rantai yang sama seperti kaitan antara sesama pabrik pengolah, atau antara pelaku rantai nilai dengan lembaga pendukung lain di antara pabrik pengolahan dan penyelenggara jasa yang ada dalam rantai nilai seperti lembaga penelitian pasar, universitas dan penyelenggara jasa iklan (Kaplinsky and Morris, 2000).

Menurut Bamman (2007), konsep rantai nilai ini mencakup:

1) Melacak aliran produk, menunjukkan penambahan nilai pada tiap tahapan, mengidentifikasi aktor-aktor kunci dan hubungannya dalam rantai tersebut.

2) Mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang berkontribusi terhadap

32

3) Mengindentifikasi “bottlenecks” yang menghalangi proses 4) Menyediakan kerangka kerja untuk aksi sektor spesifik

5) Mengindentifikasi strategi untuk membantu perusahaan lokal untuk bersaing dan meningkatkan penghasilan.

6) Mengidentifikasi stakeholder yang relevan untuk perencanaan program (termasuk ekspansi pasar).

Rantai nilai sektor agri-food termasuk kompleks dan perlu dianalis dengan mendekatan holistik yang meliputi pra-produksi pasokan input, produksi, pasca- produksi, proses industri dan pemasaran. Termasuk dalam hal ini adalah aspek lingkungan bisnis yang meliputi iklim makro ekonomi, kebijakan dan regulasi sektoral, lembaga fasilitasi seperti kebijakan, hukum komersial, pendanaan, informasi pasar, standar, pasar, teknologi, keamanan pangan, riset dan pengembangan, inovasi, hak cipta, penyediaan jasa seperti transportasi, penyimpangan, pengolahan, pengemasan, impor, ekspor, dealer, komunikasi dan lain-lain (FAO, 2008).

Mekanisme utama untuk meningkatkan kinerja rantai nilai produk pertanian menurut ADB (2010) adalah: 1) Reduksi biaya pada tiap titik sepanjang rantai nilai, 2) diferensiasi produk yang terlihat unik dan menarik bagi konsumen, 3) pengenalan teknologi tepat guna pada setiap titik sistem rantai nilai, dan 4) peningkatan kinerja dan kerjasama di antara lembaga-lembaga yang terlibat dalam rantai nilai. Contoh rantai nilai produk pertanian disajikan pada Gambar 2.8.

33 Gambar 2.8. Rantai nilai produk pertanian (ADB, 2010)

Pendekatan rantai nilai fokus pada empat faktor yang mempengaruhi dayasaing (Ardjosoediro dan Goetz, 2007):

1) Kerjasama dan koordinasi antar perusahaan; kerjasama ini menghasilkan peluang untuk input yang efisien, aliran barang dan informasi di antara perusahaan, memungkinkan bereaksi terhadap persaingan dari negara lain. 2) Hubungan di antara perusahaan: sama-sama memperoleh manfaat (win-win).

hubungan antara perusahaan dalam rantai nilai menciptakan insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan efisiensi pergerakan produk dan informasi, mengembangan strategi di level industri untuk bersaing di pasar global. 3) Distribusi manfaat menciptakan insentif atau dis-insentif kinerja. Manfaat

dalam rantai nilai bervariasi, namun dapat diterjemahkan ke dalam peningkatan pendapatan, mereduksi risiko pasar (pendapatan lebih stabil), dan meningkatkan nilai asset.

4) Pembelajaran dan inovasi penting untuk menciptakan dan mempertahankan daya saing. Perlu pembelajaran yang cepat tentang preferensi konsumen dan akses terhadap ketrampilan dan teknologi dibutuhkan untuk memberikan respon, khususnya bagi perusahaan kecil agar tetap kompetitif dan terus meningkatkan respon terhadap peluang pasar.

34

Hasil penelitian Nga (2008) di Vietnam menunjukkan strategi “upgrading” rantai nilai yang melibatkan: (1) penyedia input, (2) petani karet, (3) pedagang perantara, (4) pabrik pengolah, dan (5) industri karet mampu meningkatkan nilai tambah dan surplus keuntungan pihak-pihak terkait dalam kegiatan. Petani karet mendapatkan nilai tambah 47,6% untuk lateks pekat, dan 61,9% untuk lateks cair. Pedagang perantara memperoleh nilai tambah 33,3% dan 30% untuk lateks pekat dan lateks cair, sementara pihak pabrik pengolah memperoleh masing-masing 5,29% dan 12,8% untuk lateks pekat dan lateks cair.

Di Indonesia, analisis rantai nilai oleh Peramune dan Budiman (2007) menunjukkan para petani karet hanya menerima Rp. 3.000 – 4.000 per kg karet kareng kering atau 30% - 50% dari nilai FOB SIR 20. Industri barang jadi karet karet di Indonesia umumnya dikuasai pihak asing, sementara industri lokal memainkan peran yang sangat kecil dalam rantai nilai. Gambaran umum rantai nilai karet alam di Indonesia disajikan pada Gambar 2.9.

35