• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. RASA BERHARGA

1. Pengertian

Rasa berharga merupakan pandangan evaluasi positif secara keseluruhan akan diri sendiri (Rosenberg,1990). Menurut Berk (2013) rasa berharga merupakan penilaian yang kita buat sendiri untuk menilai kelayakan diri beserta dengan perasaan-perasaan yang berasosiasi dengan penilaian tersebut. Oxford dictionary mendefinisikan rasa berharga sebagai “rasa nyaman atau layak akan kemampuan diri sendiri; menghormati diri sendiri” sedangkan Merriam-Webster Dictionary mendefinisikan rasa berharga sebagai perasaan puas yang dimiliki oleh individu didalam dirinya dan kemampuan yang dimilikinya.

Rasa berharga pertama kali diperkenalkan oleh William James (dalam Crocker & Knight (2005), h.200-203). Rasa berharga merupakan penilaian yang kita buat terhadap rasa kelayakan diri dan perasaan-perasaan yang berhubungan dengan hal itu. Selain itu, rasa berharga bisa dikatakan sebagai pemisahan gambaran kesuksesan yang nyata pada seseorang dengan gambaran ideal yang diinginkan. Dapat dikatakan bahwa rasa berharga seseorang tumbuh dari kesuksesannya dalam melakukan sesuatu sesuai dengan keahliannya dalam berbagai kesempatan dengan tingkat kesulitan yang berbeda.

2. Komponen afektif dan kognitif dalam rasa berharga

Menurut Brett W. Pelham dan William B. Swann Jr (1989) dari Universitas Texas di Austin terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap rasa berharga seseorang secara keseluruhan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: tendensi orang dalam mengalami atau merasakan perasaan positif dan negatif, pandangan spesifik individu tentang dirinya (contohnya: konsep diri seseorang terhadap kelebihan dan kekurangan dirinya, dan cara orang dalam membentuk atau membingkai pandangan dirinya. Ketiga faktor ini kemudian dibagi kedalam komponen afektif dan kognitif yang berkontribusi pada rasa berharga.

a. Komponen afektif pada rasa berharga

Peran pengalaman masa kecil anak sangatlah penting bagi perkembangan rasa berharganya di kemudian hari. Beberapa psikolog perkembangan seperti Erikson (1963) dan Sroufe (1978) menekankan bagaimana pengalaman afektif dengan orang tua sebagai pengasuh utama di masa kecil berperan dalam menentukan rasa berharga. Sebelum anak mengalami perkembangan kognitif yang lebih kompleks,

mereka terlebih dahulu telah belajar dan mampu menyadari atau merasakan apakah lingkungan di sekitarnya ramah dan menerima dirinya atau sebaliknya. Anak-anak menerjemahkan pengalaman sosial yang mereka alami kedalam bentuk rasa bangga atau malu. Perasaan kelayakan diri anak-anak ini tidak hanya menjadi fondasi dalam pembentukan rasa berharga, tetapi juga dapat mempengaruhi cara mereka dalam memandang diri sendiri dan dunia mereka pada saat dewasa.

b. Komponen Kognitif pada Rasa berharga

Konsep diri spesifik dimulai pada saat anak-anak bertambah usia setelah

mereka mulai bisa berbicara dan rasa percaya mereka mulai terbentuk, anak-anak ini mengembangkan rasa berharga mereka melalui penilaian orang lain terhadap diri mereka (Cooley, 1902). Gambaran diri membantu individu untuk menentukan bagaimana individu tersebut ingin melihat dirinya sendiri: positif atau negatif. Nilai dan tujuan tertentu dalam kehidupan sehari-hari juga ikut mempengaruhi cara pandang diri seseorang yang kemudian secara kuat mempengaruhi rasa berharga seseorang secara keseluruhan. Menurut James (dalam Rosenberg, 1965) identitas diri dan kemampuan yang dimiliki individu berkontribusi secara signifikan terhadap rasa berharga.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi rasa berharga a. Budaya

Menurut Harter (2006) budaya mempengaruhi rasa berharga pada anak. Khususnya penekanan terhadap perbandingan sosial yang berfokus pada prestasi akademik yang lebih tinggi. Contohnya di negara Asia, keadaan ruang kelas berisi

persaingan yang keras dan tekanan untuk berprestasi akademik yang tinggi. Di waktu yang bersamaan karena budaya di negara Asia menekankan pada harmoni dan kesopanan maka anak-anak di Asia tidak terlalu bersandar pada perbandingan sosial untuk lebih menaikkan lagi rasa berharga mereka. Anak-anak ini lebih kepada menilai diri mereka secara positif, tetapi juga memuji orang lain atas hasil yang didapatkan (Falbo et al, 1997 dalam Berk, 2013).

Perbedaan jenis kelamin anak juga dapat mempengaruhi rasa berharga. Pada salah satu penelitian yang melibatkan anak-anak perempuan berusia 5-8 tahun, didapati bahwa mereka cenderung berbicara tentang penampilan pada saat menonton TV dan memuji orang yang ada didalam TV karena memiliki bentuk tubuh yang indah. Dapat diketahui bahwa semakin seorang perempuan tidak merasa puas dengan keadaan fisiknya maka ditahun-tahun berikutnya pada saat beranjak dewasa, rasa berharganya akan semakin rendah (Dohnt & Tiggemann, 2006 dalam Berk, 2013). Berbeda halnya dengan para anak laki-laki yang memiliki rasa berharga lebih tinggi dalam hal akademik jika dibandingkan dengan anak-anak perempuan. Dapat dikatakan anak laki-laki lebih memiliki rasa berharga yang lebih tinggi secara keseluruhan jika dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini disebabkan para anak perempuan terbawa dengan pesan dalam budayanya bahwa laki-laki lebih dari mereka.

b. Pola asuh orang tua

Anak-anak dan remaja yang orangtuanya bersikap hangat, menerima apa adanya, dan membantu anak apabila mengalami kesulitan cenderung memiliki rasa positif terhadap diri mereka sendiri (Lindsey et al, 2008). Kehangatan dan

pengasuhan yang positif dapat membuat anak-anak merasa bahwa mereka diterima sebagai orang yang berkompeten dan berharga. Berbeda halnya dengan orang tua yang suka mengontrol dan terlalu sering membuat keputusan untuk anaknya, memiliki komunikasi yang tidak sejajar dengan anaknya, serta selalu membuat anak merasa salah cenderung menghasilkan anak dengan rasa berharga yang rendah (Kernis, 2002; Pomerantz & Eaton, 2000). Anak-anak yang diasuh dengan cara seperti itu cenderung membutuhkan penerimaan dan pengakuan yang konstan, sehingga anak-anak ini cenderung bersandar kepada teman sebaya. Kemudian muncul perilaku-perilaku negatif seperti: kesulitan beradaptasi termasuk agresi, perilaku antisosial, dan kenakalan.

Kebalikannya, anak-anak yang dibesarkan dengan toleransi yang terlalu tinggi mengakibatkan anak tersebut memiliki rasa berharga yang tidak realistik. Anak-anak ini merasa superior tapi juga mempunyai rasa cemas yang tinggi mengenai apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang dirinya. Oleh sebab itu, rasa berharga nya dapat turun sangat drastis secara tiba-tiba apabila menghadapi keadaan yang menantang gambar diri mereka. Hal ini kemudian menyebabkan anak-anak tersebut tidak segan-segan untuk melakukan tindakan agresif kepada teman yang tidak sepaham dengan dirinya. Mereka juga kesulitan untuk beradaptasi dan cenderung melakukan tindakan agresif.

Jadi dalam penelitian ini rasa berharga merupakan pandangan positif secara keseluruhan tentang diri sendiri beserta dengan seluruh perasaan yang menyertainya. Didalam rasa berharga terdapat dua komponen yang ikut memengaruhinya, yaitu: komponen afektif dan kognitif. Komponen afektif

menekankan pada pentingnya pengalaman perasaan pada masa kecil. Bagaimana orang tua sebagai pengasuh utama merawat dan membesarkan anak sangat memengaruhi anak ini nantinya. Komponen kognitif menekankan pada bagaimana

orang lain melihat „diri‟. Dimana anak-anak ini dengan bertambahnya usia, kepercayaan diri mereka mulai terbentuk dan mereka mengembangkan rasa layak diri melalui penilaian orang lain terhadap diri mereka. Adapun rasa berharga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: budaya dan pola asuh orang tua.

Dokumen terkait