• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD-nya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan infrastruktur daerah, dapat terwujud dengan pencapaian seberapa besar ruang fiskal yang dimiliki daerah tersebut. Pada Grafik 10 memperlihatkan pergerakan ruang fiskal se Eks-Karesidenan Semarang tahun 2008-2012 mengalami kondisi yang berfluktuasi, terlebih ditahun 2011 besarnya rata-rata

ruang fiskal menurun tajam menjadi 25,13 persen sedangkan besarnya ruang fiskal ditahun 2010 sebesar 27,62 persen.

Disebutkan oleh DJPK (2010) bahwa secara agregat Nasional, maupun di tingkat Provinsi, Pemkab dan Pemkot terjadi penurunan ruang fiskal, utamanya dalam persentase (terhadap pendapatan). Hal ini menunjukkan bahwa secara riil sebenarnya telah terjadi penurunan kemampuan daerah untuk mendanai kebutuhan daerah di seluruh wilayah. Penurunan ruang fiskal daerah menunjukkan bahwa kemampuan dan fleksibilitas daerah untuk menggunakan anggaran mereka untuk kebutuhan belanja yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan riil mereka menjadi semakin sempit.

Grafik 10.A Trend Rasio Ruang Fiskal Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

37.08% 44.48% 27.62% 25.13% 31.57% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 90.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata

Grafik 10.B Rasio Ruang Fiskal Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Dari Grafik 10 ditunjukkan bahwa tahun 2010 sampai 2011 rata-rata rasio ruang fiskal se Eks-Karesidenan Semarang mengalami penurunan, terlebih yang terjadi ditahun 2011 mayoritas Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang berada di bawah rata-rata ruang fiskal Eks-Karesidenan Semarang, sehingga hal ini menyebabkan besarnya ruang fiskal yang dimiliki Eks-Karesidenan Semarang mencapai titik terendah selama tahun anggaran 2008-2012, meskipun demikian jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya masih terdapat kenaikan ataupun penurunan besarnya ruang fiskal dimasing-masing Pemerintah Daerah.

Dalam RPJMD Provinsi Jawa Tengah tahun 2013, menyebutkan bahwa belanja daerah di Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu lima tahun (2008-2012) cenderung mengalami peningkatan, baik belanja langsung maupun tidak langsung. Secara proporsional, belanja tidak langsung lebih besar dibandingkan

37.08% 44.48% 27.62% 25.13% 31.57% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 90.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

belanja langsung. Hal tersebut dikarenakan dalam struktur belanja tidak langsung terdapat belanja hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, dan bagi hasil dengan persentase yang relatif besar.

Trend rasio ruang fiskal Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang (Grafik 10) memperlihatkan bahwa ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Kendal yang masuk dalam daerah maju namun dalam tekanan ekonomi berdasar tipologi klasen mengalami kondisi ruang fiskal yang berfluktuasi sehingga pada tahun 2012 ruang fiskal yang dimilikinya berada di bawah rata-rata dengan proporsi sebesar 27,53 persen atau terendah kedua setelah Pemkab Grobogan. Sedangkan jika melihat pada tahun 2009, rasio ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Kendal menempati posisi tertinggi dan berada di atas rata-rata dibandingkan dengan daerah lainnya.

Dilain sisi, rasio ruang fiskal yang dimiliki Pemkot Semarang sebagai daerah maju cepat dan bertumbuh juga ikut berfluktuasi, besarnya ruang fiskal Pemkot Semarang mengalami kemerosotan selama tahun 2008-2011, terlebih pada tahun 2009 besar ruang fiskal Pemkot Semarang berada dalam posisi di bawah rata-rata, hal tersebut mengakibatkan flesibilitas yang dimiliki Pemkot Semarang dalam meningkatkan pembangunan daerahnya juga berkurang. Ketidakstabilan besarnya rasio ruang fiskal yang dimiliki oleh setiap Pemerintah Daerah berimplikasi pada naik-turunnya kemampuan daerah untuk mendanai kebutuhan masing-masing daerahnya.

Lain halnya dengan ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Grobogan, bahwa selama tahun 2008-2011 ruang fiskal yang dimiliki mengalami penurunan dan cenderung di bawah rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang, meskipun ditahun

2012 besar rasio ruang fiskal Pemkab Grobogan menunjukkan peningkatan, namun kenaikan ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Grobogan belum sepenuhnya mampu melampaui besarnya rasio ruang fiskal se Eks-Karesidenan Semarang. Hal tersebut jika dilihat dari total pendapatan daerah yang dimiliki Pemkab Grobogan setiap tahunnya mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan fluktuatif, namun dari sisi perkembangan belanja tidak langsung cenderung lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan pendapatan daerahnya (RPJMD Kabupaten Grobogan 2011-2016). Hal ini juga menjadi salah satu penyebab Pemkab Grobogan menempati klasifikasi daerah berkembang cepat menurut tipologi klassen.

Secara umum kondisi berfluktuatifnya rasio fiskal dimasing-masing Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang ditunjang oleh beberapa faktor kemungkinan, yakni:

1. Pada penetapan APBD TA 2012, alokasi belanja langsung sebesar Rp. 259,579,465,000.- dan pada perubahan APBD TA 2012 dialokasikan sebesar Rp. 289,607,601,000.- meningkat 11,57%. Peningkatan tersebut disebabkan karena adanya program atau kegiatan yang mendesak dan harus segera diselesaikan, khususnya peningkatan sarana infrastruktur dan utilitas kota (LKPD Kota Salatiga, 2012).

2. Penghapusan akun belanja ditahun sebelumnya namun, dimunculkan kembali nama akun belanja tersebut ditahun selanjutnya, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penurunan dari besarnya belanja tersebut (BPK, 2011)

3. Tingkat inflasi di Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 4,24 persen, lebih tinggi dibandingkan inflasi tahun 2011 sebesar 2,68 persen. Laju inflasi di

Indonesia banyak dipengaruhi oleh perubahan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah utamanya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Tingkat inflasi yang tinggi akan sangat merugikan ekonomi masyarakat, di sisi yang lain tingkat harga yang tinggi akan menyebabkan melemahnya daya saing pasar (LKPD Kabupaten Demak, 2012)

4. Besarnya belanja meningkat yang didukung dengan adanya kenaikan terhadap belanja tidak terduga merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan Pemerintah Daerah (BPK, 2012)

5. Kenaikan beban pegawai antara lain disebabkan adanya kenaikan gaji pegawai rata-rata 10% dari tahun lalu (LKPD Kota Semarang, 2012).

Pemkab Semarang sebagai daerah maju dan bertumbuh dengan cepat menunjukkan adanya kenaikan ruang fiskal ditahun 2011-2012, hal tersebut juga terjadi pada daerah maju, namun dalam tekanan ekonomi yakni Pemkot Salatiga. Namun berbeda halnya bila melihat kondisi ruang fiskal yang dimiliki Pemkab Demak selama tahun 2008-2012 mengalami kondisi yang tidak stabil, walaupun terjadi kenaikan ruang fiskal menjadi 34,12 persen ditahun 2012. Bila melihat klasifikasi daerah menurut tipologi klassen Pemkab Demak menempati klasifikasi daerah yang relatif tertinggal, sehingga Pemkab Demak perlu memanfaatkan dengan optimal ruang fiskal yang ada guna melaksanakan kegiatan ataupun program-program Pemerintah Daerah yang dapat meningkatkan pembangunan daerah di Pemkab Demak.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, gambaran kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang dalam upaya mengatur sendiri kegiatan, mengelola pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat telah mengalami peningkatan setiap tahunnya, hal tersebut dalam dilihat dari:

1. Dari sisi kinerja Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang mengalami kondisi yang berfluktuasi, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis pertumbuhan keuangan daerahnya, kinerja Pemkot maupun Pemkab dalam hal pendapatan daerah mengalami peningkatan ditahun 2011-2012. Kenaikan pada sisi pendapatan ini didukung dengan adanya kenaikan pertumbuhan pajak dimasing-masing daerah yang dikarenakan adanya pelaksanaan pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 serta pertumbuhan dari pendapatan transfer. Di sisi lain, kinerja Pemkot maupun Pemkab juga mengalami penurunan dalam hal pemungutan retribusi daerah ditahun 2008-2010 hal tersebut dikarenakan masih terdapat kendala-kendala dalam pemungutan retribusi dimasing-masing Pemerintah Daerah seperti penerimaan retribusi daerah yang tidak bias mencapai target, meskipun demikian hal tersebut tidak terlalu berdampak terhadap pertumbuhan pendapatan daerah di Eks-Karesidenan Semarang.

2. Kemampuan Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang dalam menyelenggaran desentralisasi mengalami peningkatan selama tahun

2010-2012. Kenaikan persentase derajat desentralisasi tersebut dapat dilihat dari peningkatan dalam kemandirian keuangan serta pertumbuhan keuangan daerah, dan juga penurunan ketergantungan keuangan daerah. Dengan demikian hal tersebut mengindikasikan bahwa, Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang telah berusaha untuk menggali serta mengelola pendapatan dengan baik. Bila melihat dari sisi ruang fiskal Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang ditahun 2010-2011 menunjukkan adanya penurunan, hal tersebut memperlihatkan bahwa dana yang dapat digunakan untuk fleksibilitas infrastruktur se Eks-Karesidenan Semarang, semakin kecil.

3. Peningkatan atas rasio pajak dan rasio pajak perkapita mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang telah mampu mengoptimalkan kemampuan pendapatan yang bersumber dari pajak diantaranya berupa PBB, BPHTB, pajak air tanah serta pajak penerangan jalan. Peningkatan rasio pajak ini didukung dengan adanya pelaksanaan pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 dan juga peningkatan kesadaran masyarakat dalam rangka membayar pajak setiap tahunnya, sehingga hal tersebut mendukung penerimaan dari PAD yang turut serta meningkat.

4. Keberagaman kondisi daerah di Eks-karesidenan Semarang yang didasarkan pada klasifikasi tipologi klassen tidak serta merta tercermin di dalam alat analisis kapasitas pendapatan yang digunakan. Daerah maju dan tumbuh justru memiliki pertumbuhan pendapatan yang menurun, lain halnya dengan daerah

maju namun dalam tekanan ekonomi yang mampu meningkatan pertumbuhan pendapatannya dan juga peningkatan dalam derajat desentralisasi.

Saran dan Keterbatasan Penelitian

Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang perlu meninjau kembali terkait dengan pemungutan retribusi serta pajak daerah seperti adanya peningkatan atas pelayanan perpajakan, retribusi daerah dan pendapatan lain-lain daerah, dan juga mengoptimalkan pendayagunaan aset dimasing-masing daerah agar dapat lebih memberi kontribusi yang semakin meningkat terhadap PAD.

Dengan melihat hasil analisis pada seluruh rasio yang ada pada Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang hendaknya kondisi kapasitas pendapatan daerah dimasing-masing Pemerintah Daerah dapat lebih ditingkatkan dan diperbaiki. Seperti halnya pada Pemkot Semarang sebagai daerah maju dan bertumbuh dengan cepat yang meningkat dalam penerimaan pajak daerahnya, sebaiknya hal tersebut turut didukung pula dengan adanya peningkatan terhadap realisasi penerimaan pada akun PAD lainnya, seperti retribusi daerah, lain-lain pendapatan yang sah maupun pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Sedangkan Pemerintah Daerah lainnya perlu lebih mengoptimalkan pendayagunaan kapasitas pendapatan riil daerah yang didukung dengan membuat terobosan dan upaya peningkatan PAD dengan tujuan untuk memenuhi belanja dan peningkatan pembangunan daerah. Hal ini dikarenakan ketergantungan keuangan daerah terhadap dana perimbangan masih kerap mendominasi penerimaan keuangan dimasing-masing daerah. Keadaan demikian, mencerminkan bahwa kebijakan otonomi daerah belum sepenuhnya berhasil

dilaksanakan, sehingga dimungkinkan perlunya menambah atau memperbaharui kebijakan terkait dengan pengalokasian besarnya dana perimbangan, didukung dengan adanya peningkatan perekonomian kerakyatan yang diprioritaskan pada daerah tertinggal, dan sedang dalam tekanan ekonomi, sehingga dapat menyukseskan pelaksanaan otonomi di Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang.

Pada penelitian selanjutnya diperlukan untuk menambah ataupun memperbaharui rentang tahun penelitian serta analisis kapasitas pendapatan yang digunakan, sehingga informasi yang terkait dengan kapasitas pendapatan lebih mendalam. Kurang detailnya pembahasan dalam penelitian ini dikarenakan terbatasnya informasi yang didapatkan oleh karenanya perlu menambah informasi yang didapat melalui wawancara langsung kepada Pemkab dan Pemkot terkait. Dilain sisi, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, sehingga diperlukan alat uji statistik agar hasil analisis yang diperoleh dapat lebih robust.

Dokumen terkait