• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belanja Daerah (APBD) yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perimbangan. fiskal telah meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Belanja Daerah (APBD) yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perimbangan. fiskal telah meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Hakekat dari otonomi daerah adalah kewenangan yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan (Adi, 2012). Menurut Analisis dan Deskripsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) tahun 2012, pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari kemampuan daerah dalam bidang keuangan (Setijaningsih, 2011). Disebutkan oleh Sidik (2002), Pemerintah Daerah dapat lebih menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya, melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karenanya revenue capacity (kapasitas pendapatan) ini merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat otonomi suatu daerah dalam mengatur kegiatan pemerintahan, mengelola serta meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Di sisi lain, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DJPK (2013) melihat dari analisis rasio pajak, pendapatan daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Pemerintah Kota (Pemkot) di Provinsi Jawa Tengah berada di bawah rata-rata Nasional yakni sebesar 1,5 persen dari 2,1 persen. Dan jika dilihat dari sisi ruang fiskalnya, Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat terbawah dengan perolehan 19,9 persen. Hal ini disebabkan oleh porsi belanja pegawai yang mencapai 63,3 persen dari total pendapatan. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa

(2)

Tengah masih mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai pendapatan daerah sebesar 61,9 persen. Sedangkan penerimaan pendapatan yang bersumber dari pajak daerah hanya sebesar 4 persen dari total pendapatan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas pendapatan di Pemerintah Daerah di Jawa Tengah belum optimal.

Menurut pengamat ekonomi Akhmad Syakir Kurnia dalam harian Tribun edisi 20 Desember 2013, ketimpangan ekonomi antar daerah masih terlihat di Jawa Tengah, sehingga diharapkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berkonsentasi pada peningkatan perekonomian kerakyatan di setiap kota, khususnya yang selama ini masih tertinggal dan sedang dalam tekanan. Di sisi lain, jika melihat kondisi Pemkab dan Pemkot di Eks-Karesidenan Semarang berdasarkan pada kriteria tipologi klassen menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Pemerintah Daerah di Eks-Karesidean Semarang terdapat keberagaman, hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 1. Kondisi Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang Menurut Klasifikasi Tipologi Klassen tahun 2012

Daerah Maju dan Tumbuh: 1. Kota Semarang 2. Kabupaten Semarang

Daerah Maju Namun Dalam Tekanan Ekonomi:

1. Kota Salatiga 2. Kabupaten Kendal Daerah Berkembang Cepat:

1. Kabupaten Grobogan

Daerah Relatif Tertinggal: 1. Kabupaten Demak Sumber: BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

(3)

Ketimpangan ekonomi antar daerah berdampak pada kondisi rata-rata perekonomian daerah se Eks-Karesidenan Semarang. Sehingga Pemerintah Daerah perlu mengatahui kondisi kapasitas pendapatan daerah yang ada untuk meninjau kembali kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing daerah dalam upaya meningkatkan ekonomi daerahnya.

Secara Nasional, pendapatan daerah dimasing-masing Pemkab dan Pemkot dapat dianalisa sebagaimana yang dipaparkan dalam Analisis dan Deskripsi APBD setiap tahun yang diterbitkan oleh DJPK. Namun, hasil analisis yang didapat hanya berdiri sendiri pada tahun tertentu dan juga skala analisis yang digunakan mencakup seluruh Pemkab dan Pemkot se-Indonesia sehingga, hasil analisis tersebut menjadi kurang bisa dibandingkan dari tahun ke tahun sekaligus kurang bisa menggambarkan kapasitas pendapatan masing-masing daerah secara lebih dalam.

Oleh karenanya dalam penelitian ini akan mencoba mengkaji serta menganalisis lebih dalam kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot dengan mempersempit ruang lingkup penelitian agar tingkat komparabel yang didapat menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan daerah yang menjadi objek penelitian berada pada satu Provinsi yang sama sehingga kebijakan dan prioritas-prioritas yang diambil tidak jauh berbeda. Dan juga menganalisis serta menggambarkan seberapa besar kondisi kapasitas pendapatan daerah pada level Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran 2008-2012 terkait dengan keberagaman Pemkab dan Pemkot se Karesidenan Semarang menurut tipologi klassen. Wilayah Eks-Karesidenan ini mencakup Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal dan, Kabupaten Demak.

(4)

Wilayah Eks-Karesidenan Semarang dipilih dengan pertimbangan bahwa, Pemkab dan Pemkot yang berada di Eks-Karesidenan Semarang sebagai salah satu karesidenan utama di hindia belanda yang memiliki potensi strategis (Susatyo, 2006). Menurut Didiek Sukmono, Wakil Ketua Kadin Jawa Tengah Bidang Investasi dalam harian Tribun Jateng yang ditulis oleh Yulianto (2014), mengungkapkan bahwa akan banyak investor meramaikan Jawa Tengah, baik yang relokasi atau membuka pabrik baru. Wilayah favorit untuk mendirikan pabrik baru yakni di Eks-Karesidenan Semarang, yakni Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, Grobogan, dan Demak. Dipilihnya wilayah Eks-Karesidenan Semarang oleh para investor untuk menanamkan modalnya, juga turut menjadi salah satu pertimbangan dalam penelitian ini untuk mengkaji lebih dalam bagaimana gambaran kondisi kapasitas pendapatan di Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Steviyani (2014) menunjukkan bahwa wilayah Eks-Karesidenan Surakarta mengalami kondisi perekonomian yang beragam, dan dari hasil analisis diketahui bahwa tingkat rata-rata kemandirian keuangan daerah se Eks-Karesidenan Surakarta masih di bawah 25 persen dengan hubungan yang instruktif, namun pada tingkat derajat desentralisasinya mengalami kenaikan terus menerus.

Berdasarkan pada penelitian terdahulu, dalam melakukan analisis kapasitas pendapatan umumnya menggunakan alat analisis seperti; rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio pajak, rasio pajak perkapita, serta rasio ruang fiskal. Akan tetapi, rasio-rasio tersebut kurang dapat menganalisa lebih dalam bagaimana kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang, maka pada penelitian berikut perlu ditambahkan alat

(5)

analisis, yakni: analisis pertumbuhan pendapatan dan derajat desentralisasi dengan harapan hasil analisa yang didapatkan dapat benar-benar bisa menggambarkan kapasitas pendapatan untuk masing-masing daerah yang diteliti. Pada analisis pertumbuhan pendapatan akan menguraikan lebih rinci pertumbuhan dari masing-masing komponen pendapatan daerah yakni pertumbuhan pendapatan daerah, pertumbuhan pajak daerah, pertumbuhan retribusi daerah, dan juga pertumbuhan transfer. Sedangkan derajat desentralisasi akan menggambarkan seberapa besar kemampuan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan desentralisasi.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah: Bagaimana gambaran kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang selama tahun anggaran 2008-2012?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kapasitas pendapatan Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran 2008-2012. Melalui penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan/atau Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang sebagai bahan pertimbangan atau evaluasi atas kapasitas pendapatan bagi masing-masing daerah, serta dapat memberikan masukan kepada pengambil kebijakan di Pemerintah Daerah (Pemkab dan Pemkot) mengenai aspek-aspek yang terkait dengan pendapatan daerah dalam APBD, terkhusus pada Pemkab dan Pemkot wilayah Eks-Karesidenan Semarang untuk meningkatkan pendapatan daerahnya dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah (Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000). Menurut Sudarwanto (2013), instrumen kebijakan fiskal yang digunakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka melakukan pelayanan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi akan tercermin dalam APBD. Menurut DJPK (2010), APBD ialah wujud pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, yakni APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Revenue Capacity (Kapasitas Pendapatan)

Kapasitas pendapatan merupakan gambaran pendapatan daerah yang dapat memberikan peningkatan dalam basis ekonomi (Hy et al. 1993). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang 2010-2015 menyebutkan bahwa, kapasitas keuangan daerah akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan masyarakat sedangkan, Bradbury dan Zhao (2007) berpendapat bahwa kapasitas pendapatan didefinisikan sebagai kemampuan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan dari sumber daya yang ada. Lain halnya dalam RPJMD Kabupaten Lombok Tengah, 2010-2015 yang menjelaskan bahwa suatu kapasitas riil keuangan daerah adalah

(7)

total penerimaan daerah setelah dikurangkan dengan berbagai pos atau belanja dan pengeluaran pembiayaan yang wajib dan mengikat serta prioritas utama. Dalam rangka meningkatkan kemampuan pendapatan, Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi sumber-sumber pendapatan yang belum dioptimalkan secara maksimal (Hy et al. 1993).

Pendapatan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa pendapatan daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak Pemerintah Daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004). Disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 25 Tahun 2009, pendapatan daerah dikelompokkan atas :

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Disebutkan dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 PAD yaitu, pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD pada umumnya terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang sah. Menurut Sari (2011), PAD merupakan bagian dari sumber pendapatan daerah yang secara bebas dapat digunakan oleh masing-masing daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah.

(8)

Wenny (2012) berpendapat bahwa, PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.

2. Dana Perimbangan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan pusat dan daerah. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), DAU dan, Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerintah Daerah (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004).

3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan yang meliputi hibah, dana darurat, DBH pajak dari Provinsi yang disalurkan kepada Pemkab dan Pemkot, dana penyesuaian dan otsus, serta bantuan keuangan dari Provinsi atau dari Pemerintah Daerah lainnya.

Analisis Pendapatan Daerah

Analisis pendapatan daerah merupakan gambaran kondisi pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD (DJPK, 2013). Sedangkan menurut Mahmudi (2010), analisis pendapatan menunjukan seberapa besar tingkat kemandirian keuangan daerah. Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam analisis pendapatan daerah, diantaranya:

(9)

1. Analisis Pertumbuhan Pendapatan

Menurut Mahmudi (2010) analisis pertumbuhan pendapatan diantaranya menganalisis pertumbuhan PAD, pertumbuhan pajak daerah, pertumbuhan retribusi daerah, dan pertumbuhan pendapatan transfer. Analisis pertumbuhan pendapatan bermanfaat untuk mengetahui apakah Pemerintah Daerah dalam tahun anggaran bersangkutan atau selama beberapa periode anggaran, kinerja anggarannya mengalami pertumbuhan pendapatan secara positif ataukah negatif (Sagay, 2013). Pertumbuhan pendapatan pada tahun tertentu dapat dihitung dengan rumus : Pertumbuhan Pendapatan Th = (Pendapatan Th − Pendapatan Th( )) Pendapatan Th( ) X 100% Keterangan : Tht : Tahun sekarang. Th(t - 1) : Tahun sebelumnya.

Pertumbuhan pendapatan daerah diharapkan dapat mengimbangi inflasi, jika pertumbuhan pendapatan tersebut positif maka terjadi peningkatan kinerja pendapatan, dan apabila pertumbuhan pendapatan adalah negatif, maka hal tersebut menunjukan bahwa terjadi penurunan kinerja pendapatan dan harus dicari penyebab penurunannya tersebut.

2. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

Menurut DJPK (2013), rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal, baik itu Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah lain. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus:

(10)

Rasio Ketergantungan

Keuangan Daerah = Total Pendapatan Daerah × 100%Pendapatan Transfer

Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil sebaliknya, semakin besar angka rasio dana transfer maka semakin besar tingkat ketergantungan daerah dalam mendanai belanja daerah. Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio dana transfer yang rendah (Sudarwanto, 2013).

3. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Aryanto, 2011). Halim (2004), menyebutkan bahwa rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal.

Rasio Kemandirian

Daerah =

Pendapatan Asli Daerah

Transfer Pusat + Propinsi + Pinjaman × 100%

Semakin besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Sebaliknya, makin besar angka rasio transfer, maka akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam mendanai belanja daerah. Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah (DJPK, 2011). Dwirandra (2008) menyebutkan bahwa tingkat kemampuan kemandirian keuangan daerah dapat

(11)

dilihat dari pola hubungan tingkat kemandirian, dan kemampuan keuangan daerah sebagai berikut:

Tabel 2. Pola Hubungan Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Pola Hubungan

Rendah Sekali 0 - 25 Instruktif

Rendah >25 - 50 Konsultatif

Sedang >50 - 75 Partisipatif

Tinggi >75 - 100 Delegatif

Sumber: Dwirandra (2008)

4. Derajat Desentralisasi

Ariana et al. (2012) berpendapat bahwa, derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah PAD dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi (Mahmudi, 2010).

Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

Derajat Desentralisasi = Total Pendapatan Daerah × 100%Pendapatan Asli Daerah

Disebutkan oleh Daling (2013) derajat desentralisasi menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk menggali serta mengelola pendapatan.

(12)

5. Rasio Pajak

Rasio pajak merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu Negara dalam satu tahun (DJPK, 2013). Pada level Pemerintah Daerah rasio pajak digambarkan dengan membandingkan total penerimaan pajak daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Terkait dengan rasio pajak menurut Sudarwanto (2013), tingginya rasio pajak menggambarkan tinggi sumber penerimaan daerah dari pajak. Sedangkan rendahnya rasio pajak ini menggambarkan rendahnya potensi ekonomi di daerah yang bersangkutan dalam penerimaan pajak daerah.

Dalam harian Bisnis Indonesia (2009) yang ditulis oleh Aris, mengungkapkan bahwa rasio pajak menunjukkan kemampuan pemerintah mengumpulkan pendapatan pajak atau menyerap kembali PDB dari masyarakat berupa pajak. Rasio ini dirumuskan, sebagai berikut :

Rasio Pajak = Jumlah Penerimaan Pajak DaerahPDRB × 100%

6. Rasio Pajak Per Kapita

Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak di suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Pajak ini juga menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah (Sudarwanto, 2013). Selain itu DJPK (2013) menyebutkan bahwa, pajak per kapita memang belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber Pendapatan Daerah. Namun, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif alat hitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita dapat rumusan sebagai berikut:

(13)

Rasio Pajak Perkapita =Realisasi Pajak DaerahJumlah Penduduk

Semakin tinggi nilai pajak per kapita maka kontribusi penduduk dalam membayar pajak dan keberhasilan pajak sebagai sumber PAD semakin tinggi.

7. Rasio Ruang Fiskal

Menurut Sudarwanto (2013), ruang fiskal merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Rasio ruang fiskal dapat dirumuskan sebagai berikut :

Rasio Ruang Fiskal = Total Pendapatan − (Enmarked + Belanja yang sifatnya mengikat)Total Pendapatan X 100% Enmarked terdiri dari DAK, pendapatan hibah, dana darurat, dan dana

penyesuaian atau otsus sedangkan, belanja mengikat terdiri dari belanja pegawai dan belanja bunga. Menurut Mesakh dalam harian kompas (2013), berpendapat bahwa semakin besar ruang fiskal maka semakin besar flesibilitas daerah untuk mengalokasi kegiatan dalam APBD-nya dalam prioritas pembangunan daerah dan sebaliknya, jika semakin kecil ruang fiskal suatu daerah, maka semakin kecil pula fleksibilitas daerah untuk mengalokasi kegiatan dalam APBD-nya dalam prioritas pembangunan daerahnya.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dan deskriptif eksploratif yang dilakukan pada empat Kabupaten dan dua Kota di

(14)

Eks-Karesidenan Semarang yang meliputi: Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Demak, Kabupaten Kendal serta Kabupaten Grobogan.

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berbentuk data cross section dan time series. Data cross section yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan realisasi APBD, data jumlah penduduk, dan juga data PDRB Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang pada tahun yang sama. Sedangkan untuk data time series yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa data laporan realisasi APBD, data jumlah penduduk dan juga data PDRB Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang pada tahun anggaran 2008-2012. Data tersebut diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) perwakilan Provinsi Jawa Tengah, dan Badan Pusat Statistik (BPS) perwakilan Provinsi Jawa Tengah.

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan untuk mengukur kapasitas pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang, menggunakan alat analisis sebagai berikut :

1. Analisis pertumbuhan pendapatan, 2. Rasio ketergantungan keuangan daerah, 3. Rasio kemandirian keuangan daerah, 4. Derajat desentralisasi,

5. Rasio pajak,

6. Rasio pajak perkapita dan, 7. Rasio ruang fiskal,

(15)

Dari alat analisis tersebut data-data akan diolah dan dianalisis secara cross sectional dan juga time series. Selanjutnya dari hasil pengolahan data akan

diketahui bagaimana gambaran kapasitas pendapatan dimasing-masing Pemkab dan Pemkot yang diteliti, serta keterjadian-keterjadian yang terkait dengan pengelolaan kapasitas pendapatan daerah. Setelah itu, hasil pengelolaan kapasitas pendapatan dimasing-masing Pemkab dan Pemkot akan dibandingkan dengan hasil analisis rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang, dan kemudian hasil pengelolaan data akan dieksplor terkait dengan faktor-faktor yang terjadi pada tahun-tahun tersebut.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Analisis Pertumbuhan Pendapatan

Grafik 1.A Trend Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

13.23% 16.66% 6.76% 27.18% 30.85% -20.00% -10.00% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

(16)

Grafik 1.B Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Dalam Grafik 1.A memperlihatkan kemampuan Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang dalam meningkatkan pendapatan, sebagaimana yang tercermin dalam Grafik 1 trend rata-rata pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi. Pada tahun 2008 rata-rata pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang sebesar 13,23 persen dan kemudian ditahun 2009 meningkat menjadi 16,66 persen namun pada tahun 2010 rata-rata pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang mengalami penurunan dengan rata-rata menjadi sebesar 6,76 persen penurunan pertumbuhan pendapatan ini juga diikuti penurunan yang sangat drastis pada pendapatan retribusi daerah (Grafik 2). Namun ditahun 2011 terjadi kenaikan pertumbuhan yang melejit terhadap pendapatan daerah se Eks-Karesidenan Semarang sebesar 20,42 persen sehingga rata-ratanya menjadi 27,18 persen dan

13.23% 16.66% 6.76% 27.18% 30.85% -20.00% -10.00% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata

(17)

pada tahun 2012 menunjukkan adanya kemajuan pendapatan daerah yang semakin meningkat sehingga menjadi 30,85 persen.

Penurunan pendapatan daerah se Eks-Karesidenan Semarang yang terjadi ditahun 2010, disebabkan oleh faktor turunnya pendapatan dari sisi retribusi daerah sedangkan dari sisi pendapatan pajak serta pendapatan transfer dimasing-masing daerah meningkat namun, besarnya proporsi pendapatan tersebut belum memberikan konstribusi yang besar pada keseluruhan PAD-nya. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Jawa Tengah (2010) disebutkan bahwa, meskipun secara keseluruhan realisasi pendapatan daerah telah melebihi dari yang ditargetkan, namun masih terdapat potensi pendapatan yang belum optimal dalam pencapaian kinerjanya.

Sedangkan laju pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang ditahun 2011 meningkat dengan rata-rata 27,18 persen hal ini juga didukung dengan pertumbuhan pendapatan yang berasal dari pendapatan pajak (Grafik 3) dan pendapatan transfer (Grafik 4) yang juga meningkat namun, dari sisi laju pertumbuhan retribusi (Grafik 2) mengalami penurunan. Umumnya peningkatan atas pendapatan daerah se Eks-Karesidenan Semarang disebabkan adanya kenaikan kontribusi PAD, pendapatan transfer, dan lain-lain pendapatan yang sah, namun hal ini juga tergantung dengan kondisi lapangan masing-masing daerah yang dapat mempengaruhi kenaikan ataupun penurunan pendapatan daerah tersebut.

Berdasarkan tipologi klassen, Pemkot Semarang serta Pemkab Semarang masuk dalam kategori daerah cepat maju dan tumbuh, hal ini dapat dilihat dari peningkatan pertumbuhan pendapatan daerah selama tahun 2010-2012 dengan

(18)

menduduki posisi di atas rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang, keadaan ini didukung dengan adanya pertumbuhan positif dari pendapatan pajak ditahun 2011 yang mempunyai proporsi tersebesar dalam penerimaan PAD-nya. Dilain sisi Pemkab Kendal dan juga Pemkot Salatiga termasuk dalam kategori daerah maju namun dalam tekanan ekonomi, hal ini tercermin dari trend pertumbuhan pendapatan Pemkab Kendal, yang hanya ditahun 2010 saja berada di atas rata-rata Eks-Karesidenan Semarang, sekalipun dalam trend pertumbuhan pendapatan Pemkot Salatiga menunjukkan adanya peningkatan, namun peningkatan tersebut belum melampaui rata-rata pertumbuhan pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang. Berbeda dengan kondisi pertumbuhan pendapatan di Pemkab Grobogan yang mengalami penurunan ditahun 2010 sebesar 26,96 persen, sehingga pertumbuhan pendapatannya menjadi 1,67 persen, dibandingkan tahun sebelumnya pertumbuhan pendapatan Pemkab Grobogan sebesar 28,63 persen, namun kemunduran tersebut tidak berlangsung lama, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya kenaikan ditahun 2011-2012 namun perningkatan tersebut masih di bawah rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang kondisi demikian, dikarenakan Pemkab Grobogan masuk dalam kategori daerah berkembang cepat. Pemkab Demak masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal menurut tipologi klassen hal tersebut dikarenakan pertumbuhan pendapatannya mengalami kondisi yang tidak stabil, yang didukung dengan adanya penurunan pertumbuhan pendapatan selama tahun 2008-2010 dan mengalami kenaikan pertumbuhan pendapatan ditahun 2011-2012.

Ketidakstabilan pertumbuhan pendapatan pada Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang turut disebabkan dengan berfluktuasinya pertumbuhan

(19)

retribusi dimasing-masing daerah, seperti yang ditunjukkan dalam Grafik 2. Hal demikian memerlukan interfensi Pemerintah Pusat yang lebih tinggi sehingga disparitas antar daerah bisa berkurang.

Selama tahun 2008-2009 pertumbuhan retribusi daerah di Eks-Karesidenan Semarang (Grafik 2.A) mengalami penurunan sebesar 4,99 persen, namun ditahun 2010 menjadi negatif 0,07 persen, tahun 2011 pertumbuhan retribusi daerah tersebut kembali mengalami penurunan menjadi negatif 20,20 persen. Dilain sisi, pada tahun 2012 retribusi daerahnya mengalami peningkatan sehingga pertumbuhan retribusi Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang menjadi 5,35 persen.

Grafik 2.A Trend Pertumbuhan Retribusi Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

12.97% 7.98% -0.07% -20.20% 5.35% -80.00% -60.00% -40.00% -20.00% 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

(20)

Grafik 2.B Pertumbuhan Retribusi Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Dalam Grafik 2 memperlihatkan bahwa seluruh Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang mengalami pertumbuhan retribusi yang berfluktuatif, tahun 2011 Pemkab dan Pemkot di Eks-Karesidenan Semarang mengalami penurunan terhadap pendapatan retribusinya. Kemunduran pertumbuhan retribusi dimayoritas Pemkab dan Pemkot tersebut berimplikasi pada kondisi kapasitas pendapatan se Eks-Karesidenan Semarang. Secara umum di Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang masih mengalami kendala-kendala terkait dengan penerimaan retibusi daerahnya, hal ini dikarenakan:

1. Masih adanya sebagian wajib pajak dan wajib retribusi daerah yang belum mentaati kewajibannya membayar pajak maupun retribusi daerah (LKPD Provinsi Jawa Tengah, 2011).

12.97% 7.98% -0.07% -20.20% 5.35% -80.00% -60.00% -40.00% -20.00% 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

(21)

2. Masih kurangnya promosi potensi retribusi daerah (promosi pemakaian villa atau tempat penginapan, gedung atau aula, alat berat, laboratorium inseminasi buatan atau semen beku) (LKPD Provinsi Jawa Tengah, 2011).

3. Masih ada penerimaan retribusi yang tidak mencapai target anggaran (LKPD Kabupaten Semarang, 2011).

4. Kurangnya kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak dan retribusi (LKPD Kota Salatiga, 2011).

Pada Pemkab Demak dan juga Pemkab Grobogan mengalami pertumbuhan retribusi yang negatif ditahun 2011. LKPD Kabupaten Demak tahun 2011 menjelaskan bahwa realisasi retribusi 2011 mengalami penurunan sebesar Rp. 19,225,703,078.- hal ini dikarenakan (Satuan Kerja Perangkat Daerah) SKPD RSUD Sunan Kalijaga berubah status menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sehingga retribusinya dicatat sebagai lain-lain PAD yang sah. Sedangkan untuk realisasi retribusi Pemkab Grobogan tahun 2011 masih menghadapi beberapa kendala diantaranya, masih terdapat beberapa pos pendapatan retribusi yang tidak mencapai target anggaran serta masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar retribusi daerah.

Ditahun 2012 kondisi pertumbuhan retribusi di sebagian besar Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang mengalami kemajuan hal tersebut dapat dilihat pada rata-rata tingkat pertumbuhan retribusi daerah se Eks-Karesidenan Semarang mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, akan tetapi hal serupa tidak terjadi pada Pemkot Semarang dan Pemkab Semarang. Pemkot Semarang dan juga Pemkab Semarang mengalami kendala dalam penerimaan retribusinya hal tersebut menyebabkan kemunduran dalam pertumbuhan retribusi

(22)

daerahnya. Tingkat pertumbuhan retribusi kedua daerah ini berada di bawah rata-rata, dan juga untuk Pemkab Semarang berada dalam posisi pertumbuhan retribusi yang negatif. Sekalipun proporsinya tidak sebesar penerimaan pajak daerah, kurang optimalnya penerimaan retribusi yang diperlihatkan dalam Grafik 2, juga turut mempengaruhi tingkat pertumbuhan PAD (Grafik 1) di Pemkot dan Pemkab se Eks-Karesidenan Semarang.

Dalam LKPD Kota Semarang menjelaskan bahwa pendapatan retribusi daerah tahun 2012 mengalami penurunan, hal tersebut dikarenakan adanya penerimaan retribusi daerah yang tidak mencapai target. Dilain sisi LKPD Kabupaten Semarang (2012) juga turut menjelaskan bahwa penerimaan dari retribusi daerah juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah, kondisi fasilitas yang tersedia, serta kemauan dan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan obyek-obyek maupun fasilitas sumber retribusi. Kendala-kendala yang mengakibatkan penerimaan retibusi daerah belum maksimal, antara lain disebabkan oleh:

1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengelola. 2. Rendahnya intensifikasi.

3. Belum adanya sistem yang memadai.

Sedangkan pertumbuhan retribusi yang semakin meningkat pada Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang, didukung dengan keberhasilan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi Pemerintah Daerah dalam meningkatkan realisasi pendapatan retribusi dimasing-masing daerah.

Pemkab Grobogan yang merupakan daerah berkembang cepat menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan retribusi ditahun 2012, hal serupa

(23)

juga terjadi pada Pemkab Demak sebagai daerah yang relatif tertinggal. Dilain sisi Pemkab Kendal dan juga Pemkot Salatiga, sebagai daerah yang maju namun dalam tekanan ekonomi mampu meningkatkan PAD masing-masing daerah dengan adanya kenaikan pertumbuhan retribusi ditahun 2012. Berbanding terbalik dengan daerah bertumbuh dan maju dengan cepat yakni Pemkot Semarang dan juga Pemkab, justru mengalami penurunan pendapatan retribusi selama tahun 2011-2012.

Grafik 3.A Trend Pertumbuhan Pajak Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

5.54% 14.74% 17.10% 52.64% 31.90% -40.00% -20.00% 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00% 120.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

(24)

Grafik 3.B Pertumbuhan Pajak Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Trend selama tahun 2008-2011 dalam Grafik 3.A menunjukkan, adanya pertumbuhan pajak Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang yang meningkat secara positif, penurunan pertumbuhan pajak terjadi ditahun 2012. Rata-rata pertumbuhan pajak se Eks-Karesidenan Semarang ditahun 2009 sebesar 14,74 persen, ditahun 2010 menunjukkan pertumbuhan yang positif yakni sebesar 17,10 persen, kemudian ditahun 2011 semakin meningkat menjadi 52,64 persen namun pada tahun 2012 mengalami penurunan, sehingga pertumbuhan pajak daerahnya menjadi 31,90 persen. Secara umum pertumbuhan pajak Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang mengalami kondisi yang beragam, pada beberapa Pemerintah Daerah mengalami peningkatan namun, ada juga yang mengalami penurunan terhadap pertumbuhan pajaknya.

5.54% 14.74% 17.10% 52.64% 31.90% -40.00% -20.00% 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00% 120.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

(25)

Pemkot Semarang merupakan daerah dengan pertumbuhan pajak paling besar ditahun 2011 hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian Pemkot Semarang yang mengalami perubahan pertumbuhan secara positif, sumber pendapatan terbesar PAD Pemkot Semarang berasal dari pajak daerahnya. Dalam LKPD Kota Semarang tahun 2011, mengungkapkan bahwa keberhasilan penerimaan pajak daerah tersebut tak lepas dari adanya peningkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak. Peningkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak dapat dilihat dari jumlah wajib yang membayar pajak sesuai dengan ketentuan yakni sebanyak 15.586 wajib pajak. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 11,2 persen jika dibandingkan dengan tahun 2010 yang berjumlah 14.019 wajib pajak.

Kondisi demikian juga diikuti oleh sejumlah Pemerintah Daerah dalam meningkatkan pertumbuhan pajak dimasing-masing daerah tahun 2011, diantaranya Pemkab Demak, Pemkot Salatiga dan juga Pemkab Semarang. Secara umum peningkatan tersebut didukung dengan adanya langkah yang telah dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah berupa upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah sehingga penerimaan pendapatan dari pajak daerahnya semakin meningkat. Namun masih terdapat faktor lain yang menyebabkan tingkat pertumbuhan pajak mengalami penurunan ditahun 2012, secara umum hal ini disebabkan oleh:

1. Masih adanya mutasi obyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tidak dilaporkan untuk perubahan pajaknya (LKPD Kota Salatiga, 2012)

(26)

2. Adanya tanah kosong yang tidak jelas kepemilikannya dan banyaknya obyek pajak yang masih dalam sengketa menjadi kendala dalam pemungutan PBB (LKPD Kota Salatiga, 2012).

3. Keterbatasan SDM dalam pendataan pajak untuk memperoleh informasi keuangan wajib pajak yang riil (dobel pembukuan) (LKPD Kota Salatiga, 2012).

4. Kondisi pelayanan dan sarana yang kurang memadai sehingga kurang bisa menunjang penerimaan pajak (BPK, 2012).

5. Masih kurangnya kesadaran wajib pajak akan arti pentingnya pajak bagi pembangunan (LKPD Kabupaten Kendal, 2012).

Pemkab Demak sebagai daerah yang relatif tertinggal mengalami penurunan pertumbuhan pajak daerahnya ditahun 2012, bahkan keadaan ini menempatkan Pemkab Demak dalam posisi di bawah rata-rata perumbuhan pajak se Eks-Karesidenan Semarang. Berdasar tipologi klassen Pemkab Grobogan merupakan daerah berkembang cepat hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan pendapatan pajak ditahun 2012 namun, peningkatan tersebut belum mampu melampaui rata-rata pertumbuhan pajak se Eks-Karesidenan Semarang. Lain halnya dengan Pemkot Salatiga ditahun 2012 mengalami penurunan pertumbuhan pajak menjadi sebesar 17,58 persen, dan juga Pemkab Kendal yang mengalami kenaikan pertumbuhan pajak daerahnya menjadi 33,73 persen, hal tersebut menyebabkan kedua daerah tersebut masuk dalam katagori daerah maju namun, dalam tekanan ekonomi. Dilain sisi, sebagai daerah maju dan tumbuh dengan cepat yakni, Pemkab Semarang dan Pemkot Semarang yang justru mengalami penurunan pertumbuhan pendapatan daerahnya.

(27)

Ketidakstabilan pertumbuhan pendapatan daerah di Eks-Karesidenan Semarang juga turut serta diikuti dengan berfluktuasinya pendapatan transfer dimasing-masing daerah se Eks-Karesidenan Semarang. Pendapatan transfer merupakan penerimaan uang dari suatu entitas pelaporan lain (DAU dan DAK), dana perimbangan atau penyesuaian, dan DBH (bagi hasil pajak dan bukan pajak, bagi hasil sumber daya alam, dan bagi hasil lainnya) lain-lain pendapatan yang sah merupakan penerimaan dana penyesuaian dan bantuan keuangan dari Provinsi (BPK, 2010).

Pertumbuhan pendapatan transfer se Eks-Karesidenan Semarang selama lima tahun memperlihatkan kondisi yang berfluktuasi (Grafik 4), oleh karenanya rata-rata pendapatan transfer selama tahun 2008-2009 terjadi penurunan sehingga rata-rata pendapatan transfer Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang menjadi 5,79 persen, sebaliknya pada tahun 2010 besarnya pendapatan transfer meningkat dan semakin meningkat kembali ditahun 2011, yakni menjadi 26,78 persen. Lain halnya dengan pertumbuhan transfer daerah ditahun 2012 yang mengalami penurunan, menjadi 13,08 persen hal tersebut dikarenakan adanya penurunan pendapatan transfer pada Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang, terkecuali untuk Pemkot Salatiga yang justru mengalami peningkatan.

(28)

Grafik 4.A Trend Pertumbuhan Transfer Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Grafik 4.B Pertumbuhan Transfer Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

16.12% 5.79% 6.96% 26.78% 13.08% -15.00% -10.00% -5.00% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 40.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata

16.12% 5.79% 6.96% 26.78% 13.08% -15.00% -10.00% -5.00% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 40.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

(29)

Rata-rata pertumbuhan transfer Pemerintah Daerah terbesar se Eks-Karesidenan Semarang terjadi pada tahun 2011, kenaikan pertumbuhan transfer tersebut didukung dengan peningkatan realisasi pendapatan transfer oleh semua Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang. Dalam LKPD Provinsi Jawa Tengah (2011) dijelaskan bahwa dalam realisasi DAU pada tahun anggaran 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp. 107,392,466,000.- atau 9,19 persen dibandingkan pada tahun anggaran 2010. Dalam DJPK (2011) menjelaskan bahwa secara Nasional ketergantungan seluruh pemerintah daerah terhadap dana perimbangan masih tinggi.

Lain halnya dengan penerimaan transfer berupa DAU di Pemkot Semarang yang mengalami kenaikan pada tahun 2011 dan juga perubahan mekanisme penerimaan yang dilaksanakan yakni sesuai Perpres Nomor 6 Tahun 2011 tentang DAU Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2011 yang kemudian dikoreksi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.07/2011 bahwa penerimaan DAU dari Pemerintah Pusat ditransfer dan ditampung dalam rekening giro BPD Jateng a.n Kas Daerah Kota Semarang (LKPD Kota Semarang, 2011). DJPK (2013) menyebutkan bahwa, jumlah transfer ke daerah memiliki trend yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN.

Dalam APBD masing-masing Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang, secara nominal mengalami kenaikan dalam penerimaan transfernya, namun secara umum hal tersebut masih terkendala dengan adanya penerimaan transfer yang tidak mencapai target misalnya, sering terlambatnya transfer dana dari Propinsi maupun Pusat sehingga mempengaruhi likuiditas pengelolaan keuangan. (LKPD Kabupaten Kendal, 2012). Dijelaskan dalam LKPD Kota

(30)

Semarang (2012) bahwa terdapat penurunan bagi hasil pajak tahun 2012 dibanding tahun 2011, yang dikarenakan PBB sudah menjadi pajak daerah. Dilain sisi besar alokasi dana perimbangan yang diterima Pemkab Demak juga mengalami fluktuasi, karena sangat bergantung pada kemampuan keuangan Pemerintah Pusat setiap tahunnya (LKPD Kabupaten Demak, 2012).

Laju pertumbuhan transfer di daerah cepat maju dan tumbuh memperlihatkan adanya penurunan pada tahun 2012, yakni untuk Pemkot Semarang sebesar 15,50 persen dan untuk Pemkab Semarang sebesar 13,54 persen, hal serupa juga terjadi pada Pemkab Grobogan sebagai daerah berkembang dan juga Pemkab Demak sebagai daerah relatif tertinggal. Hal berbeda ditunjukkan dalam pertumbuhan transfer daerah maju namun dalam tekanan ekonomi yakni Pemkot Salatiga dan juga Pemkab Kendal yang justru mengalami kondisi yang berfluktuasi hal ini mencerminkan bahwa Pemerintah Daerah belum mampu menstabilkan peneriman Pemerintah Daerahnya.

2. Ketergantungan Keuangan Daerah

Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD terhadap APBD maka, akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada Pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab (Rinaldi, 2012). Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat diketahui trend ketergantungan keuangan daerah se Eks-Karesidenan Semarang dalam lima tahun mengalami kondisi yang berfluktuasi (Grafik 5.A). Dalam Grafik 5.B memperlihatkan ketergantungan keuangan se Eks-Karesidenan Semarang pada tahun 2009 mengalami peningkatan yakni sebesar 86,49 persen sebaliknya pada tahun sebelumnya hanya 85,45 persen. Hal ini dikarenakan

(31)

adanya kenaikan pendapatan transfer dimasing-masing daerah, diantaranya Pemkab Semarang 86,50 persen, Pemkab Demak 91,71 persen, Pemkab Kendal 87,21 persen, dan Pemkab Grobogan 89,41 persen.

Grafik 5.A Trend Ketergantungan Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Grafik 5.B Ketergantungan Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

85.45% 86.49% 83.69% 84.26% 83.62% 60.00% 65.00% 70.00% 75.00% 80.00% 85.00% 90.00% 95.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata

85.45% 86.49% 83.69% 84.26% 83.62% 60.00% 65.00% 70.00% 75.00% 80.00% 85.00% 90.00% 95.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata

(32)

Trend selama lima tahun (Grafik 5.A) memperlihatkan masih ada daerah yang mempunyai kecenderungan tingkat ketergantungan keuangannya berada di atas rata-rata seperti, Pemkab Semarang, Pemkab Grobogan dan Pemkab Demak dengan tingkat ketergantungannya paling besar selama tahun 2008-2012. Faktor-faktor umum yang menyebabkan terjadinya kenaikan ketergantungan keuangan daerah, yaitu:

1. Terjadinya peningkatan pendapatan transfer, yang berupa DAU (LKPD Kabupaten Semarang, 2011).

2. Masih lemahnya data dasar wajib pajak maupun retribusi daerah serta kurangnya optimalnya penerapan self assesment system dalam pemungutan pajak daerah (LKPD Kabupaten Semarang, 2012).

3. Sumber penerimaan dalam APBD Pemkab Grobogan masih sangat tergantung dana perimbangan dari Pemerintah Pusat (LKPD Kabupaten Grobogan, 2008) 4. Belum optimalnya kontribusi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terhadap

PAD (BPK, 2011).

Pemkab Demak menunjukkan adanya peningkatan terhadap ketergantungan keuangan daerahnya selama lima tahun, hal serupa juga turut dijelaskan dalam LKPD Kabupaten Demak (2012) bahwa, pendapatan daerah dari komponen PAD meningkat setiap tahunnya, namun proporsi PAD bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan masih relatif kecil dibandingkan dengan sumber pendapatan dari dana perimbangan, sehingga dependensi sumber pendapatan dari Pemerintah Pusat masih sangat tinggi. Dan juga proporsi pendapatan dari komponen dana perimbangan dalam struktur pendapatan APBD Pemkab Demak relatif sangat dominan, dimana dalam lima tahun terakhir dari

(33)

tahun 2008-2012 kontribusinya berkisar antara 59,34 persen-83,87 persen. Dengan adanya kenaikan dalam ketergantungan keuangan daerah tersebut dapat menyebabkan Pemerintah Daerah kurang dapat mengatur sendiri kegiatan pemerintahan, mengelola pembangunan serta meningkatkan kesejateraan masyarakatnya.

Untuk Pemkot Salatiga dan Pemkab Kendal mengalami kondisi ketergantungan keuangan daerah yang berfluktuasi selama tahun 2008-2012 (Grafik 5.A). Tingkat ketergantungan keuangan Pemkot Salatiga dan Pemkab Kendal ditahun 2011 berada di bawah rata-rata masing-masing sebesar 83,40 persen, 81,63 persen namun, pada tahun 2012 terjadi kenaikan menjadi 86,16 persen serta 83,97 persen yang mengakibatkan tingkat ketergantungan Pemkot Salatiga dan Pemkab Kendal berada di atas rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang.

Faktor penyebab ketergantungan keuangan daerah Pemkot Salatiga dan Pemkab Kendal berada di bawah rata-rata Eks-Karesidenan Semarang juga turut dijelaskan dalam LKPD Kota Salatiga (2011), yakni terdapat pendapatan transfer berupa DBH pajak mengalami penurunan yang disebabkan DBH dari Bea Perolehan Hak Tanah Bangunan (BPHTB) Tahun 2011 merupakan pajak daerah. Bila di Pemkab Kendal, dengan persentase penerimaan pendapatan mencapai 126,02 persen (LKPD Kabupaten Kendal, 2011).

Sedangkan faktor penyebab lainnya yang mengakibatkan kenaikan pada tingkat ketergantungan keuangan daerah tahun 2012 dikarenakan adanya penurunan dari sisi penerimaan PAD, seperti:

(34)

1. Masih adanya mutasi obyek PBB yang tidak dilaporkan untuk perubahan pajaknya dan masih adanya tanah kosong yang tidak jelas kepemilikannya serta banyaknya obyek pajak yang masih dalam sengketa menjadi kendala dalam pemungutan PBB (LKPD Kota Salatiga, 2012).

2. Belum optimalnya pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah dari perusahaan daerah aneka usaha untuk memberikan kontribusi target kepada pendapatan daerah disebabkan upaya-upaya optimalisasi pengelolaan Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) belum memberikan hasil yang maksimal (LKPD Kota Salatiga, 2012).

3. Pos-pos pendapatan transfer terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2011 (BPK, 2012).

Namun hal yang berkebalikan terjadi di Pemkot Semarang, bahwa persentase ketergantungan keuangannya setiap tahun berada di bawah nilai rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang. Rendahnya angka ketergantungan keuangan ini dikarenakan terjadi peningkatan kemandirian keuangan Pemkot Semarang untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan Pemerintah dan pembangunan melalui, kemajuan dalam optimalisasi penerimaan PAD dengan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah, optimalisasi aset dan kekayaan daerah, pengembangan BUMD serta realisasi pos-pos pendapatan tertentu di Pemkot Semarang setiap tahunnya yang dapat melampaui target anggarannya sehingga hal tersebut dapat menyebabkan kenaikan dalam sisi pendapatan daerah di Pemkot Semarang.

Pemkot Semarang dan juga Pemkab Semarang yang merupakan daerah daerah cepat maju dan tumbuh berdasar tipologi klassen tahun 2012 secara nyata

(35)

menunjukkan adanya penurunan tingkat ketergantungan keuangan yang dimilikinya, walaupun presentase ketergantungan keuangan Pemkab Semarang berada di atas rata-rata. Hal serupa juga terjadi pada daerah berkembang cepat yakni Pemkab Grobogan dan juga daerah relatif tertinggal yakni Pemkab Demak, hal tersebut mencerminkan adanya penurunan dalam penerimaan dana transfer baik dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Provinsi. Dilain sisi Pemkot Salatiga dan juga Pemkab Kendal menunjukkan adanya kenaikan terhadap tingkat ketergantungan keuangan daerahnya, kondisi demikian juga didukung dengan hasil klasifikasi daerah berdasar tipologi klassen yang menempatkan kedua daerah tersebut dalam daerah maju, namun dalam tekanan ekonomi.

Masih tingginya kondisi ketergantungan Pemerintah Daerah baik Pemkab maupun Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah perlu meningkatkan penerimaan PAD serta menggali kembali potensi PAD yang ada dimasing-masing daerah.

3. Kemandirian Keuangan Daerah

Kemampuan Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat dapat terlihat dari tingkat kemandirian keuangan pada Grafik 6.B. Hasil pengolahan data yang ditunjukkan dalam Grafik 6.A menjelaskan bahwa rata-rata kemandirian keuangan daerah pada Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang setiap tahun meningkat, namun peningkatan yang terjadi belum melampaui 25 persen dengan pola hubungan instruktif. Hal ini mengindikasikan trend kemampuan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan serta mengolah berbagai macam sumber pendapatannya masih sangat rendah.

(36)

Grafik 6.A Trend Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Grafik 6.B Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Melihat kembali pada kondisi mayoritas Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang dalam kurun waktu lima tahun menunjukkan keadaan

12.72% 13.92% 14.35% 15.13% 17.89% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata

12.72% 13.92% 14.35% 15.13% 17.89% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

(37)

kemandirian keuangan daerah yang beragam. Seperti pada Pemkab Demak, Pemkot Salatiga, Pemkab Kendal, dan juga Pemkab Grobogan trend kemandirian keuangan daerahnya berfluktuatif. Naik-turunnya tingkat kemandirian keuangan daerah-daerah tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:

1. PAD setiap tahun menunjukkan peningkatan, namun proporsi PAD terhadap pendapatan daerah guna pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan masih relatif kecil, dibandingkan dengan sumber penerimaan dari dan perimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih sangat tinggi (LKPD Kota Salatiga, 2010)

2. Minimnya PAD sehingga ketergantungan kepada anggaran dari Pemerintah Pusat sangat besar (LKPD Kabupaten Demak, 2009).

3. Pengelolaan pendapatan daerah yang belum efektif (LKPD Kabupaten Demak, 2010).

4. Sumber penerimaan dalam APBD daerah masih sangat tergantung dana perimbangan dari Pemerintah Pusat (LKPD Kabupaten Grobogan, 2008)

Walaupun kondisi kemandirian keuangan daerah di Pemkot Salatiga berfluktuatif, namun besar tingkat kemandirian keuangannya mampu berada di atas rata-rata selama tahun 2008-2011. Kondisi demikian dipicu dengan adanya peningkatan penerimaan PAD terutama yang berasal dari pajak penerangan jalan sebagai objek pajak daerah yang memberikan kontribusi terbesar (LKPD Kota Salatiga, 2009) namun jika dalam persentase kenaikan penerimaan pajak penerangan jalan masih belum terlalu besar, sedangkan dari sisi pendapatan retribusi daerah realisasinya ditahun 2009 menurun menjadi Rp. 6,843,378,023.-bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yaitu sebesar Rp.

(38)

22,321,901,734.-Lain halnya dengan trend tingkat kemandirian keuangan Pemkot Semarang yang berada meningkat dan selalu berada di atas rata-rata kemandirian keuangan se Eks-Karesidenan Semarang, kenaikan ini secara umum dikarenakan adanya keberhasilan upaya intensifikasi dalam pemungutan penerimaan terutama dari sisi PAD. Dalam LKPD Kota Semarang (2012) menjelaskan bahwa mulai tahun anggaran 2012 PBB sudah menjadi pajak daerah Pemkot Semarang yang diatur dalam Perda No. 13 Tahun 2011 tentang PBB Perkotaan, yakni sebesar Rp. 160,463,199,082.-. Sebaliknya kenaikan tersebut tidak sepenuhnya terjadi dalam setiap entitas dari sisi PAD, hal tersebut dapat dilihat dari sisi penerimaan retribusi Pemkot Semarang (Grafik 2). Penerimaan retribusi Pemkot Semarang tahun 2012 mengalami penurunan, hal tersebut disebabkan adanya pendapatan retribusi yang tidak mencapai target anggaran tahun 2012 misalnya jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum dan jasa pengujian kendaraan bermotor, penyebab tidak tercapainya target penerimaan retribusi tersebut adalah:

1. Pelayanan parkir tepi jalan umum dikarenakan keterbatasan personil dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika dan rendahnya intensifikasi, serta belum adanya sistem yang memadai.

2. Pengujian kendaraan bermotor dikarenakan berkurangnya jumlah armada angkutan yang melakukan pengujian kendaraan.

Kondisi demikian menyebabkan tingkat kemandirian keuangan Pemkot Semarang cenderung meningkat dan konsisten berada di atas rata-rata kemandirian keuangan daerah se di Eks-Karesidenan Semarang.

Trend kemandirian keuangan daerah (Grafik 6) turut menjelaskan bagaimana kondisi kemandirian keuangan daerah di Pemkab Semarang. Pemkab

(39)

Semarang menunjukkan kemandirian keuangan daerah yang meningkat, namun kenaikan tersebut berada di bawah rata-rata kemandirian keuangan daerah se Eks-Karesidenan Semarang. Hal tersebut juga ditunjukkan dalam rasio pajak (Grafik 8) dan rasio pajak per kapitanya (Grafik 9). Dalam LKPD Kabupaten Semarang tahun 2012 menjelaskan bahwa, dari sisi penerimaan PAD di Pemkab Semarang masih mengalami kendala, diantaranya:

1. Masih lemahnya data dasar wajib pajak maupun retribusi daerah.

2. Kurangnya optimalnya penerapan self assesment system dalam pemungutan pajak daerah.

3. Penerimaan dari retribusi daerah juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah, kondisi fasilitas yang tersedia, serta kemauan dan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan obyek-obyek maupun fasilitas sumber retribusi.

Meskipun demikian tidak serta merta penerimaan PAD di Pemkab Semarang seluruhnya menurun, karena masih terdapat beberapa realisasi retribusi yang dapat memenuhi target, misalnya:

1. Retribusi pengujian kendaraan bermotor karena adanya kenaikan tarif uji kendaraan berdasarkan Perda nomor 8 tahun 2011.

2. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang merupakan penerimaan retribusi baru berdasarkan Perda No. 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum.

Sedangkan dari sisi penerimaan dana transfer Pemerintah Pusat yang berupa dana perimbangan selalu meningkat dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya, kondisi demikian menggambarkan tingkat kemandirian keuangan

(40)

daerah di Pemkab Semarang, yang terus meningkat namun masih berada di bawah rata-rata kemandirian keuangan daerah se Eks-Karesidenan Semarang.

Berdasarkan hasil analisis kemandirian keuangan daerah di Eks-Karesidenan Semarang memperlihatkan bahwa seluruh klasifikasi daerah menurut tipologi klassen tahun 2012 mengalami kenaikan, hal tesebut mengindikasikan bahwa komponen PAD dimasing-masing daerah mengalami peningkatan, walaupun jika dilihat dari tingkat ketergantungan keuangan daerahnya (Grafik 5), komponen penerimaan dana transfer dimasing-masing daerah mengalami kondisi yang beragam.

4. Derajat Desentralisasi

Kemampuan Pemerintah Daerah di Eks-Karesidenan Semarang dalam menyelenggarakan desentralisasi setiap tahun 2008-2012 mengalami kondisi yang berfluktuatif, dalam Grafik 7 turut memperlihatkan arah pergerakan yang semakin meningkat dari tahun 2010-2012. peningkatan ini mengindikasikan semakin meningkat pula kinerja Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan sumber dayanya, hal ini dapat diamati lebih detail dalam Grafik 7.A dan Grafik 7.B. Peningkatan derajat desentralisasi dimasing-masing daerah se Eks-Karesidenan Semarang dapat dilihat dengan tingginya tingkat kemandirian keuangan daerah (Grafik 6), pertumbuhan pendapatan daerah (Grafik 1), dan juga rendahnya tingkat ketergantungan keuangan daerah (Grafik 5).

(41)

Grafik 7.A Trend Derajat Desentralisasi Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Grafik 7.B Derajat Desentralisasi Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Derajat desentralisasi yang dimiliki Pemkot Semarang menempati posisi di atas rata-rata Eks-Karesidenan Semarang setiap tahunnya, hal ini juga dapat

10.59% 11.87% 11.50% 12.09% 13.90% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata

10.59% 11.87% 11.50% 12.09% 13.90% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-rata

(42)

dilihat dengan tingkat kemandirian Pemkot Semarang yang secara konsisten berada di atas rata-rata seperti yang terlihat dalam Grafik 6. dan juga rendahnya tingkat ketergantungannya dalam Grafik 5, konsistensi Pemkot Semarang ini turut didukung dengan adanya perkembangan secara agregrat pada perekonomian yang mengalami peningkatan, hal tersebut ikut serta meningkatan kemampuan PAD di Pemkot Semarang. Dengan adanya peningkatan yang ditunjukkan dalam rasio derajat desentralisasi, juga berimplikasi bahwa Pemkot Semarang terus mengalami peningkatan kemampuan dalam menyelenggarakan desentralisasi.

Namun untuk Pemkab Demak, Pemkab Kendal, dan Pemkab Grobogan masing-masing daerah ini memiliki derajat desentralisasi yang besarnya berada di bawah rata-rata, hal tersebut tidak terlepas dari tingkat kemandirian keuangan daerah dari Pemkab Demak, Pemkab Kendal, dan juga Pemkab Grobogan yang cenderung berada di bawah rata-rata kemandirian keuangan daerah se Eks-Karesidenan Semarang. Kondisi yang demikian disebabkan karena proporsi penerimaan daerahnya cenderung didominasi oleh dana perimbangan yang meningkat, sehingga kontribusi PAD terhadap kemampuan penyelenggaraan desentralisasi daerahnya kecil.

Sedangkan untuk Pemkab Semarang dan juga Pemkot Salatiga mengalami derajat desentralisasi yang berfluktuasi. Ketidakstabilan kemampuan Pemkot Salatiga dan Pemkab Semarang dalam menyelenggarakan desentralisasi daerahnya, juga diikuti dengan kondisi yang berfluktuatif pula pada tingkat kemandiriaan keuangan daerah, tingkat ketergantungan keuangan daerah serta pertumbuhan pendapatan daerahnya. Meskipun dalam klasifikasi daerah berdasarkan tipologi klassen terjadi keberagaman namun secara nyata terjadi

(43)

kenaikan derajat desentralisasi pada seluruh Pemerintah Daerah se Eks-Karesidenan Semarang tahun 2012, hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja masing-masing Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada guna menyelenggarakan desentralisasi telah meningkat.

5. Rasio Pajak

Tingginya rasio pajak menggambarkan seberapa tinggi penerimaan daerah yang bersumber dari pajak daerah. Pada Grafik 8.A menunjukkan bahwa trend rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang ditahun 2012 rata-rata rasio pajaknya mencapai 0.53 persen. Berdasarkan data rasio pajak di 33 Provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara Nasional sebesar 1,39 persen (DJPK, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang berada masih berada di bawah rata-rata rasio pajak secara Nasional, meskipun demikian terdapat peningkatan rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang setiap tahunnya (Grafik 8.B).

Seperti yang ditunjukkan dalamGrafik 8.A PemkotSemarang danPemkot

Salatiga, secara konsisten selama lima tahun tingkat rasio pajaknya cenderung meningkat dan berada di atas rata-rata Eks-Karesidenan Semarang. Ditahun 2012 Pemkot Semarang memiliki rasio pajak tertinggi yaitu sebesar 1.10 persen, dan kemudian disusul oleh Pemkot Salatiga (0.83 persen). Peningkatan cukup tinggi di Pemkot Semarang hal ini dikarenakan, mulai tahun anggaran 2012 PBB sudah menjadi pajak daerah Pemkot Semarang yang diatur dalam Perda No. 13 Tahun 2011 tentang PBB Perkotaan, penerimaan PBB tahun 2012 sebesar Rp. 160,463,199,082.- terdiri dari realisasi ketetapan pajak PBB tahun 2012 sebesar Rp. 130,859,160,961.- dan realisasi pembayaran atas piutang pajak PBB yang

(44)

timbul sebelum tahun 2012 sebesar Rp. 29,604,038,121.- (LKPD Kota Semarang, 2012).

Grafik 8.A Trend Rasio Pajak Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK dan BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Grafik 8.B Rasio Pajak Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK dan BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

Selanjutnya dalam Pemkot Salatiga setiap tahun rasio pajaknya selalu berada di atas rata-rata, sesuai dengan LKPD Kota Salatiga (2009, 2010), hal ini

0.29% 0.30% 0.30% 0.44% 0.53% 0.00% 0.20% 0.40% 0.60% 0.80% 1.00% 1.20% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota semarang Kab. Semarang Kota salatiga Kab. Demak

Kab. Kendal Kab. Grobogan Rata-Rata

0.29% 0.30% 0.30% 0.44% 0.53% 0.00% 0.20% 0.40% 0.60% 0.80% 1.00% 1.20% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota semarang Kab. Semarang Kota salatiga Kab. Demak

(45)

dikarenakan terdapat proporsi penerimaan dari pajak hotel yang selalu meningkat dan juga adanya realisasi penerimaan pajak penerangan jalan yang merupakan objek pajak daerah dengan proporsi terbesar terhadap PAD di Pemkot Salatiga.

Dalam LKPD Kota Salatiga (2012) terdapat peningkatan realisasi pendapatan pajak daerah Pemkot Salatiga, dibandingkan tahun sebelumnya, adapun peningkatan dari sisi pajak tersebut dikarenakan terjadi penerimaan yang berasal dari pajak BPHTB. Penerimaan pajak BPHTB tersebut, termasuk penerimaan transfer DBH BPHTB bagian pusat atas kurang bayar DBH BPHTB bagian Pemerintah Pusat bagi rata tahun anggaran 2010 sebesar Rp. 481,469,231.- yang baru direalisasikan pada tahun anggaran 2012.1

Grafik 8.C Rasio Pajak Kabupaten dan Kota se Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012

Sumber : BPK dan BPS Perwakilan Jawa Tengah, diolah.

1Penerimaan pajak BPHTB pada tahun 2010 yang terealisasi tahun 2012 disebabkan adanya perubahan pengelolaan pendapatan BPHTB Pemkot Salatiga diserahkan dari Pemerintah Pusat ke Pemkot Salatiga sejak tahun anggaran 2011.

Sebagaimana dalam LKPD Pemkot Salatiga (2012) menegaskan bahwa basis akuntansi yang digunakan dalam pelaporan

keuangan Pemkot Salatiga adalah basis kas. Basis kas sendiri digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja, transfer dan

pembiayaan. 0.29% 0.30% 0.31% 0.44% 0.53% 0.00% 0.20% 0.40% 0.60% 0.80% 1.00% 1.20% 2008 2009 2010 2011 2012

Kota semarang Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Demak

(46)

Dalam penggunaan basis kas tentunya terdapat kelemahan misalnya

penggunaan basis kas dalam LKPD Pemerintah Daerah tersebut hanya memfokuskan pada arus kas dalam periode pelaporan berjalan, dan mengabaikan kejadian yang mungkin berpengaruh pada kemampuan Pemerintah dalam mengoptimalkan kinerja Pemerintahannya, seperti halnya dalam grafik 8.C yang menunjukkan perbedaan besarnya persentase rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang tahun 2010, sebesar satu persen. Perubahan tersebut mencoba untuk menunjukkan bahwa, alokasi DBH BPHTB tahun 2010 yang realisasi tahun 2012 dihitung dengan menggunakan metode akrual.

Namun masih ada daerah yang rasio pajaknya berfluktuatif dan berada di bawah rata-rata rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang seperti, Pemkab

Demak, Pemkab Kendal dan juga Pemkab Grobogan yang menempati urutan terendah dalam kepemilikan rasio pajaknya. Walaupun realisasi pajak daerah Pemkab Grobogan melebihi dari anggaran yang ditetapkan namun masih ada pencapaian terendah yang terjadi pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) yaitu pada pajak sarang burung walet sebagimana penerimaan pajak tersebut tidak memenuhi target karena banyak wajib pajak tidak mau membayar pajak dengan alasan produksi sarang burung turun dan harga di pasaran juga turun, untuk membuktikan alasan tersebut juga sangat sulit disebabkan para wajib pajak tidak melakukan pembukuan dan hanya berdasarkan asumsi (LKPD Kabupaten Grobogan, 2012). Secara umum naik-turunnya rasio pajak dimasing-masing Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang, dikarenakan:

(47)

1. Masih ada objek pajak daerah yang tidak dapat melampaui target yang telah ditetapkan yaitu pajak reklame dan pajak penerangan jalan (LKPD Kabupaten Demak, 2011).

2. Kurangnya kesadaran wajib pajak akan arti pentingnya pajak bagi pembangunan (LKPD Kabupaten Kendal, 2012).

3. Keterbatasan SDM pemeriksa pajak untuk memperoleh informasi keuangan wajib pajak yang riil (dobel pembukuan) (LKPD Kota Salatiga, 2010).

4. Masih adanya mutasi obyek PBB yang tidak dilaporkan untuk perubahan pajaknya dan masih adanya tanah kosong yang tidak jelas kepemilikannya serta banyaknya obyek pajak yang masih dalam sengketa menjadi kendala dalam pemungutan PBB (LKPD Kota Salatiga, 2012).

Rasio pajak Pemkab Semarang setiap tahunnya meningkat namun, masih berada di bawah rata-rata se Eks-Karesidenan Semarang. Dalam LKPD Kabupaten Semarang (2011) menyebutkan enam dari sepuluh objek pajak di Pemkab Semarang dapat melampaui dari anggaran, objek pajak tersebut ialah yang berasal dari pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir dan pajak air tanah. Pada tahun anggaran 2011 terdapat dua objek pajak baru yaitu pajak air tanah dan pajak BPHTB sehingga terjadi peningkatan dalam rasio pajak di Pemkab Semarang.

Dalam rasio pajak Pemkab Semarang tahun 2012 menunjukkan peningkatan sebesar 0.02 persen, hal tersebut dikarenakan masih adanya hambatan yang dihadapi oleh Pemkab Semarang dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam pemungutan pajak daerahnya, diantaranya:

(48)

1. Pajak Hotel dan Pajak Hiburan

Konsekwensi dari sistem pemungutan pajak self assesment yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dimana sistem tersebut tidak seiring dengan peningkatan kesadaran wajib pajak. Hal lainnya ialah kondisi di lapangan, yang selalu menjadi alasan pengusaha perhotelan adalah tingginya biaya pengelolaan hotel dan beban biaya lain-lain selain pajak yang ditanggung oleh pengusaha. Kurang mendukungnya jalan menuju kawasan perhotelan, pada saat hari libur jalan menuju kawasan perhotelan tersebut sering dilakukan penutupan untuk mengurangi tingkat kemacetan jalan utama. Serta pengaruh dari tingkat perekonomian masyarakat dimana tingkat hunian menurun.

2. Pajak Mineral Bukan Logam

Tingkat intensifikasi dan ekstensifikasi (pengupayaan penerimaan pajak) sudah maksimal, namun obyek pajaknya terbatas, sehingga volume pengambilan dan pendapatannnya terbatas.

3. Pajak Sarang Burung Walet

Pajak ini baru diberlakukan bulan September 2012, sehingga belum ada pemasukan dikarenakan pendataan wajib pajak sarang burung walet baru dioptimalkan, dan dari data yang ada untuk saat ini belum ada panen.

Pemkot Semarang dan juga Pemkab Semarang sebagai daerah bertumbuh maju dan cepat menunjukkan adanya peningkatan rasio pajak yang dimiliki oleh masing-masing daerah selama tahun 2010-2012, hal tersebut mencerminkan Pemerintah Daerah mampu mengoptimalkan penerimaan daerahnya yang bersumber dari pajak daerah. Peningkatan rasio pajak ditahun 2012 juga terjadi

(49)

pada daerah maju, namun dalam tekanan ekonomi yakni Pemkab Kendal dan juga Pemkot Salatiga hal tersebut didukung dengan masuknya PBB menjadi penerimaan pajak daerah. Dilain sisi, berdasarkan tipologi klassen Pemkab Grobogan menempati klasifikasi daerah yang berkembang cepat hal ini dapat dilihat dari meningkatnya rasio pajak Pemkab Grobogan menjadi 0,23 persen ditahun 2012, meskipun demikian rasio pajak tersebut masih berada di bawah rata-rata rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang. Berbeda halnya dengan tingkat rasio pajak yang dimiliki oleh Pemkab Demak, dengan terjadinya ketidakstabilan rasio pajak yang dimiliki Pemkab Demak selama 2008-2012 dengan kecenderungan berada di bawah rata-rata rasio pajak se Eks-Karesidenan Semarang, menempatkan tingkat rasio pajak yang dimiliki Pemkab Demak berada pada klasifikasi daerah yang relatif tertinggal, hal tersebut mencerminkan bahwa belum optimal penerimaan pajak daerah di Pemkab Demak sesuai dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009.

6. Rasio Pajak Per Kapita

Rasio pajak per kapita Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang tahun anggaran 2008-2012 yang terlihat dalam Grafik 9.A dan Grafik 9.B, rasio tersebut menunjukkan nilai total pajak daerah di seluruh Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang dibagi dengan total penduduk setiap tahunnya.

Gambar

Tabel 1. Kondisi Pemkab dan Pemkot se Eks-Karesidenan Semarang Menurut Klasifikasi Tipologi Klassen tahun 2012
Tabel 2. Pola Hubungan Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian(%) Pola Hubungan
Grafik 1.A Trend Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012
Grafik 1.B Pertumbuhan Pendapatan Daerah Kabupaten dan Kota se Eks- Eks-Karesidenan Semarang Tahun 2008-2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahan untuk membuat minuman serbuk instan jahe mudah didapatkan, cara pembuatanya sangat sederhana yaitu menggunakan peralatan rumah tangga

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di lokasi Malabaet, Takkuman dan Bagan Lelet terdapatnya variasi morfologi pada anggrek Dendrobium yaitu pada tipe

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pisah dan pilah, yakni dengan memisahkan atau memililahkan data ragam bahasa Jawa yang digunakan (ngoko

[r]

Noncritical piping adalah semua jalur pipa yang tidak dipertimbangkan atau diperhitungkan dalam perhitungan analisa tegangan pipa karena temperature dan ukuran pipa

Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar 4 km dari puncak Gunung Merapi dan sekitar 25 km arah barat laut Propinsi Yogyakarta adalah desa terakhir

 Pengarusutamaan TIK dalam Pembangunan Daerah  Dari Pinggiran ke Pusat Isu Pembangunan Daerah  Dari Masalah Teknis ke Masalah kebijakan..  Dari Masalah Teknis ke

Hasil analisis dari Riyant Lisano memperlihatkan bahwa tingkat efektifitas pemungutan pajak daerah oleh DPPKA Kota Payakumbuh rata-rata melebihi target yang