• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Teoritis

2.2.6 Rasio Likuiditas

Rasio likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur

kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Rasio ini membandingkan kewajiban jangka pendek dengan sumber daya

jangka pendek (aktiva lancar) yang tersedia untuk memenuhi kewajiban

jangka pendek tersebut (Horne & Wachowicz, 2012:205). Sedangkan Kasmir

(2016:110) mendefinisikan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio yang

menggambarkan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban (hutang)

jangka pendek.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, menurut Subramanyam

& John (2012:185) definisi rasio likuiditas adalah kemampuan perusahaan

untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang harus segera dipenuhi (jangka

pendek). Menurut Hanafi & Halim (2014:37) rasio likuiditas adalah

kemampuan likuiditas jangka pendek perusahaan dengan melihat besarnya

aktiva lancar relatif terhadap utang lancarnya. Dari berbagai pengertian diatas

dapat disimpulkan bahwa rasio likuiditas adalah kemampuan perusahaan

dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu.

Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban keuangannya tepat pada

dikatakan mampu memenuhi kewajiban keuangan tepat pada waktunya

apabila perusahaan tersebut mempunyai alat pembayaran ataupun aktiva

lancar lebih besar dari pada hutang lancarnya atau hutang jangka pendek.

Sebaliknya apabila perusahaan tidak dapat segera memenuhi kewajiban

keuangannya pada saat ditagih, berarti perusahaan tersebut dalam keadaan

illikuid (Munawir, 2012:70). Menurut Hanafi & Halim (2014:39) tingkat

likuiditas yang tinggi membuktikan bahwa perusahaan mampu memenuhi

kebutuhan jangka pendeknya dengan lancar. Hal ini juga memungkinkan

perusahaan untuk membayar dividen kepada pemegang saham. sehingga

dapat dikatakan bahwa semakin tinggi likuiditas maka semakin tinggi pula

pembayaran dividen kepada pemegang saham. Kondisi tersebut berakibat

pada minat investor untuk berinvetasi sehingga terjadi kenaikan pada harga

saham dan diiringi meningkatnya return saham.

Pada dasarnya likuiditas merupakan rasio yang mengukur

kemampuan perusahaan dalam melunasi hutangnya. Dalam islam sendiri,

hutang telah diperbolehkan. Hal ini dijelaskan oleh firman Allah SWT yang

tercantum dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 245:

نَّم

ُ

اَذ

ُ

يِذَّلا

ُ

ُُض ِرْقُي

ُ

ََُّاللّ

ُ

اًض ْرَق

ُ

اًنَسَح

ُ

ُُهَفِعاَضُيَف

ُ

ُُهَل

ُ

اًفاَعْضَأ

ُ

ُ ًة َريِثَك

ُ

َُُّاللّ َو

ُ

ُُضِبْقَي

ُ

ُُطُسْبَي َو

ُ

ُِهْيَلِإ َو

ُ

َُنوُعَج ْرُت

ُُ

(

٢٤٥

)

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan. (QS. Al-Baqarah:245)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam islam hutang diperbolehkan

dengan tujuan untuk membantu orang lain yang membutuhkan dengan

ketentuan yang ditetapkan dalam islam. Dalam hal ini islam mensyaratkan

bahwa hutang yang dihutangkan jelas dan murni halal, hutang dengan niat

mencari ridho Allah SWT dan harta yang dihutangkan tidak akan memberi

kelebihan atau keuntungan pada pihak yang mempiutangkan.

Dalam islam juga dijelaskan bahwa dalam berhutang harus dibayar

kepada peminjam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

ُ مَه ْرِدَلا َوُُ راَنيِدَُُّمَثَُُسْيَلُُِهِتاَنَسَحُُْنِمَُُى ِضُقُُ مَه ْرِدُُْوَأُُ راَنيِدُُِهْيَلَع َوَُُتاَمُُْنَم

Artinya: “Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa jika hutang tidak terbayarkan

maka akan digantikan dengan pahala di hari kiamatnanti. Maka dari itu

islam menganjurkan untuk segera membayar hutang karena ditakutkan jika

manusia meninggal namun masih mempunyai tanggungan (hutang), maka

hutang tersebut akan dibayarkan dengan pahala yang dimiliki.

Menurut Kasmir (2016:134-137) ada beberapa jenis metode

pengukuran rasio likuiditas, sebagai berikut:

1. Rasio Lancar (Current Ratio), yaitu kemampuan aktiva lancar

perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan

2. Rasio Cepat (Quick Ratio atau Acid Test), yaitu kemampuan

perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek dengan

aktiva lancar tanpa memperhitungkan nilai persediaan.

3. Rasio Kas (Cash Ratio), yaitu kemampuan perusahaan dalam

membayar utang- utang jangka pendek nya.

Indikator yang digunakan untuk mengetahui likuiditas dalam

penelitian ini adalah current ratio (CR). Alasan pemilihan variabel current

ratio dalam penelitian yaitu untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek yang akan segera jatuh tempo. Jika

current ratio rendah berarti perusahaan mengalami kekurangan modal untuk

membayar utang-utangnya yang segera jatuh tempo. Current ratio atau rasio

lancar merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui

kesanggupan memenuhi kewajiban jangka pendek (Kasmir, 2016:134).

Rasio lancar menunjukkan apakah tuntutan dari kreditur jangka pendek

dapat dipenuhi oleh aktiva yang diperkirakan menjadi aktiva lancar dalam

periode yang sama dengan jatuh temponya utang. Current ratio yang rendah

biasanya dianggap menunjukkan terjadi masalah dalam likuiditas.

Sebaliknya suatu perusahaan yang memiliki rasio lancar terlalu tinggi juga

kurang bagus, karena menunjukkan banyaknya dana menganggur yang pada

akhirnya dapat mengurangi kemampulabaan perusahaan (Hanafi & Halim,

2014:202).

Rasio Lancar merupakan rasio untuk mengukur kemampuan

segera jatuh tempo pada saat ditagih secara keseluruhan. Dengan kata lain

seberapa banyak aktiva lancar yang tersedia untuk menutupi kewajiban

jangka pendek yang segera jatuh tempo. Rasio lancar dapat pula dikatakan

sebagai bentuk untuk mengukur tingkat keamanan suatu perusahaan.

Penghitungan rasio lancar dilakukan dengan cara membandingkan antara

total aktiva lancar dengan total utang lancar (Kasmir, 2016:132).

Menurut Horne & Wachowicz (2012:206) current ratio merupakan

rasio yang menujukkan kemampuan perusahaan untuk membayar

kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancarnya.

Current ratio diperoleh dengan menghitung total aktiva lancar dibagi dengan kewajiban jangka pendek dapat dihitung dengan menggunakan

rumus :

𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑎𝑠𝑠𝑒𝑡

𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑙𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠𝑥100

Apabila current ratio (CR) perusahaan semakin besar maka

kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya

akan semakin besar pula, tetapi current ratio yang terlalu tinggi juga tidak

baik karena akan menunjukkan manajemen yang buruk terhadap sumber

likuiditas perusahaan. Kelebihan dalam current ratio seharusnya digunakan

untuk membayar dividen, membayar hutang jangka panjang, dan untuk

berinvestasi yang dapat menghasilkan tingkat kembalian lebih. Current

ratio yang tinggi dapat menguntungkan kreditor, karena terdapat kemungkinan yang lebih besar perusahaan akan membayarkan hutangnya

tepat pada waktunya. Di lain pihak dari pemegang saham current ratio yang

tinggi tidak selalu menguntungkan terutama bila terdapat saldo kas yang

berlebihan, jumlah piutang yang besar, dan persediaan yang terlalu besar

(Hanafi & Halim, 2014:202). Jika perbandingan aktiva lancar dengan utang

lancar bernilai tinggi maka kemampuan perusahaan juga tinggi untuk

melunasi utang lancarnya. Jika rasio lancar (current ratio) menunjukkan

perbandingan 1:1 atau 100% berarti aktiva lancar bias melunasi kewajiban

jangka pendek. Kondisi perusahaan tergolong lebih aman jika rasio lancar

diatas satu atau lebih dari 100% maka perusahaan tersebut sudah pasti

mampu membayar utang lancarnya tanpa mengganggu kegiatan kegiatan

operasional perusahaan.current ratio sebesar 200% dinilai sebagai current

ratio yang memuaskan untuk perusahaan industry atau perusahaan komersil besar. Untuk perusahaan penghasil jasa seperti perusahaan listrik dan hotel,

rasio sebesar 100% sudah mencukupi (Munawir, 2012:121).

Dokumen terkait