• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Rasio Pajak Daerah (Local Tax Ratio)

Perbandingan pajak terhadap pendapatan suatu perekonomian (economy) disebut dengan rasio pajak (tax ratio), merupakan perbandinagn antara jumlah penerimaan pajak dengan pendapatan suatu perekonomian (kemenkeu RI). Dalam

negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sedangkan di tingkat daerah rasio pajak merupakan rasio antara pajak daerah wilayah perekonomian daerah tersebut dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Angka rasio pajak suatu daerah dipengaruhi oleh PDRB.

Terkait dengan rasio pajak, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan potensial yang dapat dikenai pajak. PDRB juga menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika berkembang dengan baik merupakan potensi yang baikbagi pengenaan pajak di wilayah tersebut. Oleh karena itu, mengetahui angka-angka rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan membantu dalam menganalisis secara sederhana hubungan antara pajak daerah wilayah tersebut dengan PDRB-nya, mengetahui jenis-jenis pajak apa saja yang potensial serta sektor ekonomi yang terkait, dan menilai kondisi suatu daerah dengan membandingkannya dengan daerah lain.

2.6 Produk Domestk Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestk Regional Bruto (PDRB) adalah keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi disuatu wilayah tertentu, dalam kurun waktu satu tahun (Nurohman, 2010). Menurut Sukirno (dalam Artha, 2016) PDRB adalah nilai dari seluruh barang dan jasa yang diproduksi dalam waktu satu tahun di suatu wilayah tertentu tanpa membedakan kepemilikan faktor produksi, tapi lebih memerlukan keberadaan faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi itu, PDRB merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah. Semakin besar PDRB atau semakin maju perekonomian suatu daerah maka semakin besar juga pendapatan

masyarakatnya. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat akan bertambah kekayaan dan jumlah besarnya konsumsi masyarakat maka semakin tinggi kemampuan masyarakat wajib pajak untuk membayar pajak.

PDRB dapat dilihat dari tiga sisi: produksi, pengeluaran, serta pendapatan.

Di sisi produksi, PDRB mengindikasikan kegiatan ekonomi suatu daerah yang secara umum dapat digambarkan melalui kemampuan daerah tersebut menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan bagi kebutuhan hidup masyarakat pada periode tertentu. Dari sisi pengeluaran, PDRB menggambarkan keseluruhan pengeluaran yang dilakukan oleh sektor-sektor ekonomi yang ada disuatu wilayah pada periode tertentu yaitu sektor rumah tangga (berupa konsumsi rumah tangga), sektor swasta (pembentukan barang modal/investasi), sektor pemerintah (konsumsi pemerintah di luar pembayaran non jasa/ transfer non payment), serta sektor luar negeri (ekspor dan impor). Sementara itu di sisi pendapatan, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan yang diterima penduduk wilayah tersebut pada suatu periode berupa gaji dan sejenisnya, sewa modal, bungan dan sejenisnya, serta laba yang dihasilkan oleh pengusaha. Dari sisi mana pun PDRB diukur akan dihasilkan angka yang sama (setelah dilakukan penyesuaian dan koreksi) (kemenkeu RI).

Ada dua jenis penghitungan PDRB, yaitu atas dasar harga berlaku (current year price)dan atas dasar harga konstan (base year price). Menurut harga berlaku artinya nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada tahun yang bersangkutan, yang berarti termasuk kenaikan harga-harga ikut dihitung.

Sedangkan menurut harga konstan artinya nilai barang dan jasa yan dihasilkan, dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar.

Pertumbuhan ekonomi bersangkutan dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Jadi pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan PDRB. Semakin tinggi nilai PDRB satu daerah maka semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut (Thamrin dalam Nurrohman, 2010). Bila pertumbuhan ekonomi meningkat, maka pendapatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat pula. Dengan naiknya pendapatan masyarakat, maka tingkat konsumsi masyarakat akan meningkat pula, dan pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak. Disamping itu semakin tinggi pendapatan seseorang, maka akan semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk membayar pajak (ability to pay) berbagai pungutan, seperti pajak yang ditetapkan oleh pemerintah. Berdasakan penelitian yang dilakukan Nurrohman (2010), PDRB berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah Kota Surakarta.

2.7 Jumlah Pelanggan Listrik

Jumlah pelanggan listrik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak penerangan jalan, yang merupakan bagian dari pajak daerah. Jumlah pelanggan listrik adalah banyaknya penerima manfaat dari aktifitas produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang berasal dari PT PLN Persero (BPS 2010). Pelanggan listrik dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu: golongan sosial, rumah tangga, bisnis, industri , dan pemerintah (Ismartini dalam Witantri, 2008). Penggolongan konsumen pelanggan listrik ini

dimaksudkan untuk memenuhi kriteria penetapan tarif yang baik yaitu keadilan dalam menanggung beban biaya konsumsi pelanggan listrik. Biaya yang harus ditanggung oleh pelanggan listrik ini tidak mungkin dilakukan dengan menggunakan tarif yang sama, karena itu diperlukan tarif yang berbeda untuk setiap golongan (Ismartini dalam Witantri, 2008).

Semakin banyaknya jumlah pelanggan listrik diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak sehingga mampu untuk mendorong meningkatnya pendapatan pajak daerah (Wahyudin dalan Buntugajang, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sutrisno (2002), jumlah pelanggan listrik berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah di Kabupaten Semarang.

2.8 Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan kenaikan harga barang-barang umum secara terus-menerus (Waluyo, 2006: 167). Cara mengukur inflasi menggunakan indeks harga konsumen yaitu: LIt=IHK t – IHK t−1

IHK t−1

Dimana:

LIt = laju inflasi pada tahun t

IHKt = indeks harga konsumen periode t IHKt-1= indeks harga konsumen periode t-1

Jenis-jenis inflasi ditinjau dari parah tidaknya suatu inflasi yaitu:

a) inflasi ringan <10%

c) inflasi berat 30%-100%

d) hiperinflasi >100%

Inflasi berdasarkan sumbernya yaitu:

a) Demand Pull Inflation

Inflasi ini ditimbulkan karena permintaan dalam negeri (baik pemerintah maupun masyarakat) akan berbagai barang sangat kuat dan besar serta melebihi keluaran (output) yang ada dalam perekonomian tersebut.

b) Cosh Push Inflation

Kenaikan harga terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi (cosh push inflation), atau dapat pula terjadi karena adanya buruh menuntut upah (wage push inflation).

Dengan adanya inflasi tidak hanya berpengaruh pada kenaikan harga tetapi juga akan berimbas pada kondisi ekonomi lainnya. Perkembangan inflasi akan mempengaruhi laju perekonomian suatu negara atau daerah. Setiap negara atau daerah akan berusaha agar keuangannya stabil sehingga kegiatan perekonomian masyarakat dapat berkembang (Artha, 2016).

Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung pada tinggi atau rendahnya inflasi. Apabila inflasi yang terjadi adalah inflasi ringan maka akan berpengaruh positif dalam arti dapat mendorong perekonomian menjadi lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional atau daerah dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung, dan megadakan investasi. Sebaliknya pada saat terjadi hiperinflasi keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian menjadi lesu. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya

daya beli masyarakat dan menyebabkan peningkatan biaya prduksi akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh perusahaan berkurang. Oleh karena berkurangnya keuntungan yang diperoleh perusahaan maka penerimaan pajak yang dipungut pemerintah terhadap perusahaan tersebut menjadi semakin menurun. Dapat ditarik kesimpulan bahwa laju inflasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah, dimana bila laju inflasi meningkat maka penerimaan pajak daerah akan menurun (Boediono dalam Nurrohman, 2010).

Dalam penelitian yang dilakukan Nurrohman (2010) menyimpulkan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Surakarta.

2.9 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Puspita Suci Arianto dan Yazid Yud Padmono (2014) melakukan penelitian mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah Di Kota Surabaya. Hasil penelitian membuktikan bahawa PDRB dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak daerah di kota Surabaya, sedangkan inflasi berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak daerah di kota Surabaya.

Yohan Dwi Artha (2016) meneliti mengenai Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Jember. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa jumlah penduduk, PDRB, dan inflasi berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah Kabupaten Jember.

Anggit Darmastuti Aji (2013) meneliti tentang Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Wonogiri Dalam Era Desentralisasi Fiskal. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa jumlah wisatawan dan jumlah daya listrik berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah Kabupaten Wonogiri, sedangkan jumlah industri tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah Kabupaten Wonogiri.

Alfian Nurrohman (2010) judul penelitiannya adalah Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah Kota Surakarta. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa PDRB berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerak kota Surakarta, sedangkan jumlah penduduk dan inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak daerah kota Surakarta.

Selanjutnya Sutrisno (2002) dengan judul penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Semarang). Hasil penelitiannya adalah jumlah penduduk, jumlah pelanggan listrik, pendapatan perkapita, jumlah petugas pajak, dan jumlah wisatawan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerak di Kabupaten Semarang).

Penelitian terdahulu di atas kemudian di ringkas dalam tabel berikut ini:

No Nama Peneliti

Sumber: Data diolah (2018)

2.10 Kerangka Konseptual

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah di Kota Medan dimana faktor independennya adalah PDRB, jumlah tenaga kerja, dan inflasi serta variabel dependennya adalah pajak daerah. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah kota Medan, dapat membantu pemerintah kota Medan dalam menentukan kebijakan yang ditempuh guna meningkatkan penerimaan pajak daerah.

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Sumber: data diolah (2018)

2.11 Hipotesis Penelitian

Besar kecilya penerimaan pajak sangat ditentukan oleh pendapatan perkapita, jumlah penduduk dan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah (Musgrave and Musgrave, 1989; Anwar Shah, 1989 dalam Sutrisno, 2002).

Melihat dari penelitian Puspita Suci Arianto dan Yazid Yud Padmono (2014) membuktikan bahwa variabel PDRB dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak kota Surabaya. Dan pada penelitian Sutrisno (2002) membuktikan bahwa jumlah penduduk, jumlah pelanggan listrik, pendapatan perkapita, jumlah petugas pajak, dan jumlah wisatawan berpengaruh dominan terhadap penerimaan pajak di Kabupaten Semarang.

Berdasarkana penjelasan di atas maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

(X1)

Jumlah Pelanggan Listrik (X2)

Pajak Daerah (Y)

Inflasi (X3)

H1 :Variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Medan.

H2 :Variabel Jumlah Pelanggan Listrik berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Medan.

H3 :Variabel Inflasi berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Medan.

H4 :Variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah pelanggan listrik, dan inflasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Medan.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah di Kota Medan dari tahun 2001-2016 (kurun waktu 16 tahun). Faktor-faktornya adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah pelanggan listrik, dan inflasi.

3.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel lainnya (Sugiyono, 2003: 11). Kuantitatif maksudnya adalah data yang berbentuk angka.

Jadi penelitian deskriptif kuantitatif adalah penelitian yang menggambarkan permasalahan dan analisis menggunakan metode angka mulai dari pengumpulan data, penafsiaran, dan menampilkan hasilnya.

3.3 Defenisi Operasional a. Pajak daerah

Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah Kota Medan yang dibayar oleh badan atau orang pribadi/masyarakat kota Medan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang untuk kemakmuran rakyat Kota Medan.

b. Produk Domestk Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestk Regional Bruto (PDRB) adalah keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi di wilayah Kota Medan dalam kurun waktu satu tahun.

c. Jumlah pelanggan listrik

Jumlah pelanggan listrikadalah banyaknya penerima manfaat dari aktifitas produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang berasal dari PT PLN Persero di Kota Medan.

d. Inflasi

Inflasi adalah keadaan dimana harga-harga barang secara umum di Kota Medan mengalami kenaikan secara terus menerus. Jenis inflasi ditinjau dari parah tidaknya suatau inflasi yaitu: inflasi ringan <10%, inflasi sedang 10%-30%, inflasi berat 30%-100%, hiperinflasi >100% sedangkan ditinjau dari sumbernya ada demand pull inflation dan cosh push inflation.

3.4 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh instansi terkait dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode dokumentasi dengan mengumpulkan dan mengolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan, Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, buku-buku, jurnal, internet,

dan sumber lainnya.data laporan pajak daerah , laporan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlahindustri, dan inflasi kota Medan yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan dan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan adalah data dari tahun 2001-2016 (kurun waktu 16 tahun) dan data diolah menggunakan eviews 9.

3.6 Metode Analisis

3.6.1 Analisis Regresi Linear Berganda

Analisis regresi linear berganda adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen dengan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS).

Metode ini diyakini mempunyai sifat-sifat yang ideal dan dapat diunggulkan, yaitu secara teknis sangat kuat, mudah dalam perhitungannya dan penarikan interpretasinya (Gujarati dalam Artha, 2016). Metode ini digunakan untuk mengestimasi besarnya pengaruh PDRB (X1), jumlah pelanggan listrik (X2), dan Inflasi (X3) terhadap penerimaan pajak daerah (Y) kota Medan, dapat difungsikan sebagai berikut:

Y=f(X1X2X3)...(3.1)

Dari model diatas dapat dibuat persamaan regresinya sebagai berikut:

PD= α + β1(PDRB) + β2(jpl) - β3(Inf) + e...(3.2)

Keterangan:

PD : Pajak Daerah α : Konstanta

β β β : Koefisien regresi parsial

PDRB : PDRB atas dasar harga konstan Jpl : Jumlah Pelanggan Listrik Inf : Inflasi

e : Error

3.6.2 Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik disebut juga uji diagnosis. Uji asumsi klasik perlu dilakukan karena dalam model regresi perlu memperhatikan adanya penyimpangan-penyimpangan atas asumsi klasik, karena pada hakekatnya jika asumsi klasik tidak dipenuhi maka variabel-variabel yang menjelaskan akan tidak efisien.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah nilai residual dari model yang dibentuk terdistribusi normal atau tidak. Konsep pengujian uji normalitas menggunakan pendekatan Jorque Berra Test. Pedoman dari J-B test adalah sebagai berikut:

a. Jika nilai J-B hitung > nilaiX2 tabel atau probabilittas J-B hitung < nilai probabilitas (α=5%), maka hipotesis yang menyatakan residual error term adalah distribusi normal ditolak.

b. Jika nilai J-B hitung < nilaiX2 tabel atau probabilittas J-B hitung > nilai probabilitas (α=5%), maka hipotesis yang menyatakan residual error term adalah terdistribusi normal (Wardhoyo, 2004 dalam Artha, 2016).

2. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang hampir sempurna diantara beberapa atau seluruh variabel independen dari model regresi. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independen.

Jika variabel independen saling berkorelasi. maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol (Ghozali dalam Artha, 2016).

Tanda munculnya multikolinearitas adalah nilai R² yang tinggi dan banyak koefisien regresi yang memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabel dependen secara skolastik.

Multikolinearitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan auxiliary regressions untuk mendeteksi adanya multikolinearitas. Kriterianya adalah jika R2 regresi persamaan utama lebih besar dari r2 auxiliary regressions maka dalam model tidak terdapat multikolinearitas.

Multikolinearitas juga dapat dilihat dari (a) nilai tolerance dan lawannya (b) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian sederhana setiap variabel independen menjadi variabel dependen dan diregeres terhadap variabel independen lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF= 1/Tolerance). Nilai cotoff yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai tolerance <0,10 atau sama dengan nilai VIF>10.

3. Uji Autokorelasi

Uji Autokolerasi digunakan untuk melihat apakah ada korelasi antara periode t dengan periode t-1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya autokorelasi adalah kesalahan dalam menentukan model, penggunaan lag pada model, dan memasukkan variabel yang saling terkait. Akibat adanya autokorelasi adalah parameter yang diestimasi menjadi bias dan varian minimum, sehingga tidak efisien (Wardhono, 2004 dalam Artha, 2016). Model regresi yang baik adalah model yang bebas dari masalah autokorelasi. Salah satu cara untuk menguji apakah dalam model mengandung autokorelasi yaitu dengan melakukan uji Breuch-Godfrey atau dengan nama lain uji Langrange- Multiplier. Metode ini didasarkan pada nilai F dan Obs*R-Squared, dimana jika nilai probabilitas dari Obs*R-Squared melebihi tingkat kepercayaan α = 5% maka dalam model yang digunakan tidak mengandung masalahautokorelasi.

Pengujian autokorelasi juga dapat di dilakukan dengan menggunakan uji Durbin Watson. Panduan mengenai angka D-W untuk mendeteksi autokorelasi bisa dilihat pada tabel D-W, yang bisa dilihat pada buku statistik yang relevan.

Namun demikian secara umum bisa diambil patokan:

1. Angka D-W di bawah -2 berarti ada autokorelasi posetif,

2. Angka D-W di antara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi, 3. Angka D-W di atas +2 berarti autokorelasi negatif.

4. Uji Heterokedastisitas

Uji heteroskedastisitas adalah untuk melihat apakah terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan kepengamatan lain. Model regresi yang

memenuhi persyaratan apabila varians dari residual satu pengamatan kepengamatan lain tetap atau disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Heteroskedastisitas lebih sering terjadi pada data cross section daripada data time series. Uji heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan Uji Park, Uji White, Uji Glejtser, dan Uji Breusch-Pagan-Godfrey. Cara untuk mendeteksi heterokedastisitas dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi dengan nilai residualnya. Model yang baik yaitu jika ada pola tertentu, seperti mengumpul ditengah, menyempit kemudian melebar.

3.6.3 Uji T ( uji parsial)

Uji t dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara individu. Untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara individu dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:

H1-H3 : bi ≠0 : ada pengaruh

Kriteria yang digunakan dalam menerima atau menolak hipotesis adalah sebagai berikut:

1. Jika t hitung > t tabel pada α=5% dan nilai probabilitas <level significant sebesar 0,05 maka H1-H3 diterima.

2. Jika t hitung < t tabel pada α=5% dan nilai probabilitas <level significant sebesar 0,05 maka H1-H3 ditolak.

3.6.4 Uji F ( uji simultan)

Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah seluruh variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. H0 : β1 = β2 = β3 = 0, seluruh variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara bersama-sama.

2. H0 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ 0, seluruh variabel independen mempengaruhi nvariabel dependen secara bersama-sama.

3. Nilai F hitung diperoleh dengan formula sebagai berikut:

R2/(k-1)

F=

1-R2/(N-1)

Keterangan:

k : jumlah parameter yang diestimasi termasuk konstanta N : jumlah observasi

R2 : koefisien determinasi

Kriteria pengujian dengan menggunakan tingkat kebenaran (α) 5% sebagai berikut:

1. Jika Fhitung> Ftabel atau nilai probabilitas Fhitung< nilai probabilitas α, maka secara bersama-sama variabel independen mempengaruhi variabel dependen.

2. Jika Fhitung< Ftabel atau nilai probabilitas Fhitung> nilai probabilitas α, maka secara bersama-sama variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen.

3.6.5 Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama-sama memberi penjelasan mengenai variabel dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 (0≤R2≤1).

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kota Medan

4.1.1 Kondisi Geografis

Kota Medan terletak antara 3o.27’ Lintang Utara dan 98o.35’-98o.44’ Bujur Timur dengan ketinggian 2,5-37,5 meter di atas permukaan laut. Kota Medan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara, Selatan, Barat, dan Timur.

Kota Medan mempunyai Iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun BBMKG Wilayah I pada tahun 2015 yaitu 21,2oC dan suhu maksimum yaitu 35,1oC serta menurut Statiun Sampali suhu minimumnya yaitu 21,8oC dan suhu maksimumnya yaitu 24,3oC.

Kelembaban udara di wilayah Kota Medan rata-rata 81-82%, dan kecepatan angin rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 108,2 mm. Hari hujan di Kota Medan pada tahun 2015 per bulan 14 hari dengan rata-rata curah hujan menurut Stasiun Sampali per bulannya 141 mm.

Kota Medan merupakan salah satu dari 33 daerah Tingkat II di Sumatera Utara dengan luas daerah sekitar 265,10 km2. Kota ini merupakan pusat pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang berbatasan Langsung dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah yang merupakan tempat pertemuan dua sungai penting, yaitu sungai Babura dan Sungai Deli.

4.1.2 Wilayah Administratif

Kota Medan mempunyai luas mencapai 265,10 Km2. Wilayah Kota Medan terbagi menjadi 21 kecamatan yaitu: Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Kota, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Medan Helvetia, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Timur, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, Kecamatan Medan Marelan, dan Kecamatan Medan Belawan. Berikut ini pembagian wilayah administratif Kota Medan tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1

Pembagian Wilayah Administratif Kota Medan Tahun 2016

No Kecamatan Luas

Sumber :Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2017

Berdasarkan pada tabel 4.1, dari 21 kecamatan yang ada di wilayah Kota Medan, kecamatan yang mempunyai luas wilayah paling besar adalah Kecamatan Medan Labuhan dengan luas 36,67km2 dari total keseluruhan luas wilayah Kota Medan, sedangkan kecamatan yang mempunya luas wilayah paling kecil adalah Kecamatan Medan Maimun (2,98 km2).

4.1.3 Kependudukan

Menurut data yang tercatat pada Badan Pusat Statistik Kota Medan,

rincian jumlah laki-laki sebanyak 1.101.020 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak

rincian jumlah laki-laki sebanyak 1.101.020 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak

Dokumen terkait