• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasionalitas Kebijakan Perlindungan Konsumen

Secara komprehensif sebenarnya di dalam wacana perlindungan konsumen, kebijakan konsumen (consumer policy) meliputi 3 (tiga) hal penting yaitu:13 (1) kebijakan perlindungan konsumen (consumer protection policy); (2) kebijakan persaingan usaha (competition policy): dan (3) kebijakan pemberdayaan konsumen (consumer empowerment policy).

14

Gambar 1 Ruang Lingkup Kebijakan

Konsumen

Dengan kata lain bahwa kebijakan konsumen

sejatinya menuntut langkah-langkah integratif di 3

(tiga) ranah sekaligus: perlindungan konsumen,

persaingan usaha, dan pemberdayaan konsumen.

Kebijakan Konsumen (Consumer Policy) ditujukan untuk

mencapai keadilan dan efisiensi bagi konsumen dan

kepentingan publik dengan cara menyatukan/

menggabungkan antara kekuatan pasar dan intervensi

peraturan atau lainnya yang paling efektif. Lebih lanjut,

kebijakan konsumen dapat dibagi menjadi tiga bagian

utama:

14

1. Kebijakan untuk memberdayakan konsumen bertindak

untuk kepentingan mereka sendiri (kebijakan

pemberdayaan konsumen); terutama berhubungan

14 Robin Brown, Ibid.

Gambar 1 Ruang Lingkup Kebijakan Konsumen

13 Robin Brown, “The UN Guidelines for Consumer Protection: Making them work in developing Countries”, paper on Jeremy Malcolm (ed), Consumers in the Information

Society: Access, Fairness and Representation, Kuala Lumpur: Consumers International,

11

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN...

Dengan kata lain bahwa kebijakan konsumen sejatinya menuntut langkah-langkah integratif di 3 (tiga) ranah sekaligus: perlindungan konsumen, persaingan usaha, dan pemberdayaan konsumen. Kebijakan Konsumen (Consumer Policy) ditujukan untuk mencapai keadilan dan efisiensi bagi konsumen dan kepentingan publik dengan cara menyatukan/ menggabungkan antara kekuatan pasar dan intervensi peraturan atau lainnya yang paling efektif. Lebih lanjut, kebijakan konsumen dapat dibagi menjadi tiga bagian utama:14

1. Kebijakan untuk memberdayakan konsumen bertindak untuk kepentingan mereka sendiri (kebijakan pemberdayaan konsumen); terutama berhubungan dengan: hak atas ganti rugi, hak atas informasi, hak atas pendidikan konsumen, hak atas perwakilan;

2. Kebijakan untuk menyediakan perlindungan konsumen dan tindakan atas nama mereka dalam keadaan di mana, untuk satu alasan atau yang lain mereka tidak dapat sepenuhnya menuntut kepentingan mereka (kebijakan perlindungan konsumen); terutama berkaitan dengan: hak atas kebutuhan dasar, hak atas rasa aman, hak atas ganti rugi, hak atas informasi, hak atas lingkungan yang sehat;

3. Kebijakan untuk memastikan, sejauh mungkin, konsumen mendapatkan keuntungan dalam kompetisi sehingga keuntungan efisiensi membuat standar setinggi mungkin dan harga serendah mungkin (kebijakan persaingan); terutama berkaitan dengan hak untuk memilih.

Akan tetapi harus diakui bahwa sampai saat ini kajian hukum perlindungan konsumen yang dilakukan masih bersifat parsial (belum komprehensif ) dan cenderung bersifat monodispliner. Seharusnya ketiga aspek kebijakan

konsumen tersebut ditelaah secara seimbang dan tidak cukup berhenti pada pendekatan yuridis atau hukum perlindungan konsumen semata. Dalam konteks ini jelas bahwa keberadaan hukum atau regulasi di bidang perlindungan konsumen tidak serta merta dapat memberdayakan konsumen sekaligus memperbaiki kondisi perlindungan konsumen di pasar, sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Wilhelmsson,15 seorang ahli hukum konsumen dari Finlandia:

“…Consumer law cannot, however, remove all such (market) injustices without, at the same time, removing the market mechanism. Consumer law as a mechanism against market-based structural injustice is therefore, by necessity, insufficient”. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan-kebijakan lain di bidang persaingan usaha dan pemberdayaan konsumen. Max Huffman16, Associate Professor dari Indiana University School of Law – Indianapolis, mengutip pendapat William E. Kovacic (Komisioner Federal Trade Commission (FTC) Amerika Serikat), menyatakan bahwa hukum perlindungan konsumen adalah elemen penting dari kebijakan persaingan usaha.

Peran hukum persaingan usaha sangat penting dalam memberikan perlindungan konsumen, bukan hanya di Negara berkembang tetapi juga di Negara-negara maju seperti di Eropa, meskipun dengan pengaturan yang berbeda-beda sebagaimana dinyatakan oleh Katalin Cseres berikut:17

In some countries, major parts of consumer protection are integrated in the general law of unfair competition, like in Germany, while others developed a special piece of law for consumer protection like the French Code de la Consommation.

15 Thomas Wilhelmsson, 1997, “Consumer Law and Social Justice”, dalam Iain Ramsay,

Consumer Law in the Global Economy-National and International Dimensions, Aldershot:

Dartmouth, hlm. 225

16 Max Huffman, “Bridging the Divide? Theories ForIntegrating Competition Law And

Consumer Protection”, European Competition Journal (Winter 2010), hlm.1.

17 Katalin Cseres, “The Hungarian Cocktail of Competition Law and Consumer Protection: Should It Be Dissolved?” Journal of Consumer Policy 27: 43–74, 2004, Netherland:

13

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN...

Other countries such as the Netherlands enriched their Civil Codes by adding consumer protection rules. The Nordic countries turned their unfair competition legislation into consumer-oriented marketing legislation in the 1970s. They created a general prohibition specially focused on consumers in their market law.

Meskipun tujuan dari kedua kebijakan tersebut pada prinsipnya sama, kebijakan persaingan adalah lebih proaktif dalam mempromosikan kepentingan konsumen di pasar, sementara kebijakan perlindungan konsumen utamanya lebih mendorong suatu agenda reaktif untuk melindungi kepentingan konsumen dan memberikan akses untuk memperoleh ganti kerugian atas penyalahgunaan pelaku usaha.18 Sebagaimana dikatakan juga oleh Thomas B. Leary:19 hukum persaingan usaha, di samping ditujukan untuk menjaga agar persaingan sehat antar pelaku usaha tetap terjaga dan menciptakan efisiensi dalam bisnis, tujuan lainnya adalah melindungi kepentingan dan mewujudkan kesejahteraan konsumen. Lebih lanjut ia menyatakan :

“Both competition law and consumer protection law deal with distortions in the market-place, which is supposed to be driven by the interaction between supply and demand. Antitrust offenses, like price fixing or exclusionary practices, distort the supply side because they restrict supply and elevate prices. Consumer protection offenses, like deceptive advertising, distort the demand side because they create the impression that a product or service is worth more than it really is. In other words, both sets of offenses can be analyzed in economic terms, and appreciation of this nexus will help to resolve some apparent tensions”.

18 Trade and Development Board UNCTAD-Commission on Trade in Goods and Services and Commodities. 2001, Expert Meeting on Consumer Interests, Competitiveness,

Competition and Development, Geneva, 17-19 October 2001, hlm. 6.

19 Thomas B. Leary. 2005,“Competition Law And ConsumerProtection Law: Two Wings Of The Same House” Antitrust Law Journal, American Bar Association, Vol. 72, hlm.1147-1148.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dalam perspektif perlindungan konsumen, kedudukan pelaku usaha pada umumnya (terlebih pelaku usaha jasa keuangan) relatif lebih kuat dan dominan ketimbang konsumen. Sebagai pihak yang tidak mengetahui seluk beluk proses dan hasil suatu produk barang dan atau jasa, konsumen (sekalipun dirugikan) seringkali harus ‘nrimo’ atau menerima apa adanya atas barang dan atau pelayanan jasa yang diterimanya.20 Sebaliknya pelaku usaha, karena pengetahuan atas produk dan daya tawarnya yang lebih tinggi, dapat menggunakan kelebihannya itu untuk dapat berkelit dan menghindar dari tanggung jawabnya. Hal ini yang kemudian menjadikan ketidakseimbangan kedudukan (bargaining position) konsumen dan pelaku usaha pada umumnya. Konsumen ada dalam posisi yang lemah. Kelemahan konsumen ini bahkan dinyatakan dan diakui secara internasional dan termuat dalam UN Guidelines on Consumer Protection (UNGCP) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. A/C.2/54/L.24, 9 April 1985, sudah direvisi tahun 1999, dan terakhir direvisi tahun 2015 yang menyatakan bahwa:21

“Taking into account the interests and needs of consumers in all Member States, particularly in developing ones, recognizing that consumers often face imbalances in economic terms, educational levels and bargaining power and bearing in mind that consumers should have the right of access to non-hazardous products, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development and environmental protection,…”

20 Kondisi ini secara umum terjadi, tidak hanya di Indonesia. Banyak kejadian konsumen dirugikan namun jarang yang mengupayakan ganti kerugian. Berbagai alasan muncul kenapa konsumen tidak mengambil langkah atau tindakan hukum untuk itu. Padahal UU Perlindungan Konsumen di hampir semua negara sudah mengakui hak-hak (hukum) konsumen. Jadi proses hukum di pengadilan yang menyangkut sengketa konsumen hanya mewakili sebagian kecil dari banyaknya sengketa konsumen yang terjadi. Studi Vidmar menunjukkan jumlahnya hanya 5% dari kasus yang ada. Lihat: Nicole L’Heureux, “Effective consumer acces to justice: class actions” dalam Journal of Consumer Policy; 1992:15, 4; Pro Quest, hlm. 445.

21 UNCTAD, United Nations Guidelines for Consumer Protection, New York and Geneva, 2016, hlm. 6.

15

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN...

Tujuan UNGCP ini adalah untuk:22

1. Membantu negara-negara dalam mencapai atau memelihara perlindungan yang memadai bagi penduduk mereka sebagai konsumen;

2. Memfasilitasi pola-pola produksi dan distribusi yang responsif terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen;

3. Mendorong derajad kode etik yang tinggi bagi mereka yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang dan jasa untuk konsumen;

4. Membantu negara-negara dalam membatasi praktik bisnis yang kasar (abusive) oleh semua perusahaan baik di tingkat nasional maupun internasional yang berdampak buruk bagi konsumen;

5. Memfasilitasi pengembangan kelompok-kelompok konsumen yang independen;

6. Kerjasama internasional yang lebih jauh di bidang perlindungan konsumen;

7. Mendorong pengembangan kondisi pasar yang memberikan konsumen pilihan yang lebih banyak dengan harga yang lebih rendah;

8. Mempromosikan pola konsumsi yang berkelanjutan (sustainable consumption)

Yang mesti dipenuhi melalui UNGCP ini meliputi:23

1. Akses konsumen terhadap barang-barang dan jasa penting/paling diperlukan;

2. Perlindungan konsumen yang rentan dan kurang beruntung;

3. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya bagi kesehatan dan keamanan mereka;

22 UNCTAD, Ibid., hlm.6

4. Mempromosikan dan melindungi kepentingan ekonomi konsumen;

5. Akses konsumen terhadap informasi yang memadai yang memungkinkan mereka membuat pilihan informasi menurut keperluan dan keinginan individual;

6. Pendidikan konsumen, termasuk pendidikan atas konsekuensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari pilihan konsumen;

7. Tersedianya penyelesaian sengketa konsumen dan pemberian ganti rugi yang efektif;

8. Kebebasan membentuk kelompok konsumen atau organisasi lain yang relevan dan kesempatan untuk organisasi tersebut menyampaikan pandangan mereka dalam proses pengambilan kebijakan yang mempengaruhi mereka;

9. Mempromosikan pola konsumsi berkelanjutan;

10. Tingkat perlindungan bagi konsumen yang menggunakan perniagaan elektronik (e-commerce) yang tak kalah dengan yang diberikan dalam bentuk perdagangan lainnya;

11. Perlindungan privasi konsumen dan arus informasi global yang bebas;

Tampak bahwa akses konsumen untuk memperoleh informasi yang cukup sebagai dasar pilihan-pilihan mereka, merupakan salah satu hal penting untuk diwujudkan. Di samping itu, juga didorong perlunya merealisasikan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif yang memungkinkan konsumen dapat secara cepat memperoleh ganti kerugian. Oleh karena itu, dalam perspektif perlindungan konsumen pada umumnya dan konsumen jasa keuangan pada khususnya, ada beberapa hal yang harus ada yakni: (1) standar mekanisme pengaduan konsumen; (2) lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang independen; (3)

17

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN...

standar transparansi informasi produk (sejak proses penawaran sampai dengan layanan purna jual); dan (4) program peningkatan kapasitas/edukasi konsumen.

Landasan teori utama dalam mengembangkan legislasi di bidang perlindungan konsumen seringkali mendasarkan pada tiga kategori umum yaitu:24

(1) Kebijakan terhadap kegagalan pasar atau menciptakan pasar yang efisien bagi barang dan/jasa konsumen; (2) Mendorong tujuan-tujuan etis (advancing ethical goals) (3). Perlindungan paternalistik konsumen (paternalist

protection of the consumer)

Dalam hal ini pemerintah suatu negara harus yakin bahwa masalah perlindungan konsumen adalah masalah serius dan signifikan sehingga diperlukan adanya kebijakan perlindungan konsumen. Mengenai hal ini, Charles E. F. Rickett dan Thomas G. W. Telfer menyatakan bahwa:25

“An essential first step in determining whether there is a consumer protection problem should be to characterise the market in question as either competitive, imperfectly competitive, or non-competitive (the case of monopoly). In very imperfectly competitive or non-competitive markets, problems of consumer protection may be in significant measure problems that have to be addressed through competition policy or economic regulation.”

Kebijakan perlindungan konsumen tersebut makin diperlukan seiring dengan berbagai kelemahan yang melekat pada diri konsumen. Mengenai hal ini Nicole L’Heureux menyatakan ada 3 (tiga) persoalan yang dihadapi konsumen: pertama, tidak adanya kesadaran konsumen bahwa mereka mempunyai hak (hukum) yang dapat dimanfaatkan; kedua, banyak konsumen

24 A. Brooke Overby, “An Institutional Analysis of Consumer Law”, Vanderbilt Journal of

Transnational Law, Volume 34 November 2001 Number 5, hlm.5.

25 Charles E. F. Rickett dan Thomas G. W. Telfer, 2003. Intemational Perspectives on

tidak tahu bagaimana merumuskan tuntutan mereka; ketiga, keengganan mereka untuk membawanya ke pengadilan.26

B. Pentingnya Kebijakan Perlindungan Konsumen Jasa