• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasulullah Memanggilmu

Rasulullah s.a.w. meminta dengan sangat kepada kaum Muslimin agar selamanya ingat bahwa Allah s.w.t. itu Maha Agung dan mendoa kepada Dia untuk menyelamatkan mereka dari ketakhayulan- ketakhayulan kaum-kaum yang terdahulu. Sebelum lasykar Muslim tiba di Hunain, Kaum Hawazin dan sekutunya telah menyiapkan beberapa tempat penghadangan yang dari di situ dapat menyerang kaum Muslimin, seperti lubang perlindungan dan kedudukan-kedudukan penembak yang disamarkan seperti pada perang modern. Mereka telah mendirikan dinding-dinding di sekeliling tempat-tempat itu. Di belakang dinding- dinding itu para prajurit bertiarap menunggu kedatangan kaum Muslimin. Suatu jalan sempit dibiarkan untuk jalannya kaum Muslimin. Bagian terbesar lasykar ditempatkan dalam penghadangan-penghadangan itu, sedangkan hanya sedikit dijajarkan di hadapan unta-unta mereka. Kaum Muslimin menyangka jumlah musuh tidak lebih banyak daripada yang mereka lihat. Maka mereka menyerbu dan menyerang. Ketika mereka

sudah maju jauh ke muka, dan musuh yang ditempatkan di dalam persembunyian memandang jangkauannya cukup dekat untuk menyerang dengan mudah, prajurit yang membentuk deretan di hadapan unta menyerbu pusat kekuatan lasykar Muslim, sedang penembak-penembak tersembunyi menghujani sayap samping dengan panah. Kaum Mekkah, yang telah ikut serta hendak memamerkan keberanian mereka tidak dapat bertahan terhadap serangan gabungan musuh. Mereka kalang kabut lalu melarikan diri ke Mekkah. Kaum Muslimin sudah biasa menghadapi keadaan-keadaan yang pelik, tetapi ketika dua ribu prajurit berkuda dan unta menerobos lasykar Muslim, binatang-binatang kaum Muslimin pun ikut panik. Timbullah kekacauan dalam lasykar Muslim. Tekanan datang dan tiga jurusan dan mengakibatkan kekacauan umum. Dalam panik itu hanya Rasulullah s.a.w. dengan dua belas Sahabat tetap tegar. Ini tidak berarti bahwa semua Sahabat melarikan diri dari medan perang. Kira- kira seratus orang masih tetap berada di medan pertempuran, tetapi mereka itu ada pada jarak yang agak jauh dari Rasulullah s.a.w.. Hanya dua belas yang ada di sekitar Rasulullah s.a.w.. Seorang Sahabat meriwayatkan bahwa ia dan kawan-kawannya memeras tenaga untuk memacu tunggangan mereka ke medan pertempuran. Tetapi, binatang mereka telah dikejutkan oleh paniknya binatang-binatang orang-orang Mekkah. Tak ada usaha tampaknya dapat mengatasi situasi. Mereka menyentak-nyentak kendali binatang tunggangan, tetapi binatang- binatang itu tidak mau kembali. Kadang-kadang mereka sentakkan begitu kerasnya kepala binatang mereka sehingga hampir-hampir kepalanya menyentuh ekor mereka. Tetapi, ketika mereka pacu binatang itu dengan taji sepatu, binatang itu tak mau bergerak ke muka. Malahan sebaliknya, mereka bergerak mundur. “Hati kami berdebar-debar dalam ketakutan, khawatir akan keselamatan Rasulullah,” kata Sahabat itu, “tetapi tidak ada yang dapat kami perbuat.”

Demikianlah keadaan para Sahabat ketika itu.

Rasulullah s.a.w. sendiri, berdiri dengan sekelompok kecil prajurit, menjadi sasaran hujan panah dari tiga jurusan. Tinggal hanya satu jalan sempit di belakang mereka untuk dapat dilalui oleh beberapa orang pada satu waktu. Pada saat itu Abu Bakar turun dari tunggangannya dan memegangi kendali bagal Rasulullah s.a.w. sambil

berkata, “Ya Rasulullah, marilah kita mengundurkan diri untuk sementara dan menunggu lasykar Muslim berkumpul kembali.

“Lepaskan kendali bagalku, hai Abu Bakar,” sabda Rasulullah s.a.w.

Sambil berkata demikian, beliau memacu binatang itu dan memasuki jalan sempit yang di kanan-kirinya terletak penghadangan- penghadangan musuh yang dari sana para penembak melepaskan panah. Ketika Rasulullah s.a.w. memacu binatang tunggangannya, beliau bersabda, “Aku seorang Nabi. Aku bukan pendusta. Aku anak Abdul- Muthalib” (Bukhari). Kata-kata yang diucapkan pada saat sangat berbahaya bagi diri beliau sendiri itu, sarat dengan arti. Kata-kata itu menekankan kenyataan bahwa Rasulullah s.a.w. itu benar-benar seorang Nabi, seorang Rasul yang benar. Dengan menekankan hal itu, beliau bermaksud mengatakan bahwa beliau tidak takut mati atau takut misi beliau akan gagal. Tetapi, kendati pun dihujani panah oleh para pemanah musuh, beliau selamat dan terpelihara, kaum Muslimin tidak boleh membanggakan kepada beliau menyandang sifat-sifat uluhiyyat. Sebab, beliau hanyalah manusia biasa, anak Abdul Muthalib. Alangkah hati-hati Rasulullah s.a.w. senantiasa mengesankan kepada para pengikut beliau mengenai perbedaan antara iman dan ketakhayulan. Sesudah mengucapkan kata-kata bersejarah itu, Rasulullah s.a.w. memanggil Abbas. Abbas mempunyai suara yang kuat. Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya, “Abbas, kumandangkan suaramu dan peringatkan kaum Muslimin akan sumpah di bawah pohon di Hudaibiya dan apa yang diajarkan kepada mereka pada saat turun Surah Al-Baqarah. Katakan kepada mereka, Rasulullah memanggil mereka”, Abbas mengerahkan suaranya yang kuat itu. Seruan Rasulullah s.a.w. membahana bagaikan guntur, bukan mengenai telingga yang pekak tetapi telinga yang peka. Pengaruhnya laksana sentakan listrik. Sahabat-sahabat yang merasa dirinya tidak berdaya untuk memacu binatang mereka ke arah medan pertempuran, sekonyong-konyong merasa seolah-olah tidak ada lagi di dunia ini tetapi di akhirat di hadapan Tuhan di Hari Pembalasan. Suara Abbas tak kedengaran seperti suaranya sendiri, melainkan suara malaikat memanggil mereka mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan mereka. Maka tiada sesuatu yang dapat menahan mereka untuk kembali

ke medan pertempuran. Banyak di antara mereka yang turun dari binatang tunggangan mereka, dan hanya dengan pedang dan perisai di tangan terjun ke medan pertempuran, dan membiarkan binatang tunggangannya pergi ke mana mereka suka. Yang lainnya turun dari tunggangan mereka, memenggal kepala binatang mereka dan menuju Rasulullah s.a.w. dengan berjalan kaki. Diriwayatkan bahwa kaum Anshar pada waktu itu berlari menuju Rasulullah dengan kecepatan seperti seekor induk unta atau induk sapi berlari ke arah anaknya karena mendengar jeritannya. Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w. telah dikerumuni oleh para Sahabat yang besar jumlahnya, kebanyakan Anshar. Musuh mengalami kekalahan lagi.

Hadirnya Abu Sufyan di samping Rasulullah s.a.w. pada hari ini merupakan suatu tanda agung. Tanda kekuasaan Tuhan di satu pihak, dan contoh daya pensucian Rasulullah s.a.w. di pihak lain. Beberapa hari sebelumnya, Abu Sufyan, musuh Rasulullah s.a.w., si panglima yang haus darah, bertekad bulat membinasakan kaum Muslimin. Tetapi di sini, pada hari ini, Abu Sufyan itu juga berdiri di samping Rasulullah s.a.w., selaku seorang kawan dan pengikut, pula Sahabat. Ketika unta-unta musuh dan lawan menjadi kalang-kabut, Abu Sufyan, seorang panglima bijaksana dan berpengalaman, melihat bahwa kudanya juga telah kehilangan akal dan akan lari tak terkendalikan. Segera ia turun, dan sambil memegang sanggurdi bagal Rasulullah s.a.w. ia maju dengan berjalan kaki.

Dengan pedang terhunus di tangannya, ia berjalan di samping Rasulullah s.a.w. dengan tekad bulat tidak akan membiarkan siapa pun mendekati pribadi Rasulullah s.a.w. tanpa lebih dahulu menyerang dan membunuh dirinya. Rasulullah s.a.w. mengamati perubahan dalam diri Abu Sufyan itu dengan rasa gembira dan heran. Ia mencerminkan bukti baru dan segar mengenai kekuasaan Allah s.w.t.. Hanya sepuluh atau lima belas hari sebelum itu, orang tersebut membina sebuah pasukan untuk mengakhiri dan memusnahkan Gerakan Islam. Tetapi, suatu perubahan telah terjadi. Seorang panglima musuh sebelum itu, sekarang berdiri di samping Rasulullah s.a.w., sebagai seorang prajurit biasa yang berjalan kaki, memegang kendali bagal tuannya dan bertekad baja untuk mati dalam membela kepentingan tuannya. Abbas melihat pandangan

heran Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Ya, Rasulullah, itulah Abu Sufyan, anak paman anda jadi saudara anda juga. Tidakkah anda merasa senang kepadanya?”

“Aku senang,” sabda Rasulullah s.a.w., “dan aku mendoa, semoga Tuhan mengampuni segala kesalahan yang telah diperbuatnya.”

Kemudian, sambil berpaling kepada Abu Sufyan, beliau bersabda, “Saudara!” Abu Sufyan tidak dapat menahan keharuan cinta yang menggumpal di dalam hatinya. Ia membungkuk dan mencium kaki Rasulullah s.a.w. pada sanggurdi yang dipegangnya (Halbiyya).

Seusai Perang Hunain, Rasulullah s.a.w. mengembalikan alat- alat perang yang diterima beliau sebagai sewaan. Pada waktu mengembalikan, beliau memberikan imbalan berlipat kali kepada orang- orang yang meminjamkannya. Mereka yang meminjamkannya sangat terharu oleh perhatian dan kemurahan yang ditunjukkan Rasulullah s.a.w. waktu pengembalian alat-alat itu dan memberikan imbalan kepada orang-orang yang meminjamkannya. Mereka merasakan benar-benar bahwa Rasulullah s.a.w. bukan orang biasa, melainkan seorang yang derajat akhlaknya jauh lebih tinggi daripada orang lain. Tidak mengherankan kalau Safwan segera masuk Islam.

Musuh Kental Menjadi Pengikut Yang Mukhlis