cenderung berfluktusasi dimana tidak ada kenaikan atau penurunan nilai yang berpola selama masa penyimpanan.
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Rata-rata nilai wettability selama penyimpanan
sampel A (putih) sampel B (putih) sampel C (putih)
sampel D (coklat) sampel E (coklat) sampel F (coklat)
D
e
ti
k
Gambar 10. Grafik rata-rata nilai wettability selama 18 bulan masa simpan
Dari data nilai wettability yang didapat selama 18 bulan dengan 6 kali uji tiap jenis sampelnya, dilakukan pengamatan dan dibandingkan tiap sampelnya. Pengamatan
dilakukan dengan merata-rata nilai tiap sampel karena nilai wettability cenderung
tidak konsisten dan berfluktuasi seiring bertambahnya umur simpan. Sehingga dirasa dengan merata-rata nilai, maka akan lebih mudah untuk mengamati perbedaan nilai wettability antara jenis susu bubuk cokelat dan putih. Dapat dilihat pada grafik Gambar 10. bahwa sampel A, B, dan C yang adalah jenis susu bubuk
putih memiliki rerata nilai wettability berkisar antara 10 – 20 detik. Sedangkan sampel D, E, dan F yang adalah jenis susu bubuk cokelat memiliki rerata nilai wettability lebih dari 60 detik.
5.5. Pembahasan
Kemampuan hidrasi dari suatu bubuk dalam air merupakan salah satu sifat yang sangat penting dalam industri pangan yang mengolah produknya melalui proses dehidrasi atau pengeringan. Karena biasanya produk jenis ini akan dihidrasi sebelum dikonsumsi. Kemampuanrehidrasidariminumanbubukyangmengandungcokelat
merupakan faktor yang sangat penting dalam penerimaannya oleh konsumen, karena merupakanpenentu kualitasakhir produk sebelum dikonsumsi (Aliakbarianet al., 2017). Begitu pula dengan susu cokelat bubuk yang diproduksi oleh PT. Frisian Flag
Indonesia yang mengandung komponen cokelat bubuk didalamnya. Sehingga wettability menjadi salah satu parameter yang diuji dalam penentuan masa simpan produk susu bubuk di PT. Frisian Flag Indonesia.
Secara umum terdapat tiga fase rehidrasi, yaitu wetting, dispersion, dan solubilisation. Kemampuan rehidraasi ini dipengaruhi oleh komposisi dari bubuk itu sendiri, afinitas komponen bubuk dengan air, aksesibilitaskomponen bubuk olehair
(porositas dan kapilaritas), serta kondisi rehidrasi (pengadukan, suhu, dan
konsentrasi yang menyebabkan kejenuhan) (Jeantetet al., 2010). Ketiga fase rehidrasi ini saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika protein dalam bubuk menyerap air maka akan terjadi pembengkakan. Setelah pembengkakan ini terjadi
maka bubuk akan terurai menjadi bagian atau partikel yang lebih kecil. Partikel-partikel ini akan menyebar atau yang disebut sebagai terdispersi. Dispersibilitas dari bubuk ini berbanding lurus dengan kemampuannya untuk terpecah menjadi partikel yang lebih kecil. Partikel yang lebih kecil ini akan lebih mudah bereaksi sehingga mempengaruhi kemapuan keterbasahan dan kelarutannya.
Wettability index (WI) dinyatakan dalam waktu (detik) yang dibutuhkan oleh bubuk
dalam jumlah tertentu untuk menembus permukaan air yang tenang. Prinsipnya adalah hasil dari rehidrasi bubuk tanpa pengadukan. Air yang digunakan memiliki
suhu 18-20°C atau suhu ruang. Suhu air ini harus diperhatikan karena
mempengaruhi dinamika rehidrasi, dimana suhu yang tinggi dapat meningkatkan wettability dari beberapa bahan seperti cokelat dan bubuk dengan kandungan lemak
tinggi. Jika bubuk memiliki WI < 120 detik artinya memiliki kemampuan untuk terbasahi. Sedangkan jika WI > 120 detik artinya tergolong non-wettable powders. Dalam bidang dairy, bubuk dengan WI < 60 detik tergolong wettable. Sedangkan bubuk dengan WI < 30 detik tergolong sangat wettable. Bubuk dengan kemampuan
keterbasahan yang buruk cenderung untuk mengapung di permukaan air dan
mempengaruhi kehidrofobikan bubuk tersebut sehingga juga berdampak pada wetting behaviour-nya dengan air. Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa sifat
fisik dari bubuk itu sendiri seperti ukuran partikel, densitas, porositas, morfologi dapat mempengaruhi wetting behaviour. Semakin besar ukuran partikel bubuk maka wetting behaviour-nya semakin baik. Hal ini dikarenakan jarak antar partikel juga semakin besar sehingga air dapat lebih mudah masuk ke sela-sela.
Solubility dan wettability merupakan dua hal yang berbeda, walaupun masyarakat
awam sering menganggap dua hal ini sama. Solubility index merupakan ukuran kemampuan suatu bubuk untuk larut dalam air yang ditentukan dari hasil (lama waktu) untuk terehidrasi setelah mengalami pengadukan.
Dari Gambar 10., dapat dilihat bahwa sampel A, B, dan C yang merupakan jenis susu bubuk putih memiliki rata-rata nilai wettability antara 10 – 20 detik. Sedangkan
sampel D, E, dan F yang merupakan jenis susu bubuk cokelat memiliki rata-rata nilai wettability lebih dari 60 detik. Dari Tabel 2. Dapat dilihat bahwa nilai wettability selama penyimpanan tidak terbentuk pola tertentu dimana dapat
disimpulkan bahwa umur simpan tidak berpengaruh terhadap nilai wettability. Tetapi harus diperhatikan bahwa data umur simpan ini dilakukan pada suhu ruang (30°C) atau suhu normal yang tidak ekstrim. Sehingga dapat dimungkinkan adanya
pengaruh suhu ekstrim terhadap nilai wettability. Maka dari teori diatas dapat
disimpulkan bahwa susu bubuk putih tergolong sangat wettable sedangkan susu
bubuk cokelat tergolong non-wettable powders atau memiliki wetting behaviour yang buruk.
Susu bubuk cokelat dan susu bubuk putih memiliki komposisi yang hampir sama. Jika bahan bakunya dibandingkan maka dapat dilihat bahwa perbedaannya ada pada
penambahan bubuk cokelat pada komposisi susu bubuk cokelat. Hal ini juga didukung oleh pernyataan pada SNI nomor 3752 tahun 2009 tentang Susu Cokelat Bubuk, bahwa susu cokelat bubuk adalah susu bubuk yang ditambah dengan bubuk cokelat. Maka, bubuk cokelat ini lah yang menyebabkan nilai wettability susu bubuk cokelat menjadi lebih tinggi.
Berdasarkan SNI 3747 tahun 2009 tentang kakao bubuk, syarat mutu kakao bubuk
dari segi kadar lemak (b/b) adalah minimal 10%. Kadar 10% ini menunjukkan bahwa bubuk cokelat mengandung lemak yang tergolong tinggi. Seperti sudah
dikatakan sebelumnya bahwa bubuk dengan kandungan protein atau lemak yang tinggi memiliki WI > 120 detik. Sehingga data yang didapat sudah sesuai dengan
teori. Penyebab perbedaan wetting behaviour dapat disebabkan karena perbedaan komposisi, ukuran partikel, dan densitas, karena semua hal itu mempengaruhi nilai WI dari bubuk tersebut.
Fitzpatrick et al., (2017) dalam jurnalnya yang berjudul Characterisation of the Wetting behaviour of Poor Wetting Food Powders and the Influence of Temperature and Film Formation, membuktikan bahwa bubuk cokelat memiliki wettability yang buruk. Dimana wettabillity-nya hanya mencapai 50% setelah 60 menit. Wettability yang buruk ini disebabkan oleh komposisi dalam bubuk cokelat dimana lemak yang terkandung dalam bubuk cokelat mencapai 6%. Ukuran partikel dan densitas bubuk
cokelat tergolong tidak terlalu rendah, sehingga tidak terlalu berkontribusi dalam
penyebab keterbasahannya yang buruk. Bubuk dengan kemampuan keterbasahan yang buruk bisasanya membentuk gumpalan dan partikel yang mengapung di permukaan. Hal ini disebabkan oleh permukaan yang hidrofobik dan pembentukan
lapisan film. Semakin kuat lapisan film yang terbentuk maka akan membuat gumpalan semakin sulit larut, bahkan setelah pengadukan.
Menurut Schucket al,(2012), minuman bubuk yang baik seharusnya dapat larut
secara sempurna dalam air setelah mengalami pengadukan dan tidak memiliki
partikel-partikel yang mengapung di permukaan. Seperti sudah dikatakan
sebelumnya bahwa pada susu bubuk cokelat, komposisi lemak yang terkandung dalam bubuk cokelat adalah penyebab utama buruknya nilai keterbasahan produk.
Kandungan lemak ini tidak bisa untuk diturunkan atau dihilangkan kadarnya.
Karena kandungan lemak merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi kualitas bubuk cokelat. Sehingga, untuk memperbaiki nilai wettability ini yang dapat
mempermudah masuknya air ke sela-sela partikel. Spray drying merupakan
alternatif yang dapat diterapkan dalam merekonstitusi komponen-komponen pada
susu cokelat bubuk. Spray drying dapat mempengaruhi komponen permukaan partikel sehingga lebih mudah berkontak dengan air. Penambahan lesitin yang
berperan sebagai emilsifier saat proses spary drying juga dapat memperbaiki
wettability susu cokelat bubuk. Penambahan maltodekstrin juga dapat membantu
melindungi partikel selama spary drying serta menyeragamkan ukuran partikel. Semua upaya ini sudah dilakukan oleh PT. Frisian Flag Indonesia untuk
memperbaiki nilai wettability produk susu cokelatnya. Tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menetapkan kadar lesitin atau emulsifier lainnya sehingga wettability produk susu cokelat dapat berada dibawah nilai 60 detik.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kemampuan rehidrasi minuman bubuk dalam air merupakan faktor yang sangat penting dalam penerimaan produk oleh konsumen. Sehingga wettability menjadi
salah satu parameter yang diuji dalam penentuan masa simpan produk susu bubuk di PT. Frisian Flag Indonesia.
Susu bubuk cokelat tergolong non-wettable powders karena memiliki WI > 120 detik. Sedangkan susu bubuk putih tergolong sangat wettable karena memiliki WI < 30 detik.
Komponen lemak yang terkandung dalam bubuk cokelat adalah faktor yang
paling mempengaruhi nilai wettability susu bubuk cokelat. Sedangan ukuran
partikel dan densitas bubuk cokelat tergolong tidak terlalu rendah, sehingga tidak terlalu berkontribusi pada nilai wettability.
Penambahan perlakuan spary drying, penambahan maltodekstrin, dan
penambahan emulsifier dapat membantu memperbaiki wettability dari susu bubuk cokelat.
6.2.Saran
Secara keseluruhan, PT. Frisian Flag Indonesia sudah melakukan banyak inovasi
dan peningkatan mutu kualitas produk susunya. Upaya untuk memperbaiki nilai
wettability produk susu bubuk cokelat juga sudah dilakukan guna memenuhi
kepuasan komsumen. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan
nilai wettability menjadi < 60 detik. Untuk pengujian wettability sebaiknya dilakukan hingga tuntas sampai semua bubuk tenggelam secara sempurna agar ada
angka pasti dari wettability. Dengan begitu upaya yang dilakukan untuk
memperbaiki wettability dapat benar-benar terlihat. Bukan hanya berpatok pada
angka dibawah 60 detik saja. Sehingga evaluasi dari perubahan-perubahan yang ternyata bisa menurunkan nilai wettability dapat dikembangkan secara optimal.
7. DAFTAR PUSTAKA
Aliakbarian, B., Casazza, A. A., Nani, A., dan Perego, P. 2017. Production of Chocolate
Powdered Beverage with Enhanced Instant Properties Chemical Engineering. Transaction Vol 57. Diakses dari : http://www.aidic.it/cet/17/57/147.pdf
Aminah S. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan GiziVol 01 (1). Diakses dari: https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JPDG/article/view/141
Arif, A. B. 2016. Metode Accelerated Shelf Life Test (ASLT) dengan Pendekatan
Arrhenius dalam Pendugaan Umur Simpan Sari Buah Nanas, Pepaya, dan
Cempedak. Informatika Pertanian Vol. 25 (2): 189-198. Diakses dari: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/IP/article/view/8474
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 3747:2009 Kakao Bubuk. Jakarta. Diakses dari: https://www.scribd.com/doc/265531205/SNI-3747-2009-Kakao-Bubuk
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 3752:2009 Susu Cokelat Bubuk. Jakarta.
Diakses dari: https://www.slideshare.net/murnifitrifatimah/sni-3752-2009-susu-bubuk-coklat
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: 31 tentang Pengawasan Formula Pertumbuhan. Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta. Diakses dari: http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=TLXpA
%2FORfbwcPjLTLIlOEu4%2BGauQ%2FwSJGD8iTAqjLZ8%3D
Canadian Dairy Commission_a. 2017. Skim Milk Powder. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=192 (diakses pada 14 Maret 2018)
Canadian Dairy Commission_b. 2017. Whole Milk Powder. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=196 (diakses pada 14 Maret 2018)
Canadian Dairy Commission_c. 2017. Buttermilk powder. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=172 (diakses pada 14 Maret 2018)
Canadian Dairy Commission_d. 2017. Milk Protein Concentrate. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=184 (diakses pada 14 Maret 2018)
Canadian Dairy Commission_e. 2017. Whey Protein Concentrate. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=195 (diakses pada 14 Maret 2018)
Kim, J. dan Vipulanandan C. 2003. Effect of pH, sulfate and sodium on EDTA titration
of calcium.Cement and Concrete research 33: 621-627. Diakses dari: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0008884602010438
Fitzpatrick, J. J., Salmon, J., Ji, J., dan Miao, S. 2017. Characterisation of the Wetting Behaviour of Poor Wetting Food Powders abd the Influence of Temperature and Film Formation KONA Powder and Particle Journal No. 34: 282-289.. Diakses dari: https://www.kona.or.jp/jp/journal/pdf/2017/22_34_2017.pdf
Immaningsih, N. 2013. Pengaruh Suhu Ruang Penyimpanan Terhadap Kualitas Susu Bubuk. Jurnal Agrointek. Vol 7(1). Diakses dari: http://journal.trunojoyo.ac.id/agrointek/article/view/2043
Jeantet, R., Schuck, P., Six, T., Andre, C., dan Delaplace, G. 2010. The Influence of Stirring Speed, Temperature, and Solid Concentration on the Rehydration Time
of Micellar Casein Powder Dairy Science and Technology Vol 90: 225-236.. Diakses dari: https://link.springer.com/article/10.1051/dst/2009043
Raharjo, S. 2008. MelindungiKerusakanOksidasi padaMinyakSelamaPenggorengan
dengan Antioksidan . Foodreview Indonesia Vol.III, No.4. http://foodreview.co.id/blog-55885-Melindungi-Kerusakan-Oksidasi-pada-minyak-selama-Penggorengan-dengan-antioksidan.html (diakses pada 13 Maret 2018)
Schuck, P,. Dolivet, A., dan Jeantet, R.2012. analytical Method for Food and Dairy
Powders. Fisrt Edition. Diakses dari:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/book/10.1002/9781118307397
Smith, G. 2003. Dairy Processing Improving Quality.CRC Press. New York. Diakses dari: https://books.google.co.id/books? id=TBKkAgAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Dairy+Processing+1st+Edition &hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiU9KPWrq_bAhVLU30KHX_kAVIQ6AEIJzA A#v=onepage&q&f=false
Stapelfedt, H., B. R. Nielsen, dan L. H. Skibsted. Effect of Heat Treatment, Water
Activity and Storage Temperature on the Oxidative Stability of Whole Milk Powder. Int. Dairy Journal Vol. 7 (5): 331-339. Diakses dari: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0958694697000162
8. LAMPIRAN 8.1. Uji Plagiasi