14.M1.0026 Valensia.docx 0.12%
uts-1.pdf.pdf 0.12%
RIZKI AMALIA WIDAYANTI-AUDIT-9 MEI.docx 0.12%
RESKY OKTAVIA-AUDIT-11 MEI.doc 0.12%
Theresia Marttiana Woro Sugerti-20 MARET.docx 0.12%
THERESIA MARTTIANA-21 MARET.docx 0.12%
JEREMIA-18 FEB.docx 0.12%
KARTIKA-14 MARET (1).docx 0.12%
KARTIKA-14 MARET.docx 0.12%
KARTIKA-10 MARET.docx 0.12%
ANNISA-8 MARET.docx 0.12%
14.E1.0057 Stefanny Julianto.docx 0.12%
Jurnal_Penelitian_Baru.pdf 0.12%
13.50.0010-YOSUA IVAN PURNAMA.docx 0.12%
ALEXANDER ARDIAN 13.30.0024-9 JAN.doc 0.12%
14.G1.0227 - HOLLY ANGGRAENI SUDHONO-11 DES.doc 0.12%
14.D3.0021 Elia Resha Fatmawati-23 NOV.docx 0.12%
ANGELA-SKRIPSI (revisi ujian).docx 0.12%
12.60.0267 -Rananda Kusuma-30 MEI.docx 0.12%
Library omitted sources: 1 source found
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang juga dikenal sebagai negara agraris.
Dengan adanya tanah yang subur dan iklim tropis yang mendukung, Indonesia
memilikiprospek yangsangatbaik dalam bidangpertanian. Sayangnya, walaupun
Indonesia memilikisumberdaya alamyang melimpah,tanahyangluasdan subur,
kita masih belum bisa memberdayakan hal-hal tersebut dengan maksimal, efektif,
dan efisien.
Pada era globalisasi saat ini, dunia berkembang sangat pesat dimana produk,
pemikiran, aspek kebudayaan dan informasi lainnya mudah diakses dari segala
pejuru dunia. Era ini memungkinkan kita untuk mengembangkan diri dalam
berbagai kehidupan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dunia.
Peningkatan kualitas hidup ini ditunjang dari berbagai aspek, mulai dari aspek
teknologiterutamadalambidangpangan. Halinidikarenakanpopulasimasyarakat
dunia semakin meningkat tetapi tidak diimbangi dengan kecukupan kuantitas dan
kualitas bahan pangan. Sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, kami dituntut untuk memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang luas terhadap teknologi terkini dan globalisasi
terutama dalam bidang pangan dan gizi.
Pengetahuan mengenai bahan pangan beserta gizi telah kami dapatkan selama
perkuliahan,namunpengetahuan yangkamiterimahanya berupateoridanpraktek
dalam bentuk kegiatan praktikum, serta Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Namun
kami menyadari bahwa ilmu yang kami dapatkan selama perkuliahan, baik teori
maupun praktek belum cukup untuk memenuhi tuntutan perkembangan teknologi
yang pesat terutama dalam dunia kerja industri pangan. Oleh karena itu kami
membutuhkan praktek yang sesungguhnya melalui Kerja Praktek (KP) sehingga
kami dapat mengetahui situasi yang nyata saat dilapangan, mendapat tambahan
Kerja Praktek (KP) merupakan salah satu mata kuliah yang wajib di ambil untuk
mahasiswa semester IV/V dalam Program Studi Teknologi Pangan. Lama kerja
dalam Kerja Praktek ini adalah minimal 20 hari kerja. Dengan adanya KP,
mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang diharapkan mampu menerapkan segala teori dasar yang telah diperoleh
selama perkuliahan saat bekerja di industri pangan, serta mampu mempersiapkan
diri untuk memasuki dunia kerja nantinya. Dengan mengikuti Kerja Praktek ini,
diharapkan mahasiswa akan lebih memahami lingkungan kerja dan dunia
keprofesiannya dalam dunia pangan. Selama Kerja Praktek, mahasiswa dapat
menerapkan secara langsung teori dan ilmu-ilmu yang telah didapatkan selama
perkuliahan. Salah satu perusahan yang relevan minat kami di bidang dairy products
terutama pada pengolahan susu adalah PT. Frisian Flag Indonesia.
PT. Frisian Flag Indonesia adalah produsen produk dairy dengan merek dagang
Frisian Flag atau susu bendera. Selama lebih dari 90 tahun Frisian Flag telah
mengembangkan berbagai macam produk bernutrisi dan berkualitas untuk segala
usia dan kalangan di Indonesia. PT. Frisian Flag sendiri mempunyai program
Gerakan Nusantara sejak tahun 2013 yang merupakan program tanggung jawab
sosial Frisian Flag yang bekerja sama dengan pemerintah untuk mengedukasi
masyarakatIndonesiaakanpentingnyamengkonsumsisususecarateratur.Program
ini menunjukkan bahwa Frisian Flag juga ingin memajukan pola pikir mayarakat
Indonesia.
1.2. Tujuan
Tujuan dari Kerja Praktek ini, antara lain:
- Menerapkan dasar-dasar teori yang telah didapatkan selama masa perkuliahan.
- Menambah wawasan dan pengetahuan terutama mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan bidang pangan.
- Mendapatkan gambaran yang nyata mengenai dunia kerja.
- Menambahpengetahuan tentangmesindanperalatanproduksiserta prinsipnya
- Mengetahui masalah – masalah yang terkait di bidang pangan yang muncul pada
saat di lapangan dan berusaha mencari solusi untuk memecahkan beberapa
masalah yang terjadi.
1.3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Kegiatan kerja praktek ini dilakukan selama 41 hari terhitung dari tanggal 02 Januari
2018 hingga 28 Februari 2018 di PT. Frisian Flag Indonesia pabrik Pasar Rebo Jl.
Raya Bogor Km. 05 Jakarta 13760. Kerja Praktek dilakukan pada hari Senin sampai
Jumat setiap minggunya. Mahasiswa ditempatkan pada departemen Penelitian dan
2. PROFIL PT. FRISIAN FLAG INDONESIA
2.1. Sejarah Singkat Perusahaan
PT. Frisian Flag Indonesia merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang
produksi dan pemasaran produk susu dengan merek “Friesche Vlag” atau yang lebih
dikenal dengan Susu Bendera, dibawah lisesnsi dari Royal Friesland Campina.
Friesland Campina adalah perusahaan multinasional yang memproduksi bebrbagai
macam produk berbahan dasar susu dan juga merupakan koperasi peternak sapi
perah terbesar dunia yang berpusat di Belanda, beranggotakan lebih dari 12.000
peternak sapi perah di Belanda, Jerman, serta memiliki lebih dari 20.000 pekerja di
100 perusahaan di seluruh dunia.
Pada tahun 1968, PT. Friesche Vlag Indonesia (FVI) didirikan melalui kemitraan
antara Cooperative Condensfabriek Friesland dan sebuah perusahaan lokal. Kantor
pertama didirikan pada tahun 19699 di Pasar Rebo. Awalnya kantor ini hanya
memasarkan produk-produk susu bendera yang diimpor langsung dari Cooperatve
Condensfabriek Friesland di Belanda yang sekarang telah berubah nama menjadi
Royal Friesland Campina. Pada tahun 1971, PT. FVI memulai produksi pertamanya
yaitu susu kental manis (sweetened condensed milk) yang dipasarkan ke seluruh
Indonesia. Seiiring dengan meningkatnya permintaan pasar, pada tahun 1977 PT.
FVI mengambil alih PT. Foremost Indonesia yang juga merupakan produsen susu
kental manis, yang sekarang menjadi PT. FFI plant Ciracas. Seiring berjalannya
waktu, PT. FVI juga terus mengembangkan produknya dengan memulai produksi
susu bubuk pada tahun 1979, susu pertumbuhan pada tahun 1988, dan susu cair
UHT pada tahun 1991.
PT. Friesche Vlag Indonesia pun kemudian berganti nama menjadi PT. Frisian Flag
Indonesia (FFI) pada tahun 2002. Beberapa perusahaan pun mulai ikut bergabung,
pada tahun 2008 Friesland Food juga memutuskan untuk bergabung dengan
Campina. Pada tahun 2010, Frieslang Flag melakukan pembaharuan logo
produknya. Perubahan logo dapat dilihat pada Gambar 1. PT. FFImenaungi kurang
lebih 6.869 karyawan di seluruh penjuru Indonesia dan mengoperasikan fasilitas
produksi di Pasar Rebo dan Ciracas, Jakarta Timur, dengan berbagai portofolio
produkseperti susucair,susububuk,dansusukentalmanisdengan merekFrisian
Flag, Omela, dan Friso.
PT. Frisian Flag Indonesia telah mendapatkan berbagai jenis penghargaan. PT. FFI
adalah perusahaan pertama di Indonesia yang berhasil mendapatkan sertifikat ISO
9001/9002 dan disempurnakan oleh ISO 14001. PT. Frisian Flag Indonesia juga
mendapatkan sertifikat GMP (Good Manufacturing Practices) dari pemerintah
karena menggunakan teknologi dan mesin modern dalam proses pengolahan dan
produksinya. Dalam pengendalian mutunya, PT. FFI menerapkan HACCP (Hazard
Analysis Critical Point) dan OHSAS (OccupationalHealthandSafetyAssessment
Series) untuk menjamin produk yang diterima konsumen merupakan produk yang
bermutu dan aman untuk dikonsumsi. PT. FFI juga mendapatkan banyak
penghargaan lokal dan internasional lainnya, seperti Green Industry dari Kementrian
Perindustrian Indonesia tahun 2012-2014,Asia Sustainability Excellence Award
2014 forDairyDevelopmentProgram , Kepedulian terhadap Edukasi Masyarakat di
Bidang Keamanan Pangan tahun 2014, Peduli Gizi 2012 dan 2013, sertifikasi ISO
17025 untuk laboratorium FFI Pasar Rebo dan Ciracas pada tahun 2013.
2.2. Tata Letak Pabrik
PT. Frisian Flag Indonesia plant Pasar Rebo beralamat di Jalan Raya Bogor KM 05,
Kelurahan Gedong, Cijantung, Jakarta Timur. Area pabrik ini menempati tanah
seluas 49.650 m dengan status HGB No. 3 Desa Gedong. LokasiPT.FrisianFlag 2
Gambar 2. Lokasi PT. Frisian Flag Indonesia Plant Pasar Rebo
Areal tersebut terbagi menjadi tiga bangunan utama, yaitu:
1. Bangunan pertama yang terdiri dari ruang kantor staff untuk administrasi
perusahaan, gudang, dan laboratorium departemen pengendalian mutu.
2. Bangunan kedua yang terdiri dari ruang produksi SKM, ruangcleaning in place
(CIP), gudang kantor, ruang pengemasan susu bubuk, penerimaan susu murni,
ruang evaporasi, ruang spray dryer, dan laboratorium kecil untuk uji susu murni.
3. Bangunan ketiga terdiri dari power house, kantin, ruang ganti pakaian, dan
kamar mandi.
2.3. Struktur Organisasi
Struktur Organisasi dibutuhkan untuk menyusun tiap bagian serta posisi yang ada
pada perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan
bersama yaitu memajukan Perusahaan. PT. FFI ini dipimpin oleh satu Direktur
Utama yang membawahi lima bagian, yaitu:
1. Bagian Pemasaran (Marketing Department) yang bertugas dalam
mengembangkanMarketing BranddanCustomer, serta memastikan sistem
manajemen mutu diterapkan dengan benar oleh sub-ordinatnya.
2. Bagian Administrasi dan Keuangan (Financial Department) yang berfungsi
dalam mengolah keuangan yang menghasilkan keuntungan dan keseimbangan
3. Bagian Personalia dan Umum (Human Resource Development and General
Affair Department) yang bertugas memastikan dukungan manajemen yang
cukup dengan kebijakan, sistem prasarana, dan prosedur yang sesuai dengan
petunjuk perusahaan sehingga memenuhi standar dan persyaratan perusahaan.
4. Bagian Trade Marketing yang bertugas dalam Bussines Development, Sales
Operation, dan pengembangan customer dalam pasar nasional sehingga
perusahaan menapatkan posisi produk yang baik dan kuat dengan operasional
sales yang efektif.
5. Bagian Operasional (Operational Department) yang terdiri dari beberapa bagian
seperti QA, QC, Logistik, Purchasing, Produksi, dan R&D.
R&D Departmen dipimpin oleh seorang Coorporate R&D Manager yang
membawahi 4 Divisi yaitu Divisi Powder, Divisi Sensory, Divisi Liquid dan Divisi
Packaging Specialist. Masing-masing Divisi di kepalai oleh seorang Manager dan
di bantu oleh supervisor-supervisor. Struktur organisasi di PT. Frisian Flag
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Organisasi Departemen Research and Development PT. Frisian Flag
Corporate R&D Manager bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan
seluruh aktifitas project yang berkaitan dengan riset dan pengembangan produk,
baik pasar Indonesia maupun pasar Asia yang di laksanakan oleh divisi di bawahnya
(Powder, SCM & Liquid Packaging, , dan Sensory Corporate). R&D Manager wajib
melaporkan dan melaksanakan segala kegiatan riset maupun pengembangan produk
kepada Development Manager IFT dan DBB yang berada di Singapore serta
melaporkan kepada Operational Director yang berada di Indonesia.
R&D Manager bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan aktifitas
project riset dan pengembangan produk, sesuai divisi masing-masing dan
memastikan sesuai dengan regulasi yang berlaku di Friesland Campina Belanda dan
Indonesia.
R&D Supervisor bertanggung jawab atas jadwal dan pelaksanaan aktifitas project
riset dan pengembangan produk agar sesuai dengan yang di rencanakan, mengawasi
aktifitas Trial di Production departmen, memastikan pengujian hasil Trial sampai di
dapat data yang akurat serta mengurusi regulasi terhadap badan pemerintahan
setempat.
R&D Technician bertanggung jawab atas pengujian dan analisa hasil trial berdasar
project riset dan pengembangan produk.
2.4. Visi dan Misi Perusahaan
Sebagai bentuk dari komitmen perusahaan, PT. Frisian Flag Indonesia memiliki visi,
yaitu untuk menjadi perusahaan susu nomor satu di Indonesia dan menyediakan
produk bergizi bagi keluarga Indonesia. Untuk memenuhi visi perusahaan, maka PT.
Frisian FlagIndonesia memiliki beberapa misi, yaitu menyediakan produk bergizi
yang terjangkau bagi keluarga Indonesia, mendukung peningkatan kualitas
kehidupan peternak, berkontribusi pada kelangsungan kehidupan yang lebih baik
3. SPESIFIKASI PRODUK DI PT. FRISIAN FLAG INDONESIA
PT. Frisian Flag Indonesia plant Pasar Rebo dan plant Ciracas memproduksi produk
yang bebrbeda. Pabrik yang berada di Pasar Rebo memproduksi semua produk susu
bubuk dan susu kental manis kemasan pouch serta sachet. Sedangkan pabrikyang
berada di Ciracas memproduksi susu cair siap minum dalam kemasan botol dan
kotak serta susu kental manis dalam kemasan kaleng. Berbagai jenis produk PT.
Frisian Flag Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produk Susu di PT. Frisian Flag Indonesia
No. Jenis Produk Nama dan Varian Gambar Produk
1 Susu Bubuk Ibu & Balita
Frisian Flag Mama
Frisian Flag Awal 0-6 Bulan
Frisian Flag Jelajah 1-3 Tahun
Frisian Flag Karya 4-6 Tahun
Susu Friso Gold 3
Susu Friso Gold 4
2 Susu Bubuk Keluarga
Frisian Flag Purefarm Full
Cream
Frisian Flag Purefarm Instant
Frisian Flag Susu Bubuk Instant
Madu
Frisian Flag Susu Bubuk Instant
Cokelat
3 Susu Siap Minum
Purefarm Flavour Milk
Purefarm Low Fat
Milky Kotak
Kids
4 Susu Kental Manis
Frisian Flag Full Cream Gold
Frisian Flag Bendera Kental
Manis
Omela Krimer Kental Manis
4. DEPARTEMEN RESEARCH AND DEVELOPMENT PT. FRISIAN FLAG
INDONESIA DIVISI POWDER
Departemen Research and Development (R&D) dalam suatu perusahaan bertanggung
divisi R&D PT. Frisian Flag Indonesia Pasar Rebo divisi powder adalah lab scale
dan shelf life. Beberapa kegiatan lain seperti pengecekan prototype packaging dan
tabel nutrisi juga dilakukan bila diperlukan.
4.1. Lab Scale
Lab scale adalah proses pembuatan produk dalam skala laboratorium (skala kecil).
Hal ini dilakukan biasanya untuk menguji kualitas produk sebelum diproduksi dalam
skala pabrik dan dipasaran ke konsumen. Lab scale dilakukan bila ada perubahan
jenis atau jumlah bahan baku dari resep standar, misalanya pengujian bahan baku dari
supplier yang berbeda. Dalam proses pembuatan susu bubuk skala laboratorium,
pertama-tama bahan baku disiapkan dan ditimbang sesuai dengan perbandingan
komposisi yang ada di resep. Setelah ditimbang, bahan-bahan dimasukkan kedalam
plastic bag tahan panas dan kemudian dihomogenkan dengan cara dikocok. Dari
hasil lab scale tersebut kemudian dilakukan uji organoleptik setelah dilarutkan.
4.1.1. Bahan Baku
Berikut adalah bahan baku yang digunakan dalam pembuatan susu bubuk secara
umum:
a. Skim Milk Powder (SMP)
Susu bubuk skim (Skim Milk Powder) adalah sisa dari pemisahan krim pada susu
setelah dihilangkan komponen air dan lemaknya. SMP merupakan non-fat dry
milk karena mengandung padatan susu bukan lemak, seperti laktosa protein susu,
vitamin larut lemak, vitamin larut air, dan mineral yang jumlahnya hampir sama
penambah total padatan susu bukan lemak (Solid Non Fat) agar memenuhi
standar produk yang telah ditentukan. (Canadian Dairy Commission_a, 2017)
b. Base
Ada 3 jenis base yang digunakan oleh PT. Frisian Flag Indonesia. Penggunaanya
disesuaikan dengan jenis susu bubuk yang akan diproduksi.
- Infant Base: memiliki kandungan vitamin dan mineral yang tinggi. Base
untuk susu bubuk bayi usia 0-1 tahun.
- Current Base: memiliki kandungan prebiotik, vitamin, dan mineral. Base
untuk susu bubuk batita usia 1-3 tahun.
- Hi-Fat Base: memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi dan kandungan
protein lebih rendah dari current base.
c. Whole Milk Powder (WMP)
Whole Milk Powder adalah susu yang sudah dipasteurisasi kemudian
dihilangkan kandungan airnya dengan penguapan, dan melewati proses spray
drying. WMP mengandung kurang lebih 4% whey protein, 20% kasein, dan 38%
laktosa. Dibandingkan SMP, WMP memiliki kadar lemak yang lebih tinggi yaitu
sebesar 26-40%. (Canadian Dairy Commission _b, 2017)
d. Butter Milk Powder (BMP)
Butter Milk Powder adalah produk sampingan pembutan mentega yang
dipasteurisasi dan kemudian dihilangkan kandungan airnya dengan evaporasi,
dan melewati proses spray drying. BMP memiliki kandungan lemak yang rendah
tetapi tinggi protein. (Canadian Dairy Commission _c, 2017)
e. Milk Protein Concentrate (MPC)
Milk Protein Concentrate memiliki kandungan protein lebih dari 42% dari total
material kering. MPC memiliki kadar kasein dan protein yang mirip dengan
SMP. Bentuk dan fungsinya pun hampir sama, namun perannya berbeda
f. Whey Protein Concentrate (WPC)
Whey adalah residu dari koagulan sisa pembuatan keju. Terdapat komponen
penting yang terkandung dalam whey seperti protein. WPC diperoleh setelah air,
mineral, dan laktosa dihilangkan, yang kemudian diseparasi menggunakan
metode diafiltration, ultrafiltration, electrodialysis, dan ion-exchange
technologies. (Canadian Dairy Commission _e, 2017) merupakan gula rafinasi yang merupakan hasil dari gula kristal mentah yang
melalui proses lebih lanjut.
h. Maltodekstrin
Maltodekstrin adalah produk modifikasi pati singkong (tapioka) yang berfungsi
Mineral dan vitamin tambahan ini biasanya ditambahkan dalam bentuk premiks.
j. Flavour
Flavour digunakan untuk memperkuat rasa dan aroma dari produk. Flavour
yang biasanya digunakan pada produk susu bubuk Frisian Flag adalah flavor
4.1.2. Produksi Skala Pabrik
Prinsip dasar dari pembuatan susu bubuk secara umum adalah penguapan dengan
cara pemanasan atau pengeringan, untuk menghilangkan kandungan air pada susu
hingga mencapai level tertentu. Prosespembuatansusububuksecaraumumterdiri
dari tahap pemanasan susu segar, evaporasi, pencampuran bahan baku,
homogenisasi, pengeringan, pencampuran bahan tambahan, dan pengemasan
(Smith, 2003). Proses produksi susu bubuk di PT. Frisian Flag Indonesia hanya
melalui proses mixing hingga homogen, karena bahan baku yang digunakan sudah
tersedia dalam bentuk bubuk dari supplier. Sedangkan untuk bahan baku yang
diproduksi sendiri oleh PT. Frisian Flag Indonesia adalah base yang diolah melalui
proses pencampuran dan pengeringan (spray drying). Diagram alir proses produksi
susu bubuk di PT. FFI dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Alir Proses Produksi Susu Bubuk di PT. Frisian Flag Indonesia
Dalam tangki pencampuran, bahan-bahan seperti skim milk powder, whole milk
powder, buttermilk powder, pengemulsi, dried cream extract, lemak nabati,
konsentrat protein, dan bahan lainnya dimasukkan kedalam tangki pencampuran
bersama dengan air hangat. Campuran bahan kemudian diaduk hingga larut
sempurna. Tahap selanjutnya adalah penyaringan, dimana hal ini dilakukan untuk
memisahkan kotoran dari campuran susu. Kemudian campuran bahan dipanaskan
homogenisasi. Tujuan proses homogenisasi adalah untuk menghindari pemecahan
lemak dan terbentuknya lapisan krim (creaming) jika susu didiamkan.
Homogenisasi juga dapat menghambat creaming melalui pencegahan pembentukan
flokula oleh aglutinasi serta membuat ukuran globula lemak menjadi lebih kecil.
Susu kemudian dikeringkan dengan alat spray dryer dan ditambah lesitin pada akhir
proses pengeringan. Susu rekombinan kemudian dicampur secara kering dengan
sukrosa, maltodekstrin, perisa, DHA, vitamin, dan mineral. Susu bubuk selanjutnya
disimpan sementara dalam wadah sebelum dikemas lebih lanjut. Jika sudah sesuai
dengan standar kemudian dikemas kedalam pouch.
4.2. Shelf Life
Setiap bahan pangan memiliki umur simpan yang berbeda-beda. Lamanya umur
simpan dipengaruhi oleh cara pengemasan dan penyimpanannya. Shelf life adalah
pengujian umur simpan produk untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama
penyimpanan. Shef life ini dilakukan secara rutin sesuai jadwal yang sudah ada pada
masing-masing project dan produk. Pengujian shelf life dilakukan menggunakan tiga
perlakuan suhu yaitu suhu 5°C dalam refrigerator sebagai standar, suhu 30°C sebagai
suhu ruang, dan suhu 40°C dalam inkubator sebagai suhu ekstrim. Metode yang
digunakan adalah ASLT yang memang dipilih oleh PT. FFI untuk mencari prediksi
umur simpan dengan mempercepat waktu pengujian. Metode ASLT (Accelerated
Shelf Life Test) adalah penentuan umur simpan produk dengan cara mempercepat
perubahanmutupadaparameterkritis. Metode ini menggunakan kondisi lingkungan
yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk (suhu 40°C dalam
inkubator). Produk pangan yang disimpan pada kondisi ekstrim akan mengalami
penurunanparameterkritis sehinggamutunyamenurunakibatpengaruhpanas(Arif,
2016). Dalam uji umur simpan susu bubuk di PT. Frisian Flag Indonesia, parameter
kritis yang diamati adalah kadar O , 2 wettability, kadar vitamin C, bilangan peroksida,
dan % FFA. Parameter kritis ini adalah parameter yang dirasa paling berpengaruh
terhadap penurunan kualitas produk selama penyimpanan.
Pengujian O dilakukan menggunakan alat 2 needle-type oxygen microsensors dengan
cara menusukkan jarum ke bagian dalam pouch. Penyerapan oksigen dalam
kemasan akan meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan dan suhu
ruang penyimpanan. Kadar oksigen diatas 3% didalam kemasan dapat menyebabkan
reaksi oksidasi lemak yang terkandung dalam susu bubuk sehingga produk
mengalami ketengikan. Proses ketengikan tersebut menandakan adanya penurunan
kualitas produk. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi pada
produk susu bubuk adalah dengan menambahkan gasinertseperti nitrogen (N ) 2
(Immaningsih, 2013)
Gambar 5. Pengujian kadar O2
Sebelum uji dilakukan, alat dikalibrasi dengan cara menguji kadar O di lingkungan.2
ditekan, kemudian ditunggu hingga angka pada layar stabil. Alat uji kadar O yang2
digunakan dapat dilihat pada Gambar 5.
4.2.2. Uji Wettability
Wettability atau derajat kebasahan susu bubuk adalah waktu kemampuan bubuk susu
untuk bercampur dengan air (Immaningsih, 2013). Pengujian dilakukan hingga
sampel susu bubuk telah tenggelam seluruhnya di dalam air. Residu yang tidak
terlarut disebabkan oleh protein yang terdenaturasi, partikel yang hangus atau
lengket, partikel sukar larut, dan bahan campuran lain.
Proses uji dilakukan dengan menimbang sampel, kemudian dijatuhkan dengan
menarik sekat antara gelas dan bubuk agar bubuk jatuh secara bersamaan. Waktu
dihitung dengan menggunakan stopwatch tepat saat bubuk menyentuh air.
Stopwatch dihentikan ketika bubuk sudah tercelup secara sempurna kedalam air.
Alat uji wettability yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 6.
4.2.3. Uji Kadar Vitamin C
Kandungan vitamin C pada susu segar sangatlah rendah. Sehingga perlu dilakukan
fortifikasi vitamin C pada pengolahan susu bubuk yang bertujuan untuk memenuhi
standar kebutuhan harian tubuh. Susu bubuk memiliki kandungan lemak yang cukup
tinggi, sehinga rentan mengalami oksidasi. Sehingga, selama proses
penyimpanannya susu bubuk dapat mengalami penurunan kadar vitamin C.
Gambar 7. Alat uji kadar vitamin C
Proses uji dilakukan dengan menimbang sampel (susu bubuk), kemudian
ditambahkan EDTA, asam metafosfat, dan aquades didalam gelas beaker. Kemudian
ditambah stirrer agar larutan dapat tercampur secara sempurna selama pengujian.
Alat ini memiliki prinsip kerja titrasi dimana terdapat selang yang mengalirkan
NaOH dan pH meter sebagai pengukur pH akhirnya. EDTA dan asam metafosfat
berfungsi sebagai indikator dimana setelah TAT tercapai larutan akan berwarna
merah muda keunguan (Kim & Vipulanandan, 2003). Alat akan menghitung sendiri
kadar vitamin C berdasarkan data yang diperoleh yaitu berat sampel (bubuk) dan ml
NaOH yang dibutuhkan. Alat uji vitamin C yang digunakan dapat dilihat pada
Gambar 7.
4.2.4. Uji POV (Bilangan Peroksida)
Seperti sudah dikatakan sebelumnya, susu bubuk memiliki kandungan lemak yang
cukup tinggi, sehinga rentan mengalami oksidasi. Angka peroksidadapat meningkat
karena pengaruh oksigen, cahaya, panas, enzim peroksida, dan logam berat
mempengaruhi bilangan peroksida, dimana kondisi yang kurang sesuai seperti
kondisi suhu tinggi akan menghasilkan kecepatan oksidasi lemak yang tinggi
(Aminah, 2010). Dasar pengukuran angka peroksida adalah mengukur kadar
peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.
Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasi lemak telah mengalami oksidasi
(Raharjo, 2006).
Sampel kemudian disaring dan ditambah dengan Chloro Bhutan Methanol lagi serta
campuran NH SCN dan FeCl . Larutan kemudian dipanaskan kembali dengan4 2
waterbath. Absorbansinya kemudian diukur menggunakan spektrofotometer.
Absorbansi Chloro Bhutan Methanol yang juga diberi perlakuan pemanasan yang
sama diukur sebagai blanko. Alat spektrofotometer yang digunakan dapat dilihat
pada Gambar 8.
4.2.5. Uji FFA (Free Fatty Acid)
Pengujian FFA digunakan untuk mengetahui kandungan asam lemak bebas pada
sampel. Tingginya nilai FFA menunjukkan minyak telah mengalami kerusakan
akibat hidrolisa, yang artinya kualitas minyak rendah. Alat pemanas yang digunakan
untuk uji FFA dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Alat pemanas untuk uji FFA
Pengujian %FFA dilakukan dengan menimbang berat cawan yang telah berisi
campuran sampel dan petroleum ether yang telah disaring dan dikeringkan.
Kemudian berat tersebut dikurangi dengan berat cawan kosong. Perhitungan %FFA
%FFA=berat akhir−berat cawan
5. PENGARUH BUBUK COKELAT TERHADAP NILAI WETTABILITY
PADA SUSU PERTUMBUHAN
5.1. Latar belakang
Selama penulis melakukan kerja praktek di PT. Frisian Flag Indonesia, pengujian
umur simpan (shelf life) adalah kegiatan rutin yang penulis lakukan. Dalam
pengujian shelf life ini ada lima uji parameter kritis. Salah satunya adalah uji
wettability. PT. Frisian Flag Indonesia secara umum memiliki tiga varian rasa untuk
produk susu bubuknya yaitu cokelat, madu, dan vanila. Dari tiga varian rasa ini
dapat dikelompokkan secara lebih umum menjadi susu bubuk cokelat untuk varian
rasa cokelat dan susu bubuk putih untuk varian rasa madu dan vanila. Dari data
shelf life yang penulis dapatkan, nilai wettability dari kedua pengelompokan susu ini
memiliki nilai yang sangat berbeda. PT. Frisian Flag Indonesia memiliki standar 30
detik untuk nilai wettability, namun nilai tersebut bukan merupakan reject
parameter dan 1 menit sebagai batas atas dalam penulisan data. Jika angka pada
stopwatch sudah melewati 1 menit atau 60 detik, maka penulisan data yang
dilakukan adalah > 1 menit dan tidak perlu menunggu lagi untuk bubuk susu
tenggelam secara sempurna. Susu bubuk putih rata-rata memiliki nilai wettability
dibawah 1 menit. Sedangkan susu bubuk cokelat memiliki nilai wettability diatas 1
menit.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013
tentang Pengawasan Formula Pertumbuhan, formula pertumbuhan adalah formula
yang diperoleh dari susu sapi atau susu hewan lain yang telah dibuktikan sesuai
untuk anak usia lebih dari 12 (dua belas) bulan sampai dengan 36 (tiga puluh enam)
bulan. Menurut SNI nomor 3752 tahun 2009 tentang Susu Cokelat Bubuk, definisi
dari susu bubuk adalah produk susu yang diperoleh dengan cara mengurangi
sebagaian besar air melalui proses pengeringan susu segar atau susu rekombinasi
yang telah dipasteurisasi, dengan atau tanpa penambahan vitamin, mineral, dan
bahan tambahan pangan yang diizinnkan. Sedangkan susu cokelat bubuk adalah
atau tanpa penambahan gula, bahan pangan laindanbahan tambahan pangan yang
diizinkan.
Wettability produk adalah waktu yang dibutuhkan oleh produk (susu bubuk) untuk
menyerap atau tercampur dengan air pelarutnya. Uji ini melibatkan sifat adhesi
antara bubuk susu dengan air. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kelarutan
yaitu, ukuran partikel, suhu udarapengeringan, tekananudara pengeringan, dan lain
sebagainya (Immaningsih, 2013). PT. Frisian Flag Indonesia tidak menetapkan nilai
wettability tertentu sebagai reject parameter. Tetapi uji ini merupakan concern untuk
konsumen. Jika banyak out spec dari wettability, maka biasanya akan berhubungan
komponen dalam bubuk cokelat yang mempengaruhi nilai wettability.
5.3. Metode
5.3.1. Penentuan Sampel
Sampel yang diuji berjumlah 6 sampel yang terdiri dari 3 jenis sampel susu bubuk
pertumbuhan putih dan 3 jenis sampel susu bubuk pertumbuhan cokelat dimana
seluruh sampel yang digunakan berasal dari project yang berbeda. Untuk
mengurangi adanya bias dalam pengujian, semua sampel yang dipilih adalah yang
sudah disimpan selama 18 bulan pada suhu penyimpanan 30°C. Pengujian
wettability dilakukan secara rutin pada bulan ke-0 (fresh), ke-1, ke-3, ke-6, ke-12,
dan ke-18. Pada tiap kali pengujian, digunakan pouch kemasan produk yang masih
tersegel sehingga disediakan 6 pouch produk untuk diuji tiap jenisnya, yang totalnya
menjadi 36 pouch produk.
5.3.2. Pengujian Wettability
Pengujian dilakukan dengan cara menimbang 10 gram sampel susu bubuk.
suhu ruang hingga mencapai batas 250 ml. Beker berisi air kemudian diletakkan di
bawah stand, lalu ditempatkan sebuah pelat untuk menjatuhkan sampel. Tabung
perspex ditempatkan diatas pelat yang kemudian dipasang pada capitan penyangga
agar saat pelat ditarik tabung tidak ikut jatuh kedalam air. Saat semua alat sudah
terpasang semua dengan benar, sampel bubuk dituang kedalam tabung dan diratakan
dengan spatula. Pelat ditarik sehingga sampel jatuh kedalam air. Stopwatch
dinyalakan saat bubuk sampel menyentuh air. Segera setelah semua partikel sampel
tenggelam, stopwatch dihentikan dan dicatat waktunya.
5.4. Hasil
Hasil pengujian wettability dari 6 jenis sampel selama 18 bulan umur simpan pada
suhu penyimpanan 30°C dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian wettability sampel selama 18 bulan umur simpan pada suhu
30°C
Dari Tabel 2., dapat dilihat bahwa susu bubuk pertumbuhan putih memiliki rata-rata
wettability dibawah 20 detik. Pada susu bubuk pertumbuhan cokelat, nilai
wettability-nya diatas 60 detik. Maka dapat disimpulkan dari tabel ini bahwa nilai
wettability susu bubuk pertumbuhan cokelat kurang lebih tiga kali lebih besar
sampel A (putih) sampel B (putih) sampel C (putih)
sampel D (coklat) sampel E (coklat) sampel F (coklat)
D
e
ti
k
Gambar 10. Grafik rata-rata nilai wettability selama 18 bulan masa simpan
Dari data nilai wettability yang didapat selama 18 bulan dengan 6 kali uji tiap jenis
sampelnya, dilakukan pengamatan dan dibandingkan tiap sampelnya. Pengamatan
dilakukan dengan merata-rata nilai tiap sampel karena nilai wettability cenderung
tidak konsisten dan berfluktuasi seiring bertambahnya umur simpan. Sehingga
dirasa dengan merata-rata nilai, maka akan lebih mudah untuk mengamati
perbedaan nilai wettability antara jenis susu bubuk cokelat dan putih. Dapat dilihat
pada grafik Gambar 10. bahwa sampel A, B, dan C yang adalah jenis susu bubuk
Kemampuan hidrasi dari suatu bubuk dalam air merupakan salah satu sifat yang
sangat penting dalam industri pangan yang mengolah produknya melalui proses
dehidrasi atau pengeringan. Karena biasanya produk jenis ini akan dihidrasi sebelum
merupakan faktor yang sangat penting dalam penerimaannya oleh konsumen, karena
merupakanpenentu kualitasakhir produk sebelum dikonsumsi (Aliakbarianet al.,
2017). Begitu pula dengan susu cokelat bubuk yang diproduksi oleh PT. Frisian Flag
Indonesia yang mengandung komponen cokelat bubuk didalamnya. Sehingga
wettability menjadi salah satu parameter yang diuji dalam penentuan masa simpan
produk susu bubuk di PT. Frisian Flag Indonesia.
Secara umum terdapat tiga fase rehidrasi, yaitu wetting, dispersion, dan
solubilisation. Kemampuan rehidraasi ini dipengaruhi oleh komposisi dari bubuk itu
sendiri, afinitas komponen bubuk dengan air, aksesibilitaskomponen bubuk olehair
(porositas dan kapilaritas), serta kondisi rehidrasi (pengadukan, suhu, dan
konsentrasi yang menyebabkan kejenuhan) (Jeantetet al., 2010). Ketiga fase
rehidrasi ini saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika protein dalam bubuk
menyerap air maka akan terjadi pembengkakan. Setelah pembengkakan ini terjadi
maka bubuk akan terurai menjadi bagian atau partikel yang lebih kecil.
Partikel-partikel ini akan menyebar atau yang disebut sebagai terdispersi. Dispersibilitas dari
bubuk ini berbanding lurus dengan kemampuannya untuk terpecah menjadi partikel
yang lebih kecil. Partikel yang lebih kecil ini akan lebih mudah bereaksi sehingga
mempengaruhi kemapuan keterbasahan dan kelarutannya.
Wettability index (WI) dinyatakan dalam waktu (detik) yang dibutuhkan oleh bubuk
dalam jumlah tertentu untuk menembus permukaan air yang tenang. Prinsipnya
adalah hasil dari rehidrasi bubuk tanpa pengadukan. Air yang digunakan memiliki
suhu 18-20°C atau suhu ruang. Suhu air ini harus diperhatikan karena
mempengaruhi dinamika rehidrasi, dimana suhu yang tinggi dapat meningkatkan
wettability dari beberapa bahan seperti cokelat dan bubuk dengan kandungan lemak
tinggi. Jika bubuk memiliki WI < 120 detik artinya memiliki kemampuan untuk
terbasahi. Sedangkan jika WI > 120 detik artinya tergolong non-wettable powders. Dalam bidang dairy, bubuk dengan WI < 60 detik tergolong wettable. Sedangkan
bubuk dengan WI < 30 detik tergolong sangat wettable. Bubuk dengan kemampuan
keterbasahan yang buruk cenderung untuk mengapung di permukaan air dan
mempengaruhi kehidrofobikan bubuk tersebut sehingga juga berdampak pada
wetting behaviour-nya dengan air. Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa sifat
fisik dari bubuk itu sendiri seperti ukuran partikel, densitas, porositas, morfologi
dapat mempengaruhi wetting behaviour. Semakin besar ukuran partikel bubuk maka
wetting behaviour-nya semakin baik. Hal ini dikarenakan jarak antar partikel juga
semakin besar sehingga air dapat lebih mudah masuk ke sela-sela.
Solubility dan wettability merupakan dua hal yang berbeda, walaupun masyarakat
awam sering menganggap dua hal ini sama. Solubility index merupakan ukuran
kemampuan suatu bubuk untuk larut dalam air yang ditentukan dari hasil (lama
waktu) untuk terehidrasi setelah mengalami pengadukan.
Dari Gambar 10., dapat dilihat bahwa sampel A, B, dan C yang merupakan jenis
susu bubuk putih memiliki rata-rata nilai wettability antara 10 – 20 detik. Sedangkan
sampel D, E, dan F yang merupakan jenis susu bubuk cokelat memiliki rata-rata
nilai wettability lebih dari 60 detik. Dari Tabel 2. Dapat dilihat bahwa nilai
wettability selama penyimpanan tidak terbentuk pola tertentu dimana dapat
disimpulkan bahwa umur simpan tidak berpengaruh terhadap nilai wettability.
Tetapi harus diperhatikan bahwa data umur simpan ini dilakukan pada suhu ruang
(30°C) atau suhu normal yang tidak ekstrim. Sehingga dapat dimungkinkan adanya
pengaruh suhu ekstrim terhadap nilai wettability. Maka dari teori diatas dapat
disimpulkan bahwa susu bubuk putih tergolong sangat wettable sedangkan susu
bubuk cokelat tergolong non-wettable powders atau memiliki wetting behaviour
yang buruk.
Susu bubuk cokelat dan susu bubuk putih memiliki komposisi yang hampir sama.
Jika bahan bakunya dibandingkan maka dapat dilihat bahwa perbedaannya ada pada
penambahan bubuk cokelat pada komposisi susu bubuk cokelat. Hal ini juga
didukung oleh pernyataan pada SNI nomor 3752 tahun 2009 tentang Susu Cokelat
Bubuk, bahwa susu cokelat bubuk adalah susu bubuk yang ditambah dengan bubuk
cokelat. Maka, bubuk cokelat ini lah yang menyebabkan nilai wettability susu bubuk
Berdasarkan SNI 3747 tahun 2009 tentang kakao bubuk, syarat mutu kakao bubuk
dikatakan sebelumnya bahwa bubuk dengan kandungan protein atau lemak yang
tinggi memiliki WI > 120 detik. Sehingga data yang didapat sudah sesuai dengan
teori. Penyebab perbedaan wetting behaviour dapat disebabkan karena perbedaan
komposisi, ukuran partikel, dan densitas, karena semua hal itu mempengaruhi nilai
WI dari bubuk tersebut.
Fitzpatrick et al., (2017) dalam jurnalnya yang berjudul Characterisation of the
Wetting behaviour of Poor Wetting Food Powders and the Influence of Temperature
and Film Formation, membuktikan bahwa bubuk cokelat memiliki wettability yang
buruk. Dimana wettabillity-nya hanya mencapai 50% setelah 60 menit. Wettability
yang buruk ini disebabkan oleh komposisi dalam bubuk cokelat dimana lemak yang
terkandung dalam bubuk cokelat mencapai 6%. Ukuran partikel dan densitas bubuk
cokelat tergolong tidak terlalu rendah, sehingga tidak terlalu berkontribusi dalam
penyebab keterbasahannya yang buruk. Bubuk dengan kemampuan keterbasahan
yang buruk bisasanya membentuk gumpalan dan partikel yang mengapung di
permukaan. Hal ini disebabkan oleh permukaan yang hidrofobik dan pembentukan
lapisan film. Semakin kuat lapisan film yang terbentuk maka akan membuat
gumpalan semakin sulit larut, bahkan setelah pengadukan.
Menurut Schucket al,(2012), minuman bubuk yang baik seharusnya dapat larut
secara sempurna dalam air setelah mengalami pengadukan dan tidak memiliki
partikel-partikel yang mengapung di permukaan. Seperti sudah dikatakan
sebelumnya bahwa pada susu bubuk cokelat, komposisi lemak yang terkandung
dalam bubuk cokelat adalah penyebab utama buruknya nilai keterbasahan produk.
Kandungan lemak ini tidak bisa untuk diturunkan atau dihilangkan kadarnya.
Karena kandungan lemak merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi
kualitas bubuk cokelat. Sehingga, untuk memperbaiki nilai wettability ini yang dapat
mempermudah masuknya air ke sela-sela partikel. Spray drying merupakan
alternatif yang dapat diterapkan dalam merekonstitusi komponen-komponen pada
susu cokelat bubuk. Spray drying dapat mempengaruhi komponen permukaan
partikel sehingga lebih mudah berkontak dengan air. Penambahan lesitin yang
berperan sebagai emilsifier saat proses spary drying juga dapat memperbaiki
wettability susu cokelat bubuk. Penambahan maltodekstrin juga dapat membantu
melindungi partikel selama spary drying serta menyeragamkan ukuran partikel.
Semua upaya ini sudah dilakukan oleh PT. Frisian Flag Indonesia untuk
memperbaiki nilai wettability produk susu cokelatnya. Tetapi perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk menetapkan kadar lesitin atau emulsifier lainnya
sehingga wettability produk susu cokelat dapat berada dibawah nilai 60 detik.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kemampuan rehidrasi minuman bubuk dalam air merupakan faktor yang sangat
penting dalam penerimaan produk oleh konsumen. Sehingga wettability menjadi
salah satu parameter yang diuji dalam penentuan masa simpan produk susu
bubuk di PT. Frisian Flag Indonesia.
Susu bubuk cokelat tergolong non-wettable powders karena memiliki WI > 120
detik. Sedangkan susu bubuk putih tergolong sangat wettable karena memiliki
WI < 30 detik.
Komponen lemak yang terkandung dalam bubuk cokelat adalah faktor yang
paling mempengaruhi nilai wettability susu bubuk cokelat. Sedangan ukuran
partikel dan densitas bubuk cokelat tergolong tidak terlalu rendah, sehingga
tidak terlalu berkontribusi pada nilai wettability.
Secara keseluruhan, PT. Frisian Flag Indonesia sudah melakukan banyak inovasi
dan peningkatan mutu kualitas produk susunya. Upaya untuk memperbaiki nilai
wettability produk susu bubuk cokelat juga sudah dilakukan guna memenuhi
kepuasan komsumen. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan
nilai wettability menjadi < 60 detik. Untuk pengujian wettability sebaiknya
dilakukan hingga tuntas sampai semua bubuk tenggelam secara sempurna agar ada
angka pasti dari wettability. Dengan begitu upaya yang dilakukan untuk
memperbaiki wettability dapat benar-benar terlihat. Bukan hanya berpatok pada
angka dibawah 60 detik saja. Sehingga evaluasi dari perubahan-perubahan yang
7. DAFTAR PUSTAKA
Aliakbarian, B., Casazza, A. A., Nani, A., dan Perego, P. 2017. Production of Chocolate
Powdered Beverage with Enhanced Instant Properties Chemical Engineering. Transaction Vol 57. Diakses dari : http://www.aidic.it/cet/17/57/147.pdf
Cempedak. Informatika Pertanian Vol. 25 (2): 189-198. Diakses dari: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/IP/article/view/8474
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 3747:2009 Kakao Bubuk. Jakarta. Diakses dari: https://www.scribd.com/doc/265531205/SNI-3747-2009-Kakao-Bubuk
Canadian Dairy Commission_a. 2017. Skim Milk Powder. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=192 (diakses pada 14 Maret 2018)
Canadian Dairy Commission_b. 2017. Whole Milk Powder. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=196 (diakses pada 14 Maret 2018)
Canadian Dairy Commission_c. 2017. Buttermilk powder. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=172 (diakses pada 14 Maret 2018)
Canadian Dairy Commission_e. 2017. Whey Protein Concentrate. http://www.milkingredients.ca/index-eng.php?id=195 (diakses pada 14 Maret 2018)
Kim, J. dan Vipulanandan C. 2003. Effect of pH, sulfate and sodium on EDTA titration
of calcium.Cement and Concrete research 33: 621-627. Diakses dari: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0008884602010438
Fitzpatrick, J. J., Salmon, J., Ji, J., dan Miao, S. 2017. Characterisation of the Wetting Behaviour of Poor Wetting Food Powders abd the Influence of Temperature and Film Formation KONA Powder and Particle Journal No. 34: 282-289.. Diakses dari: https://www.kona.or.jp/jp/journal/pdf/2017/22_34_2017.pdf
Immaningsih, N. 2013. Pengaruh Suhu Ruang Penyimpanan Terhadap Kualitas Susu Bubuk. Jurnal Agrointek. Vol 7(1). Diakses dari: http://journal.trunojoyo.ac.id/agrointek/article/view/2043
Jeantet, R., Schuck, P., Six, T., Andre, C., dan Delaplace, G. 2010. The Influence of Stirring Speed, Temperature, and Solid Concentration on the Rehydration Time
of Micellar Casein Powder Dairy Science and Technology Vol 90: 225-236.. Diakses dari: https://link.springer.com/article/10.1051/dst/2009043
Raharjo, S. 2008. MelindungiKerusakanOksidasi padaMinyakSelamaPenggorengan
dengan Antioksidan . Foodreview Indonesia Vol.III, No.4. http://foodreview.co.id/blog-55885-Melindungi-Kerusakan-Oksidasi-pada-minyak-selama-Penggorengan-dengan-antioksidan.html (diakses pada 13 Maret 2018)
Schuck, P,. Dolivet, A., dan Jeantet, R.2012. analytical Method for Food and Dairy
Powders. Fisrt Edition. Diakses dari:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/book/10.1002/9781118307397
Smith, G. 2003. Dairy Processing Improving Quality.CRC Press. New York. Diakses dari: https://books.google.co.id/books?
8. LAMPIRAN