BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
6. Reaksi Esterifikasi
a. Minyak dipanaskan di atas hot plate stirrer hingga suhu minyak mencapai 60oC.
b. Katalis H2SO4 18 M sebanyak 2 % dari berat minyak dilarutkan ke dalam metanol 99 %, dengan rasio mol (metanol: minyak = 20: 1).
c. Campuran tersebut ditambahkan ke dalam labu leher tiga berisi minyak biji karet.
d. Proses esterifikasi dilakukan selama waktu 60 menit.
e. Fase aqueous dan fase minyak dipisahkan dengan menggunakan centrifuge selama 30 menit.
27 7. Reaksi Transesterifikasi
a. Sebanyak 120 gram minyak biji karet dipanaskan dalam labu leher tiga yang dilengkapi dengan magnetic stirrer sampai suhu mencapai 45oC.
b. Katalis KOH 1 % sebanyak 1,2 gram dicampur dengan metanol 99 % sebanyak 21,5243 gram.
c. Campuran ditambahkan ke dalam minyak biji karet pada labu leher tiga, reaksi dilakukan selama 60 menit.
d. Campuran didinginkan dan didiamkan selama 24 jam di dalam corong pisah.
e. Biodiesel yang terbentuk dipisahkan dari gliserol.
f. Biodiesel dicuci dengan akuades dan didiamkan selama 24 jam.
g. Biodiesel hasil pencucian dipanaskan pada suhu 110oC selama 1 jam.
h. Langkah di atas dilakukan kembali untuk biodiesel yang menggunakan dengan variasi rasio mol (metanol/minyak) dan suhu yang lain.
Tabel 3. Kode Biodiesel Hasil Reaksi Transesterifikasi Suhu (oC) Rasio
8. Analisis dengan Spektroskopi FTIR
a. Disiapkan sampel minyak biji karet serta biodiesel yang akan dianalisis.
b. Sampel dianalisa menggunakan instrumen spektroskopi FTIR.
28 9. Analisis Parameter Biodiesel
a. Penentuan Massa Jenis
1) Piknometer dibersihkan lalu dikeringkan.
2) Piknometer ditimbang dalam keadaan kosong sebagai Mp.
3) Piknometer diisi dengan biodiesel hingga penuh dan tidak ada gelembung udara didalamnya.
4) piknometer yang berisi biodiesel ditimbang sebagai Mb.
5) Massa jenis biodiesel dihitung dengan mencari selisih massa piknometer isi (Mb) dikurangi massa piknometer kosong (Mp) per volume piknometer (Vp).
b. Penentuan viskositas
1) Alat Oswald diisi dengan akuades secukupnya dengan menutup mulut tabung yang besar pada alat Oswald dengan jari.
2) Jari dilepaskan bersamaan dengan menyalakan stopwatch hingga akuades mengalir sampai garis bawah dan mematikan stopwatch ketika akuades tepat melewati garis batas bawah.
3) Alat Oswald dikosongkan dan dikeringkan.
4) Alat Oswald diisi dengan sampel biodiesel secukupnya dengan mulut tabung yang besar pada alat Oswald ditutup dengan jari.
5) Jari dilepaskan bersamaan dengan menyalakan stopwatch hingga biodiesel mengalir sampai garis bawah dan stopwatch dinyalakan ketika biodiesel tepat melewati garis batas bawah.
29 c. Penentuan Titik Tuang (Pour point)
1) Sampel dituang ke dalam wadah kemudian dipanaskan dalam waterbath hingga suhu mencapai 115oF lalu didinginkan hingga suhu 90oF.
2) Sampel dimasukkan ke dalam alat pengukur kemudian temperatur alat mulai diturunkan.
3) Setiap penurunan suhu 5oF dilakukan pengecekan kebekuan dengan memiringkan wadah sampel. Bila sampel sudah mulai membeku dicatat sebagai temperatur titik tuang.
4) Langkah di atas dilakukan kembali untuk biodiesel yang lain.
d. Penentuan Titik Nyala (Flash Point)
1) Sampel biodiesel dimasukkan ke dalam wadah alat Pensky-Martens closed up.
2) Alat dihubungkan dengan pompa dan tangki bensin, ujung penyala dinyalakan, termometer dipasang serta pemanas dan pengaduk dijalankan.
3) Setiap kenaikan 5oF, pengaduk dimatikan dan ujung nyala diarahkan pada permukaan sampel untuk mengecek adanya nyala. Temperatur saat munculnya nyala pertama kali dicatat sebagai titik nyala.
e. Kalor Pembakaran
1) Sampel biodiesel disiapkan sesuai dengan kondisi alat yang akan digunakan (bom kalorimeter).
30
2) Sampel dimasukkan dalam bom kalorimeter untuk mendapatkan nilai kalor pembakaran.
F. Teknik Analisis Data
1. Penentuan Massa Jenis Biodiesel
Penentuan massa jenis dilakukan dengan menggunakan rumus:
π =
Keterangan :
Vp = volume piknometer yang digunakan (mL) Mb = massa piknometer berisi sampel (gram) Mp = massa piknometer kosong (gram)
π
= massa jenis sampel pada suhu 25oC (gram.ml-1)Jika massa jenis pada 25o C telah diketahui, maka untuk menghitung massa jenis pada suhu tertentu dapat digunakan rumus sebagai berikut:
Ο= Οβ+ 0,0007 (T
oC β 25
oC)
Keterangan:
Ο = massa jenis pada 25oC Οβ = massa jenis pada ToC T = suhu biodiesel (oC)
0,0007 = faktor koreksi rata-rata untuk 1oC 2. Penentuan Viskositas Biodiesel
Penentuan viskositas dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
π
b=
31 Keterangan :
Ξ·
b = viskositas biodiesel (cSt atau mm2/s)Ξ·
w = viskositas cairan pembanding yaitu air (cSt atau mm2/s)Ο
b = massa jenis biodiesel (kg/m3)Ο
w = massa jenis air (kg/m3)t
b = waktu alir biodiesel melalui kapiler (s)t
w = waktu alir air melalui kapiler (s)32 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Minyak Biji Karet Hasil Pengepresan
Minyak biji karet diambil menggunakan metode pres hidrolik dengan tekanan 240 kN. Setelah itu, minyak biji karet dijernihkan menggunakan arang aktif dengan perbandingan 1: 100. Kemudian dilakukan uji karakteristik terhadap minyak biji karet yang sudah jernih. Data hasil uji massa jenis minyak dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Massa Jenis Minyak Biji Karet
Kode sampel Pengukuran Massa jenis minyak pada 40oC (kg/m3)
Data hasil uji viskositas minyak biji karet dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Viskositas Minyak Biji Karet Kode
sampel
Pengukuran Viskositas pada suhu 40oC (cSt)
Data hasil uji asam lemak bebas (FFA) minyak biji karet sebelum proses esterifikasi dapat dilihat pada Tabel 6.
33
Tabel 6. FFA Minyak Biji Karet Sebelum Proses Esterifikasi
Kode sampel Pengulangan FFA (%) FFA (%) esterifikasi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. FFA Minyak Biji Karet Setelah Proses Esterifikasi
Kode sampel Pengulangan FFA (%) FFA (%)
4. Hasil Spektrum FTIR Minyak Biji Karet dan Biodiesel
Minyak biji karet dan biodiesel hasil proses transesterifikasi dianalisis menggunakan FTIR untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam minyak biji karet dan biodiesel.
a. Spektrum IR minyak biji karet dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Spektrum IR Minyak Biji Karet
Collection time: Fri Jan 27 09:05:57 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 27 14:21:47 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 27 14:21:44 2017 (GMT+07:00) FIND PEAKS:
Position: 2925,65 Intensity: 50,807 Position: 2856,45 Intensity: 60,350 Position: 1744,26 Intensity: 62,465 Position: 1164,94 Intensity: 77,275 Position: 3007,68 Intensity: 81,651 Position: 1457,93 Intensity: 82,685 Position: 1238,02 Intensity: 85,759 Position: 721,98 Intensity: 91,707 Position: 1373,28 Intensity: 92,595 Position: 2358,79 Intensity: 102,838
721,98
34
b. Spektrum IR biodiesel B1 dengan rasio metanol: minyak = 8: 1 dan suhu transesterifikasi 45oC dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Spektrum IR Biodiesel B1
c. Spektrum IR biodiesel B2 dengan rasio metanol: minyak = 8: 1 dan suhu transesterifikasi 65oC dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Spektrum IR Biodiesel B2
d. Spektrum IR biodiesel B3 dengan rasio metanol: minyak = 8: 1 dan suhu transesterifikasi 85oC dapat dilihat pada Gambar 9.
Collection time: Mon Dec 19 10:11:36 2016 (GMT+07:00)
Tue Dec 27 08:40:29 2016 (GMT+07:00)
Tue Dec 27 08:40:28 2016 (GMT+07:00) FIND PEAKS: Position: 2359,83 Intensity : 106,627 Position: 3856,34 Intensity : 107,297
588,87
Collection time: Fri Jan 13 09:33:14 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 13 14:43:43 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 13 14:43:22 2017 (GMT+07:00) FIND PEAKS: Position: 2361,39 Intensity : 105,462
436,13
35
Gambar 9. Spektrum IR Biodiesel B3
e. Spektrum IR biodiesel B4 dengan rasio metanol: minyak = 6: 1 dan suhu transesterifikasi 45oC dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Spektrum IR Biodiesel B4
f. Spektrum IR biodiesel B5 dengan rasio metanol: minyak = 6: 1 dan suhu transesterifikasi 65oC dapat dilihat pada Gambar 11.
Collection time: Fri Jan 13 09:37:28 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 13 14:44:00 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 13 14:43:59 2017 (GMT+07:00) FIND PEAKS:
Position: 2926,06 Intensity: 39,174 Position: 1744,86 Intensity: 45,171 Position: 2855,14 Intensity: 50,762 Position: 1166,42 Intensity: 65,240 Position: 1459,66 Intensity: 75,803 Position: 1238,71 Intensity: 80,103 Position: 3008,76 Intensity: 81,115 Position: 721,98 Intensity: 86,251 Position: 1370,84 Intensity: 90,297 Position: 429,55 Intensity: 101,758
429,55
Collection time: Fri Jan 27 08:52:58 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 27 14:21:31 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 27 14:21:30 2017 (GMT+07:00) FIND PEAKS:
Position: 2925,48 Intensity: 47,529 Position: 1744,63 Intensity: 55,368 Position: 2856,33 Intensity: 56,872 Position: 1165,78 Intensity: 71,548 Position: 1457,51 Intensity: 80,944 Position: 3008,23 Intensity: 81,777 Position: 1237,52 Intensity: 83,981 Position: 721,47 Intensity: 90,352 Position: 1369,60 Intensity: 92,709 Position: 2360,15 Intensity: 108,662
721,47
36
Gambar 11. Spektrum IR Biodiesel B5
g. Spektrum IR biodiesel B6 dengan rasio metanol: minyak = 6: 1 dan suhu transesterifikasi 85oC dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Spektrum IR Biodiesel B6
5. Karakteristik Biodiesel Hasil Proses Transesterifikasi
Proses Transesterifikasi minyak biji karet dilakukan untuk memperoleh 6 jenis biodiesel yang berbeda. Biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 dihasilkan dari proses transesterifikasi yang dilakukan dengan mereaksikan metanol dan minyak pada rasio 8: 1 dan 6: 1 menggunakan katalis KOH 1 % dari berat minyak biji
Collection time: Fri Jan 27 11:05:18 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 27 15:12:17 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 27 15:12:16 2017 (GMT+07:00) FIND PEAKS:
Position: 2925,58 Intensity: 35,456 Position: 1744,91 Intensity: 39,275 Position: 2854,95 Intensity: 41,925 Position: 1166,04 Intensity: 53,443 Position: 1459,45 Intensity: 63,711 Position: 3008,69 Intensity: 68,997 Position: 721,78 Intensity: 73,955 Position: 1370,84 Intensity: 79,243
721,78
Collection time: Fri Jan 27 11:08:39 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 27 15:12:43 2017 (GMT+07:00)
Fri Jan 27 15:12:42 2017 (GMT+07:00) FIND PEAKS:
Position: 2925,78 Intensity: 29,617 Position: 1744,79 Intensity: 36,095 Position: 2855,28 Intensity: 40,301 Position: 1166,93 Intensity: 57,594 Position: 1459,48 Intensity: 69,389 Position: 3008,84 Intensity: 74,930 Position: 722,16 Intensity: 82,722 Position: 1370,29 Intensity: 86,802
722,16
37
karet yang digunakan. Proses transesterifikasi berlangsung pada suhu 45, 65, dan 85oC dengan waktu pengadukan selama 60 menit. Biodiesel B1, B2, dan B3 secara berturut-turut proses transesterifikasi dilakukan pada suhu 45, 65, dan 85oC menggunakan rasio (metanol/minyak) = 8/1. Sedangkan Biodiesel B4, B5, dan B6 secara berturut-turut proses transesterifikasi dilakukan pada suhu 45, 65, dan 85oC menggunakan rasio (metanol/minyak) = 6/1.
Penentuan kualitas biodiesel yang dihasilkan dilakukan dengan menguji biodiesel menggunakan berbagai parameter uji. Analisis parameter biodiesel meliputi massa jenis, viskositas, titik tuang (pour point), titik nyala (flash point) dan kalor pembakaran. Kualitas biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kualitas Biodiesel Hasil Transesterifikasi
Kode Massa
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik minyak biji karet yang meliputi massa jenis, viskositas dan gugus fungsi IR, mengetahui massa jenis, viskositas, titik tuang, titik nyala, kalor pembakaran dan gugus fungsi IR
38
dari biodiesel yang dihasilkan serta mengetahui kesesuaian karakter biodiesel hasil sintesis, jika dibandingkan dengan standar SNI 7182: 2012.
Pembuatan biodiesel menggunakan bahan minyak biji karet dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Pengambilan Minyak Biji Karet
Pengambilan minyak biji karet dilakukan dengan menggunakan metode pres hidrolik. Metode ini merupakan salah satu dari metode yang digunakan untuk memperoleh minyak dari jaringan hewan atau tanaman. Metode pres hidrolik cocok digunakan untuk ekstraksi minyak dari bahan yang mempunyai kadar minyak yang cukup tinggi, seperti biji karet. Selain itu, waktunya cepat dan caranya mudah.
Sebelum dilakukan pengepresan, biji karet yang didapatkan dari PTPN IX Semarang terlebih dahulu dikupas dari cangkangnya yang keras. Selanjutnya dipilih biji karet dengan kondisi yang baik atau tidak berjamur. Untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam biji karet dilakukan proses pengeringan di dalam oven selam 24 jam dengan suhu 40-50oC.
Biji karet yang telah kering selanjutnya dipres menggunakan pres hidrolik.
Sebanyak 200 gram biji karet dimasukkan ke dalam tabung pres yang sudah diberi kain saring untuk menyaring minyak yang dihasilkan dari pengepresan tersebut.
Pres dilakukan pada tekanan 240 kN selama 5 menit. Setelah itu dilakukan proses penjernihan terhadap minyak biji karet hasil pengepresan. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran halus yang dapat melewati kain saring dan bercampur dengan minyak. Proses penjernihan ini menggunakan arang aktif,
39
dengan perbandingan minyak dan arang aktif adalah 100: 1, kemudian campuran didiamkan selama 48 jam. Arang aktif tersebut akan menjerap kotoran-kotoran yang bercampur dengan minyak. Setelah 48 jam, minyak yang bercampur dengan arang aktif disaring menggunakan kertas saring untuk memperoleh minyak biji karet yang bersih.
Minyak biji karet yang sudah bersih perlu dilakukan proses degumming untuk memisahkan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi asam lemak yang terdapat di dalam minyak. Menurut Muharram dan Kurniawan (2016: 1344) fosfolipid harus dihilangkan, karena memiliki sifat pengemulsi. Jika tidak dibuang, maka dapat mempersulit pemisahan fasa selama proses transesterifikasi. Proses ini dilakukan di atas hot plate stirrer. Minyak biji karet dipanaskan terlebih dahulu hingga mencapai suhu 80oC. Kemudian ditambahkan larutan asam fosfat 20 % sebanyak 0,3 % dan diaduk selama 30 menit. Asam fosfat berfungsi untuk menarik getah yang terkandung dalam minyak, sehingga getah dapat terpisah dari minyak.
Setelah itu, minyak dimasukkan ke dalam corong pisah dan dicuci dengan air hangat. Pencucian ini dilakukan secara berulang-ulang sampai air buangan mencapai pH netral. Untuk menghilangkan sisa air yang masih tersisa di dalam minyak, minyak tersebut dipanaskan sampai suhu 120oC.
Biji karet yang sudah melewati proses degumming kemudian ditentukan karakternya, yang meliputi massa jenis, viskositas, serta gugus fungsi yang terdapat dalam minyak biji karet. Pengujian massa jenis dan viskositas biji karet dilakukan pada suhu 40oC. Hasil dari pengujian menunjukkan bahwa minyak biji
40
karet mempunyai massa jenis dan viskositas secara berturut-turut adalah sebesar 907,9 kg/m3 dan 33,5740 cSt.Gugus fungsi yang terdapat dalam minyak biji karet adalah C=O ester, C-O ester, C-H alkana, C-H alifatik dan βCH3.
2. Penentuan Kadar FFA Minyak Biji Karet
Minyak biji karet yang sudah melalui proses degumming kemudian ditentukan kadar asam lemak bebasnya (FFA) untuk menentukan metode yang akan digunakan dalam proses pembuatan biodiesel. Penentuan kadar FFA tersebut menggunakan metode titrasi. Larutan standar yang digunakan untuk titrasi adalah NaOH 0,1013 N. Indikator yang digunakan adalah phenolptalein (pp). Titik akhir titrasi ditandai dengan terjadinya perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah muda. Kadar FFA biji karet pada penelitian ini adalah 7,8474 %, sehingga perlu dilakukan proses esterifikasi terlebih dahulu sebelum dilakukan proses transesterifikasi terhadap minyak biji karet.
3. Reaksi Esterifikasi
Reaksi esterifikasi ini bertujuan untuk menurunkan kadar FFA minyak biji karet. Hal ini perlu dilakukan karena kadar FFA yang tinggi (>5 %) di dalam minyak akan menyebabkan penggunaan katalis dan bahan kimia lainnya menjadi lebih banyak. Sebab FFA akan bereaksi dengan katalis basa yang digunakan dalam proses transesterifikasi membentuk sabun (Tim Penulis BRDST, 2008: 21).
Reaksi esterifikasi dilakukan dengan menggunakan alat refluks. Minyak biji karet direaksikan dengan metanol 99% dengan rasio mol metanol: minyak = 20: 1. Katalis yang digunakan adalah H2SO4 18 M sebanyak 2 % dari berat minyak. Reaksi ini berlangsung pada suhu 60oC selama 60 menit.
41
Hasil esterifikasi berupa campuran minyak dengan fase aqueous. Fasa minyak dipisahkan dari fase aqueous menggunakan centrifuge selama 30 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Setelah proses tersebut, diperoleh fasa minyak berada di lapisan atas dan fasa aqueous berada di lapisan bawah. Kemudian dilakukan pengujian kadar FFA kembali terhadap minyak hasil esterifikasi. Pada penelitian ini diperoleh kadar asam lemak bebas (FFA) minyak biji karet hasil esterifikasi sebesar 1,8279 %, sehingga minyak biji karet sudah memenuhi syarat untuk dapat dilakukan proses transesterifikasi.
4. Reaksi Transesterifikasi
Minyak biji karet hasil esterifikasi dengan kadar asam lemak bebas (FFA) sebesar 1,8279 % sudah memenuhi syarat untuk dilakukan proses transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi ini bertujuan untuk memperoleh metil ester (biodiesel) dari minyak biji karet hasil esterifikasi. Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi pertukaran gugus asil antar trigliserida yang terdapat di dalam minyak. Dalam reaksi transesterifikasi ini molekul trigliserida akan bereaksi dengan alkohol dengan bantuan katalis dan menghasilkan alkil ester dari asam lemak rantai panjang dan gliserol. Mekanisme reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Reaksi transesterifikasi dilakukan dengan menggunakan alat refluks.
Minyak biji karet direaksikan dengan metanol selama 60 menit menggunakan katalis KOH 1 % dari berat minyak. Penggunakan katalis KOH dalam reaksi ini karena menurut Budiman, et al. (2014: 44) katalis KOH mempunyai performa yang lebih baik dan pemisahannya lebih mudah jika dibandingkan dengan NaOH.
42
Reaksi transesterifikasi dilakukan pada berbagai variasi suhu serta perbandingan rasio mol metanol dengan minyak. Untuk biodiesel B1, B2, dan B3 secara berturut-turut dilakukan pada suhu 45, 65, dan 85oC serta menggunakan rasio metanol:
minyak = 8: 1. Proses transesterifikasi untuk biodiesel B4, B5, dan B6 secara berturut-turut dilakukan pada suhu 45, 65, dan 85oC serta menggunakan rasio metanol: minyak = 8: 1. Proses transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Reaksi Transesterifikasi
Hasil dari proses transesterifikasi ini merupakan crude biodiesel, karena metil ester yang dihasilkan masih mengandung zat-zat pengotor, seperti sisa metanol, sisa katalis, gliserol, dan sabun (Hambali, et al., 2007: 27). Untuk itu biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi didiamkan selam 24 jam.
Setelah didiamkan selama 24 jam, terbentuk 2 lapisan dimana biodiesel berada di lapisan atas dan gliserol berada di lapisan bawah. Campuran tersebut kemudian dipisahkan menggunakan corong pisah, seperti pada Gambar 14.
43
Gambar 14. Hasil Proses Transesterifikasi
Biodiesel hasil pemisahan kemudian dicuci menggunakan akuades untuk memisahkan biodiesel dengan zat-zat pengotornya. Setelah itu biodiesel dipanaskan pada suhu 110oC selama 30 menit untuk menguapkan sisa air dari proses pencucian yang tercampur di dalam biodiesel. Hasil yang diperoleh diasumsikan sebagai biodiesel murni.
5. Analisis dengan Spektroskopi FTIR
Analisis menggunakan Spektroskopi FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam minyak biji karet maupun biodiesel hasil sintesis. Informasi tentang gugus fungsi yang terdapat dalam minyak biji karet dan biodiesel didapatkan dengan cara interpretasi spektrum infra merah hasil analisis menggunakan tabel korelasi serapan infra merah, seperti yang terdapat pada Tabel 1. Senyawa yang diharapkan ada dalam analisis FTIR biodiesel adalah senyawa ester yang ditunjukkan dengan adanya gugus fungsional β C(O) β O β. Adanya senyawa ester menunjukkan telah terbentuknya biodiesel yang merupakan hasil dari proses transesterifikasi antara trigliserida dari minyak dengan metanol. Hasil
44
analisis FTIR minyak biji karet dan biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, serta B6
ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Interpretasi Spektrum FTIR Minyak Biji Karet dan Biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, serta B6
Nama Zat Bilangan Gelombang
(cm-1)
Karakteristik Gugus Minyak Biji Karet 1744,26 Serapan tajam gugus
karbonil, yang merupakan
Minyak Biji Karet 1164,94 Serapan tajam gugus C-O ester
Minyak Biji Karet 2856,45 dan 2925,65 Serapan kuat gugus C-H alkana (alkil, metil,
metilen) Biodiesel 1 2856,01 dan 2925,38
Biodiesel 2 2855,10 dan 2926,37 Biodiesel 3 2855,14 dan 2926,06 Biodiesel 4 2856,33 dan 2925,48 Biodiesel 5 2854,95 dan 2925,58 Biodiesel 6 2855,28 dan 2925,78
Minyak Biji Karet 1457,93 dan 1373,28 Serapan gugus metil βCH3
Biodiesel 1 1457,11 dan 1368,80 Biodiesel 2 1459,48 dan 1371,38 Biodiesel 3 1459,66 dan 1370,84 Biodiesel 4 1457,51 dan 1369,60 Biodiesel 5 1459,45 dan 1370,84 Biodiesel 6 1459,48 dan 1370,29
Minyak Biji Karet 3007,68 Serapan gugus C-H
alifatik
45
Spektrum FTIR antara minyak biji karet dengan biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda. Dalam spektrum biodiesel terdapat puncak-puncak yang lebih tajam daripada puncak-puncak dalam spektrum minyak biji karet. Hal ini menunjukkan bahwa gugus fungsi yang terkandung dalam biodiesel mempunyai intensitas yang lebih tinggi dan reaksi transesterifikasi telah mengubah minyak biji karet menjadi biodiesel yang merupakan metil ester.
6. Analisis Parameter Biodiesel
Penentuan kualitas dari biodiesel yang dihasilkan dilakukan dengan cara melakukan pengujian berbagai parameter yang sesuai dengan SNI 7182: 2012.
Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut dibandingkan dengan data parameter biodiesel yang terdapat dalam SNI 7182: 2012. Uji parameter biodiesel yang dilakukan pada penelitian ini antara lain: massa jenis, viskositas, titik tuang (pour point), titik nyala (flash point), serta kalor pembakaran.
a. Massa Jenis
Menurut Tohari (2015: 51) massa jenis berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh bahan bakar pada setiap satuan volume. Pengujian massa jenis biodiesel menggunakan piknometer. Perhitungan massa jenis dilakukan dengan membandingkan massa zat dengan volume zat tersebut pada suhu tertentu. Pada penelitian ini, massa jenis biodiesel ditentukan pada suhu 25oC. Namun dalam SNI 7182: 2012 pengujian biodiesel dilakukan pada suhu 40oC, sehingga dilakukan konversi ke suhu 40oC. Hasil pengujian massa jenis untuk biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 dapat ditunjukkan pada Gambar 15.
46
Gambar 15. Hubungan Massa Jenis dengan Suhu dan Rasio (Metanol: Minyak) Berdasarkan hasil pengujian massa jenis biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 dengan perbedaan suhu dan rasio (metanol: minyak) akan menghasilkan nilai massa jenis yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu transesterifikasi akan menghasilkan massa jenis biodiesel yang semakin kecil dan semakin besar rasio (metanol: minyak) akan menghasilkan biodiesel dengan massa jenis yang semakin besar.
Massa jenis biodiesel pada suhu 40oC menurut SNI 7182: 2012 adalah 850-890 kg/m3. Hasil pengujian biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 menunjukkan bahwa biodiesel B3 dan B6 sudah memenuhi spesifikasi SNI 7182: 2012, sedangkan biodiesel B1, B2, B4, dan B5 belum memenuhi spesifikasi SNI 7182:
2012. Densitas yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya zat pengotor seperti sabun kalium dan gliserol hasil reaksi penyabunan, air, kalium hidroksida sisa, kalium metoksida sisa ataupun sisa metanol (Pramitha, et al., 2016: 162).
b. Viskositas
Viskositas merupakan ukuran hambatan cairan untuk mengalir yang disebabkan oleh adanya gaya gesek internal antar partikel. Viskositas berpengaruh
880 885 890 895 900 905
0 20 40 60 80 100
Massa Jenis (kg/m3)
Suhu (Β°C)
8:1 6:1
47
pada injeksi bahan bakar. Pengujian viskositas dalam penelitian ini menggunakan alat Ostwald. Hasil dari pengujian viskositas biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Hubungan Viskositas dengan Suhu dan Rasio (Metanol: Minyak) Hasil pengujian viskositas dari biodiesel menunjukkan bahwa perbedaan suhu dan rasio antara metanol dengan minyak dalam proses transesterifikasi akan menghasilkan nilai viskositas biodiesel yang berbeda. Menurut standar SNI 7182:
2012 tentang biodiesel, menyebutkan bahwa viskositas untuk biodiesel pada 40oC antara 2,3-6 cSt. Hasil pengujian yang dilakukan pada biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 menunjukkan bahwa keenam biodiesel tersebut mempunyai nilai viskositas yang melebihi nilai viskositas dalam SNI 7182: 2012. Arita, et al. (2009: 58) menyatakan bahwa waktu reaksi esterifikasi berpengaruh terhadap viskositas biodiesel yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi esterifikasi akan menghasilkan viskositas yang semakin kecil. Viskositas biodiesel yang tinggi juga dapat disebabkan oleh masih panjangnya rantai karbon metil ester di dalam biodiesel (Kusumaningtyas & Bachtiar, 2012: 16). Dalam penelitian ini tidak
0 5 10 15 20 25
0 20 40 60 80 100
Viskositas (cSt)
Suhu (Β°C)
8:1 6:1
48
dilakukan analisa menggunakan GC-MS, sehingga tidak dapat diketahui jenis rantai karbon yang terkandung di dalam biodiesel. Menurut Hardjono (2001: 93) viskositas yang tinggi dapat mempengaruhi kerja alat injeksi bahan bakar dan mempersulit pengabutan bahan bakar.
c. Titik tuang (pour point)
Titik tuang merupakan suhu terendah yang menyatakan bahan bakar masih dapat dituang. Hal ini diperlukan terutama di daerah yang beriklim dingin, karena berkaitan dengan kemampuan mengalir BBM atau minyak pelumas. Menurut Tohari (2015: 54) kemampuan mengalir biodiesel akan mengalami penurunan pada saat titik tuangnya, jika dibandingkan saat suhu normal. Hal ini karena saat kondisi temperatur titik tuang biodiesel akan terbentuk gel yang menghambat laju aliran biodiesel. Hasil pengujian titik tuang biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 terdapat pada Gambar 17.
Gambar 17. Hubungan Titik Tuang dengan Suhu dan Rasio (Metanol: Minyak) Hasil pengujian titik tuang biodiesel yang dilakukan menurut metode pemeriksaan ASTM D 97, menunjukkan bahwa semakin besar rasio antara metanol dengan minyak menghasilkan biodiesel dengan titik tuang yang lebih
-4
49
tinggi. Nilai titik tuang biodiesel B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 sudah memenuhi standar biodiesel yaitu pada kisaran -15β13oC (Crimson Renewable Energy).
d. Titik nyala (flash point)
Titik nyala merupakan suhu terendah ketika uap suatu zat bercampur dengan udara dan mengakibatkan nyala sebentar kemudian mati. Titik nyala digunakan sebagai mekanisme untuk membatasi jumlah alkohol sisa dalam bahan bakar. Biodiesel murni mempunyai titik nyala yang lebih tinggi dari batasannya.
Titik nyala merupakan suhu terendah ketika uap suatu zat bercampur dengan udara dan mengakibatkan nyala sebentar kemudian mati. Titik nyala digunakan sebagai mekanisme untuk membatasi jumlah alkohol sisa dalam bahan bakar. Biodiesel murni mempunyai titik nyala yang lebih tinggi dari batasannya.