• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Isomerisasi Eugenol Menggunakan Pemanasan Gelombang

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Reaksi Isomerisasi Eugenol Menggunakan Pemanasan Gelombang

Reaksi isomerisasi eugenol dilakukan pada reaktor dalam gelombang mikro tanpa dan dengan katalis Ni/Al-hidrotalsit dalam kondisi media kering (tanpa pelarut). Pada reaksi isomerisasi eugenol menggunakan katalis Ni/Al-hidrotalsit dilakukan dengan perbandingan eugenol : katalis Ni/Al-Ni/Al-hidrotalsit adalah 4 : 1. Produk isomerisasi eugenol dianalisis dengan kromatografi gas (GC : Gas Chromatography). Kromatogram hasil reaksi isomerisasi eugenol tanpa dan dengan katalis Ni/Al-hidrotalsit ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. (a) Kromatogram hasil isomerisasi tanpa katalis Ni/Al- Hidrotalsit, diduga puncak (2) eugenol

(b) Kromatogram hasil isomerisasi dengan katalis Ni/Al- Hidrotalsit, diduga puncak (2) eugenol, (4) cis-isoeugenol, dan (5) trans-isoeugenol

Gambar 14 (a) memperlihatkan bahwa hasil reaksi isomerisasi eugenol tanpa penggunaan Ni/Al-hidrotalsit tidak menghasilkan produk (hanya muncul satu puncak pada kromatogram yang diduga eugenol). Berbeda dengan kromatogram hasil reaksi isomerisasi eugenol pada Gambar 14 (b) yang muncul lebih dari satu puncak. Hal ini menunjukkan bahwa isomerisasi eugenol dalam gelombang mikro tidak dapat berjalan tanpa bantuan hidrotalsit sebagai katalis. Penggunaan katalis Ni/Al-hidrotalsit dalam reaksi isomerisasi eugenol berfungsi menurunkan energi aktivasi reaksi tersebut sehingga menghasilkan produk, yaitu isoeugenol. Jadi dapat disimpulkan bahwa reaksi isomerisasi eugenol dapat berlangsung dengan baik selain dengan pemanasan yang tinggi juga perlu bantuan katalis yang tepat.

Reaksi isomerisasi eugenol menggunakan katalis Ni/Al-hidrotalsit. Ni/Al-hidrotalsit merupakan katalis basa, dimana situs basa brönsted (penerima proton) yang berperan penting bagi berlangsungnya reaksi isomerisasi eugenol. Reaksi isomerisasi eugenol diawali oleh terlepasnya proton pada karbon metilen menghasilkan karbokation yang distabilkan oleh resonansi, lalu bergabung dengan karbon pada kedudukan terminal memberikan olefin terkonjugasi yang lebih stabil (Sastrohamidjojo, 2004). Untuk melepaskan proton pada karbon metilen diperlukan basa brönsted (penerima proton) yang menarik proton.

Penentuan senyawa hasil reaksi isomerisasi dilakukan dengan kromatografi gas menggunakan metode spiking. Pada metode spiking ini, ditambahkan senyawa isoeugenol standar untuk membuktikan bahwa senyawa hasil reaksi isomerisasi eugenol merupakan isoeugenol. Perbandingan kromatogram hasil reaksi isomerisasi eugenol dengan hasil spiking ditunjukan pada Gambar 15 (a) dan (b). Sedangkan kromatogram isoeugenol standar ditunjukan pada Gambar 15 (c).

Gambar 15. (a) Kromatogram hasil reaksi isomerisasi eugenol, (b) Kromatogram hasil reaksi isomerisasi eugenol yang di-spiking dengan isoeugenol standar,

(c) Kromatogram isoeugenol standar, puncak (2) eugenol, (4) cis-isoeugenol, (5) trans-isoeugenol.

Perbandingan kromatogram hasil reaksi isomerisasi eugenol dengan hasil spiking pada Gambar 15 (a) dan (b) menunjukan bahwa puncak kedua tidak mengalami perubahan, sedangkan puncak keempat dan kelima mengalami kenaikan intensitas puncak. Data kromatogram isoeugenol standar yang berasal dari PT.INDESSO AROMA, Purwokerto pada Gambar 15 (c) juga menampilkan dua puncak tertinggi (puncak keempat dan kelima). Oleh

karena itu dapat disimpulkan bahwa puncak kedua adalah eugenol, sedangkan puncak keempat dan kelima merupakan senyawa isoeugenol.

Data kromatogram menunjukkan bahwa puncak eugenol muncul mendahului isoeugenol. Hal ini dapat dijelaskan dari prinsip kromatografi gas adalah pemisahan senyawa antara fase diam dan fase geraknya. Alat kromatografi gas yang digunakan adalah GC dengan jenis kolom (fase diamnya) HP 5 ( (5 %-phenyl)-methyl polysiloxane). Kolom ini bersifat nonpolar, sehingga senyawa yang kurang polar akan lebih lama tertahan di kolom. Sedangkan senyawa yang lebih polar akan keluar lebih dulu bersama fase geraknya yang bersifat polar. Struktur molekul eugenol dan isoeugenol ditunjukkan pada Gambar 16.

OH H3CO H2C C H CH2 Eugenol ikatan rangkap terisolasi cis-isoeugenol OH H3CO C C CH3 H H ikatan rangkap terkonjugasi trans-isoeugenol OH H3CO C C H H CH3 ikatan rangkap terkonjugasi

Gambar 16. Struktur eugenol, cis-isoeugenol dan trans-isoeugenol. Berdasarkan struktur eugenol dan isoeugenol pada Gambar 16, eugenol lebih polar dibandingkan isoeugenol. Hal ini dijelaskan dari adanya ikatan rangkap gugus propenil pada eugenol yang terisolasi. Ikatan rangkap terisolasi merupakan ikatan rangkap yang menggabungkan atom yang tidak berdampingan. Ikatan rangkap ini mempunyai sistem elektron terlokalisasi, yaitu distribusi elektronnya terbatas pada dua inti saja (Fessenden and Fessenden, 1986) sehingga ada pemusatan elektron. Pemusatan elektron di satu bagian ini menyebabkan ketidakstabilan resonansinya sehingga eugenol bersifat lebih polar. Berbeda dengan isoeugenol yang ikatan rangkap pada

gugus propenil terkonjugasi dengan ikatan rangkap benzen. Ikatan rangkap terkonjugasi adalah dua ikatan rangkap yang bersumber pada atom yang berdampingan. Ikatan rangkap jenis ini mempunyai sistem elektron terdelokalisasi, yaitu rapat elektronnya terdistribusi melalui daerah yang agak besar dalam molekul (Fessenden and Fessenden, 1986). Hal ini menyebabkan terjadi resonansi yang stabil dan pemerataan penyebaran elektron sehingga isoeugenol bersifat kurang polar dibandingan eugenol.

Pemisahan senyawa pada kromatografi gas, selain dari tingkat kepolaran juga dapat ditinjau dari perbedaan titik didih untuk menentukan puncak mana yang keluar lebih dulu dari kolom. Eugenol mempunyai titik didih (253,2 °C) lebih rendah daripada isoeugenol (266-268 °C), sehingga untuk menguapkan isoeugenol diperlukan suhu yang lebih tinggi dibandingkan pada eugenol. Berdasarkan tingkat kepolaran dan titik didih, maka eugenol akan muncul lebih dulu (puncak kedua) daripada isoeugenol (puncak keempat dan kelima) pada kromatogram.

Hasil spiking GC dari senyawa produk dengan senyawa standar isoeugenol menunjukkan bahwa isoeugenol muncul pada dua puncak, yaitu puncak keempat dan kelima. Hal ini menunjukkan bahwa isoeugenol berada dalam bentuk cis-isoeugenol dan trans-isoeugenol. Penentuan cis-isoeugenol atau trans-isoeugenol yang muncul pada puncak keempat atau kelima dapat ditinjau dari perbedaan titik didihnya. Titik didih cis-isoeugenol (133 °C pada tekanan 11 mmHg) lebih rendah daripada trans-isoeugenol (140 °C pada tekanan 12 mmHg) ( Windholhz, 1976). Oleh karena itu, untuk menguapkan trans-isoeugenol memerlukan waktu lebih lama dibandingkan cis-isoeugenol. Analog dengan penjelasan tentang eugenol dan isoeugenol di atas, maka cis-isoeugenol akan muncul lebih dulu (puncak keempat) daripada trans-isoeugenol (puncak kelima) pada kromatogram.

Berdasarkan penjelasan di atas, eugenol, cis-isoeugenol, dan trans-isoeugenol berturut-turut ditunjukkan oleh puncak kedua, keempat dan kelima pada kromatogram. Sedangkan, analisa kuantitatif dilakukan dengan penghitungan luas puncak yang dihasilkan.

Dokumen terkait