• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI A. Masa Remaja

B. Masalah Perceraian Orangtua

3. Reaksi remaja terhadap perceraian Orang tua

Mc Dowell (2002) menggambarkan kondisi emosi remaja ketika menghadapi peristiwa perceraian orangtuanya, yaitu :

a. Remaja tidak dapat mempercayai bahwa telah terjadi perceraian di keluarganya dan tidak ingin membicarakan hal tersebut kepada orang lain. Bentuk penyangkalan lainnya adalah dengan berangan-angan bahwa

orangtuanya tidak pernah pergi atau terus membicarakan hal di luar perceraian untuk menutupi keresahan dirinya.

b. Remaja merasa malu dan dipermalukan karena perpisahan orangtuanya. Mereka tidak ingin memberitahu sahabat-sahabat dekatnya mengenai peristiwa yang sedang terjadi di dalam keluarganya. Remaja melakukan hal itu karena dengan adanya perpisahan tersebut, maka secara tidak langsung ia sedang membuktikan kepada teman-temannya bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam keluarganya.

c. Remaja merasa bersalah karena merasa bertanggung jawab terhadap perceraian orangtuanya yang disebabkan oleh ke-tidaktaatannya terhadap orangtua. Remaja mulai bertanya-tanya apakah ia telah menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian orangtuanya. Ia merasa bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya karena ia merasa bahwa ia telah memberontak terhadap orangtuanya serta tidak mampu menyenangkan hati orangtuanya. Dari asumsi-asumsi itulah, maka remaja merasa berkewajiban untuk mempersatukan kembali kedua orangtuanya.

d. Remaja merasa marah dan jengkel karena muncul perasaan diabaikan oleh orangtua yang bercerai. Perasaan jengkel dan marah itu juga muncul karena sebenarnya ia tidak suka berpisah dengan salah satu orangtuanya. Perasaan diabaikan dapat memicu amarah si remaja. Kejengkelan yang muncul di dalam diri remaja juga sangat ditentukan oleh perasaannya sendiri karena ia merasa ada perbedaan dengan teman-teman yang keluarganya masih utuh.

e. Remaja merasa khawatir dan takut dalam menghadapi masalah perceraian orangtuanya tersebut. Ketakutan ini berasal dari pikiran tentang masa depannya, misalnya mengenai studi dan tempat tinggalnya.

f. Remaja merasa lega karena orangtuanya bercerai. Kelegaan ini muncul karena adanya pemikiran bahwa lebih baik orangtua berpisah daripada terus-menerus bertengkar. Secara tidak langsung, kelegaan itu juga menjadi cara remaja untuk ”membalas dendam” kepada orangtuanya. g. Remaja merasa tidak dikasihi, tidak berharga dan ditolak karena remaja

beranggapan bahwa orangtuanya tidak memecahkan masalah mereka. Dengan peristiwa perceraian orangtuanya, ia berpikir bahwa mereka sudah tidak lagi mengasihi dan menghargainya.

h. Remaja merasa sedih, bingung dan tertekan. Pada saat-saat seperti ini, remaja mengalami perasaan yang hampir sama dengan kesedihan yang dirasakan oleh orang yang ditinggal mati oleh teman atau orang yang dikasihinya. Remaja menjadi sedih dan bingung, sehingga ia merasa malas, tidak bersemangat dan kurang termotivasi untuk melakukan segala sesuatu.

i. Remaja merasa tidak berdaya dan putus asa. Perceraian orangtua akan membuat remaja menjadi frustrasi karena ia tidak dapat melakukan apa pun untuk mencegahnya. Remaja tidak dapat memutar mundur waktu dan mencegah orangtuanya yang akan bercerai. Ia tidak dapat mengubah keputusan serta memperbaiki hubungan orangtuanya. Kenyataan dan

kepedihan akibat situasi itu akan membuat remaja merasa tidak berdaya dan putus asa.

j. Remaja merasa dikhianati oleh orangtuanya dan muncul perasaan kesepian. Remaja merasa bahwa orangtuanya telah mengkhianatinya karena mereka telah meninggalkannya sehingga hal ini mengakibatkan munculnya perasaan kesepian di dalam diri remaja itu. Remaja juga merasa bahwa tidak seorang pun yg memahami apa yang sedang dialaminya dan mengerti perasaannya. Pada saat seperti inilah, remaja menjadi sangat kesepian.

Berbagai dampak terhadap kondisi emosi remaja ketika menghadapi peristiwa perceraian orangtuanya itu akan menghasilkan proses kesedihan yang berlanjut setelah terjadinya perceraian. Proses ini memiliki 5 tahap, yaitu (Mc Dowell, 2002) :

a. Penyangkalan.

Pada tahap penyangkalan ini, remaja tidak ingin mempercayai bahwa masalah perceraian sedang melanda kedua orangtuanya. Remaja akan menunjukkan reaksi menarik diri dan tidak ingin membicarakan masalah perceraian itu kepada siapa pun juga.

b. Marah.

Remaja telah kehilangan sebagian rasa aman di dalam dirinya, sehingga secara tidak sadar ia menjadi marah dan emosinya mudah meledak-ledak. Remaja menjadi marah dan melampiaskan kemarahannya itu terhadap salah satu orangtuanya. Pada saat seperti ini, kondisi emosi remaja menjadi sangat labil.

Di satu sisi ia berusaha mencari kesalahan orang tuanya namun di sisi lain ia juga marah kepada dirinya sendiri karena merasa bersalah.

c. Tawar-menawar.

Pada tahap ini remaja mulai tawar-menawar dengan keadaannya. Perilaku yang muncul pada tahap ini adalah menjadi sangat religius dan mulai mencari jalan keluar dengan cara-cara yang religius pula, misalnya dengan berdoa. Remaja mulai mencoba melakukan ”negosiasi” terhadap Tuhan. Tawar-menawar ini diikuti dengan janjinya terhadap Tuhan jika orangtuanya bersatu kembali, maka ia akan mengubah perilakunya yang buruk.

d. Depresi.

Depresi muncul ketika remaja menjadi sadar bahwa perceraian itu benar-benar akan terjadi. Pada saat-saat seperti ini, remaja menjadi sangat sedih dan putus asa atas perasaan kehilangan yang menimpa dirinya. Ketakutan, kecemasan dan rasa tidak aman akan menyertai kondisi depresi ini ketika ia menjalani hidup tanpa kehadiran salah satu orangtuanya. Kesepian merupakan sisi lain dari depresi.

e. Penerimaan

Seiring dengan berjalannya waktu dan remaja telah melalui beberapa tahap kesedihan, maka ia akan mampu menerima kenyataan dan mulai dapat menghadapi kesedihan dan mengelolanya secara konstruktif. Sebagian emosi dan pikiran yang dialami remaja pada saat-saat seperti itu merupakan hal yang baru baginya.

C. Mekanisme Pertahanan Diri 1. Definisi Mekanisme Pertahanan Diri

Anna Freud (Hall-Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa di bawah tekanan yang berlebihan, Ego terkadang harus menempuh cara tertentu untuk menghilangkan tekanan. Cara itu disebut Mekanisme Pertahanan Ego. Mekanisme Pertahanan yang pokok adalah : represi, proyeksi, reaksi formasi, fiksasi dan regresi. Semua mekanisme pertahanan memiliki dua ciri umum, yaitu mereka menyangkal, memalsukan, atau mendistorsi kenyataan dan mereka bekerja secara tidak sadar sehingga individu tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Mekanisme pertahanan diri dapat dibedakan berdasarkan tingkat kematangannya, yaitu mature atau matang dan immature atau tidak matang. Mekanisme pertahanan yang mature adalah : altruism, anticipation, asceticism, humor, sublimation dan suppression. Mekanisme yang dimaksudkan oleh Anna Freud adalah Mekanisme pertahanan yang immature. (Kaplan, 1994). Untuk selanjutnya, Mekanisme pertahanan yang akan diuraikan pada penelitian ini adalah mekanisme pertahanan yang immature.

Penggunaan mekanisme pertahanan merupakan hal yang mutlak bagi individu karena tujuan dari mekanisme pertahanan adalah melindungi Ego

serta mengurangi kecemasan. Menggunakan Mekanisme Pertahanan Diri untuk menyesuaikan diri dari tekanan hidup yang tidak dapat dielakkan tidak selalu merupakan hal yang sehat. Bergantung secara ekstensif pada Mekanisme Pertahanan Diri dapat menjadikan Mekanisme Pertahanan Diri itu

menetap pada sifat pribadi individu, sehingga akan membuat individu menjadi semakin sulit untuk mengatasi permasalahan ; baik kecil maupun besar dengan cara efektif. Anna Freud menjadi sangat diyakinkan bahwa banyak dari simtom dan tanda dari gangguan emosi (termasuk kecemasan, depresi dan perilaku yang berindikasi psikosis) berasal dari kepercayaan yang tidak pada tempatnya terhadap penggunaan Mekanisme defensif tersebut (Wilson, 1996). Mekanisme Pertahanan Ego menjadi tidak sehat bila individu terus-menerus mengulang Mekanisme itu sehingga akan terbentuk pribadi yang neurotik.

Dokumen terkait