STUDI KASUS MEKANISME PERTAHANAN DIRI
REMAJA KETIKA MENGHADAPI MASALAH
PERCERAIAN ORANGTUA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Nama : Andreas Tri Winarto NIM : 009114067
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
STUDI KASUS MEKANISME PERTAHANAN DIRI
REMAJA KETIKA MENGHADAPI MASALAH
PERCERAIAN ORANGTUA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Nama : Andreas Tri Winarto NIM : 009114067
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
Halaman Persembaan
Segala perkara dapat kutaklukkan di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku
(Surat Rasul Paulus Kepada Jemaat di Filipi)
Kupersembahkan karya ini untuk :
Tuhan Yesus Kristus
Seluruh keluargku yang tercinta
Semua pembaca yang tertarik dan berminat pada bidang
Psikologi Klinis
ABSTRAK
Andreas Tri Winarto (2008). Studi Kasus Mekanisme Pertahanan Diri remaja ketika menghadapi masalah perceraian orangtua. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh remaja ketika menghadapi masalah perceraian orangtua. Mekanisme pertahanan muncul karena adanya beberapa sumber kecemasan akibat peristiwa perceraian orangtua remaja tersebut. Mekanisme pertahanan diri dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme pertahanan diri yang matang (mature) dan tidak matang (immature). Mekanisme pertahanan yang matang meliputi Altruism, Anticipation, Asceticism, Humor, Sublimation,
Suppression. Mekanisme pertahanan yang tidak matang meliputi : Denial,
Proyeksi, Represi, F. Reaksi, Undoing, Isolasi, Regresi dan Displacement.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus, dengan data utama yang diperoleh melalui wawancara, dan data pendukung yang diperoleh melalui tes TAT. Pada penelitian ini, terdapat dua orang subyek yang orangtuanya bercerai. Orangtua subyek pertama telah berpisah sejak subyek berusia 8 tahun namun mereka bercerai resmi ketika subyek berumur 12 tahun. Saat ini subyek tinggal bersama ayah dan neneknya. Pada subyek kedua, kejadian perceraian orangtuanya baru saja terjadi yaitu ketika subyek duduk di kelas 3 SMP akhir, menjelang masuk SMU ( usia 16 tahun ). Saat ini, subyek tinggal bersama ayahnya.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa Mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh subyek A adalah denial, proyeksi, represi, isolasi,
displacement dan fantasi ; pada subyek B adalah denial, proyeksi, represi,
displacement, rasionalisasi dan fantasi. Beberapa sumber kecemasan yang dihadapi oleh remaja yang menghadapi masalah perceraian orang tua adalah kehilangan kasih sayang dan dukungan yang sangat dibutuhkan dari salah satu orang tua, keharusan untuk menerima situasi dan keluarga baru, kekurangan dukungan finansial, harus menjalankan tugas dan kewajiban baru serta padangan bahwa keluarga yang bercerai adalah suatu hal yang negatif.
ABSTRACT
Andreas Tri Winarto (2008). Case Study Concerning The Adolescence Self Defence Mechanism When Facing The Parents Divorce Problem. Yogyakarta : Faculty of Psychology, Sanata Dharma University
This research aimed to describe the adolescence Self Defence Mechanism when facing the parents divorce problem. Self Defence Mechanism appear’s because of some anxiety sources as the results of their parents divorce incident. Self Defence Mechanism is divided in two, Mature Self Defence Mechanism and Immature Self Defence Mechanism. Mature Self Defence Mechanism includes
Altruism, Anticipation, Asceticism, Humour, Sublimation, and Suppression. The Immature Self Defence Mechanism includes Denial, Projection, Repression, Reaction Formation, Undoing, Isolation, Regression, and Displacement.
This research used case study qualitative research method, main data was obtained by interview and support data by Thematic Apperception Test (TAT). In this research, there were two subjects whose their parents have divorced. The first subject has parents who have separated since she was eigth years old, but have divorced since she was twelve years old. Now she lives with her father. The second subject has parents who have already divorced during he was in third year Junior High School, toward went to Senior High School (He was sixteen years old). Now he lives with his father.
From the result of this research, the researcher found that the Self Defence Mechanism in the first subject were denial, projection, repression, isolation,
displacement and phantasy; in second subject were denial, projection, repression,
displacement, rationalisation and phantasy.
Some anxiety source’s whose facing by adolescence with divorce parents were lost of affection and support either parents, have to accept the situation and new family, the less of financial supporting, must execute the new assignment and obligation, viewpoint that divorce family was a negative case.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Mekanisme Pertahanan Diri remaja ketika menghadapi masalah perceraian orangtua“. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat Sarjana Psikologi pada Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Sejak awal sampai berakhirnya studi, penulis menyadari bahwa dalam proses belajar di Program Studi Psikologi sangat banyak melibatkan banyak bantuan dari segala pihak. Atas segala saran, bimbingan, dukungan dan bantuan, pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus, yang selalu membimbing dan memberikan HikmatNya kepada penulis.
2. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si, selaku Ketua Progran Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
4. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik 5. Agnes Indar E, S.Psi., M.Psi selaku dosen pembimbing skripsi
6. Segenap dosen dan laboran di Fakultas Psikologi, yang telah membimbing selama penulis kuliah di Universitas Sanata Dharma.
7. Kedua orang tua dan keluarga penulis atas segala dukungan dan doanya.
8. Lia yang selalu memberi semangat, dukungan, kasih sayang dan doa yang tulus kepada penulis. Thanks for all your support to me.
9. Seluruh subjek yang tak dapat disebutkan, terima kasih BUAAANGEEETTS 10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dan memberi masukan selama penyelesaian Tugas Akhir ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tugas Akhir ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan serta jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan Tugas Akhir ini.
Akhirnya harapan penulis, semoga Tugas Akhir ini dapat berguna bagi semua pihak dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut.
Yogyakarta, 20 Oktober 2008 Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
LEMBAR PERSETUJUAN...iii
LEMBAR PENGESAHAN...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi
ABSTRAK ...vii
ABSTRACT ...viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...ix
KATA PENGANTAR...x
DAFTAR ISI...xi
DAFTAR TABEL...xiv
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah...8
C. Tujuan Penelitian...8
D. Manfaat...8
BAB II LANDASAN TEORI...10
A. Masa Remaja...10
B. Masalah Perceraian Orangtua...14
1. Definisi Perceraian...14
2. Dampak Perceraian...15
3. Reaksi remaja terhadap perceraian Orangtua...19
C. Mekanisme Pertahanan Diri...24
1. Definisi Mekanisme Pertahanan Diri ...24
2. Terbentuknya Mekanisme Pertahanan Diri ...25
3. Bentuk-bentuk Mekanisme Pertahanan Diri ... 30
D. Mekanisme Pertahanan Diri yang diungkap melalui TAT...32
E. Mekanisme Pertahanan Diri Remaja Ketika Menghadapi Masalah Perceraian Orangtua...38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...42
A. Jenis dan Asumsi Penelitian...42
B. Variabel penelitian...43
C. Subjek Penelitian...45
D. Metode Pengumpulan Data...45
E. Analisis Data...53
F. Keabsahan Data Penelitian...62
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN...64
A. Pelaksanaan Penelitian...64
B. Hasil Penelitian...65
1. Subjek A...65
2. Subjek B...74
C. Pembahasan...83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...91
A. Kesimpulan...91
B. Kelemahan Penelitian...91
C. Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA...93
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pedoman Wawancara...48
Tabel 3.2 Identitas Subyek...67
Tabel 4.1 Rangkuman Hasil Penelitian...83
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Tes TAT subyek A...94Lampiran 2. Hasil TEs TAT subyek B...125
Lampiran 3. Wawancara Subyek A...150
Lampiran 4. Wawancara Subyek B...159
Lampiran 5. Surat Pernyataan Kesediaan Subyek………...174
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia memiliki banyak dimensi yang kompleks. Banyaknya masalah yang muncul dalam diri manusia sejak awal kehidupannya ketika
memasuki masa bayi, kanak-kanak dan remaja merupakan tanda kompleksitas dimensi tersebut. Kata ”remaja” dalam bahasa Latin adalah “adolescere” yang berarti “bertumbuh ke arah kedewasaan”. Setiap manusia memulai masa
remajanya dari usia 10 sampai 22 tahun (Steinberg, 2002). Bertumbuh ke arah kedewasaan memiliki konsekuensi harus mau mengalami perubahan. Berbagai
perubahan yang terjadi pada masa remaja ini akan membuat remaja mengalami kondisi menyenangkan sekaligus kritis, sehingga respon terhadap kondisi itulah yang akan menentukan masa depannya kelak. Ketika seorang remaja mampu
menghadapi masa-masa kritisnya, maka kepribadiannya akan berkembang semakin mantap. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka remaja akan
menghadapi banyak masalah yang cukup rumit di masa depannya.
Banyak hal yang menandai perubahan pada masa remaja, antara lain perubahan kognitif, moral dan emosi. Tahap perkembangan kognitif remaja
berada pada tahap operasional formal yang bersifat lebih abstrak daripada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, remaja mampu membayangkan situasi
moral, remaja akan berhubungan langsung dengan peraturan serta nilai dan norma ketika harus berinteraksi dengan orang lain. Secara konkret, ada 3 hal penting
yang sangat mempengaruhi perkembangan moralnya, yaitu : bagaimana remaja mempertimbangkan atau memikirkan peraturan untuk melakukan tingkah laku
etis, bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya dan bagaimanakah perasaan remaja mengenai masalah moral (Santrock, 2003).
Secara emosi, remaja juga mengalami banyak perubahan, misalnya :
mudah takut, cemas, kuatir, marah, frustrasi, cemburu, iri, ingin tahu, ingin mencintai dan dicintai, sering mengalami kedukaan dan kegembiraan. Pengaruh
emosi pada penyesuaian diri remaja dapat bersifat menyenangkan dan juga sebaliknya, hal ini tergantung pada intensitas, mudah meledaknya emosi itu serta persiapan remaja tersebut dalam menghadapi proses penyesuaian itu sendiri.
Semakin sering remaja mengalami emosi yang menyenangkan, maka remaja juga akan menyukai pengaruh dari emosi tersebut. Jika remaja tidak mengatur
penyesuaian emosinya dengan baik, maka hal ini akan menyebabkan pengaruh yang merusak dalam diri, misalnya : agresivitas, pengambilan keputusan yang gegabah serta kesulitan-kesulitan tertentu ketika harus mengambil peran dalam
lingkungan sosialnya. Oleh karenanya, remaja harus belajar menguasai emosi-emosinya. Penguasaan emosi ini tidak berarti terjadi represi atau penghilangan
Selain mengalami perubahan-perubahan secara kognitif, moral dan emosi, remaja juga harus menyelesaikan tugas perkembangannya. Remaja harus melalui
serangkaian tugas perkembangan, yaitu tugas-tugas tertentu dalam rangka meninggalkan pola perilaku kekanak-kanakan untuk menuju kepada pola perilaku
yang lebih dewasa. Tugas perkembangan ini muncul karena adanya harapan masyarakat terhadap remaja agar ia mampu menyesuaikan dirinya dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Secara emosi, remaja memiliki
beberapa tugas perkembangan, yaitu memperoleh kebebasan emosional, mengetahui dan menerima kemampuan sendiri, memperkuat penguasaan diri atas
dasar nilai dan norma. Secara sosial, tugas perkembangan remaja adalah mampu bergaul, menemukan model untuk identifikasi, meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan (Gunarsa, 2004).
Dalam menyelesaikan tugas perkembangannya, remaja mengalami berbagai masalah karena tugas perkembangan itu adalah suatu hal baru bagi
mereka. Masalah-masalah ini meliputi masalah emosi dan penyesuaian sosial. Sumber permasalahan yang muncul dapat berasal dari tekanan teman-teman sebaya, tuntutan konformitas serta masalah lain yang tidak kalah penting, yaitu
masalah keluarga.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dimana remaja mengalami masa
pembentukan yang pertama bagi penyesuaian sosialnya. Dalam sebuah keluarga, remaja mulai mengembangkan suatu keterikatan tertentu terhadap orangtua. Pada beberapa dekade terakhir, para ahli perkembangan telah mulai menyelidiki
orangtua pada saat remaja akan memfasilitasi kecakapan dan kesejahteraan sosial, seperti yang tercermin pada beberapa ciri seperti harga diri, penyesuaian emosi
dan kesehatan fisik (Santrock, 2003). Sebagai contoh, remaja yang lebih menunjukkan kepuasan terhadap bantuan yang mereka terima dari orangtua akan
memunculkan kesejahteraan emosi dan harga diri yang lebih baik pula dalam dirinya. Sebaliknya, perasaan tertolak oleh orangtua sangat terkait dengan keterlepasan emosi dari orang tua, sehingga hal ini mempengaruhi kepekaannya
terhadap daya tarik sosial serta perasaan romantisnya pun akan semakin berkurang. Jadi pada masa remaja, keterikatan terhadap orangtua memiliki fungsi
adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman sehingga remaja dapat mengeksplorasi lingkungan sosialnya dalam kondisi psikologis yang sehat (Santrock,2003).
Remaja sangat memerlukan dukungan dan kasih sayang dari keluarga karena keluarga semestinya menjadi komunitas yang paling aman baginya. Jika
kondisi dan hubungan dengan keluarganya harmonis dan positif, maka kebutuhan psikologis remaja akan terpenuhi, sehingga hal ini turut membentuk sikap yang positif pula bagi dirinya maupun ketika ia memandang lingkungan di sekitarnya.
Bagi remaja yang memiliki kondisi keluarga negatif, artinya iklim keluarga yang tidak mendukung terpenuhinya kebutuhan psikis dan sosialnya, maka ia akan
mengalami banyak hambatan dalam perkembangan psikologisnya.
Beberapa penyebab sehingga iklim keluarga menjadi negatif adalah peristiwa perceraian orangtua, hadirnya keluarga tiri, orangtua yang bekerja dan
2003). Akhir-akhir ini, tingkat perceraian di seluruh dunia semakin meningkat. Sebagai contoh, tingkat perceraian di Amerika Serikat mencapai 66,6 % dan di
Inggris tingkat perceraiannya mencapai 50 % (www.e-psikologi.com). Setiap perceraian selalu menorehkan luka yang mendalam, baik bagi pasangan yang
bersangkutan maupun bagi anak-anak mereka. Pada umumnya setiap pasangan yang bercerai, masing-masing akan sibuk mencari pembenaran diri terhadap keputusannya untuk mengakhiri perkawinan mereka. Mereka tidak lagi
mempertimbangkan bahwa ada pihak yang sangat menderita terhadap keputusan mereka, yaitu anak-anak. Berbagai kesulitan seringkali menjebak anak-anak
akibat peristiwa perceraian orangtuanya. Mereka tidak memiliki siapapun untuk menolong dan mendukung, dan sepertinya tidak seorangpun memahami tekanan yang mereka rasakan sehingga hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan emosi
dan perilakunya.
Kesejahteraan emosi dan perilaku anak akan terganggu karena
‘kehilangan’ satu orangtua, sehingga hal ini akan memicu reaksi baru dalam dirinya. Hal-hal yang mempengaruhi reaksi anak terhadap perceraian adalah cara berperilaku sebelum, selama dan sesudah perpisahan orangtua mereka (Cole,
2004). Anak sangat membutuhkan dukungan, kepekaan dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantu mengatasi perasaan kehilangan tersebut. Anak juga
akan tertekan, merasa bersalah dan sedih sama seperti yang orangtua rasakan. Jika anak tidak mendapat jalan keluar dari masalah ini, maka hal ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi ketika mereka memasuki masa
bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau menarik diri dari lingkungan sosial karena tekanan perceraian.
Setiap individu memiliki naluri untuk memuaskan kebutuhannya lewat transaksi dengan objek di dunia luar. Dunia luar dapat memberi kepuasan atau
mengancam karena lingkungan mengandung daerah yang tidak aman dan berbahaya. Lingkungan dapat mengganggu atau memberikan rasa nyaman bagi individu. Remaja yang mengalami tekanan karena orangtuanya bercerai akan
memberikan dampak negatif terhadap perkembangan emosi dalam dirinya, sehingga ia menjadi cemas (Mc Dowell, 2002).
Kecemasan adalah ketidakmampuan Ego untuk menghadapi serta
mengendalikan stimulasi yang berlebihan sehingga Ego menjadi kewalahan (Hall
& Lindzey, 1993). Ketika individu tidak mampu menanggulangi kecemasan itu
dengan tindakan-tindakan yang efektif, maka hal ini akan menyebabkan peristiwa
traumatik dalam dirinya. Salah satu cara untuk menghadapi kecemasan itu adalah
dengan membuat Mekanisme Pertahanan Ego. Mekanisme Pertahanan Ego terjadi
bila Ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara efektif, sehingga Ego
akan kembali pada cara yang tidak realistik.
Mekanisme pertahanan diri dapat dibedakan berdasarkan tingkat
kematangannya yaitu mature atau matang dan immature atau tidak matang.
humor,sublimation dan suppression. Mekanisme yang dimaksudkan oleh Anna Freud adalah Mekanisme pertahanan yang immature. (Kaplan, 1994). Jika remaja
menggunakan mekanisme pertahanan yang mature, maka proses penyesuaian diri
remaja akan menjadi lebih baik lagi. Namun sebaliknya, jika remaja
menggunakan mekanisme pertahanan yang immature, maka perkembangan psikologis remaja akan terganggu karena bergantung secara ekstensif pada mekanisme pertahanan diri dapat menjadikan mekanisme itu menetap pada sifat
pribadi individu. Hal ini akan membuat individu menjadi semakin sulit untuk mengatasi masalah ; baik kecil maupun besar dengan cara yang efektif (Wilson,
1996). Jadi, mekanisme pertahanan Ego menjadi tidak sehat bila individu terus-menerus mengulang mekanisme itu sehingga akan terbentuk pribadi yang neurotik.
Semua Mekanisme Pertahanan mempunyai dua ciri umum, yaitu mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsi kenyataan dan mereka bekerja secara
tidak sadar sehingga individu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Bentuk-bentuk Mekanisme Pertahanan Ego (Bellak, 1997) adalah : denial, proyeksi, represi, formasi reaksi, undoing, isolasi, regresi dan displacement. Sebenarnya
ketika remaja menghadapi masalah perceraian orangtuanya, mereka tetap berkeinginan agar keadaan keluarganya utuh dan harmonis, namun realitas yang
sesungguhnya adalah kedua orangtuanya bercerai. Hal ini menimbulkan kecemasan dalam dirinya, sehingga remaja akan mencari jalan keluar untuk mengatasi kecemasannya itu dengan cara membuat mekanisme pertahanan diri.
perceraian orangtuanya akan termanifestasi dalam perilakunya, misalnya : remaja melupakan kekecewaannya dengan menekan kekecewaan itu sampai ke alam
bawah sadarnya agar ia tidak menyadari hal-hal yang menyakitkan itu, remaja memindahkan rasa kecewanya kepada orang lain atau menunjukkan kebiasaan
infantile-nya ketika menghadapi kecemasan.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimanakah mekanisme pertahanan diri dan hal apa saja yang menjadi sumber kecemasan remaja ketika ia menghadapi
masalah perceraian orangtuanya dengan subyek yang tinggal di kota Yogyakarta. Peneliti ingin mengetahui bagaimanakah mekanisme pertahanan diri remaja yang
ketika menghadapi masalah perceraian orangtua ; karena jika remaja terus menerus mengulang mekanisme pertahanan diri tersebut, maka akan terbentuk kepribadian yang neurotik.
Mekanisme Pertahanan Diri adalah suatu mekanisme yang dilakukan individu ketika individu berada dalam keadaan cemas. Mekanisme pertahanan diri
ini menyangkal kenyataan dan bekerja secara tidak sadar, sehingga individu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Mekanisme pertahanan diri merupakan hasil kerja dari Ego yang terancam karena kebutuhan Id yang tidak terpenuhi. Id, Ego
dan Superego merupakan fungsi-fungsi kepribadian sebagai suatu keseluruhan dan bukan merupakan tiga bagian yang terasing satu sama lain ( Hall & Lindzey,
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah : “Apakah
muncul Mekanisme Pertahanan Diri pada remaja ketika ia menghadapi masalah perceraian orangtuanya ?, dan jika muncul, bagaimanakah bentuk Mekanisme
Pertahanan Ego nya ketika ia menghadapi realitas perceraian kedua orangtuanya itu ?”.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari studi ini adalah mendeskripsikan bentuk Mekanisme Pertahanan Ego pada remaja yang orangtuanya bercerai dengan melakukan studi
kasus pada subyek.
MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini akan menambah khasanah keilmuan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, khususnya mengenai Mekanisme Pertahanan Ego
remaja yang orangtuanya bercerai dan sumber-sumber kecemasan yang dialaminya, serta dalam bidang Psikologi Klinis dan Psikologi Kepribadian. a ) Dalam bidang Psikologi Klinis, memberikan penjelasan mengenai hal-hal
yang menjadi sumber kecemasan bagi remaja yang orangtuanya mengalami perceraian.
2. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan informasi
kepada:
a) Remaja yang orangtuanya bercerai, agar ia mampu memahami
dinamika dirinya sendiri
b) Orangtua yang bercerai agar mereka dapat memahami kondisi
psikologis anak mereka yang turut menjadi bagian dari perceraian mereka.
c) Pihak-pihak yang mendampingi remaja yang orangtuanya bercerai, seperti guru, konselor atau terapis agar mampu memahami kondisi psikologis remaja dengan orangtuanya serta agar dapat memberi
pendampingan psikologis secara lebih maksimal kepada remaja tersebut d) Pasangan suami dan istri yang tidak bercerai agar mereka lebih
menyadari bahwa membina keluarga yang harmonis adalah tanggung jawab setiap orangtua dan merupakan hal terpenting bagi remaja, sehingga keluarga itu dapat meningkatkan dan mengelola keharmonisan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Masa Remaja
Kata remaja berasal dari bahasa Latin yaitu “adolescere”, yang berarti
“bertumbuh ke arah kedewasaan”. Steinberg (2002) memberikan definisi masa remaja sebagai suatu periode transisi secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Menurut Santrock, remaja adalah sebuah masa dimana pengambilan
keputusan meningkat (Santrock, 2003). Sedangkan menurut Erikson (Steinberg, 2002), masa remaja adalah masa dimana muncul krisis identitas versus kekaburan
peran. Dengan demikian, kesimpulan definisi remaja menurut beberapa pengertian di atas adalah : masa remaja merupakan masa transisi secara biologis, psikologis dan sosial dengan indikator munculnya krisis identitas yang mempengaruhi proses
pengambilan sebuah keputusan. Individu mengawali masa remajanya pada usia 10 tahun serta mengakhiri masa remajanya ketika berusia 22 tahun. Pembagian usia
pada masa remaja ini adalah : remaja awal yang dimulai dari usia 10 sampai 13 tahun, remaja tengah yang dimulai dari usia 14 sampai 18 tahun dan remaja akhir yang dimulai dari usia 19 sampai 22 tahun (Steinberg, 2002).
remaja berada pada tahap operasional formal, yang bersifat lebih abstrak daripada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, remaja mampu berpikir secara logis.
Secara moral, remaja berada pada tahap konvensional, yang berarti remaja sudah dapat melakukan asosiasi konkret untuk membedakan perilaku yang baik dan
buruk. Secara emosi, remaja juga mengalami perubahan, yaitu berada pada suatu keadaan emosi yang labil. Emosi remaja masih mudah berubah sesuai dengan kondisi fisik dan lingkungannya. Karena emosi remaja cenderung mudah berubah,
maka harapan lingkungan sosial terhadap remaja adalah agar remaja mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya itu sehingga tercipta keharmonisan.
Dalam proses penyesuaian ini, remaja harus menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya (Gunarsa, 2004), yaitu :
1. Menerima keadaan fisiknya.
Pada masa ini, remaja mengalami berbagai perubahan fisik. Perubahan fisik ini menghasilkan panjang lengan dan tungkai maupun tinggi badan yang tidak
selalu sesuai dengan harapan remaja maupun lingkungan. Adanya perbedaan antara harapan remaja dan lingkungan dengan keadaan fisiknya akan menimbulkan masalah sehingga sulit baginya untuk menerima kondisi
fisiknya itu. Oleh karenanya, remaja harus melalui tugas perkembangan ini dengan cara menyadari permasalahan antara harapan diri dengan
lingkungannya serta mulai belajar menerima keadaan fisiknya. 2. Memperoleh kebebasan emosional.
Supaya dapat menjadi orang dewasa yang dapat mengambil keputusan secara
secara bertahap. Pada masa ini, remaja harus belajar memiliki pikiran yang mampu memandang jauh ke depan. Pikiran itu merupakan hal yang sangat
penting bagi remaja ketika ia menghadapi berbagai pilihan, baik dari yang ringan sampai berat, karena dengan demikian ia akan mampu melihat realitas
dengan pandangan yang dewasa. Pada saat ini, remaja juga perlu merenggangkan ikatan emosi dengan orangtuanya agar dapat belajar memilih dan mengambil keputusan sendiri. Pada masa ini orangtua harus membimbing
remaja sehingga ia dapat memilih dan memperhatikan keputusan dari berbagai segi. Dengan bekal “kebebasan emosional” berlandaskan kemampuan untuk
membedakan mana yang baik dan layak dipilih itulah, maka remaja dapat bergaul dan menjalankan tugas perkembangan berikutnya.
3. Mampu bergaul.
Untuk mempersiapkan diri masuk ke masa dewasa, remaja harus belajar bergaul. Pergaulan ini meliputi suatu usaha untuk melakukan hubungan sosial
dengan teman sebaya dan tidak sebaya, sejenis maupun tidak sejenis. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi remaja dalam melakukan pergaulan adalah kondisi fisiknya. Setelah remaja menyesuaikan diri dengan ukuran
tubuh dan keadaan fisiknya, maka remaja akan lebih mudah bergaul. Pada saat inilah “body image” atau persepsi terhadap tubuh akan mempengaruhi
kepercayaan dirinya.
4. Menemukan model untuk identifikasi.
Menurut Erikson, pada masa ini remaja harus menemukan identitas dirinya. Ia
mengalami berbagai macam perubahan. Pada saat-saat seperti inilah, remaja sangat membutuhkan suatu ikatan pribadi. Ia harus mendapatkan pengetahuan
dan contoh nyata dalam kehidupan melalui model yang ada dalam masyarakat. Remaja yang mengagumi seseorang yang sukses dalam kehidupan masyarakat
akan sangat mudah mengidentifikasi model tersebut. Remaja kagum terhadap tokoh tertentu, ingin menjadi sama dengan tokoh tersebut sehingga hal itu akan membantunya memasuki tahap perkembangan berikutnya.
5. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri.
Seiring dengan bertambah kritisnya pemikiran remaja, maka hal ini akan
membangkitkan minatnya untuk merancang keinginanya di masa depan, misalnya mengenai pilihan pekerjaan, calon pasangan hidup yang ideal serta tempat tinggalnya kelak. Ia sering menjadikan dirinya sebagai obyek
pemikirannya sendiri sehingga hal ini dapat menghasilkan penilaian positif maupun kritik terhadap diri sendiri. Setelah melakukan refleksi diri, remaja
akan memperoleh pengetahuan tentang diri dan kemampuannya. Dengan kemampuan berpikir abstrak, maka remaja juga memiliki kemampuan untuk menerapkan kelebihan-kelebihannya.
6. Memperkuat penguasaan diri berdasarkan nilai dan norma.
Remaja memerlukan nilai dan norma karena kondisinya yang labil, sehingga
melalui nilai dan norma itu remaja dapat lebih terarah. Nilai dan norma tersebut akan menjadi suatu “falsafah hidup”, sebagai pegangan dalam pengendalian berbagai keinginan yang ada di dalam dirinya. Menurut G.
dalam pembentukan nilai. Pembentukan nilai merupakan suatu proses emosional dan intelektual remaja. Hal yang sangat mempengaruhi
pembentukan nilai ini adalah interaksi sosial. Pada masa pembentukan nilai, pengaruh pemimpin kelompok dan teman sebaya lebih besar dibanding
pengaruh orangtua. Remaja juga lebih mudah menyerap nilai-nilai dan norma orang yang dikaguminya (figur identifikasi), seperti guru dan tokoh agama. 7. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian yang bersifat kekanak-kanakan.
Tanda reaksi dan cara penyesuaian yang kekanak-kanakan adalah sifat egosentris. Seorang anak akan memandang segala sesuatu dari sudut
pandangnya sendiri, terpusat pada keinginan dan kebutuhannya sendiri. Emosi dan kebutuhannya sangat mempengaruhi semua reaksi dan perilakunya, sehingga sulit menunda terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu. Kondisi ini
berbeda dengan remaja. Lingkungan sosial mengharapkan agar remaja dapat meninggalkan kecenderungan serta keinginan untuk menang sendiri. Selama
masa peralihan ini, remaja harus belajar melihat realitas dari sudut pandang orang lain. Remaja harus belajar menyesuaikan diri dalam hubungan sosial yang lebih luas, dengan tugas perkembangan yang lebih majemuk sehingga
remaja harus belajar berpikir obyektif, selalu melakukan refleksi dan berusaha menguasai emosi-emosinya. Jika remaja sudah dapat melakukan hal-hal itu,
maka remaja telah meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian yang bersifat kekanak-kanakan.
1. Definisi Perceraian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kata cerai memiliki
beberapa arti, yaitu pisah dan putus hubungan sebagai suami istri.
Menurut Webster Dictionary (1983), perceraian adalah perpisahan yang resmi
antara suami dan istri yang dilakukan oleh pengadilan.
Dengan demikian, kesimpulan definisi perceraian menurut beberapa pengertian di atas adalah : perceraian merupakan perpisahan resmi suami dan
istri selagi keduanya masih hidup yang dilakukan oleh pengadilan (sah secara hukum).
2. Dampak perceraian
Ketika orangtua bercerai, maka remaja akan mengalami
dampak-dampak tertentu. Dampak perceraian itu menjadi tekanan emosi bagi remaja, sehingga hal ini menghasilkan sumber kecemasan baginya. Secara hukum,
dampak-dampak perceraian dapat dijelaskan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) (Prawirohamidjojo, 1986).
Dampak-dampak perceraian itu adalah :
1. Terhadap istri dan kekayaan. Istri mendapatkan kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin. Kebersamaan dalam harta perkawinan
menjadi terhenti dan merupakan saat untuk pemisahan dan pembagiannya.
Pada KUHP, terdapat 2 pasal yang menjelaskan lebih jauh lagi tentang
a. Pasal 223 KUHP
Terhadap pihak yang dikenai putusan perceraian, maka pihak itu
kehilangan semua keuntungan yang disanggupkan pihak yang lain dalam masa perkawinan.
Pasal ini memiliki arti bahwa segala hal yang telah dijanjikan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain, maka setelah terjadi perceraian maka perjanjian itu dihapus walaupun janji itu belum terpenuhi.
b. Pasal 225 KUHP
Perkawinan yang diputuskan terhadap sebuah pihak sesuai dengan
permintaan cerainya, namun ia tidak mempunyai penghasilan untuk hidup, maka pengadilan akan memberikan nafkah kehidupannya dari barang-barang pihak yang lain sejumlah tertentu.
Pasal ini memiliki arti bahwa kepada pihak yang menang dalam perkara perceraian itu, maka ada kemungkinan mendapatkan nafkah dari
pihak yang kalah bilamana ia tidak mempunyai penghasilan yang cukup. 2. Terhadap anak-anak yang belum dewasa.
Pada KUHP, terdapat 1 pasal yang menjelaskan lebih jauh lagi tentang
akibat perceraian terhadap anak-anak yang belum dewasa, yaitu : a. Pasal 229 ayat 1
Sesudah putusan perceraian dinyatakan, maka setelah mendengarkan pendapat dan pikiran orangtua dan keluarga anak-anak yang belum dewasa, maka pengadilan memutuskan terhadap tiap-tiap anak itu siapa
mengingat apakah mereka masih mempunyai kekuasaan orangtua (kalau sudah dihentikan atau dicabut, maka tidak dapat menjadi wali). Keputusan
untuk menjadi wali terletak pada wewenang hakim, hanya saja dalam hal ini harus diperhatikan kepentingan anak.
Dari berbagai dampak perceraian tersebut, timbullah tekanan emosi dalam diri remaja itu sehingga hal inilah yang akan menjadi sumber kecemasannya. Sumber kecemasan tersebut adalah (Mc Gregor, 2004) :
1. Kehilangan kasih sayang dan dukungan yang sangat dibutuhkan dari salah satu orangtua. Setelah terjadi perceraian, biasanya remaja akan
tinggal dengan salah satu orangtuanya. Hal ini mungkin saja tidak sesuai dengan keinginannya, sehingga remaja menjadi cemas karena sebenarnya ia tidak ingin berpisah dengan orangtuanya itu.
2. Keharusan untuk menerima situasi dan keluarga yang baru. Ketika terjadi perceraian, maka salah satu orangtua sangat mungkin untuk
menikah lagi karena status orangtua menjadi lajang kembali. Ketika hal ini terjadi, maka akan timbul kecemasan di dalam dirinya karena ia harus beradaptasi dengan calon orangtua baru yang belum tentu sesuai
dengan keinginannya
3. Kehilangan suatu kondisi saling mencintai yang sudah terjalin dengan
saudara kandung, maka ia dapat terpisah dengan saudaranya sesuai dengan keputusan pengadilan.
4. Kekurangan dukungan finansial. Sebelum bercerai, orangtua masih mampu membiayai semua keperluan anaknya. Setelah bercerai, salah
satu orangtua yang tinggal dengan anaknya itu harus mengemban lebih banyak tanggung jawab lagi selain mencari nafkah, misalnya mengasuh anaknya itu. Kondisi ini akan menimbulkan kekhawatiran dalam diri
serta mendorongnya untuk mengurangi beban finansial orangtuanya dengan jalan mencari pekerjaan. Hal itu juga akan mendorongnya untuk
merasa lebih banyak bertanggung jawab dalam urusan orang dewasa. 5. Harus menjalankan tugas dan kewajiban yang baru. Ketika terjadi
perceraian, maka lingkungan menuntut agar remaja dapat lebih cepat
mandiri, misalnya agar dengan segera remaja dapat mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Ketika remaja
mengetahui bahwa orangtuanya bercerai, maka hal tersebut juga akan mempengaruhi proses pengambilan keputusannya. Selain dalam kondisi tertekan karena perceraian orangtuanya, lingkungan juga menuntut agar
remaja menjadi lebih matang karena lingkungan menganggap bahwa remaja telah sedikit banyak mengetahui dan merasakan hubungan
keluarga, terutama dalam menghadapi keluarga yang tidak harmonis. Lingkungan juga akan menuntut remaja agar dapat segera mengambil keputusan, terutama pada hal-hal yang penting, misalnya pilihan yang
menjalankan tugas dan kewajiban yang baru ; sehingga hal itu akan menimbulkan kecemasan di dalam dirinya karena lingkungan
menuntutnya untuk segera mandiri.
6. Pandangan bahwa keluarga yang bercerai adalah suatu hal yang negatif.
Ketika terjadi perceraian, remaja akan membandingkan keadaan keluarganya dengan keluarga lain yang tidak mengalami perceraian. Ia melakukan hal ini karena ia merasa ada suatu hal yang berbeda dengan
keluarga lainnya. Ketika kawan dekatnya, tetangga maupun orang lain mengetahui peristiwa perceraian orangtuanya, maka hal itu akan
menimbulkan kecemasan dalam dirinya karena ia merasa malu dan takut dianggap sebagai keluarga yang tidak harmonis. Remaja akan menjadi lebih mudah menerima pandangan-pandangan dari lingkungan
sekitarnya karena emosinya berada dalam kondisi yang tidak stabil dan tingkah lakunya menjadi serba salah. Pandangan-pandangan bahwa
keluarga yang bercerai itu adalah suatu hal yang negatif akan membuat remaja itu menjadi cemas.
3. Reaksi remaja terhadap perceraian Orang tua
Mc Dowell (2002) menggambarkan kondisi emosi remaja ketika
menghadapi peristiwa perceraian orangtuanya, yaitu :
a. Remaja tidak dapat mempercayai bahwa telah terjadi perceraian di keluarganya dan tidak ingin membicarakan hal tersebut kepada orang lain.
orangtuanya tidak pernah pergi atau terus membicarakan hal di luar perceraian untuk menutupi keresahan dirinya.
b. Remaja merasa malu dan dipermalukan karena perpisahan orangtuanya. Mereka tidak ingin memberitahu sahabat-sahabat dekatnya mengenai
peristiwa yang sedang terjadi di dalam keluarganya. Remaja melakukan hal itu karena dengan adanya perpisahan tersebut, maka secara tidak langsung ia sedang membuktikan kepada teman-temannya bahwa ada
sesuatu yang tidak beres di dalam keluarganya.
c. Remaja merasa bersalah karena merasa bertanggung jawab terhadap
perceraian orangtuanya yang disebabkan oleh ke-tidaktaatannya terhadap orangtua. Remaja mulai bertanya-tanya apakah ia telah menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian orangtuanya. Ia merasa bertanggung jawab
atas perceraian orangtuanya karena ia merasa bahwa ia telah memberontak terhadap orangtuanya serta tidak mampu menyenangkan hati orangtuanya.
Dari asumsi-asumsi itulah, maka remaja merasa berkewajiban untuk mempersatukan kembali kedua orangtuanya.
d. Remaja merasa marah dan jengkel karena muncul perasaan diabaikan oleh
orangtua yang bercerai. Perasaan jengkel dan marah itu juga muncul karena sebenarnya ia tidak suka berpisah dengan salah satu orangtuanya.
Perasaan diabaikan dapat memicu amarah si remaja. Kejengkelan yang muncul di dalam diri remaja juga sangat ditentukan oleh perasaannya sendiri karena ia merasa ada perbedaan dengan teman-teman yang
e. Remaja merasa khawatir dan takut dalam menghadapi masalah perceraian orangtuanya tersebut. Ketakutan ini berasal dari pikiran tentang masa
depannya, misalnya mengenai studi dan tempat tinggalnya.
f. Remaja merasa lega karena orangtuanya bercerai. Kelegaan ini muncul
karena adanya pemikiran bahwa lebih baik orangtua berpisah daripada terus-menerus bertengkar. Secara tidak langsung, kelegaan itu juga menjadi cara remaja untuk ”membalas dendam” kepada orangtuanya.
g. Remaja merasa tidak dikasihi, tidak berharga dan ditolak karena remaja beranggapan bahwa orangtuanya tidak memecahkan masalah mereka.
Dengan peristiwa perceraian orangtuanya, ia berpikir bahwa mereka sudah tidak lagi mengasihi dan menghargainya.
h. Remaja merasa sedih, bingung dan tertekan. Pada saat-saat seperti ini,
remaja mengalami perasaan yang hampir sama dengan kesedihan yang dirasakan oleh orang yang ditinggal mati oleh teman atau orang yang
dikasihinya. Remaja menjadi sedih dan bingung, sehingga ia merasa malas, tidak bersemangat dan kurang termotivasi untuk melakukan segala sesuatu.
i. Remaja merasa tidak berdaya dan putus asa. Perceraian orangtua akan membuat remaja menjadi frustrasi karena ia tidak dapat melakukan apa
kepedihan akibat situasi itu akan membuat remaja merasa tidak berdaya dan putus asa.
j. Remaja merasa dikhianati oleh orangtuanya dan muncul perasaan kesepian. Remaja merasa bahwa orangtuanya telah mengkhianatinya
karena mereka telah meninggalkannya sehingga hal ini mengakibatkan munculnya perasaan kesepian di dalam diri remaja itu. Remaja juga merasa bahwa tidak seorang pun yg memahami apa yang sedang
dialaminya dan mengerti perasaannya. Pada saat seperti inilah, remaja menjadi sangat kesepian.
Berbagai dampak terhadap kondisi emosi remaja ketika menghadapi peristiwa perceraian orangtuanya itu akan menghasilkan proses kesedihan yang berlanjut setelah terjadinya perceraian. Proses ini memiliki 5 tahap, yaitu
(Mc Dowell, 2002) : a. Penyangkalan.
Pada tahap penyangkalan ini, remaja tidak ingin mempercayai bahwa masalah perceraian sedang melanda kedua orangtuanya. Remaja akan menunjukkan reaksi menarik diri dan tidak ingin membicarakan masalah perceraian itu
kepada siapa pun juga.
b. Marah.
Remaja telah kehilangan sebagian rasa aman di dalam dirinya, sehingga secara tidak sadar ia menjadi marah dan emosinya mudah meledak-ledak. Remaja menjadi marah dan melampiaskan kemarahannya itu terhadap salah satu
Di satu sisi ia berusaha mencari kesalahan orang tuanya namun di sisi lain ia juga marah kepada dirinya sendiri karena merasa bersalah.
c. Tawar-menawar.
Pada tahap ini remaja mulai tawar-menawar dengan keadaannya. Perilaku
yang muncul pada tahap ini adalah menjadi sangat religius dan mulai mencari jalan keluar dengan cara-cara yang religius pula, misalnya dengan berdoa. Remaja mulai mencoba melakukan ”negosiasi” terhadap Tuhan.
Tawar-menawar ini diikuti dengan janjinya terhadap Tuhan jika orangtuanya bersatu kembali, maka ia akan mengubah perilakunya yang buruk.
d. Depresi.
Depresi muncul ketika remaja menjadi sadar bahwa perceraian itu benar-benar akan terjadi. Pada saat-saat seperti ini, remaja menjadi sangat sedih dan putus
asa atas perasaan kehilangan yang menimpa dirinya. Ketakutan, kecemasan dan rasa tidak aman akan menyertai kondisi depresi ini ketika ia menjalani
hidup tanpa kehadiran salah satu orangtuanya. Kesepian merupakan sisi lain dari depresi.
e. Penerimaan
Seiring dengan berjalannya waktu dan remaja telah melalui beberapa tahap kesedihan, maka ia akan mampu menerima kenyataan dan mulai dapat
C. Mekanisme Pertahanan Diri 1. Definisi Mekanisme Pertahanan Diri
Anna Freud (Hall-Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa di bawah tekanan yang berlebihan, Ego terkadang harus menempuh cara tertentu untuk
menghilangkan tekanan. Cara itu disebut Mekanisme Pertahanan Ego. Mekanisme Pertahanan yang pokok adalah : represi, proyeksi, reaksi formasi, fiksasi dan regresi. Semua mekanisme pertahanan memiliki dua ciri umum,
yaitu mereka menyangkal, memalsukan, atau mendistorsi kenyataan dan mereka bekerja secara tidak sadar sehingga individu tidak tahu apa yang
sedang terjadi.
Mekanisme pertahanan diri dapat dibedakan berdasarkan tingkat kematangannya, yaitu mature atau matang dan immature atau tidak matang.
Mekanisme pertahanan yang mature adalah : altruism, anticipation, asceticism, humor, sublimation dan suppression. Mekanisme yang
dimaksudkan oleh Anna Freud adalah Mekanisme pertahanan yang immature. (Kaplan, 1994). Untuk selanjutnya, Mekanisme pertahanan yang akan diuraikan pada penelitian ini adalah mekanisme pertahanan yang immature.
Penggunaan mekanisme pertahanan merupakan hal yang mutlak bagi individu karena tujuan dari mekanisme pertahanan adalah melindungi Ego
serta mengurangi kecemasan. Menggunakan Mekanisme Pertahanan Diri untuk menyesuaikan diri dari tekanan hidup yang tidak dapat dielakkan tidak selalu merupakan hal yang sehat. Bergantung secara ekstensif pada
menetap pada sifat pribadi individu, sehingga akan membuat individu menjadi semakin sulit untuk mengatasi permasalahan ; baik kecil maupun besar dengan
cara efektif. Anna Freud menjadi sangat diyakinkan bahwa banyak dari simtom dan tanda dari gangguan emosi (termasuk kecemasan, depresi dan
perilaku yang berindikasi psikosis) berasal dari kepercayaan yang tidak pada tempatnya terhadap penggunaan Mekanisme defensif tersebut (Wilson, 1996). Mekanisme Pertahanan Ego menjadi tidak sehat bila individu terus-menerus
mengulang Mekanisme itu sehingga akan terbentuk pribadi yang neurotik.
2. Terbentuknya Mekanisme Pertahanan Diri
Sigmund Freud menjelaskan bahwa Ego beroperasi berdasarkan prinsip kenyataan (reality principle). Pengertian itu memiliki arti Ego - lah
yang berperan menggabungkan proses mental dengan dunia nyata. Ego
menggunakan fungsi mental yang bersifat sekunder atau lebih tinggi karena
Ego berfungsi mengatur pemuasan dorongan id. Dorongan id memiliki sifat atau karakteristik tertentu, yaitu langsung mencari pemuasan, menunda kepuasan dan mengganti obyek pemuasan atau substitusi obyek (Hall &
Lindzey, 1993).
Ego seringkali terancam oleh dorongan id, karena kebutuhan id
mungkin tidak tersedia dalam kenyataan, misalnya : anak menangis karena lapar, namun tidak ada air susu ; atau kalaupun kebutuhan itu ada namun tidak cocok dengan kenyataan, misalnya ada dorongan seksual tapi belum
mengalami kecemasan. Untuk mengurangi kecemasan inilah, maka Ego
menggunakan Mekanisme Pertahanan Diri ( Prihanto, 1993 ).
Tokoh lain yang merupakan pengembang teori Mekanisme Pertahanan Diri adalah Henry A. Murray. Pandangan-pandangan yang sangat
mempengaruhi Murray berasal dari teori psikoanalitik, meskipun dalam banyak hal berbeda secara mencolok dengan pandangan Freudian ortodoks. Sumbangan pemikiran Murray yang paling khas adalah pembahasannya
tentang perjuangan, pencarian, keinginan, hasrat dan kemauan manusia. Hal yang paling penting untuk memahami individu adalah mengenai keterarahan
kegiatannya, baik mental, verbal atau fisik (Hall & Lindzey, 1993).
Perhatian Murray pada keterarahan telah membawanya pada sistem konstruk-konstruk motivasi yang dilukiskan dengan kompleks dan teliti. Ada
motivasi tertentu yang mendasari setiap perilaku individu walaupun ia menyadari atau tidak. Motivasi merupakan kekuatan dinamis, pemberi energi
serta pengarah perilaku manusia dan motivasi selalu berkaitan dengan kebutuhan.
a. Motivation Principle
Prinsip ini dibahas dalam dinamika Tension Reduction. Menurut
Murray, hakekat eksistensi manusia adalah memperoleh kesenangan
(pleasure) dan menghindari kesakitan (pain). Teorinya bersifat neurofisiologis, artinya kepribadian manusia dipahami dari akar fisiologisnya.
sangat yakin bahwa setiap manusia didorong oleh upaya untuk mencapai
equilibrium atau keseimbangan keadaan tubuh. Adanya kebutuhan
menimbulkan kekuatan yang ada di wilayah otak sebagai bagian yang berperan dalam mengorganisasikan tindakan dan mengarahkan tindakan itu ke
suatu arah tertentu. Murray mengulas konsep reduksi tegangan ini sebagai berikut (Prihanto,1993) :
1) Kebutuhan (Need)
Murray mengemukakan 5 kriteria identifikasi kebutuhan, yaitu :
− Merupakan respon terhadap suatu obyek atau sekelompok obyek yang
berfungsi sebagai stimulus.
− Menyebabkan munculnya perilaku.
− Adanya konsekuensi atau hasil akhir dari perilaku itu.
− Adanya suatu respon emosional tertentu dalam perilaku itu.
− Adanya tingkat kepuasan atau ketidakpuasan tertentu setelah seluruh
respon dilakukan.
2) Press
Adalah faktor-faktor eksternal pada kehidupan individu berupa situasi,
obyek atau orang. Jika need berasal dari dalam individu, maka press
berasal dari luar diri individu. Setiap press memiliki potensi tertentu. Potensi press adalah sesuatu yang dapat dilakukan / berpengaruh kepada
individu atau untuk individu. Potensi adalah kekuatan yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan atau keadaan individu dengan cara yang
− Alpha press, yaitu karakteristik yang nyata dan obyektif dari press.
− Beta press, yaitu interpretasi pribadi yang bersifat subyektif yang
dilakukan individu terhadap obyek tersebut, sehingga interpretasi ini akan mempengaruhi dirinya dalam menanggapi press itu. Dengan kata
lain, beta press menunjukkan bagaimana individu mempersepsi
(perceived) dan mengalami (experience). 3) Thema
Murray menggunakan konsep ini untuk menghubungkan antara need dan
press. Thema merupakan interaksi antara need dan press yang
mengakibatkan suatu perilaku tertentu. Dengan kata lain, thema
menunjukkan adanya totalitas sekuensi (urut-urutan) dari press ke need, misalnya suatu press menuntun ke need tertentu. Meskipun demikian, ada
pola yang teratur dalam thema seseorang yang disebut unity thema. Unity thema ini menjadi inti psikologis dari kepribadian individu yang
menunjukkan keunikannya.
b. Abstract Principle
Murray menekankan prinsip ini untuk memahami kepribadian. Meskipun sangat mungkin untuk mengamati tampilan hakikat organiknya,
lapisan tidak sadar, pra – sadar dan sadar serta struktur id-ego-superego pada kepribadian manusia.
Meskipun demikian, Murray memberikan pengembangan lebih lanjut untuk konsep-konsep Freud. Murray mengatakan bahwa id sebagai faktor
pendorong (sumber energi) perilaku manusia mempunyai sifat positif dan negatif, sehingga tidak sepenuhnya negatif seperti dorongan-dorongan primitif yang tidak dapat diterima masyarakat. Ia mengatakan besarnya id setiap orang
berbeda. Orang yang lebih besar id nya akan lebih kuat energinya untuk mencapai sesuatu. Bagaimana id menyesuaikan dengan lingkungan, sebagian
ditentukan oleh besarnya id yang dimiliki untuk memotivasi diri dan bagaimana ia mengontrol id tersebut. Semakin besar id, semakin kuat usahanya untuk mencapai apa yang diinginkan dan memilih saluran yang
dapat membantunya untuk mencapai apa yang diinginkannya itu.
Murray mengartikan ego lebih dari sekedar mengontrol impuls id. Ego
adalah aspek rasional dari kepribadian, dalam arti ego mengorganisasi (mengatur dan mengontrol), menguji realitas dan mencari kesempatan-kesempatan untuk mengekspresikan dorongan id dengan cara yang diterima
diri dan disetujui oleh lingkungannya (Prihanto, 1993).
Superego tidak hanya berasal dari orangtua atau sosok otoritas dalam
kehidupan seorang anak. Superego juga berasal dari tokoh mitologis atau dari tokoh lain dalam buku. Penambahan konsep yang diutarakan oleh Murray adalah konsepnya mengenai ego – ideal yang mencerminkan cita-cita di masa
Jadi superego tidak hanya berfungsi menekan dan menyesuaikan diri, tetapi menetapkan tujuan-tujuan jangka panjang untuk diri sendiri yang harus
diperjuangkan.
Kebutuhan manusia berasal dari kesadarannya namun sebagian besar
berasal dari ketidaksadarannya. Upaya pemenuhan kebutuhan akan membentuk suatu kepribadian karena adanya bantuan atau hambatan dari lingkungan. Ada beberapa kebutuhan yang diloloskan dan ada pula kebutuhan
yang dihambat oleh press (Prihanto, 1993).
Kebutuhan yang dihambat oleh press akan menimbulkan tegangan dan
individu akan terus berusaha menurunkan tegangan dengan memenuhi kebutuhan untuk mencapai tujuan. Tegangan yang mucul akibat terhambatnya kebutuhan oleh press akan menimbulkan kecemasan, sehingga untuk
mengatasi kecemasan itulah maka mekanisme pertahanan diri terbentuk (Prihanto, 1993).
5. Bentuk-bentuk Mekanisme Pertahanan Diri
Berikut ini adalah bentuk-bentuk Mekanisme Pertahanan Diri
menurut Bellak (1997) :
a. Denial
Adalah tindakan menyangkal atau mengingkari hal yang menyakitkan atau tidak menyenangkan dari kenyataan yang terjadi.
Adalah suatu kecenderungan untuk membela diri sendiri (menyadari kesalahan diri sendiri namun diekspresikan kepada orang lain).
c. Represi
Adalah melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk diingat
sampai pada taraf tidak sadar (unconscious)
d. Formasi Reaksi
Adalah upaya penggantian di dalam kesadaran perasaan yang
menyebabkan kecemasan dengan sesuatu yang sebaliknya.
e. Undoing
Adalah satu langkah baru yang diambil setelah melakukan formasi reaksi. Hal positif yang dilakukan secara nyata atau dalam imajinasi merupakan lawan dari sesuatu yang nyata atau di dalam imajinasi, telah
dilakukan sebelumnya.
f. Isolasi
Pada mekanisme ini, individu tidak melupakan kejadian atau peristiwa traumanya namun ia kehilangan jejak hubungan dan arti emosional, terutama mengandung ide yang sebenarnya berkaitan dengan
pengalaman emosional itu.
g. Regresi
Adalah kembali pada tahap perkembangan, keadaan, tempat atau posisi sebelumnya. Mekanisme ini biasa terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa, dengan memunculkan kebiasaan yang infantil.
Adalah memindahkan sumber kecemasan yang disebabkan karena situasi atau orang tertentu atau sesuatu kepada hal yang lain. Pemindahan dapat
berupa afeksi yang dipindahkan kepada obyek.
D
.
Mekanisme Pertahanan Diri Remaja Ketika Menghadapi Masalah Perceraian OrangtuaMasa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidak-seimbangan, sehingga remaja mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Remaja
sering diombang-ambingkan oleh munculnya beberapa hal, yaitu : kekecewaan dan penderitaan, meningkatnya konflik, pertentangan dan krisis penyesuaian,
impian dan khayalan, masalah percintaan serta keterasingan dari kehidupan dewasa serta dari norma kebudayaan. Bandura (Gunarsa, 2004) menyebutkan bahwa masa remaja menjadi suatu masa pertentangan atau ”pemberontakan”
karena terlalu menitik beratkan kebebasan karena ketidak patuhan dan hal ini tampak seperti pada tren pakaian (mode) yang selalu berubah dan model rambut
serta pakaian yang aneh. Pada masa remaja ini, mereka cenderung sadar akan keberadaan dirinya, idealistis, dan suka memberontak. Mereka sedang berada dalam proses pembentukan identitas diri dan sedang belajar untuk menentukan
pilihan-pilihan pribadinya. Pada masa pembentukan identitas diri ini, remaja sangat membutuhkan dukungan sosial, terutama dari unit sosial yang terkecil dan
mereka yang memiliki kondisi keluarga yang tidak harmonis, misalnya orangtua yang bercerai.
Pada beberapa dekade terakhir, tingkat perceraian keluarga telah meningkat tajam, khususnya pada negara bekembang dan industri. Sejauh ini,
tingkat perceraian yang tertinggi dalam negara industri adalah Amerika Serikat. Sampai saat ini, kira-kira setengah dari perkawinan di Amerika berada di ambang perceraian. Di Eropa, 2 dari 5 perkawinan yang ada di Inggris, Denmark dan
Swedia juga akan berakhir perceraian, di Jepang setiap 5 perkawinan pasti ada 1 perceraian (The Economist, 1992). Menurut Singarimbun dan Parmore (Asian &
Pacific Population Forum, 1992), di Indonesia angka perceraian dan perkawinan kembali lebih tinggi daripada Asia. Menurut catatan Kantor Departemen Agama (KANDEPAG) Daerah Istimewa Yogyakarta, di Yogyakarta angka perceraian
menempati kedudukan tertinggi diantara kabupaten lainnya, yaitu sebesar 6,46 % (Harian Seputar Indonesia, 2006). Fenomena yang terjadi ini tentu sangat
berpengaruh pada kondisi psikis orangtua dan anak mereka, baik anak yang sedang pada masa pertumbuhan serta remaja yang berada pada masa transisi ke arah usia dewasa.
Ketika orangtua remaja bercerai, maka hal ini akan mengakibatkan tekanan emosi dalam diri remaja itu. Tekanan emosi tersebut kemudian akan memberikan
dampak negatif terhadap perkembangan emosi dalam dirinya sehingga ia menjadi cemas. Sumber kecemasan ini berasal dari beberapa hal, yaitu kehilangan kasih sayang dan dukungan yang sangat dibutuhkan dari salah satu orang tua, keharusan
mencintai yang sudah terjalin dengan saudara, kekurangan dukungan finansial, harus menjalankan tugas dan kewajiban yang baru dan pandangan bahwa keluarga
yang bercerai adalah suatu hal yang negatif.
Kecemasan yang dialami remaja yang berasal dari sumber-sumber
kecemasan itu akan mendorong remaja untuk mencari jalan keluar dengan cara membuat Mekanisme Pertahanan Diri, misalnya remaja melupakan kekecewaannya dengan cara menekan kekecewaan itu sampai ke alam bawah
sadarnya, sehingga ia tidak menyadari hal-hal yang menyakitkan tersebut dan remaja memindahkan rasa kecewanya karena orang tua bercerai kepada orang
lain. Mekanisme pertahanan diri dapat dibagi berdasarkan tingkat kematangannya, yaitu mature dan immature (Kaplan, 1994). Mekanisme pertahanan yang mature
adalah: altruism, anticipation, asceticism, humor, sublimation dan suppression.
Mekanisme pertahanan yang akan diuraikan pada penelitian ini adalah mekanisme pertahanan yang immature, artinya mekanisme pertahanan yang tidak tergolong
mature yang telah disebutkan diatas, antara lain: denial, proyeksi, represi, formasi
Dinamika Penggunaan Mekanisme Pertahanan Diri dan Sumber Kecemasan yang dialami remaja ketika menghadapi Masalah Perceraian Orang Tua
Remaja dengan orang tua bercerai
Dampak perceraian secara hukum : 1. Suami dan istri menjadi lajang. 2. Hak Perwalian atas anak
Muncul kecemasan terhadap :
1. Kehilangan kasih sayang dan dukungan yang sangat dibutuhkan dari salah satu orang tua.
2. Keharusan untuk menerima situasi dan keluarga yang baru. 3. Kehilangan suatu kondisi saling mencintai yang sudah
terjalin dengan saudara.
4. Kekurangan dukungan finansial.
5. Harus menjalankan tugas dan kewajiban yang baru.
6. Pandangan bahwa keluarga yang bercerai adalah suatu hal yang negatif.
MPD
Mature :
1. Altruism
2. Anticipation
3. Asceticism
4. Humor
5. Sublimation
6. Suppression
Immature : 1. Denial 2. Proyeksi 3. Represi 4. F. Reaksi 5. Undoing 6. Isolasi 7. Regresi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Asumsi Penelitian Kualitatif
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan desain studi kasus. Artinya, penelitian ini menggambarkan atau
menjelaskan suatu fenomena yang terjadi di masa sekarang. Penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip wawancara dan catatan lapangan. Pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan
pandangan dasar interpretatif dan fenomenologis yang tujuannya lebih menekankan pada upaya untuk memahami kehidupan sosial (makna dan
pemahaman). Asumsi-asumsi penelitian kualitatif antara lain (Creswell,1994) :
1. Lebih menekankan pada proses daripada hasil atau produk.
2. Tertarik tentang ‘meaning’ (makna), yaitu bagaimana orang memberikan
pemaknaan atas kehidupannya, pengalaman-pengalamannya dan atas struktur-struktur dunianya.
3. Peneliti adalah instrumen penting dalam pengumpulan dan analisis data. Data dikumpulkan melalui peneliti sebagai instrumen dan bukan melalui inventori, kuesioner atau mesin.
4. Melibatkan kerja lapangan. Peneliti secara fisik menemui orang atau institusi di lokasi tertentu dan latar belakang tertentu, untuk mengobservasi atau
5. Penelitian kualitatif adalah deskriptif dimana peneliti tertarik pada proses, makna dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata atau gambar.
6. Proses penelitian kualitatif adalah induktif dimana peneliti membangun abstraksi, konsep, dan teori-teori dari detail-detail.
Definisi studi kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas (Poerwandari, 2005). Studi kasus dapat dibedakan menjadi
beberapa tipe yaitu : studi kasus intrinsik, instrumental dan kolektif. Studi kasus yang disajikan dalam penelitian ini adalah studi kasus instrumental, yaitu
penelitian pada suatu kasus unik tertentu yang dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan dan memperhalus teori.
Beberapa tipe unit yang dapat diteliti dalam bentuk studi kasus adalah
individu-individu, karakteristik atau atribut dari individu-individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa tertentu. Dengan menggunakan studi
kasus, maka akan memungkinkan peneliti untuk memperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai hubungan antara berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut.
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah mekanisme pertahanan diri. Dalam penelitian
1. Mekanisme Pertahanan Diri.
Mekanisme pertahanan diri adalah cara tertentu yang ditempuh oleh
ego untuk menghilangkan tekanan ketika ego berada di bawah tekanan yang berlebihan (Hall & Lindzey, 1993). Jenis Mekanisme Pertahanan
Diri adalah Denial, Proyeksi, Represi, Formasi reaksi, Undoing, Isolasi, Regresi, Displacement (Bellak, 1997). Mekanisme Pertahanan Diri dapat diketahui melalui respon jawaban subyek dalam wawancara yang sesuai
dengan batasan pengertian Mekanisme Pertahanan Diri serta melalui cerita yang diceritakan subyek dalam TAT.
2. Sumber Kecemasan
Sumber kecemasan adalah tekanan emosi yang di sebabkan dari dampak-dampak perceraian. Hal-hal yang menjadi sumber kecemasan
bagi remaja yang disebabkan karena dampak perceraian adalah :
a. Kehilangan kasih sayang dan dukungan yang sangat dibutuhkan dari salah
satu orangtua.
b. Keharusan untuk menerima situasi dan keluarga yang baru.
c. Kehilangan suatu kondisi saling mencintai yang sudah terjalin dengan
saudara.
d. Kekurangan dukungan finansial.
e. Harus menjalankan tugas dan kewajiban yang baru.
C. Batasan Variabel Penelitian
Menurut Anna Freud (Hall-Lindzey, 1993), Mekanisme Pertahanan Ego adalah
cara tertentu yang ditempuh oleh Ego untuk menghilangkan tekanan ketika Ego
mengalami tekanan yang berlebihan. Jenis-jenis Mekanisme itu adalah (Bellak, 1997) :
Denial
Adalah tindakan menyangkal atau mengingkari hal yang menyakitkan
atau tidak menyenangkan dari kenyataan yang terjadi. 2.
Proyeksi
Adalah suatu kecenderungan untuk membela diri sendiri (menyadari kesalahan diri sendiri namun diekspresikan kepada orang lain).
3. Represi
Adalah melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk diingat sampai pada taraf tidak sadar (unconscious)
4. Formasi Reaksi
Adalah upaya penggantian di dalam kesadaran perasaan yang menyebabkan kecemasan dengan sesuatu yang sebaliknya.
5. Undoing
Adalah satu langkah baru yang diambil setelah melakukan formasi
6. Isolasi
Pada mekanisme ini, individu tidak melupakan kejadian atau peristiwa
traumanya namun ia kehilangan jejak hubungan dan arti emosional, terutama mengandung ide yang sebenarnya berkaitan dengan
pengalaman emosional itu.
7.
Regresi
Adalah kembali pada tahap perkembangan, keadaan, tempat atau posisi
sebelumnya. Mekanisme ini biasa terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa, dengan memunculkan kebiasaan yang infantil.
8.
Displacement
Adalah memindahkan sumber kecemasan yang disebabkan karena situasi
atau orang tertentu atau sesuatu kepada hal yang lain. Pemindahan dapat berupa afeksi yang dipindahkan kepada obyek.
Dalam penelitian ini, cara untuk mengetahui Mekanisme Pertahanan Diri adalah melalui proses wawancara kemudian diperkuat dengan hasil interpretasi TAT.
D
.
Subyek PenelitianSubyek penelitian di dapatkan dari teman peneliti dan juga melalui salah satu
Sekolah Menengah Umum di Yogyakarta. Kriteria yang dipakai dalam memilih subyek adalah sesuai dengan batasan usia remaja dan tujuan penelitian. Subyek di dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria berikut :
1. Remaja yang orangtuanya bercerai.