Escherichia coli ATCC 25922
Kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz terhadap rasio reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922 dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Kurva Kombinsai 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 ( ) dan Escherichia coli ATCC 25922 ( )
Grafik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan nilai reduksi yang sangat besar antara Staphylococcus aureus dan Escherichia coli pada kombinasi sistem pasteurisasi nontermal yang dilakukan, dimana S. aureus mampu direduksi hingga 36,58% sedangkan E. coli hanya direduksi 7,41% dari total bakteri uji yang direkontaminasikan pada susu.
Mikroorganisme mempunyai sensitivitas yang sangat beragam terhadap radiasi UV. Hal ini diantaranya terkait dengan perbedaan bentuk dan ukuran mikroorganisme, jamur lebih sensitif daripada kapang dan lebih sensitif daripada bakteri, sedangkan sel bakteri lebih sensitif daripada virus. Spesies dan galur bakteri juga sangat beragam sensitivitasnya terhadap radiasi UV, sel bakteri yang berbentuk batang lebih sensitif daripada bakteri berbentuk bulat, dan bakteri Gram negatif lebih sensitif daripada bakteri Gram positif. Tingkat reduksi juga dipengaruhi oleh jumlah bakteri awal, jumlah relatif sel yang resisten dalam populasi, jumlah spora yang terbentuk, umur, dan kondisi pertumbuhan dari galur mikroorganisme yang terdapat
36,583 ± 13,62 7,411 ± 6,7 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Redu ksi (%)
40 dalam bahan pangan yang akan diaplikasikan radiasi UV. Toksin yang dibentuk oleh mikroorganisme tidak dapat dihancurkan dengan level dosis radiasi yang direkomendasikan dalam bahan makanan (Ray dan Bhunia, 2007).
Staphylococcus aureus tergolong bakteri Gram positif dan Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif karena S. aureus menghasilkan sel berwarna biru sedangkan sel Escherichia coli berwarna merah ketika dilakukan pewarnaan Gram. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang sebagian besar terdiri dari lapisan peptidoglikan (90%) sedangkan lapisan tipis lainnya adalah asam teikoat yang mengandung unit-unit gliserol atau ribitol. Dinding sel bakteri Gram negatif hanya memiliki lapisan peptidoglikan 5-20%, sedangkan lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan peptidoglikan pada dinding sel ini sangat tegar yang terdiri dari unit-unit glikan tetrapeptida yang membentuk suatu polimer yang disebut juga mukokompleks. Lapisan peptidoglikan yang tebal ini akan memberikan pertahanan yang lebih bagi bakteri saat bakteri dikenakan perlakuan fisik.
Hasil pengujian yang dilakukan mendapatkan bahwa dengan populasi bakteri awal yang sama besar (105 cfu/ml), kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam mereduksi Staphylococcus aureus daripada Escherichia coli. Hasil ini tidak sesuai dengan Pothakamury et al. (1995) yang menyatakan bahwa perlakuan HPEF dapat mereduksi S. aureus sebesar 3 log siklus sedangkan E. coli 4 log siklus. Hal ini tidak juga tidak sesuai dengan pernyataan Ray dan Bhunia (2007) dalam kaitan bentuk sel dan karakteristik dinding sel, tetapi hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain dari populasi kultur bakteri seperti jumlah relatif sel yang resisten dalam populasi, umur, kondisi pertumbuhan, dan toksin yang dibentuk dari galur S. aureus dan E. coli.
Karakteristik membran dan konstruksi dinding sel bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi keresistenan dan sensitivitas bakteri terhadap perlakuan HPEF. Ukuran sel juga sebagai faktor penting yang harus dipertimbangkan. Teori potensial membran menyatakan bahwa induksi potensial transmembran berhubungan dengan ukuran sel (Liu et al., 1997). Zimmerman et al. (1986) menyebutkan bahwa dibutuhkan nilai potensial kehancuran kritis yang lebih rendah pada ukuran atau volume sel yang lebih besar. Hal ini juga tidak sesuai
41 dengan hasil penelitian yang dilakukan, dimana ukuran S. aureus umumnya lebih kecil daripada E. coli yaitu secara berturut-turut 0,5-1 µm dan 1-3 µm.
Galur tententu menunjukkan keresistenan terhadap radiasi karena memiliki sistem metabolisme yang efektif dalam memperbaiki kerusakan sel, khususnya kerusakan untaian tunggal dan rangkap nukleotida dan kerusakan-kerusakan yang mendasar. Bakteri ini meliputi beberapa galur bakteri yang penting dan sudah umum terdapat dalam makanan yaitu Salmonella Typhimurium, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis.
Nilai Bilangan Peroksida
Standar pengujian ini dilakukan untuk penentuan adanya radikal bebas dan ketengikan pada susu sebagai pengaruh dari aplikasi radiasi sinar UV dan HPEF yang diaplikasikan pada susu. Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya dan bersifat racun dalam tubuh karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein, dan jaringan lemak. Susu merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan mengandung banyak lemak. Lemak dan senyawa-senyawa yang larut dalam lemak sangat rentan terhadap proses oksidasi. Hasil uji bilangan peroksida menggunakan metode Titrimetri yang mengacu pada SNI 01-3555-1998 menyatakan bahwa kombinasi perlakuan sinar UV dan frekuensi HPEF yang diaplikasikan pada susu kambing tidak menimbulkan radikal bebas dan ketengikan pada susu.
Elektroforesis
Metode elektroforesis mengacu pada Laemmli (1970). Hasil uji elektroforesis dapat dilihat pada Gambar 20.
42 Gambar 20. Hasil Elektroforesis terhadap Komponen Protein Susu.
Dengan perlakuan: a (Kontrol); b (UV + HPEF 10 Hz); c (UV + HPEF 15 Hz); d (UV + HPEF 20 Hz)
Protein terbagi atas dua komponen besar, yaitu 80% kasein dan sisanya adalah protein whey. Kasein mengandung empat macam komponen yaitu αs1-kasein, αs2-kasein, β-kasein dan γ-kasein, sedangkan protein whey terdiri atas dua komponen utama yaitu β-laktoglobulin (β-lg) dan α-laktalbumin (α-la). Berat molekul antar komponen kasein berturut-turut adalah αs1-kasein 25,2 kD, β-kasein 23,9 kD, αs1 -kasein 22,1 kD, dan γ--kasein 19,0 kD. Berat molekul protein whey yaitu β-Ig 18,2 kD dan α-La 14,2 kD. Protein whey sangat sensitif terhadap panas dan mengalami denaturasi pada suhu 60 °C (Chairunnisa, 1997).
Hasil uji elektroforesis (Gambar 20) menunjukkan bahwa adanya garis pita protein yang sangat tipis pada rentang berat molekul antara 14,4-18,8 kD pada sampel b, c dan d, tetapi tidak terdapat pada sampel a (kontrol). Hasil pengujian elektroforesis ini tidak optimal karena komponen protein tidak dapat terlihat seluruhnya pada sampel kontrol, sehingga tidak dapat disimpulkan pengaruh radiasi sinar UV dan HPEF terhadap komponen protein susu. Hal ini dapat dikarenakan kondisi pengujian elektroforesis yang tidak optimal, seperti konsentrasi sampel yang digunakan belum cukup untuk memunculkan pita-pita protein secara jelas, komposisi sampel yang diuji, serta susu perlu diseparasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian elektroforesis.
Berbagai perlakuan kimia dan fisik seperti aplikasi kadar asam yang tinggi dan pemanasan di atas 50 °C dalam bahan pangan yang mengandung protein dapat
14,4 116 66,2 45 35 25 18,4 c d b a Berat Mo le k ul ( kD)
43 mengganggu ikatan hidrogen dan faktor-faktor lain yang mempertahankan struktur protein yaitu struktur sekunder, tersier dan quartener yang disebut sebagai denaturasi. Prosedur sterilisasi dan desinfeksi sering menggunakan panas atau proses kimiawi dalam membunuh mikroorganisme dengan mendenaturasi struktur proteinnya (Black, 2004). Perlakuan radiasi sinar UV yang diaplikasikan pada susu berhubungan dengan perusakan struktur DNA sel bakteri. DNA ini juga merupakan komponen pembentuk asam amino yang selanjutnya akan menyusun struktur protein. Hal yang sama terjadi terhadap susu yang digunakan sebagai media sampel, akan tetapi denaturasi protein pada susu tidak merugikan karena membuat susu lebih mudah untuk dicerna.
Sifat dasar dari pasteurisasi nontermal menggunakan radiasi sinar UV dan HPEF diharapkan mampu mempertahankan kesegaran bahan pangan. Urbain (1986) menjelaskan bahwa radiasi tergolong proses sterilisasi dingin karena suhu makanan cenderung tidak berubah selama proses, sehingga tidak menimbulkan pengaruh kerusakan pada kualitas makanan akibat pemanasan, akan tetapi radiasi dapat menimbulkan oksidasi lemak dan denaturasi protein pada makanan jika digunakan dosis yang terlalu tinggi.
Ray dan Bhunia (2007) menyebutkan bahwa makanan yang diradiasi tidak menyebabkan toksik dan kerusakan genetik pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut. Komisi ahli WHO setelah melakukan peninjauan yang cukup luas dengan lebih dari 200 kasus di dunia, merekomendasikan penggunaan radiasi untuk penanganan makanan dengan level dosis 10 kGy. Pemanfaatan radiasi untuk menangani bahan makanan telah diaplikasikan di banyak negara, dan perdagangan produk radiasi ini telah secara rutin dilakukan. Produk pangan yang diradiasi tidak menimbulkan radioaktif dan radiolisis pada produk, metode ini hanya merupakan metode pengawetan makanan dan telah diteliti keamanannya selama lebih dari 40 tahun sebelum teknik pengawetan ini direkomendasikan.
Dosis reaktor UV yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2,27 kGy yang merupakan UV tipe C dengan spektrum panjang gelombang elektromagnetik 253,7 nm. Mikroorganisme rentan terhadap cahaya UV pada kisaran gelombang 200-280 nm. Dosis radiasi disimbolkan dengan rad, dimana 1 rad didefinisikan sebagai jumlah radiasi ion yang menghasilkan penyerapan 100 ergs per gram bahan yang
44 diaplikasikan UV. Sekarang ini, satuan radiasi lebih umum digolongkan ke dalam gray (Gy), dimana 1 Gy sama dengan 100 rad. Makanan sebanyak 1 kg yang menyerap energi 1 joule (1 joule = 107) akan menerima dosis 1 Gy. Otoritas keamanan dan kesehatan internasional menyebutkan bahwa makanan diradiasi hingga 10.000 Gy (10 kGy), dipertimbangkan sebagai batas aman dari penggunaan radiasi dalam penanganan makanan. Dosis medium yaitu 1-10 kGy dapat digunakan untuk membasmi mikroba pembusuk dan patogen dalam produk pangan guna meningkatkan keamanan dan stabilitas produk atau makanan yang didinginkan (disimpan di dalam lemari pendingin) (Ray dan Bhunia, 2007).