• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja dan Mengurangi

Dalam dokumen Makalah Masalah Pengangguran di Indonesia (Halaman 28-35)

BAB II PEMBAHASAN

G. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja dan Mengurangi

Masa jaya Nusantara di bawah pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit mencatat perekonomian dan industri yang berpusat pada kekayaan alam, yakni pertanian dan laut. Selepas lima abad, muncullah Republik Indonesia dengan mimpi besar membangun industri maju, tetapi melupakan kemakmuran petani dan nelayan. Perbagai peninggalan candi sebagai bukti kejayaan bangsa berikut reliefnya, seperti simbol Yoni-Lingga, adalah pertanda kemajuan dan kemakmuran masyarakat yang berbasis agraria. Demikian pula gambaran "Kapal Borobudur" yang menggambarkan keakraban masyarakat Indonesia masa lampau dengan lautan luas.

Sesungguhnya, kembali pada jati diri lewat pengembangan industri berbasis lokal, yakni pertanian dan kelautan, adalah jawaban mutlak untuk menyerap tenaga kerja yang melimpah sekaligus menyelamatkan perekonomian nasional.

Kondisi riil membuktikan bahwa industri teknologi tinggi dikuasai negara maju, sedangkan industri teknologi rendah (low technology intensity) dikuasai China, Vietnam, dan negeri jiran lain yang baru berkembang. Praktis, menghadapi persaingan yang tidak seimbang itu, Indonesia harus melakukan renaisans (renaissance) atau gerakan kembali ke industri mula-mula di negeri ini, yakni sektor pertanian dan kelautan. Selanjutnya barulah industri lainnya

berkembang, tetapi terkait atau berangkat dari pengembangan kedua sektor tersebut. Pengamat ekonomi, Faisal Basri, menegaskan, dengan mencermati sejarah masa silam tersebut, tentudeportasi massal ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia tidak perlu terjadi. "Keberadaan TKI adalah ekses dari kegagalan kebijakan lompatan industri. Tanpa memiliki basis industri intensitas rendah yang kuat, kita langsung memaksakan diri bermain di sektor intensitas teknologi tinggi, seperti pembuatan pesawat. Alhasil, semuanya gagal dan telanjur menciptakan angkatan kerja yang meninggalkan kehidupan agraria dan nelayan, tetapi tidak terserap dalam pasar kerja di perkotaan. Mereka ini adalah korban kebijakan pembangunan yang kini dikenal sebagai TKI," Faisal menjelaskan.

Dunia industri Indonesia dewasa ini menjadi potret kegagalan industrialisasi, seperti terjadi di China pada dekade 1960-an akibat kebijakan lompatan jauh ke depan ala Mao Ze Dong. Alih-alih mengikuti proses alamiah perkembangan industri dari skala teknologi rendah, teknologi menengah, hingga teknologi tinggi, Indonesia memaksakan diri "melompat" dari industri teknologi rendah ke teknologi tinggi semasa BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi.

Ketika itu, Malaysia dan Thailand konsisten mempelajari agrobisnis di Indonesia serta mengembangkannya untuk membangun perekonomian mereka. Saat sama, Indonesia sempat mengalami surplus pangan, tetapi selanjutnya

lebih asyik membuat industri pesawat terbang yang bahkan tidak dilakukan oleh Jepang. Hal serupa dialami Korea Selatan pada periode 1970-an akibat blunder kebijakan industrialisasi oleh Park Chung-Hee dalam periode tersebut. Menurut Faisal Basri, hanya industri baja saja yang dapat dikatakan berhasil ketika itu.

Namun, pemimpin Korea Selatan cepat menyadari kesalahan dan cepat kembali mengikuti logika sehat dalam mengembangkan industri dengan kembali ke titik awal, yakni mengukuhkan sektor pertanian- kelautan sebelummenapaki industri teknologi menengah dan teknologi tinggi.

Mereka berangkat dari pemikiran logis, yakni mengembangkan sektor padat karya, menghasilkan devisa, dan mendorong industri berbasis sumber daya alam (resource-based industry). Kebijakan tersebut sangat berdasar karena sektor pertanian dan perikanan serta budi daya laut bersifat padat karya (labour intensive). Perlahan tetapi pasti, Korea Selatan berkembang menjadi raksasa ekonomi. Skema tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa untuk membayar utang luar negeri, kemudian mengembangkan industri ke skala intensitas menengah hingga teknologi tinggi.

Dewasa ini, seiring perkembangan ke industri teknologi canggih, Korea Selatan meninggalkan industri seperti tekstil untuk produksi massal dan usaha jenis tersebut melakukan relokasi ke China dan Vietnam. Hal tersebut merupakan sebuah prestasi mengingat berdasar kondisi riil, daerah yang

sebetulnya potensial untuk industri adalah Korea Utara, sedangkan wilayah Korea Selatan adalah sentra pertanian.

Namun, di Indonesia terjadi paradoks. Di saat terjadi fenomena teori modernisasi berupa peralihan dari pertanian ke sektor industri dan jasa, justru terjadi gerakan kembali ke desa akibat menyusutnya lapangan kerja di perkotaan. Akan tetapi, tenaga kerja ini juga tidak terserap akibat rendahnya produktivitas industri pertanian. Akibatnya, tenaga kerja tersebut berakhir sebagai buruh migran di negeri jiran.

Salah satu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit membenarkan perlunya menata industri pertanian. Akan tetapi, dia menekankan, industri manufaktur harus tetap mendapat perhatian. Pasalnya, sektor industri yang masih tersisa ini juga harus diselamatkan karena semakin terpuruk akibat persaingan dan terlebih lagi tekanan produk perundang-undangan pemerintah di tingkat pusat serta daerah.

Kondisi riil saat ini ada persoalan mendasar yang menghambat upaya menggerakkan sektor manufaktur, yakni tingginya biaya yang bersumber dari aturan-aturan mengenai perburuhan. Pelbagai peraturan yang ada justru semakin memberatkan dunia usaha. Padahal, pihak pengusaha tengah berusaha mempertahankan pekerja tetap berada di sektor formal.

Peraturan yang justru semakin memberatkan pengusaha dan buruh itu misalnya aturan mengenai pesangon yang terlalu besar dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Seharusnya, lanjut Anton Supit, terjadi perpindahan pekerja informal ke sektor formal dalam kondisi normal. Apalagi jumlah tenaga kerja informal di Indonesia menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mencapai 68-70 persen dari angkatan kerja. Kondisi ini pada akhirnya mendorong pengusaha menghindari memiliki karyawan tetap. Mereka cenderung menggunakan sistem kontrak yang memang tidak memberi jaminan kelangsungan kerja bagi buruh. Faisal Basri membenarkan pendapat tersebut. Menurut dia, beratnya komponen pajak dan peraturan ketenagakerjaan semakin menghambat sisa-sisa industri manufaktur di Indonesia. Sebagai contoh, untuk memecat tenaga kerja akan memunculkan biaya yang sangat tinggi bagi pengusaha. Kebijakan perpajakan juga turut menyudutkan dunia usaha, misalnya pajak yang harus ditanggung pabrik olahan mete jauh lebih besar dibandingkan eksportir mete mentah.

Meski demikian, Anton Supit merasa optimistis dunia usaha di Indonesia masih akan berkembang. Pasalnya, kondisi adanya pasar, kompetensi, dan harga sebetulnya tetap dapat dipenuhi oleh sektor manufaktur. Direktur Tenaga Kerja dan Analisa Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Widianto menanggapi situasi tersebut dengan mengupayakan skema perundingan bipartit pekerja-pengusaha. Langkah

tersebut lebih efektif untuk mengatasi persoalan labour regulation cost sehingga dunia usaha dapat diselamatkan.

Di lain pihak, kebijakan industri juga terus diarahkan untuk menyerap angkatan kerja secara maksimal. Sasaran utamanya yakni menekan penganggur hingga 5,1 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2009. Akan tetapi, Faisal Basri bersikap pesimistis karena menilai pemerintah tidak serius dalam menangani industri pertanian dan kelautan, seperti terlihat dalam Infrastructure Summit awal tahun ini. Pembahasan tentang infrastruktur yang dilakukan ternyata tidak menyentuh langsung atau menunjang sektor pertanian dan kelautan. Yang menjadi perhatian adalah pembangkit listrik, jalan tol, dan pelbagai proyek mercusuar lain. Proyek yang diusulkan ternyata tidak kompatibel dengan sumber persoalan, yakni membangun sektor pertanian dan kelautan. Usulan proyek yang ada justru mendukung proyek dan pabrik besar tanpa menyentuh jejaring infrastruktur pertanian serta kelautan.

Faisal Basri menambahkan, salah satu penyebab kebijakan yang tidak menyentuh persoalan adalah perilaku para politisi yang sebagian besar bukanlah negarawan. Mereka hanya memikirkan kepentingan sesaat dengan menyetujui atau mendukung proyek yang hasilnya dapat terlihat semasa jabatan mereka tanpa memikirkan kesinambungan sebuah kebijakan. Apalagi membangun industri dasar seperti pertanian dan kelautan merupakan pekerjaan jangka panjang dalam dua atau tiga dasawarsa, seperti dialami Thailand dan Malaysia.

Padahal, jika para politisi jeli, lahan untuk mencari dukungan suara terbesar ada di sektor pertanian dan kelautan. Namun, ketidakpekaan para elite atas pembangunan dunia pertanian atau kelautan terlihat jelas dari pos jabatan menteri di sektor pertanian, ketenagakerjaan ataupun usaha kecil dan menengah yang tidak dipegang oleh partai berkuasa. Posisi tersebut dianggap pos "kering" dibandingkan dengan, misalnya, jabatan menteri keuangan.

Sebagai contoh, semasa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, hanya pos menteri tenaga kerja yang diisi oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saat ini, tidak ada posisi menteri dari tiga sektor tersebut yang dijabat oleh kader Partai Demokrat! Pengalaman sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit tampaknya menjadi jawaban persoalan penyerapantenaga kerja dan TKI. Bukankah istilah gemah ripah loh jinawi sempat dialami waktu itu ketika pertanian dan laut menjadi sumber hidup negeri ini.

Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.

Dalam dokumen Makalah Masalah Pengangguran di Indonesia (Halaman 28-35)

Dokumen terkait