• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

C. Refleksi Kateketis

1. Dasar Refleksi

a. Pelayanan Sabda di dalam Gereja

Pelayanan sabda memiliki beberapa bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi untuk mencapai tujuannya. Ada bentuk yang disebut katekese yang bertujuan membuat iman umat hidup, dasar dan aktif lewat cara pengajaran. Bentuk liturgis, yakni pengajaran yang diberikan bersamaan dengan perayaan liturgi, khususnya perayaan Ekaristi (yakni Homili). Bentuk teologis, yakni suatu cara pemahaman sistematik dan penelitian ilmiah mengenai kebenaran iman (DKU. art 17).

b. Pengertian Katekese

Katekese merupakan salah satu bentuk pelayanan sabda, yang bertujuan membuat iman umat hidup, dasar dan aktif lewat cara pengajaran (DKU. art 17). Melalui cara inilah, terutama dalam lingkup kegiatan pastoral, katekese juga diartikan sebagai karya gerejani yang menghantar kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. art. 31).

Dalam “Catechesi Tradendae” anjuran apostolik Paus Yohanes Paulus II

kepada para Uskup, Klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini diungkapkan bahwa katekese digunakan untuk merangkum seluruh usaha Gereja untuk memperoleh murid-murid, membantu umat mengimani Yesus Putera Allah, umat beroleh kehidupan atas nama-Nya, dan membina serta mendidik umat dalam perihal tersebut untuk membangun Tubuh Kristus. Gereja tidak berhenti malaksanakan tugas tersebut (CT. art. 1).

c. Tujuan Katekese

Dalam anjuran apostolik Catechesi Trandendae, ditegaskan bahwa tujuan katekese adalah mendewasakan iman dan pribadi manusia. Ketika seseorang mengalami kedewasaan iman, maka dia akan bertumbuh semakin tahu dan menghayati iman tersebut. Seluruh pribadi manusia yang diresapi oleh firman akan berpikir, menilai segala sesuatu, bertindak dan berharap seturut dengan ajaran-Nya (CT. art. 20). Katekese mematangkan dan meneguhkan iman, umat didampingi untuk meraih kesatuan iman serta pengertian akan Putera Allah, kedewasaan pribadi manusia, dan pertumbuhan dengan Kristus (CT. art. 25). Selain mendewasakan iman, katekese juga menjadi sarana dalam mengembangkan kecerdasan iman umat beriman, sehingga dapat membentuk pola-pola hidup Kristen yang baik (EN. art. 44). Bila dilaksanakan dengan baik maka umat akan bersemangat untuk memberikan kesaksian tentang iman mereka, untuk menyalurkan terhadap anak-anak mereka, memperkenalkan dengan sesama, dan untuk mengabdi kepada masyarakat dengan cara apapun juga (CT. art. 24).

Dari pemaparan tujuan katekese tersebut, maka katekese senantiasa berusaha menimba inspirasi dari pedagogi iman, yaitu pedagogi Allah, pedagogi Kristus dan pedagogi Gereja. Dalam hal ini, di satu sisi katekese hadir dalam pelayanan yang dapat mengedukasi seseorang dan di sisi lain, katekese juga menolong manusia untuk membuka dirinya bagi dimensi religius kehidupan umat. Bisa diartikan bahwa katekese merupakan sekolah iman, yang dilaksanakan sedemikian rupa agar menembus dan mengubah proses-proses akal budi, hati nurani, kebebasan dan tindakan, yang menjadikan eksistensi manusia sebagai tanda kehadiran Kristus yang nyata di dunia ini (PUK. art. 147).

d. Isi katekese

Katekese berisikan wahyu, yaitu misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyelamatkan dan terjadi dalam sejarah hidup umat manusia, wahyu terjadi melalui hubungan pribadi antara Allah dan manusia (DKU. art. 37). Isi katekese adalah pewartaan Injil yakni warta gembira keselamatan kepada masyarakat dan dunia (CT. art. 26). Allah sendiri yang ingin diwartakan dalam hidup manusia, melalui peristiwa-peristiwa iman yang dialami sehari-hari. Pengenalan akan Allah ini dapat dialami oleh manusia melalui sabda-sabda-Nya. Sabda Allah itu benar-benar hidup dan dapat diteruskan dalam Tradisi dan Kitab Suci yang merupakan harta sabda Allah yang tunggal dan kudus, yang dipercayakan kepada Gereja (CT. art. 27). Sabda Allah inilah yang terus-menerus direnungkan dan dimengerti secara lebih mendalam, melalui pengalaman-pengalaman iman seluruh umat secara pribadi dan bersama-sama. Secara garis besar bahan dan isi katekese meliputi; Sejarah Keselamatan dalam Perjanjian Lama, Sejarah Keselamatan dalam Perjanjian Baru, ajaran pokok pewartaan Kristen, sakramen-sakramen dan pengalaman manusia yang dihayati sebagai karya penyelamatan Allah.

Dalam Petunjuk Umum Katekese art. 97, dipaparkan mengenai kriteria penyajian pesan Injil dalam katekese:

1) Katekese hendaknya berpusat pada pribadi Yesus Kristus (kristosentris). Hal ini berarti katekese menghadirkan Kristus sebagai pusat sejarah keselamatan dan menyampaian ajaran-Nya bagi manusia. Berkaitan dengan dimensi kristosentris ini, diartikan pula bahwa katekese sekaligus berdimensi triniter (PUK art. 99). Oleh karena itu, katekese perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan tentang struktur internal yang harus bersifat kristosentris-triniter,

melalui Kristus kepada Bapa dalam Roh Kudus, mengikuti pedagogi Yesus Kristus yang menunjukkan hidup Allah paling dalam karya keselamatan dan demi kesejahteraan manusia serta mempunyai implikasi penting dalam hidup manusia (PUK art. 100).

2) Katekese berpusat pada anugerah keselamatan yang berisikan sebuah pesan

tentang “pembebasan”. Katekese meneruskan pewartaaan Yesus tentang Kerajaan Allah, sebagai “karunia Allah yang terbesar, yang harus dipandang

tidak hanya mencakup pembebasan dari segala sesuatu yang membuat manusia tertekan, melainkan teristimewa mendapat pembebasan dari dosa dan

dari kekuatan jahat” (PUK. art. 101). Jadi, Kerajaan Allah yang diwartakan

Yesus juga menjadi pusat katekese dan dalam mewartakan Kerajaan Allah ini Yesus menyapa orang miskin, maka katekese juga nantinya menyangkut dimensi pembebasan yang nyata (PUK. art. 103-104).

3) Katekese berciri ekklesial, yang mencerminkan sifat historisnya, di mana katekese menjadi bagian dari proses penerusan iman yang dijalankan dalam dan bersama Gereja. Melalui katekese, masing-masing pribadi dapat menerima iman Gereja. Iman Gereja terwujud dalam pengakuan akan karya Allah yang terjadi melalui sejarah dan Gereja meneruskan pesan Injil dalam proses sejarah hingga sekarang ini. Maka, selain memahami bagaimana Allah bekerja dalam sejarah umat manusia, juga perlu diupayakan pemahaman bahwa setiap isi iman diterangkan dalam konteks pengalaman umat pada masa sekarang ini (PUK. art. 107-108).

4) Katekese inkulturatif. Dalam Catechesi Trandendae art. 53, dikatakan bahwa misteri inkarnasi Sabda Allah menjadi model bagi evangelisasi, yang artinya

Gereja dipanggil untuk membawa kekuatan Injil ke dalam inti budaya dan kebuayaan-kebudayaan. Dalam usaha ini diperlukan adanya inkulturasi iman, agar pesan Injil sungguh tinggal dalam diri orang bersama dengan kebudayaannya. Tugas konkret yang diusahakan dalam kerangka ini adalah menyusun katekismus lokal (PUK. art. 110). Katekismus lokal inilah yang membantu membahasakan pesan katekese sesuai dengan kebudayaan setempat. Namun jangan sampai diabaikan, dalam Petunjuk Umum Katekese art. 111 memberikan catatan tetap perlu adanya usaha meneruskan pesan Injil dalam keutuhan dan kemurniannya.

5) Katekese hendaknya bersifat komprehensif dengan hirarki kebenarannya sendiri, sehingga dapat membentuk suatu sintese dengan iman yang koheren dan vital. Memang disadari bahwa kebenaran iman telah memiliki hirarki sendiri, akan tetapi bahwa kebenaran iman juga tergantung dari kebenaran iman lainnya (PUK. art. 114-115). Sifat komprehensif dari katekese, juga dapat mengaitkan pesan Injil dengan hidup manusia masa kini (PUK. art. 116-117) dan cara penyampaian katekese itu sendiri (PUK. art. 118).

e. Aspek Kateketis dalam Sakramen Ekaristi

Katekese mempunyai hubungan dengan seluruh kegiatan liturgis dan sakramental. Hal tersebut dikarenakan dalam Sakramen-sakramen, dan terutama dalam Ekaristilah Yesus Kristus berkarya sepenuhnya untuk mengubah manusia. Katekese sebagai persiapan penerimaan sakramen. Katekese wajib mengantar pada Sakramen-sakramen iman. Pelaksanaan otentik Sakramen-sakramen juga wajib mempunyai aspek kateketis. Sehingga sakramen akan menjadi ritualisme yang hampa dan miskin bila tidak berdasar pada pengertian yang sungguh-sunguh

tentang makna Sakramen-sakramen. Katekese juga akan bercorak intelektual semata jika tidak dihidupkan dalam praksis sakramental (CT. art. 23).

Katekese liturgis, memberikan dan memajukan suatu pengertian dan pengalaman liturgi lebih dalam. Dalam katekese liturgi diberikan penjelasan tentang isi doa-doa, arti tanda-tanda dan gerak-gerik, mendidik partisipasi aktif, kontemplasi dan keheningan (PUK art. 55). Tugas-tugas fundamental katekese adalah membantu umat untuk mengetahui, merayakan, dan merenungkan misteri kristus. Dalam pendidikan liturgis, Kristus yang menyelamatkan selalu hadir dalam Gereja-Nya teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgis, khususnya dalam Ekaristi. Gereja ingin agar semua umat berpartisipasi penuh, sadar, dan aktif yang dituntut oleh sifat liturgi dan martabat imamat dari sakramen Ekaristi. Karena alasan ini katekese harus mendidik umat untuk berdoa, bersyukur, bertobat, tetap percaya, hidup menjemaat, untuk mengerti dengan tepat arti Credo (PUK art. 85).

Dalam Ekaristi terdapat pelayanan sabda yang mempunyai fungsi liturgis. Pelayanan sabda dapat menggunakan bentuk yang berbeda-beda, namun diantara semua itu homili merupakan yang paling penting. Bentuk-bentuk lain dalam konteks liturgis termasuk perayaan sabda dan pelajaran yang diterima selama upacara sakramen-sakramen. Harus disebut pula persiapan langsung bagi penerimaan sakramen-sakramen yang berbeda, perayaan sakramental dan yang paling penting adalah partisipasi umat beriman dalam Ekaristi, sebagai sarana pendidikan iman yang pertama (PUK 51).

Gereja diutus oleh Allah untuk menjadi “sakramen universal keselamatan”. Gereja terus berusaha mewartakan Injil kepada semua orang, setiap

umat dipanggil menjadi garam dunia dan terang dunia seperti yang ada pada Mat 5:13-14 (GS 1). Katekese mempunyai tugas untuk membina moral, pertobatan membawa kepada Kristus. Katekese harus meneruskan kepada para murid sikap-sikap Guru sendiri. Sabda yang diwartakan harus dihayati sehingga katekese membawa konsekuensi-konsekuensi sosial dari tuntutan-tuntutan Injil (PUK 71).

Ekaristi pusat dari seluruh hidup sakramental. Di dalam Gereja terjadi transubstansi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus yang menyelamatkan. Orang beriman memperoleh Roti Hidup dalam Ekaristi, sehingga dipenuhi dengan cinta terhadap Allah dan sesama. Setelah dikenyangkan diharapkan umat beriman semakin mencintai sesama dengan tulus dan aktif agar hidup rukun dan berkerja sama dengan umat lain sebagai sesama (DKU 58).

2. Refleksi Penelitian

Penulis sebagai warga lingkungan St Xaverius Siyono melihat melalui penelitian ini bahwa ada umat yang rajin mengikuti perayaan Ekaristi ada juga yang sebaliknya. Padahal Ekaristi merupakan pusat dan puncak kekuatan hidup umat Kristiani harus dihayati dan dimaknai bagi diri sendiri dan dalam kehidupan sehari-hari. Keterlibatan umat dalam pelayanan (diakonia) juga menjadi hal yang penting untuk mewujutkan kerajaan Allah di dunia ini seperti yang sudah Yesus ajarkan dan wariskan kepada kita semua. Namun pada kenyataannya umat ada terlibat maupun tidak terlibat dalam pelayanan tersebut sebagai warga Kristiani. Pada skripsi ini penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai sejauh mana keaktifan perayaan Ekaristi berpengaruh terhadap keterlibatan umat lingkungan Santo Xaverius Siyono dalam tugas pelayanan Gereja (diakonia) umat. Setelah

melaksanakan penelitian dan diperoleh hasil, maka dapat diketahui bahwa ada pengaruh keaktifan mengikuti Perayaan Ekaristi terhadap keterlibatan tugas pelayanan (diakonia) umat lingkungan Santo Xaverius Siyono Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung Gunungkidul. Hasil penelitian yang telah diperoleh oleh penulis, diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam proses pelaksanaan umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi dan terlibat dalam tugas pelayanan (diakonia) di kehidupannya sebagai warga Gereja yang baik seturut teladan Yesus Kristus. Diketahui bahwa Ekaristi merupakan sumber dan puncak kehidupan Gereja.

Melalui penelitian ini saya menyadari bahwa Gereja mengajak kita untuk memaknai perjamuan Ekaristi setiap kali kita merayakannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Yesus bersama dengan para murid sebelum Ia memasuki misteri sengsara dan wafat-Nya. Yesus menghendaki agar perjamuan makan ini selalu dikenang dan dilakukan oleh umat-Nya dalam perayaan Ekaristi. Gereja setiap kali merayakan Ekariti sebagai bentuk kenangan akan Paska Kristus. Ekaristi tidak hanya pusat seluruh liturgi Gereja, tetapi juga menjadi sumber dan puncak kehidupan Gereja. Hal ini didukung dengan tegas oleh LG 11 yang menyatakan:

“Dengan ikut serta dalam kurban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani mereka mempersembahkan Anak Domba ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah: demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan mau pun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur, melainkan masing masing dengan caranya sendiri. Kemudian, sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkret menampil kan kesatuan Umat Allah, yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara

mengagumkan.”

Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh hidup kristiani menunjuk bahwa Ekaristi tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Hidup sehari-hari

memperoleh kekuatan dan dasarnya dari Ekaristi sebagai sumber. Ekaristilah yang memberi kekuatan yang menjiwai dan menggerakkan seluruh hidup orang kristiani dalam mengarungi suka duka kehidupannya. Ekaristi juga menjadi puncak dari seluruh kegiatan umat kristiani. Artinya, semua bidang kehidupan yang dijalani umat kristiani tertuju dan mengarah kepada Ekaristi sebagai puncaknya.

Kita bisa merasakan bahwa Ekaristi adalah perayaan seluruh Gereja dan bukan perayaan pribadi. Berapa pun jumlah pesertanya suatu perayaan Ekaristi tetap merupakan perayaan Ekaristi yang sah, jika telah dirayakan dengan kehendak Gereja, justru karena Ekaristi merupakan perayaan seluruh Gereja. Ekaristi sebagai lambang kesatuan (bdk. SC 47) menunjuk maksud penganugerahan Ekaristi oleh Kristus itu, yakni agar Gereja memiliki kebersamaan dan kesatuan dengan Allah melalui Dia dalam Roh Kudus dan dengan warga Gereja sendiri (bdk. SC 48). Di samping itu dengan merayakan Ekaristi, Gereja sebenarnya mengungkapkan dan melaksanakan dirinya sebagai sakramen keselamatan Allah karena Gereja menghadirkan Kristus.

Gereja juga amat mementingkan partisipasi aktif umat dalam Perayaan Ekaristi. Hidup orang beriman Katolik yang Ekaristis tentu mengandaikan bahwa seseorang pernah dan mempunyai kebiasaan (habitus) untuk merayakan Ekaristi, entah setiap hari, setiap minggu atau setiap jangka waktu tertentu. Dengan aktif dalam perayaan umat diharapkan bisa semakin mengenang misteri Perayaan Ekaristi itu sendiri, yaitu Kristus yang menyelamatkan manusia. Kuantitas partisipasi aktif dalam Perayaan Ekaristi memang dalam arti tertentu menjadi

Kuantitas penting, namun kualitas tidak kalah penting. Seseorang membutuhkan juga semangat dasar (spiritual) dalam menghayati Ekaristi. Kualitas penghayatan yang mendalam kiranya menjadi "daya hidup" bagi tumbuh dan berkembangnya hidup yang ekaristis.

Kematian Yesus di kayu salib mengungkapkan cinta kasih-Nya kepada para murid serta seluruh umat manusia demi persatuan dengan Allah. Tiada kasih yang sempurna selain kasih yang rela memberikan nyawa-Nya untuk orang yang dikasihi-Nya. Ekaristi sebaga Sakramen cinta kasih, lambing kesatuan baik dengan Allah maupun dengan warga Gereja sendiri yang secara langsung dapat kita alami. Yesus memberikan pelayanan dengan kasih yang sungguh luar biasa. Yesus mengasihi tanpa batas dan menyayangi kita sampai akhir hayat. Yesus memberikan kasih-Nya secara total kepada kita sampai pada kesudahan dan la rela memberikan nyawa-Nya demi keselamatan para murid serta seluruh umat beriman.

Dalam Perayaan Ekaristi, hidup Allah melalui Kristus dibagikan lewat misteri roti yang dipecah dan dibagikan dalam arti harus menderita dan membagikan hidupnya. Namun dalam Perayaan Ekaristi, umat beriman saling berbagi dalam patisipasi seluruh umat Gereja dan khususnya umat yang hadir dengan imam dan petugasnya. Setelah Misa kita diutus untuk berbagi yang kita alami selama Perayaan Ekaristi tadi. Kita yang memperoleh hidup Allah secara cuma-cuma, kini kita harus mau membagikan rahmat hidup Allah kepada sesama kita baik keluarga maupun masyarakat kita. Berbagi bagi Gereja dan masyarakat, berbagi pula terhadap mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Berbagai bentuk pengorbanan kita persis perutusan dari Ekaristi. Kita yang menerima hidup

Tuhan yang dibagikan, kita juga diundang untuk berani berbagi kepada sesama, entah apapun bentuknya itulah wujut pelayanan kita kepada Allah dan sesama. Ekaristi jauh melampaui batas-batas orang-orang yang hadir, tetapi dengan seluruh Gereja dan bahkan seluruh umat manusia.

Tugas Melayani Gereja merupakan persekutuan orang beriman sebagai komunikasi iman. Dalam proses komunikasi iman itu dibedakan dua macam: pengajaran dan perayaan. Yang satu komunikasi dengan kata-kata, baik dalam katekese yang biasa maupun dalam pengajaran pimpinan Gereja yang resmi; yang lain komunikasi iman dalam ibadat bersama. Penghayatan dan pengalaman iman menjadi sesuatu yang pokok. Namun pengungkapan iman saja tidak cukup

tetapi “tujuannya adalah Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di

dunia” (LG 9). “Oleh karena itu, berdasarkan Injil yang dipercayakan kepadanya,

Gereja mewartakan hak-hak manusia dan mengakui serta menjunjung tinggi

dinamisme zaman sekarang” (GS 41). “Sementara Gereja membantu dunia dan menerima banyak dari dunia, yang dimaksudkannya hanyalah ini: supaya datanglah Kerajaan Allah dan terwujudlah keselamatan segenap bangsa manusia" (GS 45) Gereja dipanggil supaya melayani manusia, seluruh umat manusia.

Dari penelitian ini diyakini bahwa penting sebagai orang beriman katolik melakukan diakonia (pelayanan). Bila hanya mendengar Firman Tuhan tetapi tidak melakukan dalam hidupnya, maka dia bagaikan seorang yang membangun rumah di atas pasir, rumah itu akan roboh bila terkena hujan dan angin. Perayaan Ekaristi juga tidak hanya berhenti pada saat itu juga namun kita semua menerima perutusan untuk berbagi berkat yang kita peroleh. Dengan melakukan diakonia, maka kita telah ikut serta membangun fondasi yang kuat bagi Gereja sebagai

Tubuh Kristus. Tanpa diakonia, Pengkabaran Injil oleh gereja menjadi abstrak. Dalam Injil (Lukas 5:17-26), Yesus berkata kepada seorang lumpuh yang diusung di hadapan-Nya disaksikan orang-orang Farisi dan ahli Taurat, mana yang lebih

mudah mengatakan “dosamu sudah diampuni” atau “hai, bangkit dan berdirilah”

Yesus tidak hanya memberitakan pengampunan Allah, tetapi memberdayakan orang lumpuh hingga ia bangkit dan berjalan. Yesus melakukan pelayanan terhadap orang lumpuh yang diusung itu dalam bentuk pengampunan dosa dan pemberdayaan.

Yang menjadi hal pokok adalah pelayanan pemberdayaan bagi yang lemah merupakan ciri pelayanan Yesus yang berbeda dengan orang Farisi yang mengutamakan hukum agama. Pelayanan Gereja ini didasari oleh Yesus sendiri, Sang Kepala Gereja yang "menyembuhkan memperhatikan orang-orang kecil dan mengampuni dosa. la datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mrk 10:45). KematianNya di kayu salib menunjukkan pelayanan-Nya yang sebahis-habisnya demi keselamatan umat manusia. Pelayanan Gereja ditujukan ke dalam kepada sesama anggota jemaat, dengan mengutamakan mereka yang miskin dan tertindas. Pelayanan Gereja juga terbuka ke luar bagi masyarakat luas. Gereja menampilkan dirinya sebagai garam dan terang dunia (Mat 5:13-16). Akhirnya segala kegiatan Gereja bermuara pada pelayanan kepada sesama dan bukannya menjadi kegiatan yang semata-mata memuaskan kebutuhan rohani sendiri. Sebagai Gereja seluruh umat berperan serta dalam tuga Kristus sehingga harus aktif dalam kehidupan dan kegiatan Gereja.

Selama proses penyusunan penelitian ini, penulis sangat bersyukur karena dapat belajar menimba berbagai pengalaman dan ilmu baru, yang menyangkut

ilmu tentang Ekaristi dan diakonia, terutama dalam bidang penelitian kuantitatif, baik dari proses persiapan, pelaksanaan, analisis hingga penyusunan skripsi ini. Selain dalam hal kemampuan dalam hal melaksanakan sebuah kegiatan penelitian, penulis juga dapat mengambil nilai-nilai kebaikan yang dapat menjadi bekal bagi perkembangan penulis sebagai calon guru Agama dan katekis. Penulis dapat belajar menjadi pribadi yang sabar, tekun dan selalu berusaha selama proses penelitian berlangsung, hingga selesainya penyusunan penelitian ini. Dengan segala kelemahan dan hambatan yang ada, penulis tetap berjuang agar dapat menyelesaikan skripsi ini, tak lepas dari dukungan berbagai pihak. Kesempatan berjumpa dengan umat juga membawa penulis pada sebuah pengalaman perjumpaan yang meneguhkan sebagai calon guru Agama maupun katekis. Penulis menjadi semakin mengenal dan memahami situasi umat dan lingkungan yang nantinya menjadi bagian dari pelayanan. Katekis juga banyak berefleksi tentang katekese di dalam Perayaan Ekaristi.

Kesimpulan dari refleksi penelitian ini adalah bahwa pemahaman Ekaristi dan hidup Gereja akan berkembang sejalan dengan semakin terlibatnya orang dalam Perayaan Ekaristi. Umat yang merayakan Ekaristi secara aktif akan semakin menghayati Ekaristi itu sendiri sebagai tanda dan wujut cinta kasih Allah kepada manusia dan imannya akan terus bertumbuh terhadap Allah dan sesama. Dengan begitu maka mutu pelayanan (diakonia) orang bagi Gereja dan masyarakat atau sesama yang didasari oleh Yesus sendiri juga akan berkembang sejalan dengan semakin tinggi mutu partisipasinya dalam Ekaristi.

Dokumen terkait