• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

G. Refleksi Teologis

1. Pelayanan Kasih

Pelayanan merupakan bagian dari hakikat kodrat Gereja, karena itu selalu punya kaitan antara sabda dan sakramen. Bagaimana pun kasih mengajak semua umat kristiani untuk peka terhadap kebutuhan orang lain; agape membangkitkan pelayanan. Paus Benediktus telah mempersembahkan satu doktrin sosial yang setidaknya mengajak semua umat manusia (secara khusus umat Katolik) di seluruh dunia untuk terlibat dalam tindakan karitas yang berdasar pada kasih Allah. Secara ringkas ensiklik tersebut mendorong umat Katolik untuk turut ambil bagian dalam hidup publik mulai dari iman mereka, dan pada semua lapisan masyarakat, baik secara politis, ekonomis, sosial, legislatif, administratif, budaya, dan sebagainya.

Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana kita dapat melihat pelayanan secara konkret sebagai suatu terjemahan dari kasih Allah. Ensiklik DCE memberikan sedikit pokok perhatian yang sangat khusus.

Pertama, pelayanan harus bersifat profesional. Pelayanan dan keahlian tidaklah bertentangan satu sama lainnya, namun berada pada garis yang sama. Kita dapat merujuk dengan aman kepada mereka sebagai keahlian yang terilham. Diperlukan pembinaan, namun juga pembinaan hati, pembinaan rohani dan momen-momen dimana ilham hadir secara jelas. Sasarannya haruslah agar para rekan sekerja dibawa pada perjumpaan dengan Tuhan, yang membangkitkan kasih mereka dan membuka hati mereka terhadap sesama, sehingga kasih sesama tak lagi menjadi perintah yang dijalankan bagi pihak luar sebagaimana terjadi pada

masa lalu, namun sebagai buah iman mereka, yang menunjukkan dirinya dalam kasih.

Kedua, kita tak pernah ingin menggunakan kasih kristiani terhadap sesama untuk mengkristenkan orang lain atau untuk tujuan penyebaran agama. Di negara-negara tertentu ini merupakan suatu masalah yang sangat sulit. Karitas itu ditujukan setiap orang, bahkan bagi kaum beriman dari agama-agama lain pula. Namun Tuhan masih perlu dibawa ke dalam visi dengan cara yang tak terbatas. Dan kadang-kadang Tuhan bahkan diungkapkan secara diam-diam melalui karitas. “Seorang kristiani tahu kapan waktunya untuk bicara tentang Tuhan dan kapan sebaiknya tidak berkata apapun dan membiarkan kasih sendiri yang berbicara.”

Ketiga, Gereja selalu memiliki struktur-struktur untuk mengembangkan pelayanan, yaitu keuskupan-keuskupan, kongregasi-kongregasi, juga kaum awam harus terus mengambil tanggung jawab mereka dalam hal ini. Adalah suatu keprihatinan yang berlangsung terus, khususnya di regio-regio kita, tentang bagaimana struktur-struktur ini dapat diteruskan saat kongregasi-kongregasi tak lagi mengandaikan tanggung jawab mereka. Apa yang masih akan tetap menjadi identitas kritiani sesudah beberapa saat kemudian? Dalam surat ensiklik ini, suatu himbauan diajukan demi terwujudnya bentuk-bentuk kerjasama yang lebih besar. Keempat, ada perbedaan yang jelas antara pelayanan dan kedermawanan. Bidang kegiatannya bisa saja sama, namun sumber karya dan motivasinya berbeda. Dalam kedermawanan, targetnya ialah meningkatkan situasi manusiawi dan kegiatan-kegiatan itu berhenti bila targetnya telah tercapai. Dalam

pelayanan, penyempurnaan kehidupan ini dipupuk dan dirangsang oleh kasih Tuhan dan setiap layanan menjadi suatu perjumpaan dengan Kristus yang hidup. Menjumpai dan mengasihi Kristus dalam diri orang-orang sakit bersifat hakiki dalam pelayanan.

Kelima, akhirnya, kita harus selalu memandang karya kita sebagai karya layanan dalam kerendahan hati. Kita hanyalah alat-alat di tangan Tuhan, namun kita harus menjadi alat-alat yang baik. Layanan dalam kerendahan hati ini menghilangkan khayalan dan ambisi kita untuk membantu setiap orang dan memenuhi setiap kebutuhan. “Dengan segala kerendahan hati kita akan melaksanakan apa yang dapat kita laksanakan, dan dengan segala kerendahan hati kita akan mempercayakan sisanya kepada Tuhan.”

Pokok-pokok penting dalam DCE setidaknya menjelaskan bahwa kasih harus ditampakkan melalui tindakan nyata. Tanpa tindakan apapun, kasih akan kehilangan makna. Menarik untuk melihat jawaban Yesus terhadap pertanyaan tentang perintah yang terpenting dengan jalan merujuk kepada perintah kasih dan melukiskan jawaban-Nya dengan mengisahkan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati. Pelayanan merupakan penjelmaan dari kasih, dan kasih itu mengunggulinya. Namun kita hanya dapat menyatakan misericordia (kerahiman) yang secara harafiah artinya “mengasihi kaum malang, miskin dan yang membutuhkan pertolongan,” bila kita menghubungkannya dengan compassio (belas kasih). Kerahiman berkaitan dengan kasih melalui belas kasihan. Pelayanan semestinya larut dalam kerahiman melalui belas kasih. Dalam surat ensikliknya yang berjudul “Dives in misericordia” (1980) Paus Yohanes Paulus II berkata:

“Kerahiman adalah dimensi kasih yang sangat diperlukan; seakan-akan ini merupakan nama kedua dari kasih, dan sekaligus cara khusus dimana kasih dinyatakan dan menjadi lawan dari realitas kejahatan di dunia.”

Penulis hendak menggambarkan juga belas kasih, yang merupakan cara perwujudan kasih sebagai suatu hasrat terhadap penderitaan manusia. Untuk berbelas kasih kita harus membiarkan diri tergerak dengan penuh hasrat terhadap sengsara, penderitaan sesama manusia. Tapi uniknya kita sering mendapati diri kita sendiri berhadapan dengan dualitas dorongan. Di satu pihak kita terdorong untuk mewujudkan diri sendiri, dan memikirkan diri sendiri dengan penuh hasrat. Namun di lain pihak kita dihadapkan pada desakan terus-menerus untuk berpaling kepada sesama yang membutuhkan perhatian. Dorongan untuk perwujudan diri cenderung dibalas dengan kehadiran sesama manusia yang terus-menerus mengusik, sementara kita berusaha memuaskan hasrat pribadi.

Usikan tersebut merupakan basis belas kasih seseorang. Dari sinilah Levinas menyatakan bahwa wajah pribadi sesama menempatkan seseorang di bawah suatu perintah etika. Kehadiran sesama membatasi kebebasan seseorang yang semula tak terbatas untuk menjadi asyik dengan diri sendiri. Hal ini mendesaknya untuk menjadi tanggap terhadap kehadiran sesama. Ia melihat sesamanya dan menghadapi pilihan-pilihan seperti: menutup mata dan melanjutkan hidupnya seperti biasa; atau terus memperhatikannya dan menawarkan kepadanya ruang hidup yang dibutuhkan sehingga ia dapat menghayati hidup semaunya; atau ia bertanya diri apa yang bisa ia lakukan baginya. Belas kasih merupakan hasil dari pertanyaan terakhir itu. Ketika seseorang mulai berpikir siapakah sesamanya itu,

apakah yang dia butuhkan, apa yang menyebabkan kegembiraan atau kesusahan padanya, dan bagaimana dia dapat mendampinginya, itulah saatnya seseorang menjadi berbelas kasih kepada sesama.

Itulah belas kasih yang kita jumpai dalam diri Allah sendiri, ketika Dia menunjukkan diriNya dalam Perjanjian Lama, sebagai Allah yang mendampingi kita dan peka terhadap derita kita. Dalam kitab Keluaran, Dia bersabda: “Aku telah memperhatikan kehinaan bangsa-Ku di Mesir dan Aku telah mendengar seruan mereka, ketika mereka diperlakukan dengan kejam oleh orang-orang yang mengawasi mereka. Aku mengetahui penderitaan mereka” (Kel. 3:7). Yesaya menggambarkan Allah sebagai berikut: “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayi yang menyusu di dadanya dan tidak menyayangi anak kandungnya? Sekalipun dia melupakan, Aku tidak akan melupakan engkau. Lihatlah, Aku telah menulis namamu pada telapak tanganKu; tembok-tembokmu tetap di depan mataKu” (Yes. 49:15-16). Kedua teks di atas menggambarkan keterlibatan penuh hasrat dari Allah terhadap umat manusia.

Kerahiman itu harus menjadi dasar semua tindakan pelayanan. Ini merupakan ungkapan dari perintah kasih yang wajib dipatuhi. Kerahiman berkaitan dengan penghayatan hidup kita sepenuhnya dan berkaitan pula dengan kehidupan seutuhnya. Kerahiman merupakan sikap mendasar yang harus menjadi basis dari segala tindakan pelayanan. Saat ini peristilahan seperti “belas kasih” dan “kerahiman” sering kali dianggap mencurigakan, karena orang mengiranya sebagai bukti dari semacam sikap paternalistik. Jenis kritik ini bukanlah barang baru. Agustinus pun sudah memperingatkan kita untuk tidak menyalahgunakan

kerahiman hanya untuk menyenangkan diri kita sendiri karena kita telah menolong sesama. Itulah sebabnya ia menasihati kita untuk menguji kasih kita yang sejati dalam relasi kita terhadap orang-orang yang sungguh membutuhkan bantuan kita. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa setiap tindakan kita terhadap sesama manusia hendaknya mencerminkan kerahiman kita, dan sebagai konsekuensinya, semua pelayanan yang diberikan harus bersifat profesional.

2. Pelayanan Umat Stasi Ngrendeng Seturut Ensiklik DCE

Secara keseluruhan ensiklik DCE, menggarisbawahi tujuh hal penting, yakni: (a) subyek yang bertanggung jawab dalam tugas pelayanan kasih Gereja, (b) Kristus sebagai sumber inspirasi dalam tugas pelayanan, (c) cara mengungkapkan kasih Kristus kepada sesama, (d) kerendahan hati sebagai salah satu prinsip pelayanan yang perlu dihidupi, (e) makna doa bagi seorang pelayan Gereja, (f) keteguhan iman sebagai syarat utama sebagai pelayan Gereja, dan (g) hidup dalam iman, harap, dan kasih, memberi kegembiraan batin bagi seorang pelayan Tuhan. Refleksi penulis didasarkan pada tujuh poin di atas.

Pertama, subyek yang bertanggung jawab dalam tugas pelayanan kasih Gereja. Inti dari poin ini adalah kesadaran umat untuk turut mengambil bagian secara aktif dalam tugas pelayanan kasih Gereja. Kaum awam mendefinisikan diri sebagai salah satu subyek yang mesti bertanggung jawab terhadap tugas pelayanan kasih Gereja. Berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan bahwa poin ini sudah dipahami dan diaplikasikan secara baik oleh kaum awam Stasi Ngrendeng.

Sejak didirikan tahun 1970, kaum awam Stasi Ngrendeng sudah terlibat secara aktif dalam tugas pelayanan Gereja.

Kesadaran akan hal tersebut sampai saat ini masih dipegung teguh walau dalam pelaksanaannya kadang tidak sinkron dengan komitmen sebagai seorang pelayan yang berjiwa besar dan punya loyalitas kepada Gereja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk kaum awam Stasi Ngrendeng seruan Paus Benediktus XVI yang terdapat dalam rumusan DCE Art. 32 itu, sifatnya hanya menegaskan dan menyegarkan kembali kesadaran mereka tentang peranan mereka sebagai salah satu subyek pengemban tugas pelayanan kasih Gereja.

Kedua, Kristus sebagai sumber inspirasi dalam tugas pelayanan. Paus mengingatkan kepada umatnya agar senantiasa menjadikan Kristus sebagai sumber inspirasi dalam melaksanakan tugas pelayanan kasih Gereja. Mereka jangan mendapatkan inspirasi dari ideologi-ideologi yang bermaksud mau memperbaiki dunia, melainkan harus lebih dibimbing oleh iman yang bekerja dalam kasih Kristus. Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, penulis menyimpulkan bahwa dasar dari berbagai persoalan kemalasan, kelesuhan, atau ketidakaktifan kaum awam karena mengabaikan Allah sebagai sumber kasih dan Kristus sebagai sumber inspirasi.

Ketiga, cara mengungkapkan kasih Kristus kepada sesama. Dalam DCE Art. 34, Paus menyebutkan dua cara mewujudkan kasih Kristus kepada sesama, yakni keterbukaan batiniah dan ketulusan hati dalam memberi (melayani). Dua keutamaan ini dinilai sebagai cara yang tepat untuk mengungkapkan kasih Kristus kepada sesama. Keterbukaan batiniah akan dimensi katolisitas (universalitas)

Gereja, mendorong para pelayan kasih untuk berkarya dalam kesatupaduan dengan sesama pelayan dalam melayani berbagai bentuk kebutuhan hidup manusia. Sedangkan ketulusan hati dalam melayani (memberi) diartikan sebagai suatu tindakan terdalam dari setiap orang yang mengambil bagian pada kebutuhan dan penderitaan sesama.

Berdasarkan hasil wawancara, penulis menilai bahwa aspek ini mulai melemah dalam realitas pelayanan dalam lingkup Gereja. Penulis juga punya pengamatan dan kesan yang sama dengan kelima responden, bahwa akhir-akhir ini virus egoisme sedang menggerogoti umat Katolik di wilayah Stasi Maria Assumpta Ngrendeng, sehingga susah mencari dan menemukan orang yang memiliki keterbukaan batiniah dan punya kepekaan untuk melayani dengan hati.

Keempat, kerendahan hati sebagai salah satu prinsip pelayanan yang perlu dihidupi. Paus berpendapat bahwa seseorang yang berada dalam posisi melayani sesama perlu menyadari bahwa dengan memberi, dia sendiri menerima, dan kerelaan untuk melayani sesama bukanlah untuk mencari keuntungan atau sekadar membuat sensasi artifisial. Tetapi tugas dan tanggung jawab itu harus dilihat sebagai rahmat yang patut disyukuri dan diamalkan. Dari hasil wawancara, secara jelas terlihat bahwa para narasumber sama-sama mengeluh tentang hal ini. Mereka menilai bahwa motor pelayanan Gereja akhir-akhir ini macet karena ada tendensi dari segelintir fungsionaris stasi untuk mencari keuntungan dari tugas pelayanan mereka.

Selain itu, adapula motivasi semu (sensasi artifisial) untuk menunjukkan dirinya sebagai orang yang dermawan, berjiwa sosial, dan sebagainya. Pokoknya

ingin mencari popularitas diri. Keluhan para responden itu bisa dibenarkan, termasuk Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik. Kecemasan itu akhirnya menuntutnya untuk menerbitkan ensiklik DCE, agar umat Katolik disadarkan kembali akan pentingnya prinsip kerendahan hati dalam mengemban tugas pelayanan kasih Gereja.

Kelima, makna doa bagi seorang pelayan Gereja. Kepenuhan arti kerendahan hati dalam pelayanan, amat bergantung pada kesadaran setiap orang memaknai doa dalam kehidupannya. Ada dua arti penting doa yang dikemukakan Paus dalam ensiklik DCE Art. 36-37, yakni doa merupakan sumber kekuatan dalam pelayanan, dan doa sebagai yang dapat mempererat jalinan relasi yang intim dengan pribadi Allah Tritunggal. Malas berdoa, malas ikut misa, malas membuat pengakuan, malas berpuasa, dan macam-macam kemalasan lainnya, itulah beberapa contoh konkret yang dikeluhkan para responden. Mereka menilai hal tersebut berdasarkan pengalaman mereka di tengah kehidupan umat. Tentang hal ini penulis sedikit menepis anggapan mereka yang terkesan generalitatif. Sebab dalam kenyataan masih ada sebagian umat yang bersikap tidak seperti yang dituduh para responden. Mereka berdoa tetapi tidak secara terang-terangan. Ada penghayatan doa dan sakramen yang bersifat pribadional yang tidak mesti diketahui oleh semua orang. Tetapi seruan Paus tentang arti pentingnya doa dalam hidup mesti dimaknai dan dihayati secara baik pula dalam tugas pelayanan kasih Gereja.

Keenam, keteguhan iman sebagai syarat utama sebagai pelayan Gereja. Paus berpesan bahwa keteguhan iman pada Allah yang militan, selalu akan teruji dalam setiap tantangan hidup. Iman kepada-Nya selalu menuntut keyakinan dari

setiap orang untuk percaya bahwa Allah adalah daya dan kekuatan dalam hidup ini. Segala sesuatu ada di muka bumi ini terjadi berkat daya dan penyelenggaraan-Nya. Penulis menemukan bahwa aspek ini juga mendapat sorotan dari para narasumber. Menurut mereka, salah satu tantangan terberat yang sedang dihadapi oleh umat Stasi Ngrendeng adalah pengaruh sekularisme di tengah arus globalisasi. Aneka persoalan menyangkut penghayatan iman dan pelayanan rohani muncul oleh karena umat tidak memiliki keteguhan iman. Umat kelihatan gampang sekali digiring ke mana saja sesuai dengan tuntutan modernisasi. Hasilnya umat kehilangan jati diri sebagai pribadi Kristiani. Untuk itu Paus mengingatkan kepada kita agar senantiasa bertahan dalam iman walau harus menghadapi tantangan yang menyakitkan. Apapun tantangan yang dihadapi, orang mesti tetap beriman pada Allah.

Ketujuh, hidup dalam iman, harap, dan kasih, memberi kegembiraan batin bagi seorang pelayan Tuhan. Poin ini merupakan sebuah kesimpulan akhir dari DCE yang berbicara tentang “mereka yang bertanggung jawab akan pelayanan kasih Gereja”. Secara tidak sengaja poin ini ditempatkan pada bagian akhir dari keseluruhan artikel, dengan maksud agar umat tahu bahwa jika keenam hal sebagaimana yang diuraikan pada bagian sebelumnya itu dihayati secara baik maka kualitas iman, harap, dan kasihnya tidak akan diragukan lagi. Imannya yang teguh akan Kristus sebagai sumber inspirasi hidup akan membawa suatu pengharapan hidup yang menggembirakan, sehingga kasih Kristus akan menjadi pedoman bagi hidupnya terlebih dalam mengamalkan kasih kepada sesama. Jika hal-hal tersebut dihayati secara baik maka seorang pelayan Tuhan akan menuai kegembiraan batin dalam hidupnya.

Setelah menganalisis hasil penelitian dengan berpedoman pada ketujuh hal pokok dari Ensiklik DCE, maka penulis berkesimpulan bahwa partisipasi umat Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam tugas pelayanan kasih dewasa ini sungguh mengalami kemunduran. Hasil analisis penulis ini ternyata benar sesuai dengan hipotesis penulis sebelum mengadakan penelitian lapangan. Pandangan penulis diafirmasi beberapa narasumber terpilih. Hampir sebagian besar alasan yang mereka kemukakan senada dengan argumentasi penulis. Atas kenyataan demikian maka sebagai umat Katolik yang punya keprihatinan dan kepedulian terhadap pelayanan Gereja, penulis coba menawarkan beberapa upaya konkret dalam mengembangkan tugas pelayanan kasih.

3. Respons Solutif

Penulis menawarkan tiga upaya konkret untuk mengembangkan pelayanan kasih Gereja. Pertama, sosialisasi tentang tugas dan tanggung jawab umat sebagai subyek penting dalam tugas pelayanan kasih Gereja. Upaya ini mungkin dinilai sebagai pola klasik yang tidak relevan lagi. Karena hampir setiap saat ketika ada masalah, pola ini yang sering diupayakan, tetapi hasilnya selalu saja nihil. Masalah yang sama selalu saja bermunculan. Lalu pertanyaannya, mengapa penulis tetap menganjurkan pola sosialisasi sebagai langkah mula untuk mengatasi persoalan partisipasi umat? Penulis punya alasan mendasar.

Meski upaya tersebut dinilai sebagai pola klasik namun penulis punya keyakinan bahwa upaya sosialisasi punya khasiat yang luar biasa. Selama ini pola sosialisasi dinilai bermasalah karena seringkali penerapannya tidak efektif, dan

tidak memberi solusi yang tepat sasar. Dan ini terjadi sebetulnya karena cara melakukan sosialisasinya yang tidak efisien. Masalahnya bukan mengenai pola yang dipakai, tetapi tergantung pada pribadi yang melakukan sosialisasi tersebut. Karena itu sampai kapan pun penulis tetap menilai dan meyakini bahwa pola sosialisasi tetap efektif dan perlu dioptimalkan untuk mengatasi setiap persoalan yang berhubungan dengan melemahnya kesadaran seseorang.

Penulis menawarkan agar pola sosialisasinya dilakukan dengan menggunakan pendekatan personal, atau heart to heart approach. Tentu ini menjadi tugas para gembala umat dan siapa saja yang dipercayakan untuk menjadi fungsionaris stasi. Menurut penulis, pendekatan ini cukup efektif untuk suatu wilayah kerja yang tidak terlalu luas. Seorang gembala umat tentu mengenal secara baik umatnya secara personal. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan tersebut. Dan penulis sangat yakin bahwa ketika seorang gembala membuat pendekatan secara langsung dengan caranya yang bijaksana, siapa pun orangnya dia tentu akan tersentuh dan jalan untuk “kembali pulang” kepada kesadarannya semula akan terbuka lebar. Namun sebaliknya jika seorang yang bermasalah hanya ditegur (oleh siapa saja) sambil lalu, maka jangan terlalu berharap kalau dia berubah. Sebab perasaan tersentuh dan kemudian berubah tidak akan mungkin terjadi pada pribadi yang hanya sekedar diteriaki dari mimbar.

Kedua, berani membuat evaluasi yang kritis dan bijaksana terhadap pola pelayanan romo dan fungsionaris stasi. Upaya ini memang berat dan jarang sekali terjadi karena secara kultural masyarakat Jawa sangat menghormati pribadi romo (gembala umat). Sebutan romo secara tidak sadar telah memosisikan dirinya

sebagai pribadi yang patut diteladani. Dengan demikian umat sangat menghormati romo, dan merasa takut untuk memberi kritik terhadap dirinya. Apalagi romo dinilai sebagai orang yang memiliki pengetahuan lebih tentang misteri kehidupan manusia, maka mustahil dirinya dianggap salah.

Namun penulis berpendapat lain. Kenyataan sebagaimana yang dijelaskan di atas merupakan suatu paradigma konvensional yang mesti dibersihkan dari pikiran kita. Sebab pada dasarnya, romo juga adalah seorang manusia yang punya kelemahan. Karakter ketidaksempurnaan dirinya sebagai manusia, saya kira tetap melekat erat dalam dirinya. Meski ia adalah seorang pribadi tertahbis, ia tetap seorang manusia lemah yang punya peluang untuk melakukan kesalahan. Ini realitas in se yang mesti diakui. Karena itu penulis menganjurkan agar umat juga perlu memainkan perannya sebagai “orang tua” yang bisa mengkritisi setiap pola pelayanan romo yang dinilai berseberangan dengan kaidah iman Katolik. Upaya ini dimaksudkan untuk menjawabi persoalan seputar pelayanan romo dan fungsionaris stasi yang tidak menyentuh realitas hidup umat. Penulis menggarisbawahi pernyataan R1 bahwa seorang gembala umat mesti sadar bahwa sikap apa yang ditunjukkan dan pola pelayanan apa yang diterapkan akan turut memengaruhi partisipasi kaum awam dalam kehidupan Gereja.

Ketiga, mengupayakan konsolidasi komitmen antara romo dan umat (baik yang berperan sebagai fungsionaris stasi maupun tidak). Secara teologis Gereja didefinisiskan sebagai suatu persekutuan umat yang percaya kepada Allah. Definisi teologis ini kemudian diartikan secara sosiologis sebagai suatu institusi komunal,yang mencakupi tiga komponen penting yakni hierarki, biarawan/ti, dan

kaum awam. Oleh karena institusi Gereja bersifat komunal maka setiap masalah yang berhubungan dengan Gereja tentu dinilai sebagai masalah komunal. Jika demikian maka bentuk penyelesaiannya pun harus ditempuh secara komunal.

Mengutip apa yang dikemukakan oleh R1 tentang hal ini bahwa bila ada masalah yang menimpa Gereja maka romo sebagai pelayan umat dan awam sebagai umat yang dilayani harus “sama-sama duduk” mencari akar persoalannya dan ‘bekerja bersama-sama” untuk mengatasi persoalan tersebut. Tanggung jawab itu bukan dilemparkan begitu saja kepada romo sebagai pelayan umat, atau sebaliknya. Keduanya harus secara bersama-sama mematrikan komitmen untuk mengembangsuburkan iman umat dalam kehidupan menggereja. Ini yang dimaksudkan dengan konsolidasi komitmen dengan maksud mengembangkan tugas pelayanan kasih Gereja.

Dokumen terkait