• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap manusia dilahirkan merdeka, mempunyai martabat dan hak yang sama. Sama halnya dengan seorang perempuan, dimana hak-hak yang melekat pada dirinya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Perempuan berhak untuk hidup, memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan atas seksualitasnya, berhak untuk bergabung dalam dunia publik, dan memiliki hak untuk menyatakan pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi kehidupannya. Ironisnya, kebebasan dan kemerdekaan yang seharusnya dimiliki oleh perempuan masih langka untuk ditemui sehingga kaum perempuan masih terus berjuang dan berupaya untuk membebaskan dirinya dari paradigma maupun tindakan-tindakan ketidakadilan.

Relasi “kepemilikan” laki-laki atas perempuan yang masih subur pun hendak membuka peluang besar untuk tindakan, perlakuan serta kebijakan semena-mena terhadap perempuan. Tidak heran, banyak laki-laki bersikap antagonistik terhadap pembebasan kaum perempuan sebab mereka tidak memahami bahwa hal itu juga

112 merupakan pembebasan manusia yang juga termasuk pembebasan kaum laki-laki.13 Banawiratma mengatakan bahwa tanpa keadilan bagi kaum perempuan yang diawali dari dalam keluarga, tidak akan terjadi keadilan bagi semua orang.14

Pada banyak kasus yang terjadi di dalam hubungan keluarga, seorang isteri dipandang sebagai kaum yang harus mengabdi bagi keluarga dengan cara menyiapkan kebutuhan suami, melayani suami, menjaga dan membesarkan anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan lain sebagainya. Semua pekerjaan ini dikerjakan oleh seorang isteri dengan penuh ketekunan dan tanpa dibayar. Keadaan seperti ini kemudian dipandang sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian yang sudah seharusnya dilakukan oleh seorang isteri bagi keluarga (tugas wajib seorang isteri). Dengan adanya pemahaman yang demikian maka terdapat pembenaran yang sering dilakukan sebagai jembatan untuk mendukung atau membenarkan bahkan melegalkan pandangan tersebut. Sedangkan suami adalah kepala keluarga yang berkewenangan penuh untuk membuat keputusan dan tidak memiliki keharusan atau tidak berkewajiban dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Dari pemahaman ini maka terlihat dilakukannya pembedaan dalam sistim pembagian kerja hanya untuk menegaskan bahwa terdapat pihak yang kesehariannya berhubungan dengan ranah domestik maupun pihak yang dalam kesehariannya berhubungan dengan ranah publik.

Dalam pemahaman umum, keluarga adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan bagi setiap manusia sehingga kesan pertama yang dijumpai dari kata keluarga adalah nyaman, indah, damai, tenang, dan masih banyak lagi kesan positif yang akan diungkapkan ketika seseorang mendengar kata tersebut. Sayangnya, semua hal positif yang sering dikatakan dan diungkapkan tidaklah menjamin terciptanya keluarga yang

13 Marianne Katoppo, Compassionate And Free (Tersentuh dan Bebas); Teologi Seorang Perempuan Asia. (Jakarta: Aksara Karunia, 2007).vii, 10.

14 J. B. Banawiratma, Sepuluh Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 55.

113 harmonis dan bebas dari ketidakadilan. Artinya, masih banyak keluarga yang berlaku tidak adil terhadap anggota keluarganya. Harus disadari bahwa konsep keluarga yang merupakan anugerah dari Tuhan memiliki tanggung jawab moral untuk mengajarkan dan mempraktekkan nilai-nilai yang adil yang dimulai dari hubungan antara suami isteri bahkan orang tua dan anak-anak.

Keluarga tidak bisa disamakan dengan sebuah wilayah pertandingan dimana terdapat banyak tim yang hendak bertanding sehingga terkadang timbul keegoisan dan tindakan-tindakan yang tidak adil untuk memperoleh satu tujuan kemenangan. Keluarga adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan karena itu kehidupan yang seharusnya ditonjolkan ialah kehidupan yang saling menyayangi dan saling menghargai antara suami dan isteri maupun antara orang tua dan anak-anak. Suami yang adalah kepala keluarga harus menunjukkan sikap yang patut dicontohi oleh seluruh anggota keluarganya. Suami dan isteri yang ada di dalam keluarga tidak hanya hadir sebagai satu pribadi tetapi hadir sebagai rekan kerja yang sudah seharusnya saling membangun dan saling menghormati. Dengan otoritas sebagai kepala keluarga yang melekat pada seorang suami, hendaknya tidak bertindak semena-mena terhadap isteri dan anak-anak. Menghormati dan mengasihi merupakan mandat yang harus dilakukan oleh seorang suami. Mengasihi bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan seluruh perbuatan. Begitupun isteri, harus menghormati suami. Ditunjukkan sikap hormat seorang isteri terhadap suaminya, bukanlah berarti suami juga dapat bertindak semena-mena terhadap isteri. Penerapan rasa kasih sayang dan saling menghargai tidak hanya diberikan antara suami dan isteri tetapi juga bagi anak-anak yang hadir di dalam keluarga dan dilandasi dengan pemahaman bahwa semuanya dilakukan selayaknya kita menghargai, menghormati, mengasihi, dan menaati Tuhan.

114 Di samping kehidupan keluarga, manusia laki-laki dan perempuan juga berdampingan dengan kenyataan kehidupan yang ada di luar keluarga yaitu masyarakat. Pada kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam hasil buah pikir manusia yang terkadang mendarah daging sehingga menjadi tradisi yang dilakonkan secara terus-menerus dalam lingkup masyarakat. Pembagian kerja dan peran merupakan salah satu contoh dari hasil konstruksi masyarakat yang kemudian menentukan bentuk-bentuk pekerjaan dan peran yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Kesempatan kerja yang diberikan bagi kaum perempuan jauh lebih sedikit/kecil dibandingkan dengan yang diberikan bagi laki-laki. Hal ini didukung dengan pemahaman bahwa laki-laki adalah kaum yang lebih unggul dari kaum perempuan sehingga laki-laki mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berkarya pada dunia publik dan sebaliknya kaum perempuan tidak berkesempatan besar untuk berkarya pada dunia publik. Dalam situasi yang demikian maka perempuan dilema untuk memposisikan diri sesuai hasil konstruksi masyarakat ataukah mengembangkan diri dalam masyarakat. Perempuan kemudian menjadi makhluk yang tertindas, tidak bebas, terdiskriminasi karena adanya hasil konstruksi masyarakat. Sadar ataupun tidak, hal-hal yang telah disebutkan sedang dan sementara dialami oleh banyak perempuan pada banyak lingkup masyarakat.

Manusia baik laki-laki maupun perempuan pada prinsipnya sebagai suatu wadah dari imago dei yakni segambar dan serupa dengan Allah. Kejadian 1 : 27 secara tegas menyatakan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Di sinilah keluarga yang paling pertama diciptakan di dunia yaitu keluarga yang setara, di mana laki-laki dan perempuan diciptakan sama dengan gambaran sang Pencipta mereka. Di sini juga menjadi sebuah penegasan bahwa

115 manusia menjadi cermin ciptaan termulia, suatu gambaran dari manusia baru yang diaplikasikan dalam pengertian “makhluk berkarya dan beribadah, serta makhluk yang sadar akan kehendak pencipta.” Gambaran manusia sebagai cermin Sang Pencipta terekspresi di dalam karya-karya manusia dalam seluruh kesehariannya melalui relasi manusia dengan Tuhan, relasi manusia dengan manusia, bahkan relasi manusia dengan alam merupakan suatu arena untuk mewujudkan manusia sebagai imago dei.

Dengan kata lain, tindakan manusia adalah ekspresi penghayatan manusia terhadap Sang Pencipta.15 Sedikit diinformasikan bahwa cerita penciptaan dalam kitab Kejadian pasal 1 merupakan bagian dari penceritaan pada sumber P (Priestly). Cerita penciptaan sangat menekankan tentang tema ketertiban ciptaan di tempatnya masing-masing. Tema ketertiban ini dimaksudkan untuk mengatur kehidupan pasca pembuangan dari Babilonia supaya menjadi tertib.16

Kembali pada konsep imago dei, Gerrit Singgih mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar (tselem) dan rupa (demuth) Allah. Baginya, kedua kata ini adalah sinonim. Tselem adalah patung atau citra dari tokoh tertentu, yang mewakili dia di suatu tempat. Demuth lebih bersifat umum, sesuatu yang menunjukkan keserupaan. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa Gambar Allah = manusia. Jadi, manusia adalah Gambar Allah, tetapi juga sebaliknya, gambar Allah adalah manusia. Gambar Allah tidak bermakna abstrak tetapi konkret, yakni manusia. Manusia itu terdiri dari laki-laki dan perempuan; gambar Allah adalah laki-laki dan perempuan. Jika Gambar Allah adalah manusia, dan manusia adalah laki-laki dan perempuan, maka baik laki-laki dan perempuan adalah manusia. Laki-laki adalah keseluruhannya

15 Yuberlian Padele, Agustina Lumentut: Pikiran dan Tindakannya dalam Kajian Gender Justice (Salatiga: Program Doktor Sosiologi Agama – Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2012), 129-130.

16 Robert B. Coote & David Robert Ord. Diterjemahkan oleh Jessica C. Pattinasarany; Kata Pengantar oleh Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D, Pada Mulanya: Penciptaan & Sejarah Keimaman, (Jakarta:BPK Gunung Mulia diterbitkan dalam kerja sama dengan Universitas Kristen Satya Wacana, 2011), xviii.

116 manusia, demikian juga perempuan adalah keseluruhannya manusia. Keduanya (laki-laki dan perempuan) adalah setara karena mereka adalah gambar Allah.17

Landasan ini sejajar dengan konsep keadilan yang dikemukakan oleh Okin yaitu tentang konsep keadilan yang humanis. Jika laki-laki dan perempuan adalah gambar Allah maka semestinya gambar Allah = manusia harus menjadi fokus utama dari penerapan nilai-nilai keadilan. Karena manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah setara maka perlakuan yang semestinya terjadi ialah perlakuan yang sama antara keduanya. Artinya, yang satu tidak didahulukan dan yang lain ditinggalkan.

Sebagai gambaran Allah, manusia memiliki tanggung jawab untuk menyatakan tindakan-tindakan yang memuliakan Allah. Jadi, segala bentuk perlakuan yang dilakukan kepada manusia lainnya merupakan perwujudan tindakan yang dilakukan bagi Tuhan. Artinya, ketika seorang laki-laki bertindak sewenang-wenang terhadap seorang perempuan maupun seorang perempuan melakukan tindakan yang tidak benar terhadap seorang laki-laki maka hal tersebut merupakan wujud perlakuan manusia bagi Tuhan. Segambar dan serupa dengan Tuhan Allah maka manusia dituntut untuk selalu sadar dalam melakukan tindakan-tindakan yang adil dan yang memuliakan-Nya. Dengan kata lain, manusia harus mampu melawan berbagai tindakan yang cenderung merugikan bahkan menyakiti manusia lainnya. Di sinilah esensi dari tindakan manusia, suatu tindakan yang bertanggung jawab, bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Tuhan Allah, melakukan tindakan-tindakan yang bermoral, bahkan lebih dari pada itu manusia harus mampu mewujudkan kualitasnya sebagai ciptaan yang paling mulia. Perempuan adalah mitra sejajar bagi laki-laki. Artinya perempuan memiliki kualitas yang sama dengan laki-laki sehingga harus diperlakukan dengan baik. Perempuan tidak memiliki harkat dan martabat yang

17 Emanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel: Sebuah Tafsir Kejadian 1-11 (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 66-69.

117 lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kedua-duanya yakni laki-laki dan perempuan merupakan subjek penyelamatan Allah karena itu laki-laki dan perempuan harus bertindak yang adil baik di dalam hubungan keluarga maupun di dalam hubungan bermasyarakat untuk saling membangun dan saling menyelamatkan.

Untuk lebih memperjelas maka penulis membuat skema sederhana dalam rangka menggambarkan hubungan-hubungan yang seharusnya terjalin di dalam keluarga yang pada akhirnya berdampak bagi kehidupan bermasyarakat. Pada awalnya kita memahami bahwa hubungan yang seharusnya terjalin di dalam sebuah keluarga ialah yang seperti skema berikut ini:

Pandangan awal ialah adanya Hierarki di dalam Keluarga. Suami/Ayah memiliki otoritas atas Isteri dan Anak.

Namun, ketika manusia memahami bahwa sebenarnya semua manusia adalah sama/setara, karena itu tidak seharusnya membeda-bedakan antara manusia laki-laki dan perempuan. Artinya, harus bertindak yang adil antara laki-laki dan perempuan yang ada di dalam kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga tidaklah dibangun atas hierarki yang diciptakan oleh pemahaman masyarakat. Namun di atas semua perkataan, tindakan, dan perbuatan yang dilakukan terhadap manusia harus didasari

Suami/Ayah

Isteri/ Ibu

118 oleh rasa hormat, cinta kasih, dan ketaatan kepada Tuhan maka hubungan yang seharusnya terjalin di dalam keluarga ialah seperti skema berikut ini.

Lingkup Masyarakat

Dengan demikian penulis akan mengakhiri pembahasan yang terdapat pada bab empat dengan membuat kesimpulan sederhana yang menyatakan bahwa pada dasarnya kemampuan dan talenta yang dimiliki oleh kaum perempuan merupakan suatu pembuktian bahwa kaum perempuan bukanlah kaum yang lemah tetapi diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai kemampuan yanng terkadang juga tidak dimiliki oleh kaum laki-laki. Karena itu harus dinjunjung harkat insaninya dan stereotip negatif yang seringkali dilekatkan pada pribadi seorang perempuan haruslah dikaji ulang sehingga semua manusia baik laki-laki maupun perempuan dicerahkan jalan pemikirannya dan tindakannya dituntun untuk selalu mengarah pada tindakan-tindakan yang adil yang diawali dari dalam hubungan yang paling intim sehingga berdampak pada hubungan-hubungan kemasyarakatan maupun kenegaraan.

TUHAN

Laki-laki/

Dokumen terkait