• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemikiran Soekarno tentang Keadilan dan Kemerdekaan bagi Kaum Perempuan Ditinjau dari Perspektif Teori Keadilan Susan Moller Okin T2 752012002 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemikiran Soekarno tentang Keadilan dan Kemerdekaan bagi Kaum Perempuan Ditinjau dari Perspektif Teori Keadilan Susan Moller Okin T2 752012002 BAB IV"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

79

BAB IV

ANALISA PEMIKIRAN KEADILAN SOEKARNO DITINJAU

DARI TEORI KEADILAN SUSAN MOLLER OKIN

Bab empat adalah bab yang berisikan pandangan penulis tentang pokok-pokok

pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya. Pada bab ini penulis

akan mengulas dan menganalisa tentang Okin dan keadilan menurut konteksnya,

Sekarno dan keadilan menurut konteksnya, pencerahan terhadap konsep keadilan

Soekarno ditinjau dari teori Okin, Relevansi dari pandangan Soekarno dan Okin

tentang keadilan dan kemerdekaan bagi Perempuan Indonesia Sekarang Ini, dan

diakhiri dengan Refleksi Teo-Politik terhadap keadilan bagi kaum perempuan.

A.Okin dan Keadilan Menurut Konteksnya

Susan Moller Okin berangkat dari konteks Amerika Serikat yang sangat liberal

dan masyarakat yang sangat independen. Melalui konteks ini, maka dianalisis bahwa

Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang sadar akan nilai-nilai kebebasan yang

seharusnya menjadi hak setiap masyarakat yang hidup di dalam kebangsaannya.

Kebebasan yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat menghadirkan kualitas hidup

yang dikelilingi dengan kemerdekaan sehingga semua individu yang hidup pada

situasi yang seperti itu akan menjunjung tinggi kemerdekaan secara indidvidu. Okin

melihat pemberian kebebasan yang berdampak pada individualisme sebagai sebuah

masalah yang sangat urgen yang sewaktu-waktu dapat menurunkan kualitas hidup

masyarakat yang pada awalnya sangat berorientasi di dalam keluarga tetapi secara

perlahan mulai memudar bahkan hilang. Kehidupan bersama yang pada awalnya

(2)

80 semakin bergeser kepada pementingan kualitas hidup dari masing-masing individu.

Kondisi semacam ini yang dikhawatirkan oleh Okin. Jika semua orang mengalihkan

perhatiannya dari hubungan keluarga kepada individualisme maka pada akhirnya

kebersamaan dan solidaritas yang telah terbentuk di dalam hubungan keluarga akan

mengalami pergeseran dan digantikan dengan penonjolan diri dari masing-masing

individu sehingga semua orang akan menjadi insan yang sangat individualistis.

Karena itu, melalui teori keadilan yang dikemukakan olehnya maka Okin hendak

mengembalikan kembali pemaknaan terhadap peran dan fungsi yang terkandung di

dalam keluarga dan hendak menegakkan kembali nilai-nilai keadilan yang seharusnya

bermuara dari dalam keluarga. Untuk itu pertama-tama Okin melihat teori-teori

keadilan yang hadir pada zaman klasik hingga modern yang baginya tidak membahas

tentang keadilan yang seharusnya terjamah di dalam hubungan keluarga dan juga

mengabaikan keadilan bagi kaum perempuan. Sebuah kemungkinan yang

melatarbelakangi tidak terjamahnya nilai-nilai keadilan di dalam hubungan keluarga

ialah adanya konsep patriaki yang dianggap benar dan baik untuk diterapkan dalam

hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Penulis mencurigai bahwa sebagian

besar dari teoritikus yang hadir pada zaman klasik dan modern masih terjebak bahkan

menganut paham patriaki sehingga tidak mengembangkan nilai-nilai keadilan di

dalam hubungan keluarga yang berpusat pada eksistensi laki-laki dan perempuan.

Di dalam konteks Amerika yang merupakan objek dari pengembangan teori

keadilannya, Okin melihat bahwa walaupun Amerika telah mengalami kemajuan di

dalam berbagai bidang, tetapi masih mengalami sebuah kendala dalam menghadirkan

keadilan bagi semua warga masyarakat. Amerika masih terpasung di dalam paham

patriaki yang sangat memegahkan posisi kaum laki-laki, mengunggulkan kemampuan

(3)

81 kesempatan bagi kaum perempuan di dalam mengemukakan pendapatnya, kaum

laki-laki masih sangat egois dan tidak memberikan kesempatan bagi kaum perempuan

untuk dapat bergerak pada wilayah publik yang sejatinya merupakan wilayah bagi

kaum laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan semua kemampuan dan talenta

yang dimiliki. Kaum perempuan masih dijerat dalam ketidakadilan dan penindasan

sehingga tidak menemukan kemerdekaan yang seharusnya membawa mereka keluar

dari ketidakadilan itu sendiri.

Dalam ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh kaum perempuan,

perempuan diberikan kesempatan untuk melangkah dan berkarya pada wilayah

publik. Sayangnya, kesempatan yang diberikan tidak sepenuhnya mengarahkan kaum

perempuan pada sebuah kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya karena

masih dibayang-bayangi dengan tugas-tugas pada ranah domestik. Sifat-sifat

kelembutan dan merawat yang disinyalir merupakan sifat-sifat dari seorang

perempuan kemudian dijadikan sebagai sebuah landasan bahwa walaupun kaum

perempuan telah diberikan kesempatan untuk bergerak pada wilayah publik namun

posisi dan peran perempuan tidak bisa dipisahkan dari hal-hal domestik.

Kondisi ini kemudian menggiring kita untuk kembali pada konsep keadilan

yang seharusnya ditinjau dari dalam hubungan keluarga. Keluarga yang adalah dasar

dari terbentuknya keadilan pada wilayah publik seharusnya meletakkan dasar yang

kuat sehingga tidak goyah ketika bersentuhan dengan berbagai macam konsep yang

diterapkan pada dunia publik. Ini merupakan sebuah solusi yang ditawarkan oleh

Okin bahwa ketika sebuah bangsa telah mengalami perkembangan dalam berbagai

bidang kehidupan yang mengakibatkan banyak orang berambisi untuk mementingkan

kehidupan pribadinya sendiri maka seharusnya setiap individu tidak menjadi lupa

(4)

82 Seharusnya setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan tetap memaknai

nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalam sebuah keluarga. Laki-laki dan perempuan

hendaknya tidak terlena dan memanjakan diri dengan paham individualisme yang

pada akhirnya akan mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang terdapat di dalam

keluarga.

Okin tidak hanya melihat ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan

dari kacamata paham patriaki, tetapi ia juga melihat bahwa sebenarnya kaum

perempuan yang hadir pada zamannya juga mengalami ketidakadilan dalam

hubungan-hubungan politik yang dalam hal ini perempuan tidak mendapatkan

kebebasan secara penuh dalam berkarya pada wilayah publik khususnya dalam

pemerintahan negara, selain itu ia juga melihat bahwa ternyata kehidupan domestik

yang di dalamnya kaum perempuan mengabdikan seluruh kehidupannya bagi suami

dan anak-anak dipolitisasi sehingga walaupun perempuan berada di dalam kehidupan

keluarga tetapi masih juga dikendalikan dengan unsur-unsur politik. Artinya bahwa

kaum laki-laki yang walaupun bekerja di wilayah publik tetapi ketika berada di dalam

kehidupan keluarga tetap menjadi penentu di dalam keluarga selayaknya mereka

(kaum laki-laki) sementara mengambil keputusan di dalam wilayah politik. Tidak

hanya itu, kehidupan keluarga juga diibaratkan sama seperti organisasi-organisasi

yang dibentuk di dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak membutuhkan nilai-nilai

yang adil tetapi hanya dibutuhkan pengembangan unsur-unsur kasih sayang dan

kemurahan hati. Okin pun melihat bahwa salah satu unsur politik yang terjamah di

dalam kehidupan keluarga adalah adanya campur tangan negara terhadap kehidupan

keluarga.

(5)

83 Soekarno adalah seorang pejuang yang hadir dalam konteks revolusi yang

mengangkat isu politik sebagai perwujudan dari adanya ketidakadilan bagi kaum

perempuan. Dengan tegas ia mengatakan bahwa “tiada kemenangan revolusioner, jika

tiada wanita revolusioner”. Ungkapan ini merupakan sebuah ekspresi yang

ditunjukkan olehnya dalam menghargai keberadaan kaum perempuan, dan juga

merupakan sebuah ungkapan di mana ia mengakui bahwa kaum perempuan memiliki

kemampuan dan keunggulan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Karena itu, merupakan suatu hal yang sangat wajar bahkan diharuskan untuk

mengikutsertakan kaum perempuan dalam wilayah politik pada masa itu.

Keikutsertaan kaum perempuan terlihat ketika mereka diberikan kesempatan untuk

berdiri di barisan depan dalam menghalau musuh, selain itu turut merumuskan hal-hal

yang berkaitan dengan politik. Situasi yang melatarbelakangi sehingga perempuan

diberikan kesempatan untuk bergabung pada wilayah publik adalah karena bangsa

Indonesia sementara berjuang melawan penjajah. Sayangnya, ketika laki-laki dan

perempuan pribumi yang pada masa itu berjuang melawan penjajah, kaum perempuan

pun tetap mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak adil dari laki-laki baik dari

penjajah maupun sesama rakyat pribumi. Dari kaum penjajah (kaum laki-laki),

banyak perempuan yang dilecehkan, dipukul, disiksa, dan jika adanya perlawanan

yang dilakukan oleh kaum perempuan maka tidak segan-segan diperkosa bahkan

perempuan-perempuan muda dijadikan sebagai perempuan penghibur yang bertujuan

untuk melayani kebirahian mereka. Tindakan-tindakan seperti ini tidak hanya

berakibat pada kondisi fisik tetapi juga pada kondisi psikis seorang perempuan.

Sedangkan dari kaum laki-laki pribumi, perempuan dianggap sebagai kaum yang

(6)

84 berkonflik. Ketika berada di tengah situasi peperangan, perempuan hanya akan

menjadi penghalang bagi kaum laki-laki.

Contoh ketidakadilan yang dilakukan kaum laki-laki pribumi tehadap

perempuan adalah pada peristiwa Lubang Buaya, di mana banyak perempuan anggota

Gerwani yang dituduh telah turut andil berserta dengan PKI untuk melakukan

penyiksaan terhadap jenderal-jenderal yang ditawan dan dibunuh oleh PKI. Di waktu

peristiwa itu terjadi, kaum perempuan anggota Gerwani tidak diberi kesempatan untuk

mengklarifikasikan keterlibatan mereka di dalam peristiwa tersebut. Suara mereka

dibungkan dan mereka ditawan. Namun, ketika terjadi peristiwa Reformasi, para

perempuan ini kemudian menceritakan bagaimana mereka dijadikan kambing hitam

dan semua tuduhan mereka tidak berdasar sama sekali. Di sini, perjuangan kaum

perempuan dinodai dan dikhianati oleh kaum lelaki yang melihat mereka sebagai

sosok lemah yang keberadaannya tidak berarti.1

Perlakuan tidak adil yang dialami oleh kaum perempuan pada masa itu tidak

terlepas dari kentalnya pemahaman akan budaya patriaki yang sementara berkembang

di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Budaya patriaki merupakan sebuah budaya

yang membatasi, menghalangi, mematahkan, dan melumpuhkan aktifitas yang

dilakukan oleh kaum perempuan sehingga potensi yang ada pada kaum perempuan

tidak tersalurkan dengan baik. Soekarno melihat bahwa ini merupakan sebuah

masalah yang akan menjadi penghalang untuk terwujudnya kemerdekaan Indonesia.

Baginya, kaum perempuan juga memiliki kesempatan untuk berkecimpung pada

wilayah publik karena itu ia menggerakkan kaum perempuan untuk bersama-sama

dengan kaum laki-laki dalam mengupayakan kemerdekaan Indonesia yang merupakan

1 Saskia Wieringa Eleonora, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. ( Jakarta: Garba

(7)

85 kemerdekaan bersama bagi laki-laki dan perempuan Indonesia. Soekarno secara

langsung bertumpu pada skala yang lebih luas yaitu kenegaraan. Dia memperhatikan

bahwa dalam sebuah negara, keadilan bagi kaum perempuan merupakan sebuah

kewajiban dan sekaligus merupakan bentuk terwujudnya kesejahteraan rakyat. Jika

dalam sebuah negara, praktek-praktek keadilan terakumulasi dengan baik dan benar

bagi semua lapisan masyarakat dalam hal ini juga kaum perempuan maka semua

kaum perempuan akan mengalamai kesejahteraan dan terbebas dari tekanan bahkan

tidak hanya kaum perempuan yang mendapatkan kesejahteraan tetapi kaum laki-laki

juga memperoleh kesejahteraan yang sama. Dengan begitu tidak adanya gangguan

dalam mengusahakan serta memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.

Bagi penulis, hal tersebut merupakan kontribusi yang akan diperoleh ketika keadilan

benar-benar tersampaikan secara merata.

C. PencerahanTerhadap Konsep Keadilan Soekarno Ditinjau dari Teori Okin

Dalam mengembangkan pemahamannya, Soekarno dipengaruhi oleh banyak

faktor antara lain; pengalaman masa kecilnya, didikan dari kakeknya, pengalaman

ketertindasan dan ketidakadilan dari penjajah, dan pengamatannya terhadap

kedudukan dan peran laki-laki maupun perempuan pada wilayah publik-domestik.

Hal-hal semacam ini yang telah memacunya dalam memikirkan bahkan bertindak atas

nama keadilan bagi setiap warga masyarakat Indonesia.

Pengalaman masa kecilnya yang diwarnai dengan dunia pewayangan yang

menghadirkan sosok ksatrya tangguh, kuat, gagah, memiliki hati yang tulus untuk

menolong orang lain, jujur, serta berjuang mengedepankan nilai-nilai keadilan

membentuk ia tumbuh menjadi seorang yang memiliki wawasan luas tentang

(8)

86 hanya dipandangnya sebagai sebuah tontonan yang menghibur tetapi lebih daripada

itu wayang telah menjadi sarana dalam membantunya menjadi sosok yang tidak hanya

pandai berbicara tetapi pandai bertindak. Dapat dikatakan pula bahwa peran yang

dimainkan oleh dalang2 dalam cerita pewayangan juga hendak ia terapkan dalam

kenyataan. Karena itu dapat dikatakan bahwa ia laksana ksatrya yang datang dalam

masa genting yang dihadapi banyak orang. Selain itu, pengajaran yang diberikan oleh

kakeknya antara lain; menghargai orang yang lemah dan tidak berdaya, bersikap jujur,

dan bertindak adil turut membantunya dalam membentuk cara pikir dan tindakannya

bagi orang lain.

Soekarno menoreh sejarah panjang yang diikuti dengan perjuangan yang tiada

hentinya. Perjuangan yang dilakukannya semakin terlihat ketika bangsa Indonesia

berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang yang mengakibatkan

Indonesia menjadi bangsa yang sangat tertindas baik dari segi fisik, psikis, geografis,

sumber daya manusia, dan sumber daya alam. Ketidakadilan menjadi barang yang

mudah ditemui manakala bangsa Indonesia berada di bawah kedua kekuasaan ini serta

banyaknya batasan, aturan, dan perintah yang dikeluarkan untuk mengutamakan

kepentingan penjajah menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh rakyat

Indonesia.

Keadaan ini menghadirkan sebuah kenyataan bahwa dalam konteks Indonesia

ketidakadilan terhadap kaum perempuan bukanlah barang baru, melainkan telah

berlangsung sejak lama yakni sejak masa-masa di mana bangsa ini sementara

bergumul dengan kemerdekaan. Soekarno menggagas tiga hal (nasionalisme,

islamisme, sosialisme) yang menjadi pilar utama untuk berdirinya negeri ini. Baginya,

sosialisme yang dicita-citakan tidak akan terwujud dengan sempurna jika perempuan

2 Dalam pemahaman penulis, Dalang adalah orang yang berada dibalik layar pewayangan yang

(9)

87 tidak mengambil bagian di dalamnya dan jika tidak adanya sikap netral/sikap adil

yang didapatkan oleh perempuan-perempuan pada zaman itu. Hal ini semakin

menandakan bahwa peran perempuan tidak kalah pentingnya untuk mengembangkan

atau menghasilkan suatu kehidupan bersama yang luhur. Pesan yang hendak dicapai

melalui apa yang dikatakan Soekarno ialah, perempuan juga adalah makhluk Tuhan

yang mulia. Perempuan memiliki harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia.

Oleh karena itu, kemanusiaannya patut dihargai.

Bagi Soekarno, keadilan yang sebenar-benarnya ialah ketika seluruh anak

bangsa Indonesia diperlakukan secara adil, tidak mengalami penindasan, tidak

mengalami buta huruf, tidak terdiskriminasi, dan sebagainya. Untuk menghadirkan

kemerdekaan bangsa, Soekarno melibatkan sosok perempuan sebagai tanda bahwa

perempuan mampu menjadi yang terdepan untuk membela bangsa dan negara, serta

menjadi motor penggerak bagi perempuan-perempuan lainnya. Bersama dengan

laki-laki, perempuan bersikap profesional untuk merebut kemerdekaan bersama. Hal ini

mengakibatkan banyaknya kaum perempuan yang tidak hanya menjadi aktor dalam

wilayah domestik, tetapi juga pada wilayah publik. Jika dibandingkan dengan

laki-laki, perempuan adalah kaum yang sangat tertindas dan banyak mengalami

ketidak-adilan pada masa penjajahan. Karena itu, sangatlah tepat jika perempuan turut berada

di depan dalam perjuangan. Senada dengan yang dikatakan oleh Soekarno bahwa

perempuan adalah elemen mutlak dalam perjuangan bahkan perempuan adalah

separuh tenaga dari laki-laki dalam memperjuangkan kemerdekaan, maka secara tidak

terbatas perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam

negara Indonesia.

Untuk meresponi penjelasan-penjelasan yang telah dijelaskan di atas maka

(10)

88 kemerdekaan yang diusung oleh Soekarno. Adapun skema yang dimaksud sebagai

berikut:

Skema di atas hendak menjelaskan bahwa Soekarno yang hadir pada masa itu

tidak hanya berhadapan dengan kenyataan dijajahnya bangsa Indonesia oleh Belanda

maupun Jepang. Tetapi ia juga berhadapan dengan konteks bangsanya sendiri yang

sangat terikat dengan peraturan-peraturan yang berlaku di dalam kehidupan tiap-tiap

keluarga yang menyatakan bahwa baik anak-anak perempuan maupun kaum

perempuan yang telah dewasa tidak diperbolehkan untuk berada pada wilayah publik

yang diyakini sebagai wilayah pertuanan kaum laki-laki. Perempuan dilarang untuk

bergabung dengan kaum laki-laki karena dianggap sebagai sebuah penghinaan

terhadap posisi kaum laki-laki. Karena itu perempuan hanya diwajibkan untuk Perempuan pada

jaman Soekarno

Masa penjajahan Berkembangnya budaya

patriaki/peraturan keluarga yang mengikat

perempuan di ranah domestik

Mengupayakan pembebasan kaum

perempuan

(11)

89 menyalurkan semua pemikiran dan tenaganya pada wilayah domestik. Hal ini juga

dipengaruhi oleh pemahaman bahwa kaum perempuan tidak memiliki kualitas yang

sama dengan kaum laki-laki sehingga terjadinya pengurungan terhadap kaum

perempuan.

Pengurungan terhadap kaum perempuan tidak terlepas dari berkembangnya

paham/budaya patriaki pada kalangan masyarakat. Dengan kata lain, paham patriaki

telah meracuni sistim berpikir laki-laki dan perempuan sehingga tidak adanya

kesempatan bagi kaum perempuan baik untuk memperbaiki dirinya maupun untuk

berjuang bagi kemerdekaan bangsanya sendiri. Kaum perempuan menjadi kaum yang

sangat terisolasi dari perkembangan dunia luar. Ketidakadilan dan penindasan yang

berawal dari dalam keluarga inti kemudian semakin menyudutkan posisi kaum

perempuan di dalam masyarakat. Kondisi seperti inilah yang hendak dibongkar oleh

Soekarno. Ia menyerukan kaum perempuan untuk berani membongkar dan

meruntuhkan peraturan-peraturan yang pada akhirnya tidak akan membawa

kemerdekaan bagi bangsa. Soekarno yang pada saat itu menjadi tulang punggung

terwujudnya kemerdekaan bangsa, kemudian membuat sebuah perubahan bahwa

kaum perempuan juga diperbolehkan untuk berjuang melawan penjajah, perempuan

diperbolehkan untuk keluar dari wilayah domestik menuju wilayah publik. Pernyataan

ini berkaitan dengan paham patriaki yang sekaligus hendak menyarankan bahwa tidak

hanya kaum perempuan yang harus meninggalkan paham patriaki, tetapi kaum

laki-laki juga diharapkan untuk menanggalkan paham patriaki yang selama ini menjadi

tiang penentu terhadap otoritasnya. Dengan kata lain, semua rakyat harus

meninggalkan pemahaman patriaki yang memegahkan kaum laki-laki dan

mengucilkan kaum perempuan. Dengan begitu kaum perempuan akan terbebas dari

(12)

90 bersama-sama berjuang dengan kaum laki-laki untuk memukul mundur musuh

bersama yang adalah kaum penjajah dan menghancurkan semua antek-antek bahkan

paham kolonialisme yang dikembangkan oleh pihak penjajah demi mewujudkan

kemerdekaan bersama yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia.

Di sini, penulis melihat bahwa Soekarno memiliki pemahaman yang sangat

ideal untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa. Sayangnya, pemahaman yang

ideal itu sendiri pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang

dihadapi oleh perempuan-perempuan Indonesia yang hadir dan berjuang pada masa

itu. Perjuangan perempuan Indonesia tidak hanya terfokus untuk memukul mundur

kaum penjajah, tetapi sebenarnya perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan

ialah memukul mundur semua tindakan-tindakan yang tidak adil yang dilakukan oleh

kaum penjajah maupun kaum pribumi (kaum laki-laki) terhadap kaum perempuan.

Perjuangan Soekarno untuk mengupayakan pembebasan bagi kaum perempuan tidak

semata-mata ia lakukan karena benar-benar memperhatikan akan kebebasan bagi

kaum perempuan. Dengan kata lain upaya yang dilakukannya tidak murni didasari

oleh keprihatinanya terhadap posisi kaum perempuan yang ditindas dan disiksa.

Semua upaya yang dilakukan olehnya hanya semata-mata untuk membebaskan

bangsa dari tangan penjajah. Ia memperbolehkan kaum perempuan bergerak keluar

untuk menggabungkan seluruh kekuatan yang ada pada diri perempuan bersama

dengan laki-laki karena baginya ketika kaum laki-laki dan perempuan menyatukan

semua kekuatan maka akan segera terwujudnya kemerdekaan bangsa.

Praktek poligami yang dilakukan oleh Soekarno merupakan alat ukur yang

dipakai oleh penulis untuk menyimpulkan bahwa sebenarnya upaya yang dilakukan

oleh Soekarno untuk membebaskan kaum perempuan hanyalah sebatas kepentingan

(13)

91 yakni harus keluar dari lingkaran penindasan dan kesengsaraan yang dihadirkan oleh

penjajah. Adapun praktek poligami yang dilakukan oleh Soekarno menghadirkan

protes dari berbagai pihak organisasi politik perempuan yang hadir pada masa itu

salah satunya ialah Gerwani. Gerwani merupakan organisasi massa perempuan yang

suaranya sangat keras dalam membela hak-hak perempuan dan anak-anak sesuai

dengan keadaan zamannya. Penggalangan massa ditempuh untuk revolusi sosialis

demi mewujudkan pembebasan kaum perempuan dari elemen-elemen penindasan

diantaranya kekerasan fisik, psikis, dan praktek poligami. Pada medan politik

nasional, organisasi ini mendukung politik Soekarno terutama ketika ia hadir dengan

politik anti-neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme. Namun, pada akhirnya

ketika adanya pengingkaran yang dilakukan oleh Soekarno karena mempraktekkan

poligami maka hal tersebut bagaikan pukulan besar bagi organisasi-organisasi

perempuan yang hadir pada saat itu salah satunya ialah Gerwani.3 Tindakan ini

hendak menjelaskan bahwa Soekarno sendiri masih terjebak bahkan masih

menjunjung paham patriaki yang mengklaim bahwa kaum laki-laki adalah kaum yang

berkuasa atas kaum perempuan dan kaum perempuan seharusnya menjadi kaum

nrima” terhadap semua keputusan yang diputuskan oleh kaum laki-laki. Soekarno

tidak melihat bahwa sebenarnya penjajahan dari kedua kekuatan besar yakni Belanda

dan Jepang maupun paham patriaki sama-sama merupakan pusat dari terbentuknya

tindakan-tindakan yang tidak adil dan tindakan-tindakan penindasan bagi kaum

perempuan. Bagi penulis, praktek poligami yang dilakukan oleh Soekarno merupakan

sebuah model penjajahan yang dihadirkan oleh Soekarno sendiri terhadap kaum

perempuan yang pada saat itu sementara mencari, menuntut, bahkan berjuang untuk

keadilan bagi kaum perempuan. Di sini kembali lagi kaum perempuan diperhadapkan

3 Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya,

(14)

92 dengan masa-masa kelam yakni harus berjuang untuk kembali keluar dari

tindakan-tindakan yang tidak adil, kaum perempuan masih harus berjuang melawan

kolonialisasi yang dihadirkan dari paham patriaki, dan berjuang untuk memutuskan

lingkaran patriaki yang hadir di tengah-tengah masyarakat serta harus berjuang untuk

menemukan kemerdekaan yang benar-benar memerdekakan yakni bukan

kemerdekaan yang bersifat temporer tetapi kemerdekaan yang nantinya harus

dinikmati oleh generasi-generasi penerus kaum perempuan. Pendek kata, setelah

memperjuangkan kemerdekaan nasional, perempuan harus kembali memperjuangkan

kemerdekaannya. Perempuan harus kembali berjuang untuk memenuhi haknya

sebagai perempuan yang merdeka. Dengan kata lain perempuan harus menempuh dua

tahap perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan sebagai pribadi

yang benar-benar merdeka. Berkaca dari tindakan yang dilakukan olehnya maka

penulis mengatakan bahwa Soekarno belum sepenuhnya berhasil membereskan semua

bentuk-bentuk yang tidak adil yang dialami oleh kaum perempuan.

Melalui skema di atas juga, penulis melihat bahwa ternyata masih terdapat

kekurangan dan kekeliruan pada pandangan yang dikemukakan oleh Bung Karno

dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa. Ia tidak melihat dan tidak

membenahi peran keluarga inti sebagai sarana untuk memperjuangkan ketidakadilan

yang dialami oleh kaum perempuan. Memang benar bahwa konteks utama yang hadir

pada masa itu ialah konteks kemerdekaan sehingga seluruh rakyat Indonesia harus

keluar untuk berjuang dan membela Tanah Air dalam rangka merebut kemerdekaan

bersama sehingga keadilan di dalam kehidupan keluarga bukanlah merupakan suatu

kebutuhan mendasar bagi terwujudnya kemerdekaan bangsa, bukan pula menjadi

fokus utama bagi Soekarno dalam melihat tentang inti dari kemerdekaan itu sendiri.

(15)

93 bersama yang harus dibawa pada pemahaman tentang keadilan yang holistik bahwa

perempuan tidak hanya dijadikan sebagai objek untuk mencapai Indonesia merdeka

melainkan keadilan dan kesejahteraan serta partisipasinya di ranah publik benar-benar

diperhatikan secara adil. Karena itu, kita yang hadir pada masa sekarang sementara

melanjutkan kehidupan dan semua peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau

dan demikian memiliki beban moral yang harus dikerjakan untuk membenahi hal-hal

yang masih menghadirkan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

yang diwarisi dari masa lampau hingga masa sekarang misalnya ketidakadilan gender

yang pertama-tama harus dibenahi dari dalam lingkup keluarga dalam hal pembagian

kerja, kesempatan yang merata bagi laki-laki dan perempuan dalam mengembangkan

kemampuannya, dan sebagainya. Karena itu kembali lagi penulis akan membuat

skema mengenai pandangan yang dikemukakan oleh Susan Okin yang akan sangat

membantu memahami juga membenahi pemikiran kita tentang peran keluarga sebagai

jalan pembuka terwujudnya nilai dan tindakan yang adil dan yang memerdekakan di

dalam masyarakat. Skema ini sekaligus akan mengkritisi dan mencerahkan konsep

(16)

94 Skema di atas menginformasikan bahwa Susan Moller Okin berpijak dari

konteks kenegaraan Amerika Serikat. Dia melihat bahwa pada awalnya tatanan moral

yang berlaku di dalam keluarga menjadi dasar dalam perwujudan nilai-nilai yang

tertuang di dalam kehidupan bernegara. Namun secara perlahan peran keluarga

digantikan dengan paham liberalisme dan independen yang menjamin kebebasandan

kemerdekaan setiap warga negara untuk mengembangkan dirinya (telah dijelaskan

pada poin Okin dan keadilan menurut konteksnya). Namun bagi Okin, pada akhirnya

akan timbul masalah yang sangat kompleks ketika keluarga tidak lagi berperan

penting. Banyak orang akan berambisi untuk menonjolkan kemampuannya masing-Susan Moller Okin

Konteks Amerika Serikat

Keluarga (penanaman

nilai-nilai moral )

Menganut paham Liberalis, Independen dan

Patriaki

Masyarakat Individualis

Laki-laki Perempuan

Ketidakadilan Keadilan

Dalam Ranah Domestik Dan

(17)

95 masing dan mementingkan kepribadiannya (mementingkan kehidupan individu)

dibandingkan dengan mementingkan penerapan nilai-nilai yang adil bagi seluruh umat

manusia.

Disamping itu, Amerika Serikat yang telah maju dalam berbagai bidang

kehidupan pun masih menganut sistim patriaki yang mengakibatkan munculnya

ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi penentu dan

mendominasi wilayah publik bahkan memegang kendali pada wilayah domestik.

Akibatnya kaum perempuan mengalami tindakan ketidakadilan. Bagi Okin, hal

semacam ini merupakan dampak dari adanya pengabaian terhadap peran penting

keluarga. Amerika terlalu mengutamakan sifat-sifat individualisme dan tidak

memperhatikan peran penting keluarga yang merupakan dasar terbentuknya keadilan.

Karena itu, Okin mengusulkan bahwa semua lapisan masyarakat harus kembali lagi

kepada kearifan-kearifan lokal yang berada di dalam keluarga. Semua manusia harus

membenahi kembali komponen-komponen yang menghadirkan ketidakadilan yang

dimulai dari dalam kehidupan keluarga. Ketika banyak orang mengharapkan dan

bermimpi untuk terwujudnya keadilan pada ranah publik maka hal utama yang harus

diperhatikan ialah penerapan nilai-nilai moral dan pencapaian keadilan di dalam

keluarga inti. Artinya, harus memupuk kembali kesadaran akan pentingnya keadilan

yang dimulai dari dalam keluarga karena akan berdampak pada keadilan pada ranah

publik.

Pemahaman yang dibentuk oleh Susan Okin menyadarkan kerangka berpikir

kita yang hadir pada masa kini bahwa pada dasarnya keluarga merupakan unit terkecil

yang berperan penting bagi perkembangan masyarakat bahkan negara. Karena itu

yang menjadi tugas kita sekarang ialah harus bercermin dari pemahaman yang

(18)

96 pendidikan yang berbasis gender di dalam keluarga karena jika telah terjadinya

kesetaraan dan keadilan di dalam keluarga inti maka praktek kesetaraan dan keadilan

pun akan terjamah pada kehidupan luar yakni masyarakat bahkan negara. Dengan kata

lain, keadilan dapat bertumbuh dengan subur di dalam sebuah negara jika keadilan itu

sendiri diawali dan dibenahi dari dalam hubungan keluarga. Di sinilah ruang publik

dan privat harus dilebur karena kedua-duanya sama-sama merupakan unsur yang

sangat penting bagi pengembangan nilai-nilai yang setara dan adil bagi laki-laki dan

perempuan. Merupakan sebuah kekurangan karena Soekarno yang pada saat itu hanya

berdiri pada pemahaman bahwa ketika perempuan telah diberikan kesempatan untuk

bergabung pada wilayah publik maka merupakan tanda tercapainya keadilan bagi

seluruh rakyat Indonesia, padahal unsur-unsur dan tindakan-tindakan tidak adil

sementara terjadi di dalam hubungan keluarga. Tidaklah salah jika pada zaman

Soekarno, perempuan harus keluar dari ranah domestik ke ranah publik. Namun, di

sini Soekarno terlalu fokus pada kolonoalisme dan imperialisme yang dihadirkan oleh

bangsa penjajah, sehingga tidak peka terhadap kolonialisme dan imperialisme yang

sebenarnya sedang terjadi di dalam kehidupan keluarga.

Dengan demikian betapa lemahnya jika perjuangan untuk mempertahankan

hak-hak kaum perempuan kemudian mengabaikan unsur keluarga sebagai tempat

yang pertama dan terutama untuk belajar dan menghasilkan calon-calon pemimpin

yang benar-benar berpihak terhadap pencapaian keadilan bagi seluruh umat manusia

tanpa adanya pengecualian. Melalui pernyataan ini maka kita yang hadir pada zaman

ini dituntut untuk lebih memperkuat fondasi dari dalam ranah intim sehingga dengan

begitu kita dituntun pada kehidupan baru yaitu kehidupan bersama yang benar-benar

adil. Hanya dengan cara yang seperti itu maka kaum perempuan tidak dijadikan

(19)

97 nilai-nilai moral dan nilai-nilai yang adil. Selain itu, hanya dengan kembali pada

kearifan-kearifan lokal yang terdapat di dalam keluarga maka masyarakat Indonesia

tidak akan menjadi masyarakat yang individualistis tetapi mengutamakan kehidupan

bersama yang bermartabat dan berkeadilan sosial. Pada akhirnya, masyarakat harus

kembali pada kearifan-kearifan lokal yang terdapat di dalam keluarga sehingga dapat

terwujudnya kesetaraan dan keadilan mulai dari dalam keluarga dan masyarakat, juga

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu Okin menyatakan bahwa pada prinsipnya untuk mencapai

kebebasan dan kesetaraan perempuan sangat diperlukan pemikiran ulang terhadap

perbedaan yang dilakukan antara ruang pribadi (rumah tangga) dan ruang publik.

Pandangan ini didasarkan pada asumsi yang dikembangkan oleh filsuf politik bahwa

secara alami keluarga atau ranah privat benar-benar merupakan milik perempuan yang

memiliki tanggung jawab utama untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah

tangga dan membesarkan anak. Sebaliknya, kaum laki-laki mewakili kepentingan

keluarga pada ruang publik baik sebagai pencari nafkah dan sebagai warga negara

yaitu peserta dalam sistem politik. Oleh karena itu Okin berpendapat bahwa dalam

kehidupan sosial, garis antara ruang privat dan publik perlu digambarkan ulang untuk

memastikan kesetaraan bagi kaum perempuan pada kedua ranah (publik-privat).4

Okin berpendapat bahwa untuk mewujudkan keadilan yang benar-benar adil di

dalam masyarakat maka dalam hal ini juga struktur yang ada di dalam keluarga pun

harus diperhitungkan. Struktur anggota keluarga yang dominan (dalam hal ini suami,

ayah) pada prinsipnya memiliki otoritas untuk menentukan peran bagi anggota

keluarga menurut jenis kelamin. Akibatnya, secara signifikan membatasi kebebasan

4 Blain Neufeld, Susan Okin (USA: Departement of Philosophy, College of Letters and Science,

(20)

98 perempuan sehubungan dengan kemampuan yang dimilikinya untuk bersaing secara

adil pada ranah publik. Selama rasa kebergantungan dan dominasi masih bertumbuh

subur dalam keluarga dan masyarakat maka esensi dari keadilan itu sendiri tidak

mampu berkembang dengan baik. Karena itu ia menawarkan bahwa penerapan

prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan keluarga sangat membutuhkan tiga jenis

kebijakan antara lain: Pertama, tipe kebijakan publik mendorong laki-laki dan

perempuan untuk saling membagi peran baik di ranah publik maupun domestik

sehingga tidak ada yang dirugikan atau kemampuannya dibatasi untuk berpartisipasi

dalam berbagai ruang sosial seperti dalam kehidupan rumah tangga, bermasyarakat,

pekerjaan dan tanggung jawab politik. Kedua, kebijakan terhadap perlindungan

khususnya bagi kaum perempuan yang memiliki jam-jam kerja tanpa bayaran yang

membuat mereka rentan dan tergantung sebagai subjek pekerjaan. Ketiga, kebijakan

yang berfokus pada pendidikan bagi masyarakat. Sistem pendidikan dari sebuah

masyarakat yang adil akan menjamin semua anak didik memperoleh pengetahuan dan

kemampuan yang dibutuhkan oleh mereka untuk menjadi orang dewasa yang bebas

dan adil. Pendidikan tersebut antara lain akan memastikan bahwa semua siswa

mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kebebasan mereka secara efektif

sebagai warga negara. Melalui hal ini juga maka Okin mengarahkan cara pandangnya

terhadap kesetaraan bagi kaum perempuan yang difokuskan pada isu-isu keadilan

global. Isu-isu keadilan global ini didasarkan pada hak asasi manusia yang secara

universal bertujuan untuk melindungi kepentingan mendasar seorang perempuan dari

tindakan kekerasan dan pelecehan serta ketidakadilan dalam lingkup pribadi dari

aktor-aktor non-negara, seperti suami dan ayah. Menurut Okin, mengakui hak-hak

perempuan sebagai hak asasi manusia sangatlah penting untuk mempromosikan

(21)

99 mengakomodasi hak-hak asasi perempuan pada skala global sehingga tidak terjadinya

pemiskinan kaum perempuan secara global. Oleh karena itu ia merekomendasikan

bahwa isu-isu keadilan global hanya dapat terwujud jika adanya kebebasan bagi

perempuan untuk mengakses pendidikan, dan secara efektif berpartisipasi dalam

proses pengambilan keputusan di dalam masyarakat, dan sebagainya. Dengan

pendekatan-pendekatan seperti ini maka eksistensi seorang perempuan dapat

diperhitungkan untuk bergabung pada wilayah publik.5

Rekonstruksi pemahaman antara publik dan privat merupakan kebutuhan agar

terbentuknya kesetaraan bagi kaum laki-laki dan perempuan. Adapun rekonstruksi

pemahaman yang dimaksudkan ialah supaya masyarakat beranjak dari kerangka

berpikir klasik yang telah tertanam dengan pemahaman budaya maupun agama yang

pada dasarnya juga menentukan serta meminggirkan keberadaan perempuan sebagai

kaum yang berkualitas dan menuju pada pencerahan kerangka berpikir yang lebih

maju. Namun di sini Okin tidak hanya serta-merta melepaskan pandangannya bahwa

keadilan antara laki-laki dan perempuan hanya cukup didasarkan pada hasil

rekonstruksi ulang antara ranah publik dan domestik. Sebaliknya ia memperkuat

pemahamannya dengan melihat realita yang terjadi di dalam masyarakat yang

cenderung menonjolkan otoritas suami atau ayah untuk menentukan peran yang tepat

bagi laki-laki maupun perempuan.

Berdasarkan argumen yang dikembangkan di atas kemudian Okin

merumuskan tiga aspek yang diantaranya menghendaki adanya pembagian kerja yang

baik antara laki-laki dan perempuan serta mengakui bahwa keduanya adalah makhluk

publik dan privat dan dengan demikian mampu bersikap adil pada kedua wilayah

tersebut. Karena itu ruang privat tidak hanya merupakan ruang khusus bagi kaum

(22)

100 perempuan dan sebaliknya ruang publik pun tidak hanya menjadi ruang yang

dikhususkan bagi kaum laki-laki untuk mengembangkan kemampuannya. Tetapi

ruang publik dan ruang privat sama-sama merupakan ruang di mana insan laki-laki

dan perempuan menghadirkan semua kemampuannya secara bersama-sama dan

keduanya memiliki tanggung jawab yang sama untuk menghadirkan kesetaraan pada

kedua wilayah tersebut. Singkat kata, laki-laki diberikan tanggung jawab untuk

mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik dan perempuan pun diberikan kesempatan

untuk bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan pada wilayah publik

yang pada akhirnya akan menghantarkan keduanya pada keuntungan dalam

berpartisipasi pada ruang-ruang sosial. Aspek pertama yang ditawarkan oleh Okin ini

memiliki kaitan dengan aspek kedua yang mendukung bahwa adanya jaminan

perlindungan bagi laki-laki dan khususnya bagi perempuan yang rentan terhadap

berbagai problem yang timbul di sekitar ruang-ruang sosial. Aspek yang terkahir yaitu

pendidikan di mana merupakan aspek yang paling penting untuk menumbuhkan

kesadaran keadilan sebagai warga masyarakat. Penulis mengandaikan pendidikan

sebagai satu set perlombaan lari di mana jauh sebelum waktu perlombaan, para atlit

harus giat berlatih untuk mempersiapkan kondisi fisik, tenaga, serta kemampuannya

dan hal-hal lain yang akan menunjangnya dalam perlombaan. Ketika berada pada

arena perlombaan maka garis start merupakan hal pertama yang harus dilewati

sekaligus juga yang menjadi penentu ketika berada dalam proses menuju garis finis.

Demikian juga pendidikan merupakan awal yang sangat penting untuk pembentukan

karakter yang bermoral yang di dalamnya seorang manusia diproses/ditempa dalam

waktu yang panjang sehingga pada akhirnya akan menuai kehidupan yang bermakna

(23)

101 Jika dilihat dari konteks perjuangan Indonesia merdeka maka ketiga aspek

yang diusulkan oleh Susan Okin merupakan hal penting terlebih bagi keikutsertaan

kaum perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indoesia. Artinya bahwa

ketika Soekarno menarik perempuan keluar dari ranah domestik untuk terlibat di

dalam kancah politik di ranah publik maka semestinya perempuan tidak hanya

dibiarkan untuk keluar begitu saja tanpa adanya persiapan yang lengkap untuk

membantu mereka berkiprah pada ranah publik. Penulis mengibaratkan persiapan

yang diperlukan oleh kaum perempuan layaknya anak-anak yang menempuh

pendidikan pada Taman Kanak-kanak yang pada akhirnya akan beranjak pada jenjang

Sekolah Dasar dan jenjang yang lainnya. Artinya, mereka membutuhkan landasan

yang kuat untuk menentukan keberadaan mereka pada tingkat selanjutnya. Sama

halnya juga dengan kaum perempuan yang hendak melangkah dari ranah domestik ke

ranah publik harus diperlengkapi dengan berbagai bentuk persiapan. Adapun

persiapan-persiapan yang harus diberikan bagi kaum perempuan dapat berupa

persiapan soft skill yang terdiri dari kemampuan berinteraksi dengan orang lain,

kemampuan mengelola emosi dan mental, serta kemampuan dalam berorganisasi, dan

Hard Skill berupa kemampuan akademik yang memadai yang ditempuh melalui jalur

pendidikan formal dan non formal. Persiapan soft skill dan Hard Skill diyakini dapat

membantu kaum perempuan untuk tidak hanya memperlihatkan bagi dunia luar

bahwa mereka mampu untuk bergabung pada wilayah publik tetapi untuk menyatakan

dengan lantang dan tegas bahwa kaum perempuan telah menjadi kaum yang matang

sehingga siap keluar pada wilayah publik dan siap menunjukkan esensi dari

keberadaan kaum perempuan. Khususnya persiapan Hard Skill yang menjadi penentu

yang dominan dalam memperlengkapi mereka dengan kemampuan kognitif yang

(24)

102 publik. Ketiga aspek ini seharusnya diperhatikan dan dijadikan sebagai pelengkap

agar perempuan tidak hanya keluar dengan kekosongan yang pada akhirnya

kehadirannya di ranah publik hanya berfungsi sebagai simbol emansipasi perempuan

namun dalam realitas tidak demikian. Dengan ini penulis mengartikan ketiga aspek

beserta manfaatnya sebagai platform yang menegaskan esensi dari kehadiran kaum

perempuan pada ranah publik. Di samping itu, melalui pendidikan baik perempuan

dan laki-laki diberikan bekal kemampuan dan ketrampilan yang setara agar mereka

dapat bersama-sama mengkontribusikan daya dan cipta mereka di masyarakat.

Terutama bagi perempuan, pendidikan yang cukup akan memberikan mereka rasa

percaya diri yang mereka butuhkan untuk berdiri sejajar dengan kaum laki-laki di

dalam membangun bangsa dan negaranya.

Berkaitan dengan rekomendasi yang diberikan oleh Okin mengenai isu-isu

keadilan global, seharusnya Indonesia pun memberikan kontribusi bagi dunia luar

melalui perjuangan perempuannya yang hadir pada fase penjajahan. Kontribusi yang

semestinya diberikan bagi dunia luar ialah perempuan Indonesia mampu keluar dari

lingkaran kemiskinan (tidak hanya kemiskinan dari sudut pandang ekonomi semata

tetapi keluar dari kemiskinan akibat terbatasnya hubungan dengan orang-orang yang

berada pada wilayah publik, dan sebagainya). Sayangnya, kekayaan6 yang dinikmati

oleh perempuan Indonesia pra-kemerdekaan hanyalah bersifat sementara saja yaitu

ketika sangat dibutuhkannya kaum perempuan untuk sama-sama berjuang bagi

Indonesia merdeka. Pasca kemerdekaan Indonesia, kaum perempuan kembali lagi

pada kemiskina dan bahkan dikembalikan pada ranah domestik. Terbatasnya

kesempatan yang diberikan bagi kaum perempuan untuk mengembangkan diri pada

wilayah publik pada masa itu menjadikan kaum perempuan sebagai kaum yang

6 Dalam hal ini “Kekayaan” yang dimaksudkan oleh penulis ialah kebebasan yang dikantongi oleh

(25)

103 tergolong miskin. Kenyataan ini menggambarkan bahwa kaum perempuan sangat

rentan terhadap yang namanya kemiskinan. Namun, jika platform yang telah

dijelaskan di atas dikembangkan secara memadai maka Indonesia pun dapat

memberikan kontribusinya bagi kemanusiaan yang ada pada tataran global yang

dilandasi dengan hak-hak asasi manusia.

Dengan begitu skema yang tepat untuk terwujudnya keadilan bagi seluruh

manusia tanpa pengecualian ialah sebagai berikut:

Manusia (Laki-laki dan

Perempuan)

Keluarga: Wilayah Domestik (Belajar

tentang nilai-nilai moral)

Masyarakat, Negara (Wilayah Publik)

Menerapkan nilai-nilai moral diantaranya adalah

(26)

104

D.Relevansi dari Pemikiran Soekarno dan Susan Moller Okin berkaitan dengan

Keadilan dan Kemerdekaan Bagi Perempuan Indonesia Sekarang Ini

Bagi penulis, pemikiran dari kedua tokoh yakni Soekarno dan Okin relevan

dengan konteks Indonesia dan lebih tepatnya konteks perempuan Indonesia yang ada

pada zaman ini. Contoh-contoh ketidakadilan yang dialami oleh banyak perempuan di

Indonesia berawal dari dalam hubungan keluarga yang kemudian merambat pada

struktur organisasi di dalam masyarakat. Ketika masa kanak-kanak, seorang anak

telah diajarkan untuk melakonkan perannya sebagai perempuan maupun laki-laki

melalui jenis permainan yang dimainkan. Anak perempuan diajarkan untuk bermain

dengan alat-alat permainan yang bernada feminim yaitu alat masak-memasak dan

anak laki-laki dengan permainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya yakni

perang-perangan, dan sebagainya. Dan hal tersebut tidak hanya sebatas pola permainan bagi

kedua jenis kelamin tetapi sebaliknya, melalui pola permainan yang seperti itu,

anak-anak akan bertumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang mereka mainkan sejak

masa kecil. Jika salah satu jenis kelamin dari anak-anak ini menyentuh permainan

yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, maka orang tua akan melarang bahkan

memarahi anak tersebut untuk tidak menyentuh permainan yang tidak sesuai dengan

jenis kelaminnya. Pola yang seperti itu secara otomatis akan merangsang sistim

berpikir seorang anak bahkan tindakan mereka dalam melakukan tugas atau pekerjaan

mereka ketika beranjak dewasa sehingga sangat dimungkinkan munculnya

ketidakadilan dari dalam keluarga. Mengapa dikatakan demikian? Ini dikarenakan

ketika pada masa kecil seorang anak diperbiasakan berhubungan secara langsung dan

terus-menerus dengan permainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya maka akan

terbentuk pemahaman bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan

(27)

105 berpikir yang mendalam. Sebaliknya, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh kaum

laki-laki bertumpu pada proses berpikir yang mendalam dan banyak mengeluarkan

energi. Dengan begitu akan memicu terbentuknya pembagian kerja yang tidak adil

antara laki-laki dan perempuan yang berawal dari dalam keluarga bahkan adanya

ketimpangan dalam memberikan penghargaan terhadap jenis pekerjaan yang

dilakukan oleh keduanya terkhususnya perempuan. Hal ini berdampak dalam

masyarakat bahkan dalam struktur-stuktur organisasi yang dibentuk dalam

masyarakat. Laki-laki dipercayakan dalam memimpin organisasi karena mengacu

pada sifat-sifat tegas, berwibawa, dan sebagainya yang digeneralisasikan sebagai

sifat-sifat yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan

ditempatkan dan dilibatkan sebagai pekerja bawahan.

Adapun contoh-contoh ketidakadilan yang terjadi di Indonesia ialah sebagai

berikut: minimnya peluang yang diberikan kepada kaum perempuan untuk bergabung

dalam pemerintahan kota, propinsi, bahkan negara. Tidak hanya itu, sebagian besar

jabatan kepemimpinan dikuasai oleh kaum laki-laki bahkan presentasi keberadaan

kaum perempuan sebagai wakil rakyat pada legislatif dan dunia politik sangatlah

memprihatinkan. Keadaan ini dilatar belakangi oleh pemahaman bahwa kaum

perempuan belum mampu bersaing, beragumentasi, dan mengemukakan pendapat

dengan kaum laki-laki dan tidak mampu menghadirkan kemajuan bagi bangsa dan

negara. Contoh lain ialah minimnya penegakan nilai-nilai keadilan bagi kesempatan

kerja terhadap perempuan sehingga banyak perempuan yang bekerja sebagai tenaga

ilegal dan mendapatkan tindakan-tindakan penyiksaan dan penindasan yang berujung

pada kematian. Banyak pula perempuan paruh baya dan juga

perempuan-perempuan muda yang sebelum matahari keluar dari porosnya sampai terbenam,

(28)

106 pekerjaan rumah. Dan masih banyak wanita karir yang karena adanya tekanan sosial

dari masyarakat, dengan terpaksa harus mengorbankan karirnya untuk mengurus

suami dan anak-anak.

Dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Okin mengenai keluarga dan

keadilan maka sudah seharus keluarga menjadi produsen nilai-nilai keadilan bagi

masyarakat luas. Namun, jika dari dalam keluarga tidak memiliki dasar yang kuat

untuk menekankan tentang nilai-nilai yang adil bagi anak sejak dini maka dalam

perkembangannya ketidakadilan akan bertumbuh subur dalam masyarakat.

Ketidakadilan tidak hanya berhubungan dengan tidak diberikannya kesempatan bagi

kaum perempuan untuk bergabung maupun mengambil bagian pada wilayah publik

tetapi selebihnya berhubungan dengan hak kaum perempuan yang seringkali

diabaikan oleh keluarga dan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Ketidakadilan juga

berkaitan dengan banyaknya aturan-aturan yang ditetapkan oleh berbagai pihak yang

dalam hal ini juga kaum laki-laki khususnya suami terhadap isterinya. Perempuan

memiliki hak untuk mengembangkan bakat dan talenta yang dimilikinya tanpa harus

dikelilingi oleh banyaknya aturan yang ditetapkan hanya untuk membatasi ruang

gerak kaum perempuan. Inilah yang menjadi tujuan Soekarno mengemukakan

pandangannya tentang keadilan bagi kaum perempuan.

Pada jurnal Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat dikatakan bahwa

perempuan diciptakan bukan hanya untuk menjadi isteri dan ibu rumah tangga, tetapi

ia adalah seorang yang dapat berpartisipasi secara politik menentukan jalannya

pemerintahan untuk berbicara dan menulis atau kesadaran yang penuh bahwa peran

perempuan di dalam kehidupan tidaklah terbatas di rumah saja. Hal ini memiliki

hubungan erat dengan sisi kemanusiaan seseorang. Kemanusiaan seorang perempuan

(29)

107 bebas untuk menentukan jalannya, bebas mengemukakan haknya sebagai insan yang

merdeka. Selebihnya, kemanusiaan merupakan suatu realitas yang mencakup kaum

pria maupun kaum wanita, sehingga kaum pria tidak mempunyai tingkat yang lebih

tinggi daripada kaum wanita dalam hal kemanusiaan.7

Bagi penulis, relevansi dari pemikiran Okin dan Soekarno tidak hanya terbatas

pada bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan pada masa

lampau, tetapi juga berlaku pada pergeseran perkembangan dunia yaitu globalisasi.

Globalisasi merupakan sebuah proyek yang mengarahkan dunia pada kapitalisme

global yang di dalamnya realita eksploitasi dan peminggiran hak-hak sosial, ekonomi,

dan politik perempuan masih terus berkelanjutan.8 Berkaca dari teori yang dibangun

oleh Okin, maka seharusnya dalam dunia global, keluarga tetap berperan penting

karena bagaimanapun juga keluarga adalah basis dari terbentuknya masyarakat.

Ketika keluarga tetap memainkan perannya dengan benar dan adil maka ketika

anggota keluarga ataupun anggota masyarakat (laki-laki dan perempuan) bertemu

dalam dunia global maka pengaruh-pengaruh globalisasi yang memungkinkan

terjadinya tindakan-tindakan yang tidak adil bahkan tindakan-tindakan penindasan,

eksploitasi, dan sebagainya dapat diatasi. Dengan begitu juga nilai ekonomis aktivitas

kerja perempuan yang digolongkan dalam sektor informal masih dapat diakui atau

dihitung sebagai sebuah “pekerjaan” sehingga pemiskinan perempuan dapat

diminimalisir. Selain itu, kaum perempuan mendapatkan kesempatan dalam

mengembangkan talenta dan bakatnya pada wilayah publik walaupun telah dikelilingi

dengan sistim global yang menuntut setiap orang hadir dengan kemampuan yang

dimilikinya.

7 Putnawati, Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. I, No. 2, November 2004 (Salatiga:

Program Pascasarjana Sosiologi Agama, UKSW), 158, 159.

8 Einar M. Sitompul (Editor), Globalisasi, Kebangsaan dan Agama-agama di Indonesia (---: Badan

(30)

108 Menurut penulis, di sinilah titik temu antara teori yang dikemukakan oleh

Susan Okin dan pandangan Soekarno tentang nilai-nilai keadilan. Untuk mewujudkan

keadilan dan kemerdekaan bagi kaum perempuan Indonesia sekarang ini maka

dibutuhkan pemahaman yang benar dari kaum laki-laki dan perempuan tentang

konsep keadilan dan kemerdekaan yang diawali dari dalam keluarga dan diimbangi

dengan praktek-praktek keadilan yang benar di dalam keluarga, serta didukung oleh

kebijakan-kebijakan publik yang menghadirkan nilai-nilai moral juga kebijakan

pendidikan. Dapat dipastikan bahwa praktek nilai-nilai keadilan yang dilakonkan di

dalam keluarga dapat merasuk hingga ke dunia publik. Dengan kata lain keluarga

harus menjadi agen-agen keadilan bagi dunia luas/dunia publik.

E. Refleksi Teo-Politik terhadap Keadilan bagi Kaum Perempuan

Pada bagian ini, penulis akan merefleksikan tentang keadilan bagi kaum

perempuan yang dilihat dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang politik dan

agama. Adapun sudut pandang politik ditinjau dari konsep pancasila yang merupakan

dasar negara Indonesia. Sedangkan refleksi dari sudut pandang agama akan ditinjau

dari Kejadian 1:27.

E.1. Refleksi Politik

Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang diyakini dapat menghadirkan

nilai-nilai keadilan, menjunjung harkat dan martabat manusia, membebaskan rakyat

dari penindasan secara fisik maupun psikis, memberikan kesetaraan, kebebasan, serta

kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Pancasila sebagai ideologi merupakan ideologi terbuka dan merupakan

ideologi murni yang luhur dan harus diperjuangkan. Ideologi murni Pancasila tertuang

(31)

109 memakmurkan bangsa Indonesia dalam landasan kemerdekaan.9 Bagi Soekarno,

negara Indonesia didirikan bukan untuk satu orang dan bukan untuk satu golongan,

tetapi didirikan “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Negara

Indonesia yang didirikan harus ditujukan agar tidak ada kemiskinan dan

ketidaksejahteraan.10 Adapun kelima sila yang tercantum dalam Pancasila memiliki

nilai-nilai yang bermuatkan keadilan, persatuan, kebebasan, dan kesejahteraan bagi

seluruh rakyat Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Nilai-nilai ini juga

diyakini memiliki kesaktian dalam mewujudkan Indonesia yang satu dalam

keberagaman.

Jika Pancasila dilihat dari kacamata kesetaraan dan keadilan bagi kaum

perempuan, maka sesungguhnya setiap sila turut berbicara tentang warga negara

perempuan. Pertama, warga negara perempuan adalah individu utuh yang mampu

membuat keputusan tentang agama atau keyakinan yang ingin dipercayainya.

Perempuan bebas memilih keyakinannya tanpa adanya paksaan ataupun intimidasi

dari pihak lain. Kedua, Pancasila mengajarkan tentang nilai-nilai keadilan dan

keberadaban. Adil berarti melarang segala bentuk diskriminasi yang berbasis suku,

agama, keyakinan politik, jenis kelamin, dan identitas gender. Beradab artinya

memiliki rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan tentunya menolak segala macam

bentuk kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, praktek kekerasan dalam rumah

tangga merupakan perbuatan tidak beradab yang bertentangan dengan sila kedua.11

9 Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme, Dialog dan Keadilan: Tantangan Berdemokrasi Dalam Negara

Republik Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2011), 7-8.

10 Dr. Rini Yuniarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2003), 24.

11 Informasi terhadap keadilan bagi kaum perempuan yang dilihat dari perspektif pancasila diperoleh

(32)

110 Ketiga, Persatuan Indonesia memberi makna pemahaman gender yang lebih

luas. Analisis gender tidak hanya analisis kebutuhan berdasarkan jenis kelamin,

namun analisis kebutuhan berbasis kepentingan personal atas kelompok yang paling

membutuhkan. Sehingga analisis gender menurut Pancasila memperhitungkan

perbedaan kebutuhan karena kapasitas tubuh, geografis, suku, dan agama.

Implikasinya, melalui Pancasila maka negara harus memperhatikan kebutuhan khusus

perempuan di kepulauan, perempuan pada tiap agama, perempuan pada tiap etnis,

perempuan di wilayah pasca konflik, dan sebagainya. Keempat, sila keempat

memerintahkan adanya perwakilan perempuan di parlemen untuk kebijakan adil

gender. Kenyataannya partisipasi kaum perempuan di parlemen masih jauh dari yang

ditentukan. Pancasila belum teramalkan sepenuhnya jika 30% untuk keterwakilan

perempuan di parlemen belum tercapai. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh warga

indonesia. Artinya warga negara perempuan harus mendapat keadilan yang sama

dengan warga negara laki-laki dalam hal akses ekonomi, pendidikan, kesehatan,

kesempatan bekerja, pendapatan upah yang adil, dan sebagainya. Secara kasat mata

terlihat bahwa persoalan angka buta huruf perempuan, diskriminasi upah pada buruh

perempuan adalah persoalan penerapan sila kelima yang belum berhasil diterapkan

secara adil.12

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa hak asasi manusia selalu

didasarkan pada keselaran, keserasian, dan keseimbangan yang dilandaskan pada

persatuan dan kesatuan bangsa dan Pancasila merupakan tolok ukur bagi setiap insan

(tanpa pengecualian) yang hidup di bumi Indonesia untuk dapat menjunjung tinggi

hak asasinya. Hak untuk memperoleh kebebasan, kesetaraan, dan keadilan tidak hanya

difokuskan pada pribadi seorang perempuan, tetapi juga melibatkan kebebasan,

(33)

111 kesetaraan, dan keadilan secara sosial (bagi semua perempuan Indonesia yang berada

pada tiap suku dan budaya, tiap agama, bahkan juga bagi setiap perempuan yang

berada pada wilayah konflik). Namun, kenyataan yang terjadi memperlihatkan adanya

sikap yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang terkandung pada tiap sila.

Maraknya praktik diskriminasi dan kekerasan fisik maupun non-fisik bagi kaum

perempuan menunjukkan hilangnya pemaknaan terhadap nilai-nilai yang termuat di

dalam Pancasila bahkan membunuh semangat pengamalan Pancasila itu sendiri. Jika

makna Pancasila adalah keadilan dan kesetaraan, maka Pancasila harus digunakan

untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

E.2. Refleksi Teologis

Setiap manusia dilahirkan merdeka, mempunyai martabat dan hak yang sama.

Sama halnya dengan seorang perempuan, dimana hak-hak yang melekat pada dirinya

merupakan bagian dari hak asasi manusia. Perempuan berhak untuk hidup,

memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan atas seksualitasnya, berhak untuk

bergabung dalam dunia publik, dan memiliki hak untuk menyatakan pandangannya

secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi kehidupannya. Ironisnya,

kebebasan dan kemerdekaan yang seharusnya dimiliki oleh perempuan masih langka

untuk ditemui sehingga kaum perempuan masih terus berjuang dan berupaya untuk

membebaskan dirinya dari paradigma maupun tindakan-tindakan ketidakadilan.

Relasi “kepemilikan” laki-laki atas perempuan yang masih subur pun hendak

membuka peluang besar untuk tindakan, perlakuan serta kebijakan semena-mena

terhadap perempuan. Tidak heran, banyak laki-laki bersikap antagonistik terhadap

(34)

112 merupakan pembebasan manusia yang juga termasuk pembebasan kaum laki-laki.13

Banawiratma mengatakan bahwa tanpa keadilan bagi kaum perempuan yang diawali

dari dalam keluarga, tidak akan terjadi keadilan bagi semua orang.14

Pada banyak kasus yang terjadi di dalam hubungan keluarga, seorang isteri

dipandang sebagai kaum yang harus mengabdi bagi keluarga dengan cara menyiapkan

kebutuhan suami, melayani suami, menjaga dan membesarkan anak, mengerjakan

pekerjaan rumah tangga, dan lain sebagainya. Semua pekerjaan ini dikerjakan oleh

seorang isteri dengan penuh ketekunan dan tanpa dibayar. Keadaan seperti ini

kemudian dipandang sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian yang sudah

seharusnya dilakukan oleh seorang isteri bagi keluarga (tugas wajib seorang isteri).

Dengan adanya pemahaman yang demikian maka terdapat pembenaran yang sering

dilakukan sebagai jembatan untuk mendukung atau membenarkan bahkan melegalkan

pandangan tersebut. Sedangkan suami adalah kepala keluarga yang berkewenangan

penuh untuk membuat keputusan dan tidak memiliki keharusan atau tidak

berkewajiban dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Dari pemahaman ini

maka terlihat dilakukannya pembedaan dalam sistim pembagian kerja hanya untuk

menegaskan bahwa terdapat pihak yang kesehariannya berhubungan dengan ranah

domestik maupun pihak yang dalam kesehariannya berhubungan dengan ranah publik.

Dalam pemahaman umum, keluarga adalah anugerah yang diberikan oleh

Tuhan bagi setiap manusia sehingga kesan pertama yang dijumpai dari kata keluarga

adalah nyaman, indah, damai, tenang, dan masih banyak lagi kesan positif yang akan

diungkapkan ketika seseorang mendengar kata tersebut. Sayangnya, semua hal positif

yang sering dikatakan dan diungkapkan tidaklah menjamin terciptanya keluarga yang

13 Marianne Katoppo, Compassionate And Free (Tersentuh dan Bebas); Teologi Seorang Perempuan

Asia. (Jakarta: Aksara Karunia, 2007).vii, 10.

14 J. B. Banawiratma, Sepuluh Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin

(35)

113 harmonis dan bebas dari ketidakadilan. Artinya, masih banyak keluarga yang berlaku

tidak adil terhadap anggota keluarganya. Harus disadari bahwa konsep keluarga yang

merupakan anugerah dari Tuhan memiliki tanggung jawab moral untuk mengajarkan

dan mempraktekkan nilai-nilai yang adil yang dimulai dari hubungan antara suami

isteri bahkan orang tua dan anak-anak.

Keluarga tidak bisa disamakan dengan sebuah wilayah pertandingan dimana

terdapat banyak tim yang hendak bertanding sehingga terkadang timbul keegoisan dan

tindakan-tindakan yang tidak adil untuk memperoleh satu tujuan kemenangan.

Keluarga adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan karena itu kehidupan yang

seharusnya ditonjolkan ialah kehidupan yang saling menyayangi dan saling

menghargai antara suami dan isteri maupun antara orang tua dan anak-anak. Suami

yang adalah kepala keluarga harus menunjukkan sikap yang patut dicontohi oleh

seluruh anggota keluarganya. Suami dan isteri yang ada di dalam keluarga tidak hanya

hadir sebagai satu pribadi tetapi hadir sebagai rekan kerja yang sudah seharusnya

saling membangun dan saling menghormati. Dengan otoritas sebagai kepala keluarga

yang melekat pada seorang suami, hendaknya tidak bertindak semena-mena terhadap

isteri dan anak-anak. Menghormati dan mengasihi merupakan mandat yang harus

dilakukan oleh seorang suami. Mengasihi bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan

seluruh perbuatan. Begitupun isteri, harus menghormati suami. Ditunjukkan sikap

hormat seorang isteri terhadap suaminya, bukanlah berarti suami juga dapat bertindak

semena-mena terhadap isteri. Penerapan rasa kasih sayang dan saling menghargai

tidak hanya diberikan antara suami dan isteri tetapi juga bagi anak-anak yang hadir di

dalam keluarga dan dilandasi dengan pemahaman bahwa semuanya dilakukan

(36)

114 Di samping kehidupan keluarga, manusia laki-laki dan perempuan juga

berdampingan dengan kenyataan kehidupan yang ada di luar keluarga yaitu

masyarakat. Pada kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam hasil buah pikir

manusia yang terkadang mendarah daging sehingga menjadi tradisi yang dilakonkan

secara terus-menerus dalam lingkup masyarakat. Pembagian kerja dan peran

merupakan salah satu contoh dari hasil konstruksi masyarakat yang kemudian

menentukan bentuk-bentuk pekerjaan dan peran yang seharusnya dilakukan oleh

laki-laki dan perempuan. Kesempatan kerja yang diberikan bagi kaum perempuan jauh

lebih sedikit/kecil dibandingkan dengan yang diberikan bagi laki-laki. Hal ini

didukung dengan pemahaman bahwa laki-laki adalah kaum yang lebih unggul dari

kaum perempuan sehingga laki-laki mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk

berkarya pada dunia publik dan sebaliknya kaum perempuan tidak berkesempatan

besar untuk berkarya pada dunia publik. Dalam situasi yang demikian maka

perempuan dilema untuk memposisikan diri sesuai hasil konstruksi masyarakat

ataukah mengembangkan diri dalam masyarakat. Perempuan kemudian menjadi

makhluk yang tertindas, tidak bebas, terdiskriminasi karena adanya hasil konstruksi

masyarakat. Sadar ataupun tidak, hal-hal yang telah disebutkan sedang dan sementara

dialami oleh banyak perempuan pada banyak lingkup masyarakat.

Manusia baik laki-laki maupun perempuan pada prinsipnya sebagai suatu

wadah dari imago dei yakni segambar dan serupa dengan Allah. Kejadian 1 : 27

secara tegas menyatakan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut

gambar-Nya, menurut gambar Allah Nya dia; laki-laki dan perempuan

diciptakan-Nya mereka”. Di sinilah keluarga yang paling pertama diciptakan di dunia yaitu

keluarga yang setara, di mana laki-laki dan perempuan diciptakan sama dengan

Gambar

Gambar Allah tidak bermakna abstrak tetapi konkret, yakni manusia. Manusia itu
gambar Allah maka semestinya gambar Allah = manusia harus menjadi fokus utama

Referensi

Dokumen terkait

bertentangan dengan pasal 6 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berbunyi “ Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan

Now it is crystal clear that, two phase pressure drop increases drastically with increase in gas flow rate during transition to trickle flow to pulsing foaming regime and

Gede Ngurah Parwata dan Putu Sudarmini yang senantiasa memberikan doa dan kasih sayangnya tiada henti, serta yang telah mendidik dan menjadikanku menjadi manusia yang

PEMEGANG JAMINAN tidak menyampaikan Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan kepada KPPN, sebagaimana dimaksud dalam Jaminan Bank tersebut di atas.. Demikian kuasa ini diberikan

Judul Skripsi : ANALISIS INVESTASI FINANSIAL DAN KELAYAKAN PENAMBAHAN MESIN BARU PADA PT FIBER GLASS PERKASA.. Menyatakan bahwa skripsi yang telah saya buat merupakan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kemampuan Rasio-Rasio

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

The Administration of Orange Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.) Extract Increases Sperm Consentration, Mortility and Viability in Male Mice Exposed to Cigarette Smoke.. Lintang Laila