• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi Teologis

Dalam dokumen T2 753013003 BAB III (Halaman 44-52)

Tidak dapat dipungkiri bahwa kesedihan orangtua yang anaknya sendiri

diketahui autis sangatlah wajar. Semua orangtua menginginkan anak yang

dilahirkannya menjadi anak yang normal, sehat, pintar dan berbakat. Anak yang

lahir seperti ini akan menjadikan orangtuanya bangga telah memiliki anak yang

luar biasa? Dengan kenyataan bahwa anak yang dikasihinya adalah autis, maka

akan ada kesedihan, bergumul dan penuh dengan pertanyaan. Bertanya pada diri

sendiri, bertanya pada keluarga dan bertanya pada Tuhan. Kenapa harus aku yang

diberikan beban seberat ini? Tidak sedikit juga keluarga berpikiran bahwa autis itu

berhubungan dengan kesalahan atau dosa masa lalu. Hal ini sangat menyiksa,

yang didalamnya termasuk autis oleh lingkungan sebagai masyarakat kelas

bawah. Kelas ini secara khusus dalam status sosial mereka. Mereka seolah

disingkirkan oleh masyarakat, lingkungan dan bahkan keluarga sendiripun banyak

yang berpikiran untuk menyingkirkannya. Dengan beban moral dan beban sosial

seberat ini banyak orangtua yang malah merasa anak autis ini beban yang sangat

mengganggu kehidupan keluarga.

Memang Alkitab tidak ada berbicara tentang autis secara khusus namun

Yesus mencintai semua orang apapun keberadaannya. Bagi Yesus, setiap pribadi,

apapun kemampuan dan cacatnya adalah istimewa dan penting. Setiap orang

adalah anak Allah, dicintai oleh Allah.19 Di dalam Alkitab banyak sekali contoh

bagaimana Yesus mencintai orang-orang yang secara sosial tidak mempunyai

tempat di tengah-tengah masyarakat dan agama. Kita mau belajar dari apa yang

dialami oleh orang yang disembuhan oleh Yesus yang dikisahkan oleh Yohanes

setelah 38 tahun lamanya lumpuh di kolam Betesda yang berarti Rumah

Anugerah.20 Banyak orang sakit berbaring disana, yang menunggu saat

goncangan air kolam itu dan kemudian berusaha untuk menjadi orang pertama

yang menceburkan diri supaya disembuhkan. Bayangkan ada yang sampai 38

tahun lamanya tinggal disana. Bisa kita bayangkan mereka hidup dalam rasa malu,

dan pasti kotor dan jelek. Menurut ukuran dunia mereka itu adalah orang-orang

yang dipandang rendah dan harus dihindari. Tidak ada yang baik atau elok di

19Vanier, Jean, (2008), Tenggelam kedalam Misteri Yesus Melalui Injil Johanes (terj) Yogyakarta Kanisiushal. 140.

20Barclay,William Dr (1983), Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Yohanes Pasal 1-5, Jakarta BPK Gunung Mulia. hal.302.

dalam diri mereka. Ia lumpuh secara fisik dan akibatnya ia lumpuh juga secara

emosional dan relasional.21

Yesus bertanya apakah ia mau disembuhkan. Pertanyaan yang sepertinya

tidak pantastetapi sebenarnya, ia telah sakit selama 38 tahun dan mungkin ia

sudah tanpa harapan dan serta menyerah dengan segala keputusasaannya. Barclay

mengatakan bahwa kemungkinan ia telah berpikir untuk terus saja sakit sebab

kalaupun ia sembuh, ia masih harus menanggung beban untuk dapat hidup.22

Memang banyak orang yang berkebutuhan khusus merasa tidak enak dengan

keberadaannya, karena mereka tahu bahwa orang lain yang harus menanggung

semua pekerjaan serta kekuatiran mereka dan kadang-kadang kenyataan bahwa

mereka tidak dipedulikan. Perhatikan jawaban dari orang sakit itu dimana di

tempat yang ajaib ini banyak orang berharap memperoleh kesembuhan, tetapi

hanya sedikit yang disembuhkan,dan ia mengatakan kepada-Nya: "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai

goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun

mendahului aku." (Yoh 5, 7)

Orang sakit ini tidak mempunyai orang untuk menurunkan dia supaya

disembuhkan. Jawaban dari orang sakit ini merupakan suatu kenyataan tentang

posisi mereka di tengah masyarakat. Tidak ada yang peduli dan tidak ada yang

mau melihat mereka menjadi pribadi yang penting. Martabat mereka sebagaimana

adanya sebagai manusia ciptaan Tuhan hilang oleh lingkungannya.Yang ada

21Milne, Bruce (2011), Yohanes, “Lihatlah Rajamu”. Jakarta BPK Gunung Mulia.hlm 131

22Barclay, William Dr (1983), Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Yohanes Pasal 1-5, Jakarta BPK Gunung Mulia hal. 305.

justru mereka dianggap menjadi beban dan akan mendatangkan malapetaka. Hal

ini juga terjadi bagi orang yang berkebutuhan khusus seperti autis. Keberadaan

autis ini sering menjadi beban berat, ditambah karena adanya anggapan juga

bahwa mereka ini menjadi petanda yang tidak baik.

Kepada mereka inilah Yesus datang. Orang yang secara sosial dan

emosional tersingkir dari masyarakat. Dengan masuk ke dalam penampungan di

kolam betesda itu Yesus menyatakan kerinduan Allah yang amat dalam untuk

menjembatani jurang yang memisahkan orang, untuk membawa orang-orang yang

berbeda-beda menjadi satu dalam persaudaraan.23 Orang yang lumpuh ini tidak

mempunyai teman, tidak ada yang peduli dengannya. Yesus memberikan

kesembuhan baginya di balik keputusasaannya. Seakan Yesus tidak bisa menahan

diri, Ia ingin membebaskan orang lumpuh ini dari segala kuasa keputusasaan yang

ada dalam dirinya agar ia bisa hidup secara penuh. Bangunlah, angkatlah

tilammu(ayat 8, egeire). Mengacu pada panggilan Yesus yang berdaampak pada kuasa Yesus memberi kehidupan.24 Kesembuhan fisik itu bukanlah tujuan utama

dari apa yang Yesus lakukan untuk orang lumpuh itu tapi pemberian kembali apa

yang hilang dari mereka ditengah kehidupan sosialnya. Milne menyebutnya

bahwa Yesus memberikan kehidupan kepada orang lumpuh itu. Secara biologis

dia hidup tapi jiwa dan martabat manusianya dirampas oleh sistem yang ada di

tengah masyarakat dan agama ketika itu. Lebih dari penyembuhan fisik Yesus

memberikan kembali kehidupan yang sesungguhnya bagi dia. Yesus tidak

23Vanier,Jean, (2008), Tenggelam kedalam Misteri Yesus Melalui Injil Johanes (terj) Yogyakarta Kanisius hal. 141.

menjadikannya sasaran perilaku sosial, dan juga tidak menjadikannya sasaran

belas kasihan. Tapi Yesus memberikan status dan martabat bagi dia.

Bagi orang lumpuh, mengangkat tilam adalah sebuah pembalikan hidup

yang dahsyat. Bukan lagi tilam itu yang menyangga si lumpuh tapi sekarang ia

sendirilah yang menggotong tilamnya itu ke rumah. Sungguh sebuah kegirangan

yang luar biasa, orang itu mengalami kesembuhan dari deritanya yang sudah

puluhan tahun dideritanya. Selama ini ia selalu menunggu orang untuk

membantunya menceburkan diri ke kolam. Ia sangat membutuhkan orang lain

dalam menentukan langkah kehidupannya. Sebuah ketergantungan yang selama

ini menyiksanya dan tak seorangpun yang peduli dengan ia. Tapi kini oleh Yesus

dia dapat menentukan langkah hidupnya tanpa ketergantungan lagi pada orang

lain. Ia tidak perlu lagi menunggu orang lain tapi ia kini melakukannya dengan

keinginannya sendiri. Mengangkat tilam pada hari penyembuhan merupakan

ungkapan kemenangan atas deritanya selama ini, kini ia bebas.25

Kemenangan dan kebebasan ala Yesus inilah yang harusnya juga

dirasakan dan dimiliki oleh anak autis. Ketergantungan pada pihak lain bukan lagi

mendominasi kehidupan mereka tapi mereka sendirilah yang hidup dalam dirinya.

Anak autis menentukan kehidupannya sendiri. Memang sulit tapi bukan berarti

tak mungkin anak autis itu memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menentukan

kehidupannya.

Pada umumnya Gereja dalam pelayanan diakonianya memahami dan telah

melaksanakandua model pelayanan diakonia yaitu, diakonia karitatif dan diakonia

25Riyadi, Eko Pr(2011), Yesus Kristus Tuhan Kita. Seri Pustaka Teologi, Yogyakarta Kanisius hal. 158.

reformatif.Akan tetapi beberapa tokoh berpendapat bahwa pelaksanaan kedua

model diakonia tersebut pada masa kini telah kurang memadai, sebab ditengah

kehidupan masyarakat telah terjadi masalah yang multiaspek dan

multidimensional akibat segala bentuk ketidakadilan yang kian marak terjadi.

Victor Tinambunanberpendapat, pelaksanaan model diakonia karitatif (pemberian

bantuan/amal) dengan analogi memberi ikan dan roti kepada mereka yang lapar”, meskipun pada prinsipnya adalah baik akan tetapi tidaklah cukup sebab hanya akan menciptakan ketergantungan.26 Demikian halnya dengan model

diakonia reformatif yang menekankan aspek pembangunan dengan analogi

“pemberian pancing dan keahlian memancing, juga kurang bermanfaat jika keahlian dan keterampilan tersebut tidak dapat digunakan bila peluang dan akses

tidak tersedia baginya. Analogi model diakonia transformatif adalah apabila ada orang lapar jangan hanya diberi roti, pancing akan tetapi juga menolongnya

mendapatkan akses untuk memancing serta memberikan hak untuk

menggunakannya”. Demikian juga Choeldahono memaparkan, dalam menghadapi masalah yang multiaspek dan multidimensional masa kini, Gereja

harus mampu melakukan revisi, reorientasi serta rekonstruksi ajaran-ajaran,

prilaku dan pelayanannya supaya dapat memberikan sumbangan yang bermakna

bagi manusia, dunia dan peradabannya, sehingga melaluinya Gereja akan mampu

26Tinambunan. Victor., (2011) : Gereja & Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah, L-SAPA STT-HKBP, Pematang Siantar, hal. 32.

menjalankan pelayanan yang transformatif.27 Diakonia transformatif merupakan

implementasi misi pembebasan oleh Gereja dalam menghadapi kenyataan

sosial-ekonomi politik yang diwarnai dengan ketidakadilan, kemiskinan dan

pelanggaran-pelaggaran terhadap hak asasi manusia.28 Misi pembebasan tersebut

merupakan keterlibatan Gereja dalam misi Allah bagi manusia yang terbelenggu

oleh dosa, sehingga Gereja harus bertindak sebagai nabi dalam menghadapi

kekuatan dominasi orang-orang atau lembaga-lembaga yang membelenggu atau

menindas yang lemah dan tidak berdaya.

Salah satu aspek yang ditekankan melalui diakonia transformatif tersebut

adalah terbentuknya suatu persekutuan (koinonia) dalam tatanan kehidupan manusia yang baru yang hidup dalam ikatan kasih dan persaudaraan.29 Koinonia

mengandung makna persekutuan dengan Kristus dan persekutuan antar sesama

yang mencakup orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan didalamnya

selalu ada sikap, aktifitas dan tanggung jawab terhadap pembangunan

persekutuan.30 Hal itulah yang menjadi panggilan keselamatan yang diajarakan

Yesus kepada pengikut-Nya dalam mewujudkan kedatangan kerajaan Allah

ditengah dunia. Diakonia transformatif merupakan tindakan Gereja dalam

melayani jemaat dan masyarakat secara multidimensional (roh, jiwa, dan tubuh)

27Choeldahono.Novembri.,(2003) : Gereja Lembaga Pelayanan Kristen dan Diakonia Transformatif, dalamBambang Subandijo (ed)., Agama dalam Praksis, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, hal. 34-39.

28

Artanto.Widi., (1997) :Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, hal. 218-223.

29Choeldahono, (2003), op.cit., hal. 40.

dan juga multi sektoral (ekonomi, politik, hukum dan agama). Artinya Gereja

melalui pelayanan diakonia bukan lagi sekedar melakukan tindakan-tindakan amal

meskipun hal itu masih perlu dilakukan melainkan tindakan transformatif terhadap

sistim serta struktur kehidupan manusia demi terciptanya keadilan dan

kesejahteraan.

Diakonia dalam Perjanjian Lama merupakan tindakan Allah dalam

melayani dan membebaskan umat-Nya dari segala bentuk kemelaratan dan

ketidakadilan yang dialami umat-Nya. Kehadiran Yesus di dunia dengan jalan

mengidentifikasikan diri-Nya sebagai orang miskin adalah untuk melayani dan

memberikan keselamatan kepada dunia terutama kepada mereka yang tertindas,

lemah dan tersingkirkan ditengah masyarakat (Mat 25:31-46). Hal tersebut

menandakan bahwa Yesus tidak pernah kompromi terhadap segala bentuk

penindasan dan ketidakadilan. Ia menentang segala praktek kekerasan

struktural,ketidakadilan, kejahatan dan keserakahan dalam kehidupan manusia.31

Pelayanan yang dikerjakan Yesus bertujuan melakukan transformasi atau

pembaharuan dalam kehidupan sosial umat manusia, khususnya kepada mereka

yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi dan politik ditengah

kehidupannya, sebagaimana Ia menyampaikan khotbahNya yang pertama kepada

orang yang mengikuti-Nya.

“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab itu ia mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah

datang” (Luk 4:18-19).

Dalam hal ini pembaharuan yang dikerjakan Yesus adalah bersifat lengkap

dan utuh, meliputi struktur sosial, budaya dan hati manusia. Van Kooij

merumuskan diakonia transformatif sebagai pelayanan yang mengarah kepada

perubahan struktural dalam masyarakat.32 Istilah yang dipakai oleh Widyatmadja

adalah bahwa diakonia itu harus mampu mencelikkan mata yang buta dan

memampukan kaki seseorang yang kuat untuk berjalan sendiri.33 Tentu

menjadikan mereka bukan sebagai obyek tapi menjadi subyek kehidupan ini.

Bukan sekedar memberikan tempat untuk anak autis berkumpul, bermain sesama

mereka tetapi bagaimana mendidik dan membekali mereka agar dapat menjadi

manusia yang bebas untuk memilih dan menentukan hidupnya sendiri, tanpa

tergantung pada orang lain lagi.

Apa yang kita harapkan memang harus sampai kepada tahap menerima dan memberi merek lapangan kerja agar mereka tidak lagi menjadi objek sosial tapi mereka harus menjadi pelaku sejarah manusia. Keahlian anak autis yang bisa menjadi harapan kehidupan mereka harus dikembangkan seperti menjadi ahli musik, penari dan juga ahli IT.

32Van Kooij, A.Pdt, dkk (2007), Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, Jakarta BPK Gunung Mulia, dkk (2007), hal. 41

33Widyatmadja,Yosef Purnama (2010), Yesus dan Wong Cilik, Jakarta BPK Gunung Mulia hal.

Dalam dokumen T2 753013003 BAB III (Halaman 44-52)

Dokumen terkait