Tidak dapat dipungkiri bahwa kesedihan orangtua yang anaknya sendiri
diketahui autis sangatlah wajar. Semua orangtua menginginkan anak yang
dilahirkannya menjadi anak yang normal, sehat, pintar dan berbakat. Anak yang
lahir seperti ini akan menjadikan orangtuanya bangga telah memiliki anak yang
luar biasa? Dengan kenyataan bahwa anak yang dikasihinya adalah autis, maka
akan ada kesedihan, bergumul dan penuh dengan pertanyaan. Bertanya pada diri
sendiri, bertanya pada keluarga dan bertanya pada Tuhan. Kenapa harus aku yang
diberikan beban seberat ini? Tidak sedikit juga keluarga berpikiran bahwa autis itu
berhubungan dengan kesalahan atau dosa masa lalu. Hal ini sangat menyiksa,
yang didalamnya termasuk autis oleh lingkungan sebagai masyarakat kelas
bawah. Kelas ini secara khusus dalam status sosial mereka. Mereka seolah
disingkirkan oleh masyarakat, lingkungan dan bahkan keluarga sendiripun banyak
yang berpikiran untuk menyingkirkannya. Dengan beban moral dan beban sosial
seberat ini banyak orangtua yang malah merasa anak autis ini beban yang sangat
mengganggu kehidupan keluarga.
Memang Alkitab tidak ada berbicara tentang autis secara khusus namun
Yesus mencintai semua orang apapun keberadaannya. Bagi Yesus, setiap pribadi,
apapun kemampuan dan cacatnya adalah istimewa dan penting. Setiap orang
adalah anak Allah, dicintai oleh Allah.19 Di dalam Alkitab banyak sekali contoh
bagaimana Yesus mencintai orang-orang yang secara sosial tidak mempunyai
tempat di tengah-tengah masyarakat dan agama. Kita mau belajar dari apa yang
dialami oleh orang yang disembuhan oleh Yesus yang dikisahkan oleh Yohanes
setelah 38 tahun lamanya lumpuh di kolam Betesda yang berarti Rumah
Anugerah.20 Banyak orang sakit berbaring disana, yang menunggu saat
goncangan air kolam itu dan kemudian berusaha untuk menjadi orang pertama
yang menceburkan diri supaya disembuhkan. Bayangkan ada yang sampai 38
tahun lamanya tinggal disana. Bisa kita bayangkan mereka hidup dalam rasa malu,
dan pasti kotor dan jelek. Menurut ukuran dunia mereka itu adalah orang-orang
yang dipandang rendah dan harus dihindari. Tidak ada yang baik atau elok di
19Vanier, Jean, (2008), Tenggelam kedalam Misteri Yesus Melalui Injil Johanes (terj) Yogyakarta Kanisiushal. 140.
20Barclay,William Dr (1983), Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Yohanes Pasal 1-5, Jakarta BPK Gunung Mulia. hal.302.
dalam diri mereka. Ia lumpuh secara fisik dan akibatnya ia lumpuh juga secara
emosional dan relasional.21
Yesus bertanya apakah ia mau disembuhkan. Pertanyaan yang sepertinya
tidak pantastetapi sebenarnya, ia telah sakit selama 38 tahun dan mungkin ia
sudah tanpa harapan dan serta menyerah dengan segala keputusasaannya. Barclay
mengatakan bahwa kemungkinan ia telah berpikir untuk terus saja sakit sebab
kalaupun ia sembuh, ia masih harus menanggung beban untuk dapat hidup.22
Memang banyak orang yang berkebutuhan khusus merasa tidak enak dengan
keberadaannya, karena mereka tahu bahwa orang lain yang harus menanggung
semua pekerjaan serta kekuatiran mereka dan kadang-kadang kenyataan bahwa
mereka tidak dipedulikan. Perhatikan jawaban dari orang sakit itu dimana di
tempat yang ajaib ini banyak orang berharap memperoleh kesembuhan, tetapi
hanya sedikit yang disembuhkan,dan ia mengatakan kepada-Nya: "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai
goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun
mendahului aku." (Yoh 5, 7)
Orang sakit ini tidak mempunyai orang untuk menurunkan dia supaya
disembuhkan. Jawaban dari orang sakit ini merupakan suatu kenyataan tentang
posisi mereka di tengah masyarakat. Tidak ada yang peduli dan tidak ada yang
mau melihat mereka menjadi pribadi yang penting. Martabat mereka sebagaimana
adanya sebagai manusia ciptaan Tuhan hilang oleh lingkungannya.Yang ada
21Milne, Bruce (2011), Yohanes, “Lihatlah Rajamu”. Jakarta BPK Gunung Mulia.hlm 131
22Barclay, William Dr (1983), Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Yohanes Pasal 1-5, Jakarta BPK Gunung Mulia hal. 305.
justru mereka dianggap menjadi beban dan akan mendatangkan malapetaka. Hal
ini juga terjadi bagi orang yang berkebutuhan khusus seperti autis. Keberadaan
autis ini sering menjadi beban berat, ditambah karena adanya anggapan juga
bahwa mereka ini menjadi petanda yang tidak baik.
Kepada mereka inilah Yesus datang. Orang yang secara sosial dan
emosional tersingkir dari masyarakat. Dengan masuk ke dalam penampungan di
kolam betesda itu Yesus menyatakan kerinduan Allah yang amat dalam untuk
menjembatani jurang yang memisahkan orang, untuk membawa orang-orang yang
berbeda-beda menjadi satu dalam persaudaraan.23 Orang yang lumpuh ini tidak
mempunyai teman, tidak ada yang peduli dengannya. Yesus memberikan
kesembuhan baginya di balik keputusasaannya. Seakan Yesus tidak bisa menahan
diri, Ia ingin membebaskan orang lumpuh ini dari segala kuasa keputusasaan yang
ada dalam dirinya agar ia bisa hidup secara penuh. Bangunlah, angkatlah
tilammu(ayat 8, egeire). Mengacu pada panggilan Yesus yang berdaampak pada kuasa Yesus memberi kehidupan.24 Kesembuhan fisik itu bukanlah tujuan utama
dari apa yang Yesus lakukan untuk orang lumpuh itu tapi pemberian kembali apa
yang hilang dari mereka ditengah kehidupan sosialnya. Milne menyebutnya
bahwa Yesus memberikan kehidupan kepada orang lumpuh itu. Secara biologis
dia hidup tapi jiwa dan martabat manusianya dirampas oleh sistem yang ada di
tengah masyarakat dan agama ketika itu. Lebih dari penyembuhan fisik Yesus
memberikan kembali kehidupan yang sesungguhnya bagi dia. Yesus tidak
23Vanier,Jean, (2008), Tenggelam kedalam Misteri Yesus Melalui Injil Johanes (terj) Yogyakarta Kanisius hal. 141.
menjadikannya sasaran perilaku sosial, dan juga tidak menjadikannya sasaran
belas kasihan. Tapi Yesus memberikan status dan martabat bagi dia.
Bagi orang lumpuh, mengangkat tilam adalah sebuah pembalikan hidup
yang dahsyat. Bukan lagi tilam itu yang menyangga si lumpuh tapi sekarang ia
sendirilah yang menggotong tilamnya itu ke rumah. Sungguh sebuah kegirangan
yang luar biasa, orang itu mengalami kesembuhan dari deritanya yang sudah
puluhan tahun dideritanya. Selama ini ia selalu menunggu orang untuk
membantunya menceburkan diri ke kolam. Ia sangat membutuhkan orang lain
dalam menentukan langkah kehidupannya. Sebuah ketergantungan yang selama
ini menyiksanya dan tak seorangpun yang peduli dengan ia. Tapi kini oleh Yesus
dia dapat menentukan langkah hidupnya tanpa ketergantungan lagi pada orang
lain. Ia tidak perlu lagi menunggu orang lain tapi ia kini melakukannya dengan
keinginannya sendiri. Mengangkat tilam pada hari penyembuhan merupakan
ungkapan kemenangan atas deritanya selama ini, kini ia bebas.25
Kemenangan dan kebebasan ala Yesus inilah yang harusnya juga
dirasakan dan dimiliki oleh anak autis. Ketergantungan pada pihak lain bukan lagi
mendominasi kehidupan mereka tapi mereka sendirilah yang hidup dalam dirinya.
Anak autis menentukan kehidupannya sendiri. Memang sulit tapi bukan berarti
tak mungkin anak autis itu memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menentukan
kehidupannya.
Pada umumnya Gereja dalam pelayanan diakonianya memahami dan telah
melaksanakandua model pelayanan diakonia yaitu, diakonia karitatif dan diakonia
25Riyadi, Eko Pr(2011), Yesus Kristus Tuhan Kita. Seri Pustaka Teologi, Yogyakarta Kanisius hal. 158.
reformatif.Akan tetapi beberapa tokoh berpendapat bahwa pelaksanaan kedua
model diakonia tersebut pada masa kini telah kurang memadai, sebab ditengah
kehidupan masyarakat telah terjadi masalah yang multiaspek dan
multidimensional akibat segala bentuk ketidakadilan yang kian marak terjadi.
Victor Tinambunanberpendapat, pelaksanaan model diakonia karitatif (pemberian
bantuan/amal) dengan analogi “memberi ikan dan roti kepada mereka yang lapar”, meskipun pada prinsipnya adalah baik akan tetapi tidaklah cukup sebab hanya akan menciptakan ketergantungan.26 Demikian halnya dengan model
diakonia reformatif yang menekankan aspek pembangunan dengan analogi
“pemberian pancing dan keahlian memancing”, juga kurang bermanfaat jika keahlian dan keterampilan tersebut tidak dapat digunakan bila peluang dan akses
tidak tersedia baginya. Analogi model diakonia transformatif adalah “apabila ada orang lapar jangan hanya diberi roti, pancing akan tetapi juga menolongnya
mendapatkan akses untuk memancing serta memberikan hak untuk
menggunakannya”. Demikian juga Choeldahono memaparkan, dalam menghadapi masalah yang multiaspek dan multidimensional masa kini, Gereja
harus mampu melakukan revisi, reorientasi serta rekonstruksi ajaran-ajaran,
prilaku dan pelayanannya supaya dapat memberikan sumbangan yang bermakna
bagi manusia, dunia dan peradabannya, sehingga melaluinya Gereja akan mampu
26Tinambunan. Victor., (2011) : Gereja & Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah, L-SAPA STT-HKBP, Pematang Siantar, hal. 32.
menjalankan pelayanan yang transformatif.27 Diakonia transformatif merupakan
implementasi misi pembebasan oleh Gereja dalam menghadapi kenyataan
sosial-ekonomi politik yang diwarnai dengan ketidakadilan, kemiskinan dan
pelanggaran-pelaggaran terhadap hak asasi manusia.28 Misi pembebasan tersebut
merupakan keterlibatan Gereja dalam misi Allah bagi manusia yang terbelenggu
oleh dosa, sehingga Gereja harus bertindak sebagai nabi dalam menghadapi
kekuatan dominasi orang-orang atau lembaga-lembaga yang membelenggu atau
menindas yang lemah dan tidak berdaya.
Salah satu aspek yang ditekankan melalui diakonia transformatif tersebut
adalah terbentuknya suatu persekutuan (koinonia) dalam tatanan kehidupan manusia yang baru yang hidup dalam ikatan kasih dan persaudaraan.29 Koinonia
mengandung makna persekutuan dengan Kristus dan persekutuan antar sesama
yang mencakup orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan didalamnya
selalu ada sikap, aktifitas dan tanggung jawab terhadap pembangunan
persekutuan.30 Hal itulah yang menjadi panggilan keselamatan yang diajarakan
Yesus kepada pengikut-Nya dalam mewujudkan kedatangan kerajaan Allah
ditengah dunia. Diakonia transformatif merupakan tindakan Gereja dalam
melayani jemaat dan masyarakat secara multidimensional (roh, jiwa, dan tubuh)
27Choeldahono.Novembri.,(2003) : Gereja Lembaga Pelayanan Kristen dan Diakonia Transformatif, dalamBambang Subandijo (ed)., Agama dalam Praksis, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, hal. 34-39.
28
Artanto.Widi., (1997) :Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, hal. 218-223.
29Choeldahono, (2003), op.cit., hal. 40.
dan juga multi sektoral (ekonomi, politik, hukum dan agama). Artinya Gereja
melalui pelayanan diakonia bukan lagi sekedar melakukan tindakan-tindakan amal
meskipun hal itu masih perlu dilakukan melainkan tindakan transformatif terhadap
sistim serta struktur kehidupan manusia demi terciptanya keadilan dan
kesejahteraan.
Diakonia dalam Perjanjian Lama merupakan tindakan Allah dalam
melayani dan membebaskan umat-Nya dari segala bentuk kemelaratan dan
ketidakadilan yang dialami umat-Nya. Kehadiran Yesus di dunia dengan jalan
mengidentifikasikan diri-Nya sebagai orang miskin adalah untuk melayani dan
memberikan keselamatan kepada dunia terutama kepada mereka yang tertindas,
lemah dan tersingkirkan ditengah masyarakat (Mat 25:31-46). Hal tersebut
menandakan bahwa Yesus tidak pernah kompromi terhadap segala bentuk
penindasan dan ketidakadilan. Ia menentang segala praktek kekerasan
struktural,ketidakadilan, kejahatan dan keserakahan dalam kehidupan manusia.31
Pelayanan yang dikerjakan Yesus bertujuan melakukan transformasi atau
pembaharuan dalam kehidupan sosial umat manusia, khususnya kepada mereka
yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi dan politik ditengah
kehidupannya, sebagaimana Ia menyampaikan khotbahNya yang pertama kepada
orang yang mengikuti-Nya.
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab itu ia mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah
datang” (Luk 4:18-19).
Dalam hal ini pembaharuan yang dikerjakan Yesus adalah bersifat lengkap
dan utuh, meliputi struktur sosial, budaya dan hati manusia. Van Kooij
merumuskan diakonia transformatif sebagai pelayanan yang mengarah kepada
perubahan struktural dalam masyarakat.32 Istilah yang dipakai oleh Widyatmadja
adalah bahwa diakonia itu harus mampu mencelikkan mata yang buta dan
memampukan kaki seseorang yang kuat untuk berjalan sendiri.33 Tentu
menjadikan mereka bukan sebagai obyek tapi menjadi subyek kehidupan ini.
Bukan sekedar memberikan tempat untuk anak autis berkumpul, bermain sesama
mereka tetapi bagaimana mendidik dan membekali mereka agar dapat menjadi
manusia yang bebas untuk memilih dan menentukan hidupnya sendiri, tanpa
tergantung pada orang lain lagi.
Apa yang kita harapkan memang harus sampai kepada tahap menerima dan memberi merek lapangan kerja agar mereka tidak lagi menjadi objek sosial tapi mereka harus menjadi pelaku sejarah manusia. Keahlian anak autis yang bisa menjadi harapan kehidupan mereka harus dikembangkan seperti menjadi ahli musik, penari dan juga ahli IT.
32Van Kooij, A.Pdt, dkk (2007), Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, Jakarta BPK Gunung Mulia, dkk (2007), hal. 41
33Widyatmadja,Yosef Purnama (2010), Yesus dan Wong Cilik, Jakarta BPK Gunung Mulia hal.