BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Pintar Togaten Salatiga. Rumah Pintar
berdiri dari pergumulan pribadi ibu Ana yang menjadi pendiri yayasan Anak
Berkebutuhan Khusus. Berdasarkan pengalaman pribadinya, ibu Ana mengakui
bahwa perawatan anak yang tergolong dalam anak berkebutuhan khusus (ABK)
sangat sulit. Dibutuhkan kesabaran dan pengetahuan yang tepat supaya anak ABK
bisa bertumbuh dan berkembang. Pengalaman mendidik dan merawat anaknya
sendiri yang tergolong sebagai ABK menjadikan ibu Ana menjadi pemerhati
ABK. Dia memahami bahwa masih banyak anak yang terlahir menjadi ABK.
Kekuatiran orangtua lain dirasakan oleh ibu yang saat ini menempuh pendidikan
Magister Psikologi di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dengan tujuan
untuk membantu meringankan beban orangtua dan mendidik anak berkebutuhan
khusus, Rumah Pintar Togaten Salatiga didirikan pada tahun 2012. Walaupun
sekolah ini terbilang masih sangat muda, kemajuannya cukup diacungkan jempol.
Sekolah ini menjadi pilihan bagi orang tua dengan anak berkebutuhan khusus
sebagai tempat pendidikan anak mereka, hal ini tentu menjadi ungkapan tentang
3.1.Deskripsi dan Analisa Kondisi Objektif Permasalahan Anak Autis di
Rumah Pintar Togaten Salatiga
3.1.1 Hasil Penelitian
Sesuai dengan ide pendirian rumah Pintar ini, sekolah yang telah
mendapatkan izin dari pemerintah kota Salatiga melalui Walikota dengan surat
Nomor : 503.16/011/2012, maka tempat ini menjadi sarana pendidikan dalam
rangka mencerdaskan anak-anak berkebutuhan khusus yang didalamnya juga
termasuk anak autis. Terdapat 12 orang anak autis dari kategori umur 4 sampai 16
tahun. Sekolah ini terbilang cukup memadai dengan gedung sekolah yang
permanen dan arsitektur yang indah ditambah dengan peralatan pendukung yang
cukup. Bersih dan nyaman itulah kesan yang terlihat dan terasa ketika memasuki
lokasi Rumah Pintar ini yang berprinsip “Semua anak pintar dan baik“.
Gambar 1:Rumah Pintar Togaten Salatiga
Suasana sukacita dan indahnya permainan masa anak-anak tergambar jelas
ketika memasuki tempat khusus untuk belajar dan terapi anak autis. Tidak terlihat
situasi yang menggambarkan bahwa murid-murid disana adalah anak-anak autis
diperhatikan dan diamati secara seksama, ada sesuatu yang menjadi keprihatinan
dalam gerak tubuh mereka. Mereka bermain tanpa keteraturan dan pola yang jelas.
Mereka bergerak kesana kemari, kadang duduk dan kemudian berdiri dan lari lagi,
seakan mereka digiring oleh suatu kekuatan yang tidak bisa mereka lawan.
Menurut pengakuan para orangtua terhadap angket yang disebarkan, pada
pernyataan :“Tidak adanya pola yang jelas ketika anak autis sedang bermain dan mereka bergerak tanpa tujuan”, jawaban responden beragam. Responden yang
setuju kalau anak mereka sering sekali bermain tanpa keteraturan dan pola yang
jelas berjumlah 55%, sedangkan yang setuju sekali ada 5%. Hal ini berarti ada
60% yang menyetujui pernyataan ini. Satu hal yang pasti adalah anak mereka ini
banyak bergerak dan tidak suka diam. Menurut para responden ada rasa kasihan
melihat anak letih bermain tanpa mereka sadari dan tanpa arti. Bertolak belakang
dengan hal itu, ada 40% responden yang tidak setuju atas pernyataan ini. Mengapa
mereka memilih jawaban ini, menurut peneliti para responden yang tidak setuju
ini kurang memperhatikan gerak-gerik anak yang jika bermain cenderung pada
permainan yang tidak berpola. Ditambah lagi kenyataan bahwa ada anak yang
tidak aktif dan lebih banyak diam seperti melamun. Kemungkinan atas kedua hal
ini bisa menjadi alasan kenapa responden tidak setuju atas pernyataan diatas.
Peneliti sendiri tetap melihat bahwa anak autis banyak sekali bergerak tanpa pola
Gambar 2: Anak yang lebih suka diam
Gambaran yang terlihat dalam permainan anak-anak itu semakin
menambah rasa penasaran yang tinggi untuk mengamati mereka lebih dalam dan
teliti lagi. Satupersatu gerak-gerik anak-anak itu diamati, apa yang selalu mereka
lakukan. Peneliti mengamati saat mereka bernyanyi bersama, saat guru
mengatakan agar mereka bertepuk tangan, tidak ada yang merespon perintah guru
tersebut, kebanyakan dari mereka diam, melamun dan malah ada anak melakukan
kegiatan diluar yang guru inginkan, seperti tertawa, ada yang menggerakkan
kakinya sendiri, dan ada yang seolah tidak perduli dengan apa yang terjadi.
Kasus lain misalnya melihat anak yang bermain bola, disaat bola lepas dan
menggelinding ketempat lain, guru akan mengatakan agar bola segera diambil
kembali. Tetapi yang terjadi adalah anak diam saja dan tidak merespon. Saat
perintah diulang lagi anak akan pergi tapi bukan ke tempat bola berada tapi ke
sudut yang berbeda dan melakukan hal yang berbeda. Maka tidak jarang guru
harus berulang kali memberikan perintah pada anak didik mereka agar murid
dapat memahaminya. Di ruangan yang lain ada anak dengan seorang guru lagi
kalimat dan contoh yang di praktikkan langsung. Berulang-ulang itu dilakukan
tapi perintah si ibu guru tidak bisa dilaksanakan. Ketika dikatakan huruf ‘i’
dengan jari telunjuk, si anak malah membentuk jarinya dengan bulat. Beginilah
keadaan mereka, tidak ada keselarasan antara pikiran dan perilaku. Para
responden dalam menjawab pernyataan di dalam angket mengenai pernyataan
“Tidak ditemukan adanya keselarasan Antara pikiran dengan apa yang dilakukan
anak autis” juga mengatakan hal yang serupa, bahwa sering sekali terlihat
ketidakcocokan antara apa yang mereka pikirkan dengan yang mereka lakukan.
Anak yang dilatihuntuk mengatakan saya dengan meletakkan tangan ke dada
sendiri sering terbalik ketika mempraktikkannya. Dikatakan saya namun
tangannya menunjuk kepada guru yang mengajarnya. (ada dalam rekaman video)
Dalam mencapai hasil dari satu permainan, peneliti melihat bahwa anak
autis membutuhkan perjuangan yang berat sekali. Dalam bermain melewati
lingkaran-lingkaran kecil melompat-lompat dengan satu kaki sambil menghitung
jumlah lingkaran misalnya bukanlah hal yang mudah bagi mereka. Mereka sering
harus terjatuh atau menolak melakukannya karena sepertinya itu hal yang sangat
rumit yang mereka bisa lakukan. Guru harus berkali-kali membangunkan si anak
yang jatuh atau memotivasi agar terus berjuang melakukannya. Kadang-kadang
mereka bisa melewati dengan baik dan diberi apresiasi tepuk tangan oleh guru.
Tapi jika diulang kembali maka si anak akan jatuh atau tertatih tatih walau hanya
untuk melewati dua lingkaran saja. Dipermainan yang berbeda anak dilatih untuk
bisa berjalan diatas papan titian yang tingginya ½ meter dari tanah. Kejadian
Guru harus terus memegang si anak agar tidak terjatuh. Bahkan di dalam
pegangan guru saja anak tidak bisa melewati papan titian itu dengan sempurna.
Sejalan dengan jawaban orang tua terhadap pernyataan di dalam angket
:“Kurangnya koordinasi tubuh pada anak autis ketika bermain dan gerak lainnya”,
terbukti bagi sebagian anak autis sangat kurang koordinasi tubuh ketika mereka
bermain. Terbukti ada 80% responden memilih jawaban setuju dan 20% tidak
setuju. Kedua jawaban ini berbicara jujur sesuai dengan fakta yang dilihat. Sesuai
dengan observasi peneliti kebanyakan anak belum mempunyai koordinasi yang
bagus. Mereka sering terjatuh ketika melakukan lompatan dan kurang tepat ketika
melempar bola. Ketidaksetujuan responden ini dapat diterima karena dalam
observasi peneliti juga melihat adanya anak yang koordinasinya tubuhnya sudah
bagus, dia dapat naik tangga perosotan dan melakukan perosotan dengan
sempurna seorang diri.
Gambar 3: Anak yang berusaha melewati lingkaran-lingkaran kecildan guru yang sedang mengajar murid berbicara
Terkadang memang muncul rasa iba melihat keadaan dan permasalahan
anak autis di Rumah Pintar Togaten Salatiga. Rasa iba datang jika kita
seusia dengan mereka. Seorang guru terlihat serius sekali melatih anak untuk
melempar bola ke kotak besar. Diucapkan dan dicontohkan oleh guru namun si
anak tetap tidak dapat mengerti dan melakukan apa yang diperintahkepadanya.
Guru terus mengperintahkan untuk melempar bola bahkan guru ikut membantu
melakukannya. Namun anak itu sangat sulit dan lambat sekali untuk mengerti.
Keadaan anak autis dalam hal ini memberikan persoalan baru bahwa anak autis
sangat lambat untuk melakukan apa yang diperintah padanya. Walaupun
berulang-ulang dicontohkan oleh guru tapi selalu sulit sekali bagi anak tersebut
melakukannya. Hal ini juga menjadi pengakuan responden dalam jawaban mereka
atas keadaan ini. Di dalam pernyataan : “Adanya kelambatan anak autis untuk melaksanakan perintah yang diperintah kepadanya”, 10% responden mengatakan sangat setuju dan 80% responden setuju kalau anak autis memang lamban di
dalam menangkap dan melakukan perintah yang diberikan padanya. Sisa yang lain
yaitu 10% mengatakan tidak setuju atas pernyataan diatas. Ketidaksetujuan ini
menurut peneliti diakibatkanterjadinya peningkatan keselarasan antara pikiran dan
perilaku anak. Jawaban ini juga menandai adanya kemajuan terhadap anak autis
melalui Rumah Pintar.
Berkomunikasi dan berkata-kata merupakan salah satu kondisi
permasalahan objektif anak autis di rumah pintar Togaten Salatiga.
Berkomunikasi berarti percakapan yang dilakukan dengan dua arah memakai
kata-kata atau alat lainnya. Sulit sekali memahami apa yang mereka maksudkan
dan sulit sekali mengatakan sesuatu pada mereka. Mereka dilatih untuk memakai
mampu untuk mengatakannya. Pada proses komunikasi mereka tidak bisa
memakai kata-kata tersebut menjadi alat berkomunikasi. Mereka sulit berkata-kata
dan berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal.
Anak autis mempunyai cara untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan
mereka. Misalnya mereka sering marah dan menyakiti diri sendiri jika ada
sesuatu yang hendak dikatakannya pada orang lain termasuk pada orangtua dan
guru. Semua anak autis memakai cara yang seperti ini? Tidak ada kesamaan
sehingga ini tidak bisa dikategorikan sebagai alat komunikasi anak autis secara
umum. Dalam pengamatan peneliti ada seorang anak yang marah sambil
memukul-mukul kepalanya sendiri dan kadang membenturkannya ke dinding.
Sepertinya dia tidak merasakan sakit apapun ketika dia menyakiti dirinya. Sulit
mendiamkannya karena sepanjang permintaannya tidak dipenuhi maka dia akan
terus marah dan memukul dirinya. Ternyata memang anak autis itu tidak bisa
lepas dari benda yang disukainya sampai dia sendiri yang melepaskannya
(rekaman video).
Berinteraksi dengan orang lain merupakan persoalan lain dari kondisi
objektif permasalahan anak autis. Anak autis sulit sekali untuk bermain bersama
dengan teman lainnya. Guru memberi perintah untuk bernyanyi bersama sambil
bergandengan tangan dengan teman yang lain. Ini juga dibantu oleh beberapa guru
sebagai rantai untuk menyatukan mereka. Apa yang terjadi, tidak ada murid yang
bernyanyi selain guru dan tangan yang tadinya saling sentuh kini bubar semuanya.
Dari jawaban angket terhadap pernyataan :“Anak autis sangat sulit untuk bermain
walaupun masih lebih banyak yang mendukung. Responden yang sangat setuju itu
ada 5%, yang setuju ada 60%, yang tidak setuju itu ada 30% dan yang sangat tidak
setuju ada 5%. Ditemukan empat jawaban yang masing-masing perlu alasan yang
jelas. Ada yang tidak setuju dan yang tidak setuju sama sekali juga ada. Kalau
menurut peneliti ini merupakan kemajuan yang ditemukan di rumah pintar. Pada
umumnya anak autis itu sulit sekali berinteraksi dengan orang lain, jika anak
sudah dapat bermain bersama dengan teman lainnya ini merupakan kemajuan.
Tapi secara umum menurut peneliti anak autis itu sangat sulit sekali bermain
bersama dengan teman lainnya.
Gambar 4: Guru mengalami kesulitan di dalam menyatukan anak untuk bermain
3.1.2. Pembahasan dan Analisa
Berdasarkan hasil penelitian diatas ada beberapa kondisi objektif
permasalahan anak autis di Rumah Pintar Togaten Salatiga yang diinterpretasi dan
Anak autis seperti orang tuli dan buta karena mereka cenderung
mengabaikan suaradan orang yang ada disekitarnya. Mereka lebih asyik dengan
dirinya sendiri dari pada peduli dengan keadaan yang ada di sekitar mereka. Hal
ini tidak mengherankan terjadi pada anak autis sebab memang salah satu
pengenalan tentang anak autis adalah mencintai dirinya sendiri. Senang dengan
dirinya sendiri dan tidak perduli dengan sekitarnya. Keadaan ini sesuai dengan
apa yang disebutkan oleh Lorna wing yang mengatakan bahwa salah satu
hambatan anak autis adalah sikap menyendiri dan menarik diri (Aloofness and Withdrawal).1 Banyak dari mereka yang berperilaku seolah-olah orang lain tidak
ada disekitarnya. Tentu kalau dianalisa dengan positif hal ini termasuk hambatan
dan sekaligus potensi.Disebut hambatan karena akan sulit sekali memberikan
pemahaman dan pengertian ketika diberikan terapi untuk mereka. Disebut potensi
ketika dihubungkan dengan kemampuan yang sudah terlatih pada anak autis. Jika
anak memiliki kecerdasan menari misalnya maka dengan keadaannya itu ia tidak
akan pernah merasa gugup atau takut karena baginya orang lain itu tidak ada.
Pengenalan anak autis terhadap bentuk dan warna suara juga terbilang
sangat buruk sekali. Ketika marah misalnya mereka tidak tahu harus memakai
warna suara yang lumrah dipakai manusia pada umumnya. Anak autis tidak
memahami bahwa pembicaraan itu merupakan komunikasi untuk mengatakan
sesuatu,tidak heran bagi mereka percakapan itu berlalu begitu saja. Guru harus
sering mengulang perintah seperlunya agar anak autis mengerti kalau itu adalah
1
perintah yang harus dilakukan. Memang benar bahwa anak autis sangatsulit dalam
berkomunikasi. Yatim Faisal mengatakan bahwa mereka tidak mampu
menganalisa dan memahami sistem komunikasi manusia pada umumnya.2
Kemampuan komunikasi antar pribadi itu memberi pengaruh langsung terhadap
kualitas hidup seseorang tidak terkecuali anak autis. Kesulitan komunikasi ini
juga yang menyebabkan kemampuan yang lainnya berkurang. Melalui pernyataan
di dalam angket mengenai “Anak autis sulit sekali untuk berkomunikasi dengan
jelas menggunakan tangan atau gerak tubuh lainnya”, Responden 10% memberi jawaban sangat setuju dan 65 % mengatakan setuju. Hal ini berarti ada 75% yang
setuju terhadap buruknya komunikasi pada anak autis. Sisanya ada 25% yang
tidak setuju pada pernyataan ini. Hal ini kemungkinan besar berasal dari guru
yang sudah memahami bagaimana berkomunikasi dengan anak autis. Tapi kondisi
itu tidak dapat dijadikan acuan untuk alat berkomunikasi anak autis pada
umumnya. Keselarasan pikiran dan perilaku anak autis menjadi penentu
bagaimana komunikasi itu dapat dimengerti.
Bunyi yang sering dikeluarkan anak autis itu berbentuk dalam nyanyian
atau hal-hal yang terekam oleh ingatan mereka sendiri. Anak autis mengalami
kesulitan dalam memilih kata-kata untuk mereka ucapkan atau untuk menjawab
lawan bicaranya. Walaupun ada kata-kata yang sudah dilatih dan sudah diketahui,
namun mereka tidak mengerti dalam menggunakan kata-kata tersebut di dalam
komunikasi. Keadaan ini mengakibatkan sebagian anak sering hanya diam belaka.
2
Keadaan ini juga yang menjadi alasan mengapa anak autis disebut sulit untuk
berkomunikasi. Kesulitan ini disebabkan mereka tidak mampu merangkai
kata-kata yang tepat untuk mengutarakan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Hal
ini selaras dengan apa yang disebut oleh Wilson tentang komunikasi. Komunikasi
itu lebih daripada kemampuan untuk berbicara atau merangkai kata-kata dalam
urutan yang tepat tapi harus juga mengetahui tentang bahasa, manusia dan
dimensi yang bukan manusia.3
Kenyataan juga mengatakan bahwa bagi anak autis semua benda itu sama
saja. Tidak ada penamaan terhadap benda sesuai fungsinya. Bagi mereka benda itu
dinamakan sesuai dengan kebutuhan mereka. Oleh karena itu sulit sekali bagi
mereka untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya karena sepertinya mereka
mempunyai dimensi sendiri diluar dimensi manusia yang sesungguhnya.
Gerakan tubuh yang tidak biasa. Ada gerakan-gerakan anak autis yang
tidak biasa dilakukan oleh anak-anak normal seperti mengepak-ngepakkan tangan,
meloncat-loncat, dan menyeringai. Hal ini bukan sebagai hasil latihan atau
kemampuan tersendiri tetapi sebagai gerakan yang secara otomatis muncul dari
dalam diri mereka. Kecenderungan ini berbeda dalam diri masing-masing anak
autis. Ada yang banyak duduk tapi sering mengepakkan tangannya sebagai
sebuah kebiasaan. Ada juga yang tidak bisa diam, selalu berlari dan
melompat-lompat dan melompat-lompatan itu juga berbeda satu sama lainnya. Beberapa anak
autis memiliki rutinitas mereka sendiri, menggaruk-garuk kepalanya, mencium
kepala teman yang duduk dekat dengannya, atau selalu memainkan benda yang
3
dipegangnya. Jika kebiasaan ini diganggu atau terganggu oleh sesuatu hal maka
mereka tidak lagi nyaman dengan keadaan mereka sendiri. Mereka akan marah,
bingung, kehilangan kendali, akibatnya tetap pada pola mengeluarkan tingkah
yang kacau atau bahkan menyakiti diri sendiri. Keadaan mereka ini termasuk
dalam perilaku sosial anak autis dalam kehidupan mereka.
Sangat tepat dengan apa yang disebut oleh Yuwono. Yuwono
menyebutkan bahwa perilaku sosial anak autis sering sekali tidak sinkron dengan
nilai-nilai sosial di lingkungannya.4 Ekspresi sosial mereka terbatas pada ekspresi
emosi-emosi yang ekstrim. Emosi yang ekstrim seperti menjerit, menangis, atau
tertawa sedalam-dalamnya. Hal-hal seperti ini ditemukan di Rumah Pintar
Togaten dan di rumah sebagaimana menurut pengakuan para orangtua dan
guru.Pemahaman anak-anak autis terhadap kata-kata sangat terbatas dan secara
umum tidak matang. Mereka sering berperilaku dalam cara yang kurang dapat
diterima secara sosial. Anak-anak autis tidak malu untuk berteriak ditempat umum
atau berteriak dengan keras di sepanjang jalan. Ini menjadi kesulitan tersendiri
bagi para orangtua dan guru. Hal yang sama ditemukan oleh peneliti dengan apa
yang disebut para ahli bahwa anak autis tidak suka dengan perubahan rutinitas
mereka. Mereka lebih suka pada rutinitas yang sama. Kita bisa pahami dalam diri
anak autis yang marah akibat benda yang dipegangnya hilang dari
pengawasannya. Carr & Durrand menyebutkan bahwa anak autis suka sekali
memperlihatkan perilaku yang merangsang dirinya sendiri, seperti self
4
stimulating, hand flapping dan self inflicting injuries.5 Semua yang disebut oleh para ahli ini ditemukan pada anak autis yang ada di Rumah Pintar Togaten
Salatiga. (ada dalam rekaman video).
Pada umumnya anak-anak autis tidak menyadari bahaya yang sebenarnya
sedang dihadapi mereka. Mungkin karena mereka tidak memahami kemungkinan
konsekuensi atas apa yang sedang mereka hadapi. Kembali peran orang-orang
yang ada disekitar mereka sangat diperlukan. Kadang-kadang bahaya yang terjadi
bahkan tidak mereka sadari dapat merugikan diri mereka sendiri. Misalnya ketika
mereka jatuh saat berlari, hal itu tidak melahirkan kehati-hatian selanjutnya ketika
mereka berlari lagi. Ketidaksadaran mereka akan hal-hal ini kemungkinan besar
juga karena mereka tidak mengerti apa arti sakit. Terlihat ketika mereka menyakiti
diri sendiri, misalnya dengan memukul kepalanya dengan tangan atau
membenturkannya ke dinding. Tidak ada respon (rasa sakit) terhadap keadaan itu.
Ini persoalan lain yang dimiliki anak autis yaitu adanya persoalan indera yang
tidak peka tetapi di indera yang lain ada kepekaan yang tinggi. Lorna wing
menyebutkan bahwa salah satu hambatan anak autis itu ada di indera peraba,
perasa dan pembau (The sense of touch, taste and smell).6 Salah satu kenyataan
adalah sebagian anak tidak merasakan dingin dan sakit walaupun telah ada
kejadian yang menimpanya.
5
Carr & Durrand, (1985), hal. 57.
6
Pada umumnya mereka sangat kurang dalam koordinasi seperti berjalan
dan berlari atau sebaliknya. Oleh karena itu terapi yang diberikan tergantung
kepada keadaan anak autis sendiri. Setiap anak berbeda dan waktu setiap proses
juga berbeda tergantung respon masing-masing. Ada yang tidak perlu dilatih lagi
keseimbangannya, ada juga yang harus sangat telaten dilatih koordinasi tubuhnya.
Harus diakui sangat sulit sekali untuk memahami kondisi yang sebenarnya dari
anak autis secara khusus di lokasi penelitian Rumah Pintar Togaten Salatiga. Dari
12 orang anak autis masing-masing memiliki ciri tersendiri. Tidak semua dari
mereka secara jelas memperlihatkan keadaan mereka. Emosi merupakan respon
individu terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat menyenangkan atau
positif tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau negatif. Bentuk-bentuk respon
emosi pada dasarnya sama dengan apa yang ada pada manusia normal. Hanya
mungkin penyebab munculnya emosi itu yang membedakannya. Anak autis sulit
sekali mengendalikan respon emosionalnya terhadap sesuatu yang berubah dalam
diri dan lingkungannya. Hal ini yang membedakan dengan manusia normal yang
mempunyai kemampuan lebih untuk mengendalikan respon emosinya.
Secara fisiologis, sistem limbik yang terdapat di dalam susunan syaraf
manusia sering dikaitkan dengan emosi ini sehingga gangguan pada sistem limbik
dapat mengakibatkan kesulitan mengendalikan emosi, contoh, mengamuk, marah,
agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa
stimulus yang jelas sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem limbik.
Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan
adalah contoh reaksi emosi yang berwujud perilaku sebagai akibat gangguan
sistem limbik ini.Hal inilah yang terjadi pada anak autis. Gangguan pada sistem
limbik menjadi penyebab kurangnya kemampuan mereka mengendalikan respon
terhadap sesuatu yang terjadi pada diri mereka sehingga memunculkan reaksi
emosi yang berlebihan dan merugikan diri mereka sendiri (namun mereka tidak
melihat itu sebagai beban).
Beberapa stimulus yang mengundang respon bagi anak-anak autis dapat
berupa benda maupun peristiwa. Namun, adanya gangguan pemrosesan pada anak
autis dapat mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim
sehingga menyebabkan kebingungan dan ketakutan. Dalam penelitian diperoleh
beberapa stimulus yang menimbulkan respon emosi seperti benda-benda yang ada
di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ditemukan bahwa respon terhadap
benda-benda lebih tinggi daripada respon terhadap orang-orang yang ada di dalam
kehidupannya. Respon anak autis terhadap benda-benda tampak pada
keinginannya untuk mengambil dan membawa benda tersebut kemanapun mereka
pergi. Apabila mereka dipisahkan dari benda-benda tersebut maka akan terjadi
penolakan dan amarah. Selain marah, anak-anak dengan autistik biasa
melampiaskan perasaannya dengan caramenyakiti diri sendiri seperti
membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri.
Para ahli membagi kondisi aktual anak autis ini yang dilihat sebagai
Yuwono menyebutkan bahwa perilaku sosial anak autis yang muncul sering sekali
tidak sinkron dengan nilai-nilai sosial dilingkungannya. 7
Anak autis termasuk anak yang mengalami gangguan perkembangan
kompleks yang berdampak pada perkembangan sosial, komunikasi perilaku dan
emosi yang tidak berkembang secara optimal. Akibat gangguan perkembangan ini
anak menjadi kurang memperhatikan lingkungannya dan asyik dengan dunianya
sendiri.Gangguan tersebut bersumber pada gangguan otak bagian interaksi dan
komunikasi sehingga para penyandang autis mengalami kesulitan pada
komunikasi verbal dan nonverbal, interaksi social juga aktivitas bermain.
Kesulitan ini menyebabkan anak kesulitan melakukan interaksi dengan orang lain
dan dunia luar.
3.2. Deskripsi dan Analisa Implementasi Kegiatan Aktual di Rumah
Pintar Togaten Salatiga.
3.2.1 Hasil Penelitian
Gedung sekolah yang bersih dengan warna dasar ungu serta
bermacam-macam warna yang diletakkan disetiap bagian gedung itu menambah kesegaran
ketika memasuki Rumah Pintar Togaten Salatiga. Gedung sekolah ini dibagi
menjadi dua bagian besar,bagian depan merupakan bagian ruangan guru dan
kantor, tempat menerima tamu dan bagian administrasi. Dari ruangan ini ada pintu
yang menjadi akses utama ke ruang khusus untuk proses belajar dan terapi
7
anak. Memasuki daerah khusus untuk anak-anak Autis, alas kaki harus dilepas
karena kebersihan sangat dijaga. Bagian itu adalahbagian dimana guru dan
anak-anak autis melakukan terapi, pengajaran dan bermain. Bagian khusus anak-anak-anak-anak
juga terbagi lagi. Terdapat 2 ruangan kelas untuk belajar bersama, 6 ruangan
terapi dan terdapat satu ruang terbuka sebagai tempat anak-anak autis bermain.
Gambar 5: Tempat bermain anak-anak
Permainan yang tersedia adalah papan tempat berjalan belajar
keseimbangan, ayunan, mainan perosotan anak, kotak besar, keranjang bola
basket dan permainan lainnya yang bisa dibentuk dan dilepas seperti
lingkaran-lingkaran besar dan kecil. Dilokasi inilah dengan semua fasilitas yang ada seluruh
kegiatan aktual dilaksanakan.
Anak autis membutuhkan perhatian dari lingkungannya terlebih dari
orangtuadan guru. Hal ini sangat mereka butuhkan untuk perkembangan
kecerdasan mereka masing-masing. Orangtua dan guru sebagai responden dalam
menjawab pernyataan di dalam angket mengenai “Anak autis membutuhkan perhatian dari orang tua, guru dan lingkungan, secara khusus untuk perkembangan
juga menyatakan bahwa lingkungan itu sangat mempengaruhi perkembangan anak
autis. Hal ini berarti bahwa para responden telah melihat hasil dari kenyataan
ketika banyak orang yang membantu anak autism maka perkembangannya juga
bertambah. Menjawab pernyataan “Lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan anak autis”, 95% responden mengaku sangat setuju dan 5% setuju
yang berarti ada 100% yang setuju atas pernyataan bahwa lingkungan
mendukung perkembangan anak autis yang mendorong kemajuan anak autis
menjadi lebih cepat. Seorang ibu dalam pengakuannya ketika wawancara
mengatakan bahwa lingkungan itu sangat berpengaruh bagi anaknya. Ini kutipan
wawancara dengan ibu Nur :
“Sebelum masuk Rumah Pintar anak saya pernah ikut dalam sekolah pendidikan anak usia dini yang mana temannya kebanyakan dari anak normal pada umumnya. Disekolah itu anak saya yang autis tidak pernah mau menggerakkan tubuhnya ketika musik senam diputar disekolah itu. Namun setelah pindah ke Rumah Pintar Togaten, ada perubahan yang positif. Jika musik diputar anaknya
sudah mau menggerakkan tubuhnya mengikuti irama musik”.
Dari pengakuan ibu tersebut jelas sekali bahwa energi postif yang diberikan oleh
para guru berpengaruh pada anak-anak.
Di Rumah Pintar, ketika anak-anak mulai masuk ke lingkungan sekolah,
hal yang pertama mereka lakukan adalah menyapa mereka dengan memanggil
namanya, memeluknya dan bertanya tentang apa kabar mereka hari itu. Walaupun
tidak dijawab oleh anak-anak tersebut, para guru tetap melakukannya dengan
sabar dengan wajah yang hangat dan senyum yang bahagia. Itulah kegiatan aktual
itu memulai hari, ketika berlangsungnya proses terapi dan belajar maupun saat
pulang sekolah selalu disertai oleh senyum yang indah dan ramah.
Gambar 6: Guru memberi anak makan sambil bermain
Dengan senyuman inilah proses implementasi kegiatan aktual
dilaksanakan di sekolah anak berkebutuhan khusus ini. Berbagai macam bentuk
permainan menjadi sarana Rumah Pintar ini untuk mengembangkan kecerdasan
anak-anak didik mereka. Ada permainan bola, yang dilaksanakan dalam bentuk
menendang bola ataupun untuk melempar bola bagi yang terlihat senang melihat
bola. Ada juga permainan ayunan bagi yang senang mempergunakannya.
Biasanyamasing-masing anak begitu masuk arena permainan langsung menuju
tempat atau alat permainan yang mereka senangi. Ada juga permainan berjalan
diatas papan titian. Permainan ini dilakukan atas perintah dari terapis
masing-masing anak, sebab permainan ini membutuhkan pendampingan dan pengawasan
yang ketat dari para guru. Ada juga permainan melompat diatas
lingkaran-lingkaran yang dibentuk untuk dilompati. Permainan ini juga dilakukan atas
mengembangkan kecerdasan kinestetik anak autis. Melalui wawancara dan
angket, para orangtua dan guru mengakui bahwa sekolah Rumah Pintar Togaten
ini memiliki program untuk meningkatkan kecerdasan kinestetik anak autis
melalui permainan. Seluruh responden dalam pengisian angket (100%) setuju
dengan pernyataan “Sekolah ABK Togaten mempunyai program mengoptimalkan kecerdasan anak autis melalui permainan.” Penting sekali untuk melihat adalah jika dalam permainan anak berhasil melakukan perintah terapis maka anak akan
diapresiasi melalui tepuk tangan, ciuman atau pelukan dari terapis.
Bermain sebagai terapi bagi anak autis bukanlah isapan jempol yang
berlalu begitu saja tanpa hasil yang dapat diukur. Jelas sekali kemajuan dan
peningkatan kecerdasan anak-anak meningkat setelah mendapatkan terapi di
Rumah Pintar Togaten ini. Seorang ibu mengakui dalam wawancara “setelah
beberapa lama mengikuti terapi di Rumah Pintar Togaten, anak saya sudah mulai
dapat mempergunakan jari tangannya untuk menulis dan melukis”. Walaupun
menurut pengakuan ibu tersebut tulisan itu belum bisa terbaca dengan baik.
Pencapaian anak tersebut merupakan hasil dari terapi yang diterima. Dalam terapi
bermain melompat-lompatmelewati masing-masing lingkaran dengan satu kaki,
seorang anak sudah bisa melakukannya walaupun masih untuk 2 atau 3 lingkaran
tanpa terjatuh. Dalam jawaban angket mengenai “Kecerdasan anak autis
meningkat setelah mendapat terapi”, 30% mengatakan sangat setuju, 65% mengatakan setuju bahwa kecerdasan anak mereka meningkat setelah
mendapatkan terapi di Rumah Pintar tersebut. Para responden yang menjawab
mendapatkan terapi. Peningkatan ini sangat berpengaruh pada kebiasaan anak di
rumah dalam perilaku kesehariannya. Jawaban setuju dalam pemahaman peneliti
masih dalam tahap mulai merasakan adanya manfaat terapi untuk anak mereka.
Kemungkinan besar belum begitu terlihat perbedaan yang ada pada perilaku anak
mereka sendiri. Tetapi mereka tetap mengharapkan agar terapi yang diberikan
rumah pintar dapat meningkatkan kecerdasan anak mereka. Ada 5% yang tidak
setuju (1 orang), pasti jawaban ini dipengaruhi karena keterlambatan peningkatan
kecerdasan pada anaknya. Ini tidak bisa diacuhkan begitu saja walaupun hanya
satu orang anak. Pernyataan ini harus menjadi acuan untuk Rumah Pintar dan para
guru untuk lebih memicu dan mengembangkan terapi untuk meningkatkan
kecerdasan masing-masing anak.
Sejalan dengan peningkatan kecerdasan ini para responden mengatakan
bahwa perlu sekali sekolah memperhatikan kecerdasan yang menonjol pada
masing-masing anak. Tentu ini merupakan pengkhususan terapi bagi kecerdasan
yang ada pada masing-masing anak yang kemungkinan berbeda. Untuk
pernyataan “Diperlukan terapi khusus yang tertuju pada kemampuan atau karakteristik seorang anak”, 20% responden sangat setuju, 75% mengatakan
setuju dan 5% mengatakan tidak setuju. Pernyataan ini mencapai hasil yang
maksimal pada masing-masing anak dalam kemampuan kecerdasan mereka
masing-masing. Manfaat terapi sudah dirasakan oleh para responden yang terlihat
pada kemajuan anak meraka. Tentu kemajuan ini mendorong keinginan mereka
untuk menyentuh kecerdasan khusus pada anak mereka. Empat orang responden
kemajuan anak mereka. Lima belas responden menginginkan terapi ini tetapi tidak
terlalu yakin akan keberhasilannya atau mereka belum menemukan kecerdasan
anak mereka. Para responden ini walaupun pada dasarnya setuju tetapi perlu
diyakinkan bahwa kecerdasan khusus selalu ada pada setiap anak dan bisa
dikembangkan. Mungkin perkembangan atau peningkatannya bisa lambat dan
juga bisa cepat tergantung pada kemampuan masing-masing anak. Ada satu orang
responden yang tidak setuju, mungkin ini adalah orang yang sama dengan
keadaan diatas tadi, yang belum melihat kecerdasan khusus yang ada pada
anaknya.
Gambar 7: Salah satu anak yang sudah pintar memainkan puzzle
Orangtua dan guru sangat mendukung bahwa melalui terapi maka
kecerdasan anak autis akan meningkat. Namun demikian harus disadari bahwa
walaupun terapi mampu memaksimalkan kemampuan anak autis, untuk menjadi
betul-betul normal kembali merupakan hal yang teramat berat. Melalui observasi,
peneliti melihat bahwa terapi itu sangat membantu namun prosesnya sangat
Dalam mendukung pencapaian hasil yang maksimal pada anak-anak autis
dibutuhkan kerjasama antara orangtua dengan terapis di rumah pintar ini. Sangat
menjanjikan sekali jika kerjasama orangtua dan terapis terjalin maka
kemungkinan peningkatan kecerdasan anak akan semakin besar. Pernyataan ini
didukung oleh para responden, yang mana 60% mereka sangat setuju dan 35%
mengatakan setuju bahwa kerjasama ini mendukung kemajuan bagi anak-anak,
sedangkan 5% tidak setuju. Pernyataan 60% yang sangat setuju (12 orang)
menurut peneliti telah mendukung program sekolah dengan mengulanginya di
rumah dan hasilnya telah terlihat. Sementara 7 orang (35%) yakin pada kerjasama
namun belum mendukung melalui melanjutkan terapi itu di rumah. Jumlah satu
orang (5%) responden yang menjawab tidak setuju barangkali berpikir bahwa
pendidikan itu semata-mata adalah tugas sekolah oleh sebab itumereka
menyekolahkan anak mereka di sekolah ABK Togaten. Prinsip yang perlu kita
kutip dari hasil ini adalah perluterlaksana pertemuan orangtua dengan pihak
sekolah. Pertemuan ini diadakan untuk berbagi informasi tentang keadaan anak,
peran sekolah dan orangtua agar hasil maksimal bisa diperoleh.
3.2.2 Pembahasan dan Analisa
Dari hasil penelitian diatas disimpulkan ada beberapa implementasi
kegiatan aktual di rumah pintar Togaten Salatiga yang diinterpretasi dan dianalisa
sebagai berikut :
Pelatihan intensif dengan menggunakan hadiah yang berfokus terhadap
bagus maka diberikan apresiasi. Di Rumah Pintar hal ini telah dilakukan
walaupun hadiah yang mereka berikan hanya tepuk tangan dan ciuman untuk
anak-anak yang bertingkah laku baik. Dalam pengamatan peneliti para guru
melakukan terapi ini dengan kesabaran tinggi. Mereka melakukan pengulangan
satu kata sampai anak mengerti dan mau mengulanginya kembali. Saat terapi ini
dilakukan kontak mata harus tetap diusahakan karena anak autis tidak suka
dengan kontak mata dan lebih sering menjauhkan pandangan mereka dari lawan
bicaranya. Hal ini menjadi hambatan tersendiri, akan tetapi dengan kesabaran dari
para guru, sedikit demi sedikit terlihat kemajuan pada beberapa anak dalam
menerima perintah dari gurunya. Sulit sekali mendorong mereka untuk mampu
berbicara atau berkomunikasi. Bahasa yang dilatih tidak otomatis menjadi bahasa
komunikasi mereka. Apa yang mereka ketahui jarang sekali dipakai sebagai alat
komunikasi mereka. Begitulah kompleksitas persoalan komunikasi anak-anak
autis. Pada tataran praktis, para guru di Rumah Pintar Togaten telah melakukan
hal yang benar sesuai dengan apa yang disebut oleh Ing Darta R Wijaya, dalam
makalah Kesimpulan Mengenai ABA.8 Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) menggunakan teknik, yaitu seluruh tugas (target-target perilaku) dipecah ke dalam
tahap kecil. Belajar memerinci keterampilan ke dalam komponen kecil,
mengajarnya sampai terkuasai, memberi pengulangan, menyediakan prompt
(bantuan), menghilangkan ketergantungan dan pemberian pujian (reinforcement). Jika kita sadari ada yang disebut sebagai komunikasi antar pribadi dan dasar
interkasinya adalah tatapan mata atau kontak mata. Hal ini dipakai dalam
mengubah perilaku anak autis. Implementasi kegiatan aktual di rumah pintar jika
dihubungkan dengan beberapa terapi yang sudah ada menandakan adanya
keselarasan kegiatan aktual itu dengan teori terapi yang sudah ada.
Gambar 8: Guru melakukan kontak mata dengan murid
Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pensil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan ke dalam mulut, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi sangat penting
untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar. Di Rumah Pintar
anak dilatih untuk melepaskan sepatu, kaos kaki setibanya di sekolah,
meletakkannya ditempat yang sudah ditentukan, memakai kaos kaki dan sepatu
sepulang sekolah serta mengangkat tasnya sendiri. Hal ini terus dilatih sampai
mereka tahu bahwa itu harus mereka lakukan sendiri di sekolah maupun dirumah.
Terapi ini juga mereka lakukan dengan menggunakan bola-bola yang besar serta
yang kecil untuk dipermainkan sesuka hati anak autis tersebut. Hal ini dilakukan
agar otot halusnya berfungsi dengan baik. Handojo dalam bukunya “Autisma”
menyebutkan bahwa salah satu tujuan terapi adalah untuk melatih kemampuan
okupasi.9 Terapi ini berguna untuk kemandirian anak autis melakukan hal-hal
yang pribadi baginya.
Gambar 9: Anak bermain bola kecil
Banyak anak autis memerlukan bantuan untuk menciptakan kemampuan
supaya dapat mempertahankan percakapan, berhubungan dengan teman baru atau
bahkan mengenal tempat bermainnya. Seorang terapis dapat membantu untuk
menciptakan atau memfasilitasi terjadinya interaksi sosial. Ini dilakukan di
Rumah Pintar dengan upaya guru memperkenalkan teman-teman mereka. Guru
sering menyapa mereka dengan tatapan muka dan bersalaman serta ajakan
bergandengan tangan. Dalam berbagai artikel mengenai autisme, banyak
dijelaskan bahwa gangguan berbahasa dan berbicara pada autisme mempunyai
gradasi dari yang terparah, tidak bisa berbicara, hingga yang mampuberbicara
dengan baik. Hal ini juga tergantungdari perkembangan kognitif si penyandang.
Mulai dari intelegensia rendah hingga yang tinggi.10 Hovland berpendapat bahwa
9
Handojo. Y., (2006) :Autisma, Intermasa Delphie Bandi, Jakarta, hal. 205.
10
komunikasi antar pribadi sebagai suatu situasi interaksi, dimana individu
(komunikator) mengirim stimulus (perangsang) berupa simbol verbal untuk
mengubah perilaku individu-individu lain dalam situasi tatap muka.11
Implementasi kegiatan aktual yang dilakukan setiap saat ini memang
merupakan terapi agar anak bisa berkomunikasi dan tidak membuang muka ketika
berkomunikasi.
Dunia anak memang dunia bermain, dengan bermain ini anak lebih rileks
dalam menerima pelajaran. Bermain sambil belajar merupakan salah satu gaya
Rumah Pintar untuk mengajarkan komunikasi dan interaksi kepada anak autis.
Melalui berbagai macam permainan juga diharapkan agar kemampuan fisik
mereka menjadi semakin baik. Autis merupakan perkembangan perfasif yang
lambat. Banyak penderita autis yang memiliki penundaan perkembangan motorik
dan beberapa penderita yang lain memiliki massa otot yang rendah (lemah).
Terapi fisik dapat melatih kekuatan, koordinasi dan kemampuan dasar
berolahraga. Tidak jauh dari terapi bermain, terapi fisik juga dilakukan dengan
berbagai macam permainan yang ada. Melatih keseimbangan mereka dengan
berjalan di atas sehelai papan dengan bantuan guru. Ketepatan langkah dengan
melewati lingkaran-lingkaran kecil dengan satu kaki melompat-lompat. Ini sering
dilakukan ketika anak mulai jenuh dengan pelajaran lainnya.
Hal tersebut berarti bahwa bermain juga memegang peranan untuk
mengembangkan kemampuan intelektual, khususnya merangsang perkembangan
11
kognitif, membangun struktur kognitif, belajar memecahkan masalah, rasa
kompetisi dan percaya diri, menetralisir emosi negatif, menyelesaikan konflik,
menyalurkan agresivitas secara aman dan mengembangkan konsep diri secara
realistik. Secara fisik, bermain juga mematangkan kecakapan motorik kasar dan
halus, keterampilan jari jemari, serta koordinasi mata dan tangan. Kepekaan
pengindraan juga berkembang, menguasai keterampilan motorik dan menyalurkan
energi fisik. Pengembangan imajinasi dan kreativitas anak juga berkembang
melalui aktivitas bermain. Pendekatan multi disiplin dalam penggunaan terapi
bermain bagi anak autisme, yaitu dengan menggabungkan terapi bermain dengan
pendidikan khusus dan melatih keterampilan mengurus diri sendiri. Dengan
pemahaman dalam penelitian dan juga pendapat para ahli disimpulkan bahwa
kegiatan bermain berperan untuk mengembangkan kemampuan fisik, intelektual,
sosial danemosional. Bermain sangat membantu dalam mengembangkan
kemampuan anak autis. Dengan bermain kemampuan fisik anak autis diharapkan
dapat dicapai secara maksimal dan kecerdasan mereka bisa terbentuk lebih
maksimal.
Hal yang sangat penting menurut peneliti adalah sikap para pekerja sosial
(guru) dalam berbaur dan mendidik anak-anak autis tersebut. Selain kesabaran
yang memang luar biasa tinggi, juga mereka tetap ceria dan bahagia walaupun
menghadapi berbagai macam pola tingkah laku anak-anak tersebut. Keadaan
mereka ini juga menjadi sebuah terapi bagi anak-anak yang akan tetap merasa
bahagia. Setiap guru sepertinya diberikan tanggungjawab bagaimana
mengembangkan dan menjadikan anak-anak autis ini sehebat mungkin.
3.3. Deskripsi dan Analisa Peranan Kecerdasan Kinestetik Jasmani Melalui
Terapi Bermain terhadap pikiran dan perilaku anak autis.
3.3.1 Hasil Penelitian
Anak adalah anugerah Tuhan dan setiap anak pasti memiliki kekurangan
dan kelebihan masing-masing. Tidak berbeda dengan anak autis, mereka adalah
anak yang istimewa yang di balik kekurangan mereka, banyak kelebihan yang
bisa dikembangkan, itulah pengakuan Ibu Septi kepala sekolah Rumah Pintar
Togaten Salatiga. Dalam pengamatan peneliti secara langsung di lapangan terlihat
bahwa komunikasi dan interaksi merupakan kekurangan yang mendominasi dalam
diri anak autis. Namun seperti pengakuan Ibu Septi dibalik kekurangan mereka,
selalu saja ada kebiasaan atau kesenangan yang terlihat dari dalam diri setiap
anak. Ini adalah kecerdasan bawaan yang dapat ditemui pada anak-anak pada
umumnya. Menjawab pernyataan pada angket mengenai “Anak autis memiliki kecerdasan atau kemampuan khusus seperti anak lainnya”, 30% responden
menjawab sangat setuju, 55% setuju akan adanya kecerdasan khusus anak autis
dan ada 15% yang tidak setuju. Hal ini berarti bahwa sebagian besar (85%)
orangtua dan guru telah melihat potensi yang ada dalam diri setiap anak yang
terlihat di sekolah maupun dirumah ketika mereka bergerak atau bermain dan
melakukan sesuatu. Responden yang tidak setuju ada 15%, kemungkinan besar
pada anak yang lebih suka diam dari pada bergerak. Memang sangat sulit untuk
memperhatikan kemampuan anak jika dia kurang aktif dalam kesehariannya.
Peneliti yakin melalui hasil observasi bahwa setiap anak walaupun dia cenderung
banyak diam namun pasti memiliki kecerdasan yang lainnya. Ini harus
diperhatikan oleh Rumah Pintar atau juga para orangtua agar lebih kreatif
mengeluarkan kemampuan anak-anak masing-masing.
Apakah kelebihan atau potensi yang ada dalam diri anak-anak itu bisa
menjadi kelebihan tersendiri bagi mereka atau hanya sekedar kemampuan biasa
saja? Apakah kecerdasan anak dalam melukis bisa menjadikan dia sebagai
seorang pelukis yang terkenal dan lukisannya akan dibayar cukup mahal?
Mungkinkah bisa seorang anak autis yang senang sekali bernyanyi akan menjadi
penyanyi yang terkenal? Semua orangtua dan guru optimis bahwa anak autis
dengan kecerdasan yang ada pada mereka bisa menjadi kelebihan tersendiri bagi
anak autis. Untuk pernyataan “kecerdasan /kemampuan khusus itu bisa menjadi kelebihan tersendiri bagi anak autis“, para responden 40% menjawab sangat setuju dan 55% mengatakan setuju. Berarti ada 95% yang setuju kalau
kemampuan yang ada pada mereka bisa menjadi keahlian tersendiri. Jumlah tidak
setuju atas pernyataan ini ada 5%, apakah ini mengatakan bahwa responden sudah
kehilangan harapan atau kemajuan anaknya sendiri sangat lambat sekali. Jika kita
hubungkan dengan jawaban para orangtua ketika mereka diwawancarai semua itu
lebih kepada harapan anak mereka dimasa depan. Mereka mengharapkan bahwa
dengan kecerdasan masing-masing anak,hal itu bisa menjadi keahlian mereka
lain. Ibu Nunung mengatakan dalam wawancara “ Saya sangat mengharapkan bahwa anak saya ini akan menjadi penyanyi yang handal dan nantinya
kemampuan bernyanyinya itu bisa menjadi pekerjaan yang memberikan jaminan
hidupnya”. Harapan mereka ini bisa menjadi kenyataan dan bisa juga tidak. Melihat kenyataan zaman ini banyak sudah ABK yang berhasil dalam beberapa
profesi. Namun semua itu tidak mudah mereka peroleh, butuh motivasi,
perjuangan dan kerja keras.
Dalam kehidupan anak-anak di rumah pintar Togaten Salatiga ada
beberapa kecerdasan yang tertangkap oleh pengamatan peneliti. Sebut saja
misalnya Agra, seorang anak yang senang sekali memainkan pensil di kertas putih
walaupun yang dia lakukan belum memiliki arti yang jelas. Namun
kecenderungannya yang selalu senang melakukan kegiatan seperti itu,sepertinya
kecerdasan kinestetik melukis ada padanya. Harapan dan optimisme terhadap
mereka seakan tidak hanya harapan kosong tetapi bisa menjadi kenyataan yang
mengubah hidup mereka. Membandingkan 2 orang anak di Rumah Pintar ketika
mereka memainkan puzzle. Anak yang satu acuh tak acuh dengan permainannya.
Ketika dia memasukkan pasangan ke dalam puzzle walaupun tidak cocok maka
dia pikir itu sudah selesai. Guru harus mengulang-ulang mengatakan pada anak itu
bahwa bukan itu pasangannya. Kemudian dia mencoba lagi dan belum cocok,
coba lagi dan cocok. Kemudian dia akan berhenti meletakkan pasangan lainnya
sampai guru mengatakannya kembali. Duduk di sebelahnya, seorang anak
memainkan 3 buah puzzle yang berbeda yang pasangannya dicampuradukkan.
letakkan salah dan dia akan mencari sendiri pasangan yang cocok tanpa harus
diperintah oleh gurunya lagi. Dia cari hati-hati, dia coba dan jika belum tepat
maka akan dia cari kembali sampai menemukan pasangan yang tepat. Perbedaan
ini memberikan pemahaman peneliti terhadap anak autis. Ternyata anak-anak
autis kuat dalam dalam ingatan atas apa yang dia ketahui dan konsisten dengan
apa yang telah dilakukan. Orangtua mengakui dalam jawaban angket bahwa anak
autis memang kuat dalam ingatan yang sudah diketahuinya. Dalam menjawab
pernyataan “anak autis sangat kuat dalam kemampuan logika, ingatan dan
konsistensialisme“ 15% mengatakan sangat setuju, 60% setuju dan 25%
mengatakan tidak setuju.Kalau kita gabungkan ada 75% yang setuju akan
pernyataan ini. Dengan pernyataan ini jelas sekali kalau anak autis itu bukanlah
tidak mempunyai kemampuan hanya perlu di latih. Sedangkan 25% tidak setuju
bukan berarti pernyataan ini gagal. Banyak hal yang bisa kita pahamai kalau tidak
semua anak autis itu mempunyai kemampuan kognitif. Memang sebagian anak
autis itu mempunyai kemampuan kognitif dibawah sekali. Fakta yang lain lagi
yang sejalan dengan keterangan diatas adalah mereka disiplin dengan apa yang
telah diajarkan dan telah diketahuinya. Untuk pernyataan “anak autis sangat
displin dengan apa yang diajarkan kepadanya“65 % mengatakan setuju yang yang terbagi dalam 15% sangat setuju dan 50% setujuserta 35% mengatakan tidak
setuju. Kondisi ini mengatakan bahwa sangat sulit melihat dan memastikan perkembagan anak autis. Kesulitan ini tetap memberi peluang karena dari jawaban
responden masih lebih banyak yang optimis dengan kemampuan anak mereka.
membangunkan mimpi untuk melihat kenyataan bahwa nantinya akan ada anak
yang menggantikan Albert Einstein, seorang anak autis yang menjadi seorang
ahli. Persoalannya adalah bagaimana agar semua harapan ini bisa menjadi
kenyataan.
Salah satu hambatan bagi anak autis adalah ketidakselarasan pikiran dan
perilaku mereka. Diyakini bahwa keselarasan ini harus mereka miliki agar potensi
yang ada dalam diri mereka bisa mereka nyatakan melalui tangan dan tubuh
lainnya. Mewawancarai beberapa orangtua meyakinkan dan menumbuhkan
kepercayaan kalau keselarasan pikiran dan perilaku itu bisa dibentuk dalam diri
anak autis. Cara yang mereka lihat mampu melakukannya adalah terapi bermain
yang bisa meningkatkan kecerdasan kinestetik anak autis yang akan berpengaruh
pada keselarasan pikiran dan perilaku anak. Ibu Ana sebagai ketua Yayasan
Rumah Pintar ini dalam wawancara menyebutkan bahwa “bermain secara teratur
dapat menjadi pola bagi hidup anak yang kemudian akan meningkatkan
kecerdasannya”. Para orangtua setuju bahwa dengan kecerdasan kinestetik yang
dilatih dengan bermain akan menyelaraskan pikiran dan perilaku anak autis.
Kecerdasan kinestetik jasmani tidak terlepas dari dunia bermain yang
menonjolkan kemampuan fisik seseorang. Bermain sangat identik dengan
kehidupan anak-anak. Dunia anak sepertinya hambar tanpa adanya permainan
dalam hidupnya. Bagi anak-anak autis bermain itu juga sesuatu yang
menyenangkan, namun bagi anak autis bermain itu membutuhkan pertolongan
orang lain, anak autis bisa bermain dan mengembangkan kemampuan kinestetik
jasmaninya sendiri.
Dalam pengakuan para orangtua dan guru banyak sekali pengaruh
permainan dalam menjadikan anak mereka lebih lugas dari sebelumnya dalam
melakukan sesuatu hal secara mandiri. Dalam wawancara dengan ibu Nur jelas
dikatakannya “ setelah mendapat terapi bermain anak saya mulai mampu
mengambil gelas sendiri untuk minum” Memang para orangtua menyadari bahwa proses yang harus dilalui oleh anak mereka sangatlah sulit dan membutuhkan
kerja keras baik oleh anak itu sendiri maupun dari pihak guru. Keberadaan anak
autis menjadikan proses bermain itu kadang menjadi sesuatu yang sulit sekali bagi
mereka. Kita berikan contoh, bagi anak normal misalnya bukanlah sesuatu yang
menyulitkan bagi kebanyakan mereka ketika berjalan diatas sehelai papan. Bagi
anak autis pada umumnya itu membutuhkan keberanian, fokus dan keseimbangan
yang terlatih. Begitu juga ketika mereka (anak autis) diperintah untuk melewati
lingkaran-lingkaran kecil dengan satu kaki merupakan perjuangan yang sangat
berat. Proses yang akan dilalui oleh anak ketika bermain selain secara otomatis
menguatkan dan melatih kelugasan tubuhnya namun akan membantu juga untuk
mensinkronkan pikiran dan perilaku mereka. Secara sederhana ketika anak autis
itu bermain tentu dengan pertolongan guru, hal pertama yang akan diterimanya
adalah perintah. Perintah melempar bola, menendang bola, berjalan diatas sehelai
papan, atau juga berjalan didalam lingkaran yang dibentuk. Perintah ini bila
dilakukan secara berulang-ulang akan masuk juga kedalam otak si anak sehingga
contoh bagaimana melakukannya. Keselarasan perintah yang diterima dengan apa
yang dilihat sebagai contohnya akan membentuk pola bagi anak sehingga ketika
perintah itu diulang lagi maka anak akan berpikir untuk melakukan seperti yang
dicontohkan. Dengan latihan yang sungguh akan terus membentuk keselarasan
pikiran dan perilakunya. Melatih anak autis itu sebaiknya tidak hanya dilakukan
oleh pihak sekolah tetapi juga termasuk di lingkungan rumah mereka, yang
sebaiknya juga menjadikan terapi bermain sebagai aktifitas mereka untuk
meningkatkan kecerdasan kinestetik anak yang akan menjadikan pemikiran yang
selaras bagi sianak.
Ada beberapa stimulus gerak untuk meningkatkan kecerdasan kinestetik
jasmani anak autis yang akan menyelaraskan pikiran dan perilaku mereka.
1. Aktivitas menggerakkan tali/pita secara bebas,memasukkan benang ke dalam
jarum, melempar dan menangkap bola, menendang dan menghentikan bola..
Hal ini tentu melatih koordinasi mata, tangan dan jari. Jika koordinasi ini
tidak tepat maka benang tidak akan bisa masuk ke dalam lubang guli-guli
tersebut. Menendang bola misalnya jika koordinasi otak, mata dan kaki tidak
sinkron maka kaki tidak akan mengenai bola ketika ditendang. Bagi anak
autis dalam pengamatan peneliti hal ini perlu latihan yang terus-menerus.
Latihan yang terus-menerus itu terbukti menjadikan anak autis mampu
Gambar 10: Anak memasukkan benang ke dalam bulatan kecil
2. Aktivitas stimulasi kecerdasan kinestetik gerak kelincahan untuk anak autis
antara lain adalah berlari bolak-balik memindahkan balok/abjad dan menari
mengikuti irama musik. Sebagai contoh misalnya anak diperintah untuk
berlari di dalam lingkaran yang dibentuk di arena bermain. Ketika si anak
berhasil berlari sampai ke ujung dia harus mengambil bagian dari puzzle yang
akan diletakkan di bagian yang tepat. Kemudian dia kembali berlari ke ujung
yang satu untuk melakukan hal yang sama. Kecepatan dan ketepatan menjadi
sumber keberhasilan melakukan kegiatan ini.
Gambar 11: Seorang guru mendampingi anak bermain berlari bolak-balik melewati lingkaran untuk memainkan bagian-bagian puzzle
3. Aktivitas stimulasi kecerdasan kinestetik koordinasi mata dan tangan
(keterampilan) antara lain adalah permainan puzzle, melukis, membuat bola
disebut diatas tiba di sekolah anak-anak akan diberikan pekerjaan untuk
melepaskan sepatu dan kaos kaki dan meletakkannya ditempat yang telah
disiapkan untuk masing-masing anak. Sepulang sekolah anak akan diperintah
untuk kembali memakai kaos kaki dan sepatu masing-masing yang diambil
dari tempat sepatu masing-masing. Memakai sepatu dan mengikat tali tentu
sangat membutuhkan keselarasan otak, mata dan tangan. Memang dalam
pengamatan peneliti banyak anak yang kesulitan dalam melakukannya. Bagi
anak-anak yang mengalami kesulitan akan menerima bantuan dari guru.
Sementara itu sebagian anak telah mampu melakukannya dengan cepat dan
tepat.
Gambar 12: Tempat sepatu setiap anak
4. Aktivitas stimulasi kecerdasan kinestetik berupa gerak keseimbangan antara
lain adalah berjalan pada papan titian, berjalan dengan membawa buku di atas
kepala dan menirukan gerakan pesawat terbang. Berjalan diatas sehelai papan
titian, merupakan hal yang sulit bagi anak autis. Menjaga keseimbangan
tubuh bagi sebagian anak merupakan sesuatu yang sangat sulit dilakukan.
Guru harus membantu anak berlatih bermain dengan berjalan diatas papan
Menjaga keseimbangan ini tentu membutuhkan koordinasi yang kuat antara
otak, kaki dan papan titian. Belum lagi melawan ketakutan walaupun papan
titian itu hanya setinggi ½ meter saja.
Gambar 13: Papan titian
3.3.2 Pembahasan dan Analisa.
Dengan hasil penelitian diatas ditemukan peran kecerdasan kinestetik
jasmani untuk menyelaraskan pikiran dan perilaku anak autis yang diinterpretasi
dan analisa sebagai berikut .
Mengembangkan kemampuan kinestetik merupakan suatu keharusan demi
pengembangan seluruh kecerdasan anak. Kecerdasan kinestetik adalah
kemampuan menyelaraskan pikiran dengan badan sehingga apa yang dikatakan
oleh pikiran akan tertuang dalam bentuk gerakan-gerakan badan yang indah,
kreatif, dan mempunyai makna. Penjelasan kecerdasan kinestetik jasmani
dikemukakan oleh Armstrong yang menyatakan bahwa kecerdasan kinestetik
mengekspresikan ide dan perasaan serta keterampilan menggunakan tangan untuk
menciptakan atau mengubah sesuatu.12
Mengubah sesuatu dan menjadikannya mempunyai makna merupakan hal
yang penting dalam kecerdasan kinestetik ini terutama bagi anak autis. Banyak
sekali gerakan anak autis yang tidak bermakna yang tentu bukan hasil dari
keselarasan pikirannya. Ketika gerakannya bermakna hal itu menjadikan gerakan
itu sebagai sebuah seni yang pantas untuk diapresiasikan. Ketika gerakan itu
menjadi seni maka gerakan itu menjadikan seseorang yang melakukannya menjadi
ahli didalam gerakan tersebut. Hal inilah yang harus dicapai untuk menjadikan
anak autis menjadi ahli didalam melakukan gerakan yang bermakna. Kecerdasan
kinestetik adalah keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan
ide dan perasaan, keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan
sesuatu,dan kemampuan fisik untuk mengatakan sesuatu. Hal senada dikatakan
oleh Gardner yang mengemukakan bahwa kecerdasan kinestetis jasmani adalah
kemampuan menggunakan seluruh tubuh dan komponennya untuk memecahkan
permasalahan, membuat sesuatu atau menggunakan beberapa macam produksi,
dan kordinasi anggota tubuh dan pikiran untuk menyempurnakan penampilan
fisik.13 Dengan sempurnanya penampilan fisik maka gerakan-gerekan bermakna
itu menjadi seni yang tinggi.
Kecerdasan kinestetik lebih menekankan pada kemampuan seseorang
dalam menangkap informasi dan mengolahnya sedemikian cepat, lalu
12
Amstrong. Thomas Ph.D., (2002) :Kinds Of Smart, Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence, Gramedia, Jakarta, hal. 33.
13
dikonkritkan dalam wujud gerak, yakni dengan menggunakan badan, tangan dan
kaki. Proses kerja kecerdasan kinestetik harus distimulasi secara
berkesinambungan dengan aktivitas dan permainan yang menyenangkan sekaligus
menantang bagi anak. Komponen-komponen inti dari kecerdasan kinestetik adalah
kemampuan fisik yang spesifik seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan,
kekuatan, kelenturan dan kecepatan maupun kemampuan menerima rangsang.
Senada dengan pembahasan diatas, Musfiroh menyebutkan bahwa kecerdasan
gerak-kinestetik jasmani berkaitan dengan kemampuan menggunakan gerak
seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaannya serta keterampilan
menggunakan tangan untuk mencipta atau mengubah sesuatu.14 Gardner juga
mendukung pernyataan ini dengan menyebutkan bahwa kecerdasankinestetik ini
meliputi kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan,
keterampilan, kekuatan, kelenturan, kecepatan dan keakuratan menerima
rangsang, sentuhan, dan tekstur. Menurut Einon bentuk kecerdasan kinestetik
memungkinkan terjadinya kecerdasan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan
dalamaktifitas seperti menari, olah raga dan drama.15 Kecerdasan kinestetik adalah
kemampuan untuk mengolah tubuh serta melakukan pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan anggota tubuh tertentu. Tanpa keselarasan tidak
mungkin gerakan-gerakan itu terbentuk menjadi gerakan-gerakan yang bermakna.
14
Musfiroh.Tadkiroatun., (2008) : Cerdas Melalui Bermain, Cara Pengasuh Multiple Intellegences Pada Anak Usia Dini, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 50.
15
Kecerdasan kinestetik jasmani menyelaraskan pikiran dan perilaku anak autis bisa
diuji dalam gerakan tangan dan tubuh mereka yang bermakna.
Stimulasi kecerdasan kinestetik merupakan salah satu bentuk stimulasi
yang sangat penting karena menentukan kecerdasan yang lain.Stimulasi ini
dilakukan dengan bermain seperti yang dikatakan oleh Catron dan Allen bahwa
kegiatan bermain mempengaruhi aspek perkembangan anak seperti kesadaran diri,
emosional, komunikasi, kognisi, dan ketrampilan motorik.16 Dalam bermain,
respon yang ditunjukkan oleh anak merupakan gerakan otot-otot tubuh sebagai
akibat dari adanya perintah dari sel saraf pusat (otak). Itulah yang kita
kecerdasan kinestetik anak autis itu harus dilatih karena sangat bermanfaat bagi
banyak kecerdasannya. Sebelum merespon perintah tentu kognitif si anak akan
dilatih terlebih dahulu. Bagi anak autis pelatihan ini bisa dilakukan berulang demi
keberhasilannya namun tergantung pada kepekaan kognitif si anak. Pelatihan ini
dilakukan dengan bermain karena dengan bermain inilah anak autis berusaha
melatih koordinasi kognitif, otot dan gerak. Bentuk permainan itu menurut Wiyani
ada seperti permainan fungsional yang merupakan dasar kecerdasan kinestetik
dengan melakukan gerakan otot berulang-ulang.17 Ada juga permainan konstruktif
yang melatih kemampuan motorik halus dengan kegiatan menggambar dan
melukis. Tidak jauh dari apa yang disebut oleh Solehuddin mengatakan bahwa
salah satu tujuan dari bermain adalah mengembangkan ketrampilan-ketrampilan
16
Catron. Carrol. E & Allen. Jan., (1999) :Early Childhood Curriculum : A Creative Play Model,
Merill Prentice Hall, New Jersey, hal. 76.
17
motorik anak.18 Sebab dalam bermain biasanya mendorong anak untuk bergerak,
seperti melompat, menari, berputar,dll. Dengan pemahaman tersebut bermain itu
merupakan stimulus meningkatkan kecerdasan kinestetik. Dalam hal ini
permainan yang fungsional dan konstruktif agar morik kasar dan halus semua
dapat befungsi dengan baik.
Tidak ada respon gerakan yang tidak melalui perintah dari otak,kecuali
gerak refleks atau gerakan spontan otot-otot tubuh seperti gerakan tangan yang
cepat karena tersundut rokok atau gerakan cepat dari otot-otot kaki karena paku
terinjak. Oleh sebab itu, jika stimulasi kinestetik yang kita berikan pada anak
autisbanyak melibatkan gerakan otot-otot tubuh, maka akan semakin banyak pula
sel-sel otak yang terstimulasi dan dengan demikian semua potensi kecerdasan
yang berada di seluruh lapisan otak itu akan ikut tumbuh dan berkembang. Begitu
banyak potensi perkembangan kecerdasan bagi anak kalau kecerdasan
kinestetiknya bisa berkembang dengan baik.
Pada hakikatnya, sel-sel otak sangat peka terhadap gerakan-gerakan
otot-otot tubuh. Gerakan tubuh sangat efektif untuk memperbaiki sel-sel otak yang
rusak. Sebagai contoh misalnya kalau ada kecelakaan yang mengakibatkan adanya
kerusakan pada sel-sel yang rusak. Setelah mendapat pengobatan medis
penyembuhan yang signifikan itu adalah melalui gerakan tubuh yang terlatih.
Begitu juga pada bagian tubuh yang rusak misalnya bisa dilatih dengan gerakan
tubuh yang teratur. Tidak ada obat sehebat apapun di dunia ini yang dapat
18
menyembuhkan sel-sel otak yang telah rusak yang mengakibatkan terjadinya
kelumpuhan pada sebagian anggota tubuh, dengan terapi gerakan, sel-sel otak
yang rusak tadi akan berangsur-angsur pulih dan anggota tubuh yang lumpuh
itupun akan sembuh dan bahkan akan kembali normal jika kerusakannya tidak
terlalu parah. Paradigma kecerdasan majemuk melihat kecenderungan bergerak
sebagai kecerdasan dan disebut kecerdasan kinestetik. Kecerdasan kinestetik ini
sangat menolong anak autis untuk hidup atau bergerak di dalam pola yang teratur.
Dalam kecerdasan kinestetik jasmani, komunikasi itu utamanya akan terlihat
melalui gerakan-gerakan tubuh atau otot. Seperti disebut diatas gerakan otot itu
disebabkan adanya perintah dari otak yang mana otak juga mendapat perintah dari
luar melalui bahasa lisan dan gerak.
3.4. Refleksi Teologis
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesedihan orangtua yang anaknya sendiri
diketahui autis sangatlah wajar. Semua orangtua menginginkan anak yang
dilahirkannya menjadi anak yang normal, sehat, pintar dan berbakat. Anak yang
lahir seperti ini akan menjadikan orangtuanya bangga telah memiliki anak yang
luar biasa? Dengan kenyataan bahwa anak yang dikasihinya adalah autis, maka
akan ada kesedihan, bergumul dan penuh dengan pertanyaan. Bertanya pada diri
sendiri, bertanya pada keluarga dan bertanya pada Tuhan. Kenapa harus aku yang
diberikan beban seberat ini? Tidak sedikit juga keluarga berpikiran bahwa autis itu
berhubungan dengan kesalahan atau dosa masa lalu. Hal ini sangat menyiksa,