• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II REGULASI PENGANGKUTAN ORANG DAN BARANG DI

B. Regulasi Pengangkutan Orang dan Barang Sebelum

Regulasi pengangkutan udara sebelum reformasi lebih banyak diatur dalam ordonansi pengangkutan udara baik dari segi tanggung jawab pengankutan udara dan pengaturan-pengaturan lainnya.

Pengaturan mengenai penerbangan sebelum reformasi masih ada sejumlah masalah yang terjadi seperti mengenai tanggung jawab misalnya yang masih diatur dalam ordonansi yang dibuat dalam tahun 1939 yaitu ordonansi pengangkutan udara (Stb. 1939 No.100) yang didalamnya bukanlah materi angkutan udara secara keseluruhan. Hal ini dapat dimengerti kalau kita lihat bahwa ordonansi tersebut merupakan suatu terjemahan dari konvensi warsawa tahun 1929, yang berjudul “ konvensi untuk menyeragamkan beberapa ketentuan pada angkutan udara nasional”.

Jelaslah yang diatur dalam konvensi warsawa hanya beberapa ketentuan khususnya saja mengenai tanggung jawab pengangkut udara dan dokumen angkutan udara. Sehingga mungkin akan lebih tepat apabila konvensi tersebut dinamai “tanggung jawab pengangkutan udara internasional”. Meskipun dalam ordonansi pengangkutan udara telah ditambahkan bebrapa ketentuan khusus

mengenai angkutan barang, dilihat dari segi sistematiknya pencangkokan ini kelihatan janggal.11

a. Adanya kecelakaan yang terjadi,

Pasal pokok dari Ordonansi Pengangkutan Udara mengenai tanggung jawab pengangkutan udara dalarn hal pengangkutan penumpang adalah pasal 24 ayat (1) yang berbunyi :

“Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya, dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”.

Dan pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal itu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

b. Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara,

c. Kecelakaan ini harus terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang.

Sedangkan prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :

a. Prinsip Presumption of Liability

Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut

11

Prof.E.Suherman,SH.2000, Aneka Masakah Hukum Kedirgantaraan(himpinan makalah 1961-1995),jakarta,mandar maju, hal:155

udara tidak bertanggung jawab hanya bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu.

Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dan pihak pengangkut. Prinsip ini dapat disimpulkan dan pasal 29 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara yang berbunyi :

“Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu”

Prinsip ini oleh pihak pengangkut dirasakan terlalu berat, sebab pihak pengangkut seolah-olah harus atau selalu bertanggung jawab apabila teradi kerugian pada penumpang.

b. Prinsip Limitation of Liability

Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah Jiatur dalam Ordonansi Pengangkutan, Udara maupun Konvensi Warsawa. Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan Udara, pasal yang mengatur pembatasan tanggung jawab untuk penumpang adalah pusal 30 ayat (1), yaitu :

“Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap fiap– tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang, disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai jumlah dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500,-). Jika ganti kerugian ditetapkan sebagai suatu bunga, maka jumlah uang pokok, yang dibungakan tidak boleh melebihi jumlah di alas”.

Dari dua prinsip pokok tersebut di atas ada dua penyimpangan yaitu: Pengangkutan bertanggung jawab sampai jumlah yang dituntut tadi tidak terikat pada batas maksimum yang ditentukan, apabila ada kesalahan berat dari pengangkut dan ada perubahan sengaja dari pengangkut untuk menimbulkan kerugian.

Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung jawabnya. apabila Pengangkut telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian yang timbul. Pengangkut tidak mungkin mengambil tindakan yang disebut diatas. Kerugian timbul karena kesalahan pada pengemudian, handling pesawat atau navigasi dan semua tindakan yang perlu untuk mencegah timbulnya kerugian.

Selain itu dalam ordonansi juga mengatur mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah :

“Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati”.

Pasal 28 menentukan bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi :

“Jika tidak ada persetujuan ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang”.

Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.

Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya. Pasal 36 berbunyi :

“Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus”.

Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri.

Namun demikian masih banyak permasalahan dari undang-undang tersebut yang apabila kita perhatikan Bab X tentang Angkutan Udara terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur secara rinci tentang hal-hal yang seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, sebagaimana diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara No. 100 Tahun 1929, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 . Ketentuan-ketentuan tersebut berisi materi-materi yang bersifat khusus dan teknis dari masalah pengangkutan udara yang bersifat hukum perdata, karena itu tidak seharusnya diatur dalam undang-undang tentang penerbangan yang bersifat umum dan lebih bersifat hukum publik. Oleh karena itu, hal-hal demikian diatur tersendiri seperti dalam Ordonansi Pengangkutan Udara untuk lingkup nasional dan dalam Konvensi Warsawa untuk lingkup internasional.

Selain ordonansi dan konvensi-konvensi, regulasi sebelum roformasi juga ada undang-undang dalam negeri yang baru diterbitkan pada saat itu yaitu Undang-Undang No.15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan , yaitu undang-undang yang mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan dunia penerbangan secara umum dan bersifat hukum publik (publiekrechtelijke). Undang-undang tersebut menjadi payung (unbrela provision/act) bagi berbagai peraturan perundang-undangan organik yang mengatur secara rinci tentang hal-hal yang yang berkaitan dengan penerbangan secara khusus. Dalam Pasal 74 butir a Undang-Undang Penerbangan ini disebutkan bahwa Ordonansi Pengangkutan Udara dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 ini atau belum diganti dengan Undang-Undang yang baru.

Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan bertujuan terselenggaranya penerbangan adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat dengan mengutamakan dan melindungi penerbangan nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, sebagai pendorong, penggerak, dan penunjang pembangunan nasional serta mempererat hubungan antar bangsa.

Dalam undang-undang No.15 tahun 1995 tentang penerbangan Pasal 43 mengantur mengenai tanggung jawab sebagai penyedia jasa angkutan yang berbunyi:

"(1) Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggung jawab atas;

1. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; 2. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;

3. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.

(2) Batas jumlah ganti rugi terhadap tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah".

Isi ketentuan Pasal 43 Undang-Undang 15/1992 di atas intinya sama dengan isi Pasal 24, 25, dan 28 Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, yang juga sama dengan isi Pasal 17, 18, dan 19 Konvensi Warsawa 1929 tentang pengangkutan udara internasional. Demikian juga isi Pasal-pasal 41, 45, dan 46 sama dengan apa yang diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara maupun Konvensi Warsawa. Hal ini menunjukkan kerancuan dari Undang-Undang 15/1992, apakah dia merupakan undang-undang yang bersifat umum yang akan menjadi payung atau cantolan dari semua peraturan perundang-undangan organik di bidang penerbangan yang bersifat lebih khusus ataukah merupakan undang-undang yang mengatur secara rinci semua hal yang berkaitan dengan penerbangan. Apabila merupakan undang-undang yang mengatur secara rinci, itu pun tidak cukup karena ternyata tidak semua hal angkutan udara dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penerbangan diatur secara rinci dan lengkap. Masih sangat banyak hal yang berkenaan dengan angkutan udara tidak diatur, demikian juga di bidang-bidang lainnya.

Perlu pula dicatat tentang Ketentuan Peralihan (Bab XIV), Pasal 74, yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Artinya, apa yang telah diatur dalam Undang-undang 15/1992 berkenaan dengan angkutan udara, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian jelas bahwa memang Undang-undang 15/1992 mengatur juga secara rinci (sebagian) tentang pengangkutan udara yang bersifat hukum keperdataan.

Antara pelaku usaha atau perusahaan jasa penerbangan dan konsumen atau penumpang memiliki hubungan hukum yang dituangkan ke dalam bentuk tiket yang klausulnya sudah ditentukan oleh pelaku usaha dan pihak penumpang harus menyetujui terhadap isi perjanjian tersebut. Didalam tiket juga tercantum bahwa penumpang dianggap telah mengerti, membaca dan menyetujui perjanjian yang

tercantum dalam tiket. Klausul ini sangat membatasi tanggung jawab pelaku usaha jasa penerbangan dan dapat merugikan konsumen atau penumpang. Walaupun secara normative telah terlindungi, tetapi pada kenyataannya masih banyak dijumpai keluhan dari penumpang . Permasalahan yang muncul adalah bahwa klausul yang tercantum di dalam tiket ini sangat merugikan penumpang apabila terjadi bentuk kasus yang menyangkut kerugian penumpang. Salah satunya adalah terjadinya bagasi penumpang tercatat yang terlambat yaitu tidak datang bersamaan dengan penumpang , barang yang hilang atau barang yang rusak. Penumpang tidak pernah terpuaskan hak-haknya apabila terjadi kasus seperti hal - hal yang menjadi ketidakpuasan penumpang adalah penumpang diminta menunggu oleh perusahaan jasa penerbangan untuk mencari barang sampai Batas waktu yang tidak ditentukan, nilai barang yang menjadi ganti rugi atau kompensasi pelaku usaha tidak sesuai dengan nilai ganti rugi sesuai dengan ketentuan perundang - undangan yang berlaku. Kehilangan dan keterlambatan barang sudah diatur pertanggungjawabannya sesuai dengan Undang - undang No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang angukutan udara.

Penumpang dalam posisi yang lemah karena terikat perjanjian baku seperti tersebut dalam tiket dan terdapat klausul yang membatasi tanggung jawab pelaku usaha serta adanya beberapa pasal Undang - undang No. 15 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 yang tidak tercantum dalam tiket yang merugikan penumpang.

Di Indonesia pada masa orde lama yang cenderung sosialis semua tarif penumpang pesawat udara penerbangan sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Tarif penumpang pesawat udara Garuda Indonesian Airways (GIA) ditetapkan lebih tinggi dibandingkan dengan tarif penumpang perusahaan swasta penerbangan lainnya, bahkan untuk tarif kelas utama pesawat udara Garuda Indonesian Airways yang menggunakan Airbus diperkenankan 15% lebih tinggi dibandingkan dengan tarif biasa. Pada masa orde lama campur tangan pemerintah tidak terbatas pada tarif penumpang pesawat udara penerbangan dalam negeri

maupun penerbangan internasional, tetapi juga terhadap tarif pelayanan jasa kebandarudaraan seperti pelayanan penumpang penerbangan internasional, tarif penumpang penerbangan dalam negeri, bea pendaratan pesawat udara, bea penempatan pesawat udara dan penyimpanan pesawat udara, bahkan pada bea pelayanan penerbangan (BP2).

Dokumen terkait