• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5. Regulasi Sektor Industri Pengolahan di Provinsi Jawa Barat

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat pada tahun 1993-1995 sebelum terjadinya krisis ekonomi tumbuh rata-rata sebesar 8,16 persen terutama disumbang oleh sektor industri dan jasa. Kemudian pada pertengahan tahun 1997 laju pertumbuhan ekonomi terkontraksi sampai angka 4,87 persen dan titik terparahnya terjadi pada tahun 1998 sebesar -17,17 persen yang terutama diakibatkan oleh terpuruknya sektor keuangan khususnya perbankan dan industri pengolahan. Selanjutnya pada masa pemulihan, mulai terjadi kenaikan kembali secara bertahap seiring dengan makin membaiknya kondisi ekonomi nasional terutama semakin terkendalinya sektor keuangan, jasa perdagangan dan industri pengolahan.

Provinsi Jawa Barat memiliki sektor yang dominan (memiliki peranan dan pertumbuhan sektor di atas rata-rata) adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor dominan dan potensial merupakan kegiatan utama yang perlu dikembangkan dalam rangka membangun struktur ekonomi yang kuat, yaitu : agribisnis, industri pengolahan, kelautan, industri jasa dan pariwisata, yang ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur dan manusia yang professional. Untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu sektor perekonomian khususnya sektor industri pengolahan yang akan dibahas lebih lanjut dibutuhkan regulasi dari pemerintah sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan.

Kebijakan pembangunan Provinsi Jawa Barat secara garis besar ditandai oleh pendekatan kewilayahan dan sektoral, yang secara sinergis diharapkan dapat

menjadi pedoman bagi seluruh pelaku kunci pembangunan. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2003-2007, sesuai dengan tahun data yang digunakan dalam penelitian ini, kebijakan pembangunan yang ditetapkan untuk bidang perekonomian ialah mengembangkan perekonomian yang berbasis ekonomi kerakyatan, persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar yang bersifat monopoli. Kebijakan pembangunan bidang perekonomian yang kedua adalah mengembangkan enam kegiatan utama yang salah satu diantaranya adalah pengembangan industri di kawasan andalan.

Dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, untuk mewujudkan suatu kawasan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan sekitarnya, pengembangan industri menjadi salah satu program pengembangan kawasan andalan seperti yang tertuang dalam paragraph 3 mengenai Kawasan Andalan huruf b Pasal 62.

Dalam pasal 63 (2) Pengembangan industri sebagaimana dimaksud dalam huruf b Pasal 62 Peraturan Daerah ini, dilakukan melalui kegiatan :

a. identifikasi dan pengembangan kelompok industri;

b. penanganan produk-produk industri berbasis bahan baku lokal (resources

based);

c. mendorong masuknya investasi melalui regulasi dan perizinan; d. pengembangan jaringan pemasaran produk-produk industri;

e. mengarahkan pengembangan kegiatan industri di lokasi kawasan industri (industrial estate).

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2003 tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Provinsi Jawa Barat Tahun 2003-2007, ada beberapa poin kebijakan yang sangat mendukung berkembangnya sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat. Diantaranya strategi yang diambil untuk melaksanakan kebijakan pembangunan ekonomi adalah mengembangkan kegiatan industri yang berbasis sumber daya lokal dengan sistem ekonomi kerakyatan, memperkuat keterkaitan usaha untuk memantapkan struktur ekonomi, menyederhanakan berbagai regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi agar sektor industri pengolahan terus berkembang, dan juga pemerintah memberikan kesempatan berusaha melalui penguatan usaha kecil dan menengah baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Kebijakan dan strategi pembangunan Provinsi Jawa Barat dijabarkan ke dalam program bidang perindustrian dan perdagangan sebagai berikut :

1. Program Penataan dan Penguatan Struktur Keterkaitan Industri. a. Tujuan

1) Terciptanya industri yang memanfaatkan bahan baku lokal, efisien, dan berdaya saing.

2) Meningkatkan keterkaitan usaha industri hulu sampai hilir yang berbasis bahan baku lokal.

4) Meningkatkan produk-produk industri manufaktur yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di daerah.

b. Sasaran

1) Berkembangnya agroindustri.

2) Tersedianya bahan baku lokal yang memenuhi standar bagi industri. 3) Terjaminnya produk yang memenuhi standard an ekonomis.

4) Tersedianya akses pasar.

5) Terwujudnya industri pengolahan yang berbasis sumber daya lokal serta berdaya saing tinggi.

6) Terwujudnya efisiensi pemanfaatan sektor-sektor industri.

7) Terisinya mata rantai industri serta terwujudnya keterkaitan yang saling mendukung antarsektor ekonomi lainnya.

8) Berkembangnya produk industri pengolahan unggulan daerah. 9) Berkembangnya kluster-kluster industri pengolahan.

10) Terpenuhinya kebutuhan produk industri lokal maupun regional.

11) Terjalinnya hubungan kelembagaan dan kemitraan usaha antara pelaku industri pengolahan.

12) Terjalinnya kontinuitas produk industri pengolahan. 2. Program Pengembangan Teknologi Industri

a. Tujuan

Meningkatkan dan memanfaatkan inovasi dan kreasi teknologi. b. Sasaran

3. Program Pemberdayaan Industri Kecil Menengah a. Tujuan

Mewujudkan industri kecil menengah dan usaha kecil menengah yang maju dan tangguh serta mandiri yang berperan sebagai motor penggerak dalam perekonomian nasional yang berbasis ekonomi kerakyatan dan mampu memasuki pasar global.

b. Sasaran

1) Meningkatnya peran industri kecil dan menengah dalam struktur industri dan perekonomian daerah.

2) Tersedianya lapangan dan usaha serta meningkatnya pendapatan masyarakat.

3) Meningkatnya daya saing produk industri kecil dan menengah dalam meningkatkan pemasaran produk industri kecil dan menengah.

4) Meningkatnya daya saing produk industri kecil dan menengah dalam meningkatkan pangsa pasar produksi IKM.

4. Program Pengembangan Dalam Negeri a. Tujuan

1) Meningkatkan pemasaran produk.

2) Meningkatkan kegiatan perdagangan barang dan jasa dalam negeri serta terciptanya tertib niaga dan perlindungan konsumen dan produsen.

3) Menciptakan kestabilan harga melalui kelancaraan distribusi barang dan jasa.

b. Sasaran

1) Berkembangnya jaringan informasi dan akses pasar.

2) Meningkatnya kemampuan pengelolaan usaha di bidang perdagangan dan jasa.

3) Terciptanya tertib niaga dan perlindungan konsumen.

4) Terciptanya sistem distribusi barang dan jasa yang efisien serta tersedianya kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau.

5. Program Pengembangan Perdagangan Luar Negeri a. Tujuan

1) Meningkatkan daya saing komoditas ekspor dan mengembangkan sistem pemasaran ekspor.

2) Meningkatnya pemasaran produk.

3) Mengembangkan sistem regulasi perdagangan pasar luar negeri. b. Sasaran

1) Berkembangnya komoditas unggulan ekspor.

2) Meningkatnya pelaksanaan promosi dagang dan kerjasama perdagangan luar negeri.

3) Meningkatnya hubungan kerjasama ekonomi dengan luar negeri. 4) Meningkatnya pelayanan sistem informasi pasar, perdagangan dalam

dan luar negeri.

6. Program Penataan Standar Mutu Pelayanan Jasa a. Tujuan

b. Sasaran

Meningkatnya wawasan dan kemampuan bagi pelaku usaha tentang standar pelayanan usaha bidang jasa.

Sedangkan regulasi terbaru dari pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat yang mendukung pengembangan sektor industri pengolahan tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013. Kebijakan dan program untuk bidang industri pada RPJM 2008-2013 adalah meningkatkan dayasaing industri, yang dilaksanakan melalui program, yang pertama Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah, dengan empat sasaran yaitu meningkatnya unit usaha industri kecil menengah, meningkatnya penyerapan tenaga kerja industri kecil menengah, meningkatnya kemitraan antar industri, dan meningkatnya pelayanan terhadap pelaku usaha IKM.

Kemudian program yang ke dua adalah Program Penataan Struktur dan Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri dengan sasaran sebagai berikut : mendorong tumbuhnya industri-industri andalan masa depan (industri agro, industri kreatif dan industri teknologi informasi komunikasi), meningkatnya sinergitas pengembangan industri, meningkatnya penguasaan teknologi industri terutama industri tekstil dan produk tekstil, serta industri keramik, dan sasaran yang terakhir adalah meningkatnya penyerapan tenaga kerja oleh industri besar.

Selain beberapa Peraturan Daerah di atas, ada pula peraturan lain yang ikut mempengaruhi pengembangan sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat.

Pengembangan industri kecil menengah diarahkan agar menjadi pelaku ekonomi yang makin berbasis iptek dan berdaya saing impor agar mampu memberikan kntribusi yang signifikan dalam perubahan struktural dan memperkuat perekonomian domestik.

Dalam rangka meningkatkan kualitas produksi dan pelayanan terhadap pelaku usaha industri kecil menengah di Jawa Barat perlu didukung dengan pengembangan dan pemberdayaan potensi Instalasi yang dimiliki Balai Pengembangan Perindustrian pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat. Sarana dan prasarana yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah selama ini telah dimanfaatkan oleh pelaku usaha industri kecil dan menengah, dan memiliki potensi untuk peningkatan sumber pendapatan dan pelayanan maka setiap IKM yang telah ditentukan perlu dikenai biaya (retribusi) sehingga perlu ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 19 Tahun 2008 tentang Retribusi Jasa Pelayanan Industri Kecil Menengah yang meliputi industri bahan jadi dari logam; industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki dan industri kayu, bambu, rotan dan furnitur.

Dalam proses pemungutan retribusi Pemerintah Daerah dengan sangat selektif dapat mengajak bekerja sama badan-badan tertentu yang profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas pemungutan jenis retribusi secara lebih efisien. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan adalah kegiatan penghitungan besarnya retribusi yang terhutang, pengawasan penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi.

Peraturan terkait industri kayu, bambu, rotan dan furnitur bahwa hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat Indonesia, saat ini kondisinya cenderung terus mengalami penurunan, sehingga keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dan dijaga daya dukungnya secara lestari; salah satu produk yang dihasilkan dari hutan adalah rotan yang merupakan bahan baku industri yang dapat memberikan kesempatan kerja yang sangat luas khususnya bagi masyarakat kecil; perlu dilakukan upaya penataan kembali pemanfaatan rotan sebagai bahan baku industri guna meningkatkan nilai tambah yang lebih tinggi, sekaligus menjaga pelestarian hutan melalui pengaturan ekspor rotan dituangkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 355/MPP/Kep/5/2004 Tentang Pengaturan Ekspor Rotan.

Kemudian dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 41/Daglu/Kep/Xii/2004 Tanggal 23 Desember 2004 Tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Untuk Komoditi Pasir, Kayu Dan Rotan dengan mempertimbangkan bahwa masa berlaku Harga Patokan Ekspor (HPE) untuk Pasir, Kayu dan Rotan Periode Oktober-Desember 2004 berakhir pada tanggal 31 Desember 2004 dan dalam rangka pelaksanaan Pasal 4 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum Dibidang Ekspor.

Peraturan pemerintah mengenai industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik ialah dengan dibuatnya Peraturan Bersama Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor :

02/M-IND/PER/3/2005 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor: 595/MPP/Kep/9/2004 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Ban Secara Wajib. Peraturan ini dibuat dengan mengingat bahwa dalam rangka pemberlakuan SNI Wajib Ban perlu didukung dengan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku, sampai saat ini prasarana yang diperlukan untuk pemberlakuan SNI Wajib Ban belum seluruhnya terpenuhi, untuk itu perlu melakukan penundaan pemberlakuan SNI Wajib Ban.

Dalam pengembangan industri makanan diperlukan suatu kebijakan peraturan-peraturan yang komprehensif sehingga mendukung penciptaan iklim usaha kondusif yang mampu mendorong masuknya investasi ke dalam negeri serta peningkatan daya saing. Beberapa Kebijakan tersebut diantaranya: Kebijakan Pembangunan Industri Nasional (KPIN) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PP No 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai PP No 1 Tahun 2007, Fasilitas Pajak Untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Terkait dengan Daftar Negatif Investasi (DNI), PP No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Industri makanan dan minuman mengalami sedikit masalah terkait dengan beberapa aturan yang diterbitkan Badan pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) baru-baru ini. Ada lima hal yang menjadi sorotan para pengusaha makanan dan minuman. Tiga diantaranya adalah peraturan mengenai label, pendaftaran merek,

dan larangan penggunaan kata superlatif dalam merek. Mengenai label, BPOM menetapkan, pengusaha harus mengganti label produknya dan mendaftarkan kembali setiap lima tahun sekali. Nomor produksinya juga harus disesuaikan. Artinya label di kemasan lama diganti dan membuat kemasan baru lagi. Para pengusaha juga memprotes aturan yang mewajibkan perusahaan yang memproduksi satu produk di beberapa lokasi agar mendaftarkan produk ini di masing-masing daerah. Pengusaha usul pendaftaran produk cukup satu kali saja di BPOM pusat. Tujuan BPOM menetapkan aturan tersebut adalah agar produk tersebut gampang dilacak. Namun hal ini menyulitkan para pelaku usah di bidang makanan dan minuman.

Peraturan terkait industri bahan jadi dari logam yaitu Peraturan Tentang Impor Mesin Dan Peralatan Mesin Bukan Baru yag dibuat dalam rangka mendukung kelancaran arus distribusi barang serta penyediaan sarana produksi bagi pengguna barang modal, yang kemampuan daya belinya masih rendah, maka dipandang perlu melanjutkan kebijakan tentang impor mesin dan peralatan mesin bukan baru. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa waktu pelaksanaan kebijakan impor mesin dan peralatan mesin bukan baru sebagaimana diatur dalam Keputusan Menperindag No. 756/MPP/Kep/11/2002 masih belum mampu mewujudkan iklim perekonomian Indonesia yang lebih kondusif utamanya bagi kalangan dunia usaha secara keseluruhan. Peraturan baru impor mesin dan peralatan mesin bukan baru tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 756/MPP/Kep/12/2003, tanggal 31 Desember 2003.

Dalam rangka melindungi industri barang jadi dari logam dikeluarkan pula peraturan barang modal bukan baru yang tidak dapat diimpor, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Ri Nomor 05/M-Dag/Per/4/2005 Tentang Ketentuan Impor Mesin, Peralatan Mesin, Bahan Baku, Dan Cakram Optik. Dengan tujuan untuk mendukung upaya perlindungan hak kekayaan intelektual, khususnya di bidang hak cipta, maka dalam rangka pelaksanaan Pasal 11 ayat (5) Peraturan Pemerintah RI No. 29 Tahun 2004 tentang Sarana Produksi Berteknologi Tinggi untuk Cakram Optik (Optical Disc) dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan impor mesin, peralatan mesin, bahan baku, cakram optik kosong, dan cakram optik isi. Bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas tujuan perlindungan hak kekayaan intelektual sekaligus mendorong terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif di bidang industri cakram optik.

Dokumen terkait