• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM REHABILITASI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM

B. Rehabilitasi Menurut Hukum Positif

Lama sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti rugi dan rehabilitasi sudah dituangkan sebagai ketentuan hukum pada Pasal 9 Undang-undang No. 14/1970 tersebut, sering pencari keadilan mencoba menuntut ganti rugi ke pengadilan. Namun tuntutan demikian selalu kandas di pengadilan atas argumentasi bahwa Pasal 9 Undang-undang No. 14/1970 belum mengatur tata cara pelaksanaan.15

Ketentuan tentang rehabilitasi di dalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu Pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam Pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang rehabilitasi sebagai berikut.

“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya

dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

13

Tim Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal.1186.

14

Fienso Suharso, Kamus Hukum, cet.X, (Jonggol: Vandetta Publishing, 2010), hal. 31.

15

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan (edisi kedua), cet.VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 44.

16

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”16

Senada dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi:

“Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas

atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Selanjutnya ditentukan bahwa rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan tersebut di atas (Pasal 97 ayat (2) KUHAP). Dalam KUHAP tidak dijelaskan apakah rehabilitasi akibat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat fakultatif (dituntut oleh terdakwa) ataukah imperatif. Artinya setiap kali hakim memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diberikan rehabilitasi. Hal ini mestinya diatur dalam aturan pelaksanaan KUHAP.

Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa sebagaimana halnya dengan ketentuan ganti kerugian, pada proses rehabilitasi pun dibedakan antara perkara yang diajukan ke pengadilan dan yang tidak. Acara untuk perkara yang diajukan ke pengadilan negeri berlaku ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP tersebut, sedangkan yang tidak, diputus oleh hakim praperadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. Hal ini disebut oleh Pasal 97 ayat (3) KUHAP.

16

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, cet.V, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hal. 202.

Memperhatikan bunyi Pasal tersebut, rehabilitasi adalah hak seseorang tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan atas hak kemampuan, atas hak kedudukan dan harkat martabatnya.

KUHAP memberi hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi apabila penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dilakukan tanpa alasan hukum yang sah, atau apabila putusan pengadian menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.17

1. Hukum Positif Dalam Pemidanaan

Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.18 Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah: a. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga

negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.

b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.19

Hukum pidana itu tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan

17

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, cet.VIII, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hal. 338.

18

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VII, (Jakarta, Balai Pustaka, 1986), hal. 257.

19

18

umum. Memang sebenarnya peraturan-peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan sebagainya, dari tiap orang telah termasuk hukum perdata. Hal pembunuhan, pencurian, dan sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata diurus oleh pengadilan pidana.

Biasanya, pengertian hukum pidana itu sendiri, paling luas hanya tersebut pada ilmu-ilmu hukum pidana sistematik:

a. Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh hukum material : hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang dan lain-lain.20

Hukum pidana material, yang berarti isi atau subtansi hukum pidana itu. Disini hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.21 Singkatnya hukum pidana material mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum. Jadi hukuman pidana material mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.

b. Hukum formal (hukum proses atau hukum acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberikan putusan. Contoh hukum formal: hukum acara pidana dan hukum acara perdata.22

20

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 74.

21

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 2.

22

Hukum pidana formal atau hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret. Disini kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau berada dalam suatu proses. Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana.23 2. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku

Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib.

b. Putusan bebas.

c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.24

Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima. Putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan akhir (vonnis), tetapi suatu ketetapan. Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan yang dilampirkan pada berkas perkara, atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu, atau alasan non bis in idem.

Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonnis). Dalam putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya. Berbeda dengan Ned. Sv. yang tidak menyebut apakah yang dimaksud dengan putusan (vonnis) itu, KUHAP Indonesia memberi definisi tentang putusan (vonnis) sebagai berikut.

23

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 2.

24

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, cet.V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 280.

20

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” (Pasal 1 butir 11 KUHAP).

Tentang kapan suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, dijawab oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka

pengadilan menjatuhkan pidana.”25

Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.26

Selanjutnya putusan bebas dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa

diputus bebas.” (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Tidak memenuhi asas pembuktian

menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.

25

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, hal. 280-281.

26

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, cet.VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 354.

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.27

Selanjutnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka

terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria28 :

1) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan;

2) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Disini kita lihat hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut tidak merupakan tindak pidana, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat. 3. Rehabilitasi Dalam Putusan Bebas

Secara singkat sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut masih berada

27

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 348.

28

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 352.

22

dalam batas-batas toleransi mayarakat.29 Sistem peradilan pidana bukan merupakan struktur yang telah direncanakan sebagai sebuah sistem. Juga tidak begitu terorganisir bahwa beberapa bagian saling beroperasi secara harmonis.

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) pada dasarnya terbentuk sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk-bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai kejahatan. Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara. Ikhtisar memberikan perlindungan terhadap masyarakat melalui sistem peradilan pidana merupakan rangkaian dari kegiatan instasional kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.30 Komponen tersebut harus saling berkaitan, jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya, akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu.

Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem

terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan

di atas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum

sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada

masing-masing. Berdasaran kerangka landasan yang dimaksud aktivitas pelaksanaannya, merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari

29

Teguh Prasetyo dan Abdul H.im Barkatullah , Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2012) hal. 115.

30

Mulyana w. kusuma dan Adnan Buyung Nasution, Tegaknya Supremasi Hukum (Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet.I, (Bandung : PT Remaja Roksadakarya, februari, 2011), hal. 03.

legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara, serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.

Penyelidik ialah orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditentukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5).

Dari penjelasan diatas, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan

“merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang

mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan

pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum”.31

Siapa berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4: penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Selajutnya,

31

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 101.

24

sesuai dengan pasal 4, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia”.

Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.32

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,

terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa

dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.33

32

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 109.

33

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 273.

Agar permasalahannya lebih jelas, mari kita hubungkan Pasal 183 dengan Pasal 184 ayat (1). Pada Pasal 184 ayat (1) telah disebutkan secara rinci atau

“limitatif” alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu keterangan

saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1), undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1). Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, “sekurang-kurangnya” atau “paling sedikit”

dibuktikan dengan “dua” alat bukti yang sah.

Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Mungkin menurut penilaian mereka, apa yang didakwakan dalam surat dakwaan terbukti, mungkin juga menilai, apa yang didakwakan memang benar terbukti, akan tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk ruang lingkup perkara perdata atau termasuk ruang lingkup tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut penilaian mereka, tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali.34

34

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 347.

26

Apabila pemeriksaan perkara sudah sampai ke tingkat pengadilan, dan dari hasil pemeriksaan pengadilan menjatuhkan putusan bebas dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, maka dalam hal yang seperti ini rehabilitasi diberikan pengadilan yang memutusnya. Bertitik tolak dari bunyi ketentuan Pasal 97 ayat (2), rehabilitasi bedasarkan putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Jadi menurut ketentuan Pasal 97 ayat (2), jika pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar atau diktum putusan pengadilan yang bersangkutan.

Di samping rehabilitasi diberikan langsung oleh pengadilan dalam putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, praperadilan berwenang memeriksa rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang termasuk ke dalam kewenangan praperadilan meliputi permintaan rehabilitasi atau tindakan penengakan hukum yang tidak sah yang perkaranya tidak dilanjutkan ke sidang pengadilan.35

Dari pengertian singkat di atas, tampak jelas apa yang menjadi tujuan rehabilitasi. Tujuannya tiada lain sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ternyata semua tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.

35

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 70-71.

Secara singkat dasar Hukum Rehabilitasi Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 bab XII bagian kedua Pasal 97 mengenai rehabilitasi dijelaskan bahwa:

a. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

c. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

Dokumen terkait