• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peubah Pengamatan Perlakuan Koefisien Keragaman (%)

Persentase Hidup Bibit

2 MSA tn 2.63 3 MSA tn 6.49 4 MSA tn 5.58 5 MSA tn 6.36 6 MSA tn 8.70 7 MSA tn 9.57 8 MSA tn 10.02 9 MSA tn 12.03 10 MSA tn 12.16

Persentase Pemekaran Daun

3 MSA tn 219.37 4 MSA tn 77.21 5 MSA tn 83.54 6 MSA tn 55.53 7 MSA tn 48.11 8 MSA tn 49.31 9 MSA tn 46.46 10 MSA tn 40.19

Panjang Daun Pangkas

2 MSA tn 21.56 3 MSA tn 20.39 4 MSA tn 20.88 5 MSA tn 18.90 6 MSA tn 16.34 7 MSA tn 18.75 8 MSA tn 21.10 9 MSA tn 19.05 10 MSA tn 20.43

Panjang Anak Daun Pangkas

3 MSA tn 10.14 4 MSA tn 23.39 5 MSA tn 39.33 6 MSA tn 36.44 7 MSA tn 33.07 8 MSA tn 36.04 9 MSA tn 25.36 10 MSA tn 26.19

Lampiran 7. Lanjutan

Lebar Anak Daun Pangkas Perlakuan Koefisien Keragaman (%)

3 MSA tn 2.71 4 MSA tn 6.00 5 MSA tn 10.57 6 MSA tn 11.73 7 MSA tn 11.94 8 MSA tn 12.95 9 MSA tn 13.78 10 MSA tn 14.54 Panjang Daun 1 4 MSA tn 24.99 5 MSA tn 19.82 6 MSA tn 18.57 7 MSA tn 18.12 8 MSA tn 20.09 9 MSA tn 17.27 10 MSA tn 17.05

Panjang Anak Daun 1

6 MSA tn 20.71

7 MSA tn 28.96

8 MSA tn 42.18

9 MSA tn 47.18

10 MSA tn 46.25

Lebar Anak Daun 1

6 MSA tn 2.38

7 MSA tn 4.43

8 MSA tn 8.59

9 MSA tn 11.96

10 MSA tn 15.60

Jumlah Anak Daun 1

6 MSA tn 15.99

7 MSA tn 26.32

8 MSA tn 39.44

9 MSA tn 43.37

Lampiran 7. Lanjutan

Panjang Petiol Daun 1 Perlakuan Koefisien Keragaman (%)

6 MSA tn 16.00 7 MSA tn 25.56 8 MSA tn 40.89 9 MSA tn 49.79 9 MSA tn 49.79 10 MSA tn 47.77 Jumlah Daun 3 MSA tn 2.27 4 MSA tn 3.86 5 MSA tn 6.81 6 MSA tn 7.59 7 MSA tn 8.91 8 MSA tn 11.06 9 MSA tn 11.61 10 MSA tn 13.12 Pengamatan Biomassa

Bobot Segar Petiol tn 24.19

Bobot Segar Rachis tn 25.76

Bobot Segar Akar tn 39.94

Bobot Kering Petiol tn 18.08

Bobot Kering Rachis tn 22.18

Bobot Kering Akar tn 22.32

Rasio Tajuk/Akar tn 56.65

TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG

The effect of some doses P fertilizer on early growth of sago sucker in nursery by polybag system

Almagit Husni Hofsah1dan H.M.H. Bintoro Djoefrie2 1

Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

2

Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Abstract

Experiment was conducted at PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. It was conducted during five months from February to June 2012. The purpose of this experiment was to study the effect of P fertilizer and look for a doses of P fertilizer that give the best results of early growth of sago sucker in nursery by polybag system. The experiment used Complete Randomized Block Design with a single factor consisted of 6 treatment and 4 replications. Treatment given the level of P fertilizer with 0, 3, 6, 9, 12, and 15 g TSP/polybag (equivalent to 0, 1.82, 3.64, 5.46, 7.28, 9.10 g P2O5/polibag). N and K Fertilizer use as basal fertilizer dose of 6 g each Urea/polybag and 2.5 g KCl/polybag. The experiment results show that P fertilization with different doses are not significantly affect for all vegetative variables (early growth) observed sago seeds which includes survival persentage, percentage of leaf expansion, leaf length pruning, length and width of the leaf pruning, leaf length 1, length and width of the leaf 1, leaf length of petiol 1, the number of child leaf 1, leaf leaves live span 1, the total number of leaves, dry weight of roots, petiol and rachis. Luxury consumption occurs due to the addition of P fertilizer caused the P nutrient medium prior to fertilization considered very high. Early growth of sago sucker are still influenced by the nutrition in the basal of sucker and environment.

ALMAGIT HUSNI HOFSAH. Pengaruh Pemberian Pupuk P dengan Ber- bagai Dosis terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu di Persemaian dengan Sistem Polibag. (Dibimbing oleh M.H. BINTORO DJOEFRIE)

Melihat pentingnya tanaman sagu dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan pangan dan energi, maka perlu dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi sagu se- cara tepat agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Salah satu diantaranya ada- lah bahan perbanyakan tanaman berupa bibit, untuk itu perlu tindakan kultur tek- nis atau perawatan bibit yang baik antara lain dengan jalan pemupukan pada wak- tu di pembibitan. Pembibitan memungkinkan pemilihan bibit yang sehat untuk di- tanam di lapangan, sehingga akan sangat meningkatkan kelangsungan hidup bibit transplantasi dan meningkatkan keseragaman pertumbuhan sagu.

Percobaan bertujuan untuk mempelajari pengaruh dan mencari dosis pu- puk P yang memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di persemaian dengan sistem polibag. Percobaan dilaksanakan di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. Selama 5 bulan yaitu dari bulan Februari hingga Juni 2012.

Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal. Perlakuan yang diberikan yaitu pemupukan P dengan 6 taraf 0, 3, 6, 9, 12, dan 15 g TSP/polibag (setara dengan 0, 1.82, 3.64, 5.46, 7.28, 9.10 g P2O5/polibag). Taraf perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga di dapatkan 24

satuan atau unit percobaan. Pupuk N dan K digunakan sebagai pupuk dasar de- ngan dosis masing masing 6 g Urea/polibag dan 2,5 g KCl/polibag.

Pengamatan dilakukan dari 2 hingga 10 MSA (Minggu Setelah Aplikasi) dengan mengamati 24 tanaman contoh per unit percobaan. Peubah yang diamati yaitu keragaan pertumbuhan tanaman sagu meliputi persentase hidup bibit, per- sentase pemekaran daun, panjang daun pangkas, panjang dan lebar anak daun pangkas, panjang daun 1, panjang dan lebar anak daun 1, panjang petiol daun 1, jumlah anak daun 1, leaf live span daun 1, jumlah daun total, bobot kering tanam- an (akar, petiol dan rachis) pada 10 MSA, serta dilakukan pengamatan data pen- dukung seperti suhu, kelembaban, pH dan analisis tanah.

dengan dosis 3 g sampai dengan 15 g TSP/ polibag meningkatkan pH media tanah gambut hingga mencapai 5,5 dan kandungan P tersedia sangat tinggi hingga men- capai 449.91 ppm. Pemberian pupuk P dengan kisaran dosis tersebut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di per- semaian. Hal tersebut diduga disebabkan kandungan P tersedia tanah sudah tergo- long sangat tinggi yaitu sebesar 44.24 ppm. Tanpa penambahan pupuk P, kan- dungan hara media sudah mencukupi untuk pertumbuhan bibit sagu. Pemberian pupuk P tidak lagi meningkatkan pertumbuhan, tapi justru menekan pertumbuhan akibat terjadinya luxury consumption.

Faktor lain yang ikut mempengaruhi tidak berpengaruhnya pemupukan P dari sisi jenis tanaman yaitu sagu merupakan tanaman tahunan sehingga pengaruh pemupukan tidak dapat langsung terlihat dalam waktu singkat. Pertumbuhan awal bibit sagu juga masih dipengaruhi oleh cadangan makanan pada banir dan penga- ruh lingkungan yang kurang mendukung bagi pertumbuhan bibit sagu.

Latar Belakang

Prospek pengelolaan sagu (Metroxylon spp.) Indonesia untuk ketahanan pangan dan energi nasional sangat menjanjikan dimasa depan. Potensi luas hutan sagu di Indonesia adalah kurang lebih 1,000,000 ha dan budidaya sagu kurang lebih 128,000 ha atau 51.3% luas areal sagu di dunia (Flach, 1983). Tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia mencapai 5 juta ton pati kering per tahun. Se- tara dengan 3 juta kiloliter bioetanol (Sumaryono, 2007).

Sagu telah menjadi sumber karbohidrat penting bagi sebagian penduduk Indonesia terutama di Wilayah Indonesia Bagian Timur. Sagu juga merupakan bahan baku bioenergi, terutama bioetanol, yang sangat potensial. Tidak ada satu sumber bioetanol yang lebih potensial dibandingkan sagu dengan potensi hasil bahan baku mencapai 20-40 ton/ha/tahun. Nilai kalori dan gizi sagupun tidak kalah dengan sumber pangan lainnya seperti beras, Jagung, ubi, dan kentang (Bintoro et al., 2010).

Selain untuk makanan pokok, dimasa depan pati sagu akan banyak di- gunakan untuk keperluan industri, antara lain sebagai bahan pembuatan roti, mie, kue, sirup berfruktosa tinggi, bahan perekat, dan plastik mudah terurai secara alami (biodegradable). Pati sagu juga digunakan dalam industri obat-obatan, kos- metik, kertas, etanol, dan tekstil, serta limbah pengolahan sagu dapat digunakan sebagai pakan ternak (Bintoro et al., 2010).

Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat tertinggi per satuan luas. Dalam satu batang sagu terdapat pati 200-400 kg. Di Maluku produksi pati kering dapat mencapai 345 kg/pohon. Di Jayapura beberapa peneliti Jepang menemukan pohon sagu yang mengandung pati 800-900 kg/batang sagu. Apabila sagu diusa- hakan sebagaimana layaknya tanaman perkebunan lainnya yang ditanam secara teratur dengan jarak 10 m x 10 m maka dalam satu hektar terdapat 100 pohon sagu. Jika dalam satu pohon terdapat 300 kg pati kering maka dalam satu hektar dapat dipanen 30 ton pati kering (Bintoro, 2008).

Melihat pentingnya tanaman sagu dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan pangan dan energi,

maka perlu dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi sagu secara tepat agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Mengingat tanaman sagu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai umur panen, maka aspek budidaya dipembibitan sangat penting terkait dengan pengadaan bahan tanam yang berkualitas. Oleh kareana itu perlu tindakan kultur teknis atau perawatan bibit yang baik antara lain dengan jalan pemupukan pada waktu di persemaian. Pembibitan memungkinkan pemilihan bibit yang sehat untuk ditanam di lapangan, sehingga akan sangat meningkatkan kelangsungan hidup bibit transplantasi dan meningkatkan keseragaman pertumbuhan sagu.

Pemupukan merupakan tindakan budidaya yang penting sebagai upaya pe- nyediaan unsur hara tanaman untuk meningkatkan produktivitas tanaman sagu (Bintoro et al., 2010). Persediaan hara yang tersimpan di dalam benih segera habis pada awal pertumbuhan kecambah bibit, sehingga kebutuhan unsur hara selanjut- nya harus dipenuhi dengan pemupukan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Menurut Bintoro (2008), sagu dapat tumbuh di tanah gambut namun pada lahan tersebut tampak gejala kahat hara yang berakibat jumlah daun lebih sedikit dan u- mur untuk mencapai masa tebang lebih lama. Pemberian pupuk pada bibit sangat jelas memberikan pengaruh terhadap partumbuhan namun jika pemberian ber- lebihan akan berpengaruh menekan pertumbuhan (Lubis, 2008).

Keasaman tanah dapat menjadi kendala utama serapan hara tanaman da- lam rangka tercapainya produksi yang optimal. Keasaman tanah (pH) yang terlalu rendah menyebabkan tidak tersedianya unsur hara tanaman di dalam tanah, seperti hara P (Ispandi dan Munip, 2005). Unsur P di tanah gambut dalam bentuk P orga- nik yang sulit diserap tanaman. Tanaman akan menyerap P anorganik (Bintoro et al., 2010).

Fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Fosfor cenderung terkonsentrasi dalam benih dan titik tumbuh perkembangan akar serabut. Unsur P berperan dalam proses pembelahan sel untuk membentuk organ tanaman (Lubis et al., 1986). Selanjutnya Sarief (1985) menambahkan unsur P berperan dalam membentuk sistem perakaran yang baik.

Kekurangan unsur fosfor akan menyebabkan warna bibit muda menjadi keungu-unguan yang kemudian menjadi menguning. Pertumbuhan menjadi ter- hambat dan akibat selanjutnya proses kematangan menjadi terhambat (Sarief, 1985). Selanjutnya Sadjad (1993) menambahkan, kekurangan unsur fosfor bagi tumbuhan dapat berakibat fatal yaitu tanaman umumnya pendek, berbunga lebih lambat, saat panen lambat, dan benih yang dihasilkan mempunyai status vigor yang rendah. Tanaman seperti barley dan gandum menghisap unsur fosfat pada waktu muda, sebab kalau tidak demikian, akibatnya tidak dapat diperbaiki dengan pemupukan fosfat secukupnya (Sarief, 1985).

Pemberian pupuk P pada awal pertumbuhan bibit tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas bibit sehingga nantinya dapat mempercepat umur te- bang dan didapatkan keseragaman produktivitas yang tinggi, yang pada akhirnya akan berakibat pada peningkatan produktivitas sagu. Pengkajian pengaruh pem- berian pupuk P di persemaian menjadi penting untuk dilakukan terhadap partum- buhan awal bibit sagu.

Tujuan

Kegiatan percobaan bertujuan untuk mempelajari pengaruh dan mencari dosis pupuk P yang memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuahn awal bibit sagu dipersemaian dengan sistem polibag.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam percobaan yaitu terdapat perbedaan pe- ngaruh dosis pupuk P terhadap pertumbuhan bibit sagu.

Botani Tanaman Sagu

Sagu (Meroxylon spp.) termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga

palmae. Lima marga palma yang kandungan patinya banyak dimanfaatkan, yaitu

Metroxylon spp, Arenga sp, Corepha sp, Eugeissona sp, dan Kariota sp (Ruddle et al., 1978 dalam Bintoro et al., 2010). Genus yang banyak dikenal adalah Me- troxylon dan Arenga, karena kandungan patinya cukup tinggi (Menristek, 2000).

Tanaman sagu terdiri atas sagu berduri dan sagu tidak berduri. Sagu ber- duri terdiri atas sagu Tuni (M. Rumphii Mart), Sagu ihur (M. Sylvestre Mart), Sagu Makanaru ( M. Longispinum Mart) dan sagu Duri Rotan (M. Microcanthum

Mart) serta satu jenis sagu tidak berduri yaitu sagu Molat (M. Sagu Rottb). Namun demikian karena adanya persilangan, maka ditemukan jenis-jenis sagu peralihan diantara kelima jenis sagu tersebut (Bintoro, 2008).

Bagian yang terpenting dari tanaman sagu adalah batang. Batang merupa- kan tempat untuk menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat, batang sagu berbentuk silinder dengan kulit luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat dan pati. Sagu memiliki daun sirip menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada tangkai daun. Bunga sagu majemuk dan keluar dari u- jung batang sagu, berwarna merah kecoklat-coklatan seperti karat (Bintoro et al., 2010).

Sagu merupakan tanaman tahunan, dengan sekali tanam sagu akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun (Bintoro, 2008). Struktur batang sagu dari arah luar terdiri atas lapisan sisa pelepah daun, lapisan kulit luar, yang tipis yang berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna kehitam-hitaman, lapisan serat, serta lapisan empulur yang me- ngandung pati (Rumalatu, 1981).

Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda tergantung umur, jenis, dan lingkungan tumbuh. Pe- nurunan pati dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordial bunga.

Syarat Tumbuh

Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik didaerah sekitar katulistiwa ya- itu pada batas 100 LU dan 100 LS, curah hujan yang tinggi 200-400 mm per tahun (Ngudiwaluyo dan Amos, 1996). Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya ba- han organik, air tanah berwarna cokelat, dan bereaksi agak masam. Habitat ter- sebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi per- tumbuhan tanaman sagu (Bintoro etal., 2010).

Sagu dapat tumbuh pada berbagai hidrologi dari yang terendam sepanjang masa sampai ke lahan yang tidak terendam air (Bintoro, 2008). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), sagu tumbuh didaerah rawa berair tawar, rawa yang ber- gambut, sepanjang aliran sungai, sekitar sumber-sumber air dan hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi. Selanjutnya Djoefrie (1999) menambah- kan di Papua dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan daerah yang luas.

Suhu terendah bagi pertumbuhan sagu yaitu 150C. Pertumbuhan terbaik terjadi pada suhu udara 250C dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyi- naran matahari sekurang-kurangnya 900 J/cm-2/hari-1 (Bintoro et al., 2010). Selan- jutnya Menristek (2000) menyatakan bahwa sagu dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan ketinggian 700 m dpl. Ketinggian tempat yang optimal 400 m dpl. Salah satu keungulan dari tanaman sagu yaitu dapat dibudidayakan pada lahan gambut. Indonesia memiliki potensi lahan gambut yang luas atau sekitar 21 juta hektar serta menempati urutan ke-4 di dunia setelah Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat (Bintoro et al., 2010). Sagu dapat tumbuh pada suatu kawasan yang tanaman lain tidak dapat tumbuh. Pati yang masih terdapat dibatang sagu tidak akan rusak bila tanaman sagu terendam > 1 m selama beberapa hari sedang- kan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, umbi-umbian dan palawija ha- silnya akan membusuk bila terendam > 1 m ( Bintoro, 2008).

Pembibitan

Pembibitan merupakan cara atau usaha yang dilakukan untuk mengecam- bahkan benih agar menjadi bibit yang bermutu dan berkualitas serta siap untuk di-

tanam (Lubis, 2008). Pembibitan bertujuan untuk menghasilkan bibit berkualitas tinggi yang harus tersedia pada saat penyiapan lahan tanaman telah selesai (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).

Syarat untuk pembibitan sagu cara generatif yaitu biji yang digunakan su- dah tua, tidak cacat fisik, besarnya rata-rata dan bertunas. Syarat untuk pembibitan sagu cara vegetatif yaitu berasal dari tunas atau anakan yang umurnya kurang dari 1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan bobot 2-3 kg. Tinggi anakan ±1 meter dan punya pucuk daun 3-4 lembar (Menristek, 2000).

Teknik pembibitan secara vegetatif dianggap lebih baik dengan menggu- nakan anakan yang berasal dari tunas pangkal batang, karena anakan tersebut mu- dah diperoleh, daya tumbuh tinggi, pertumbuhannya cepat dan waktu panen tidak terlalu lama (antara 7-10 tahun). Bibit sagu (Metroxylon sagu Rottb.) yang digu- nakan dalam pembibitan secara vegetatif diambil dari anakan sagu yang berasal dari pohon induk sagu yang produksi patinya tinggi (Eva et al., 2002). Anakan sagu yang baik untuk dijadikan bibit yaitu anakan yang diambil dari pohon induk yang siap panen. Sebab selain anakan tersebut sudah cukup kuat untuk dipisahkan dari pohon induk, juga tidak merusak pohon induk yang masih dapat berproduksi (Eva et al., 2002). Menurut Maliangkay etal. (2003), cara generatif hasilnya ma- sih rendah yaitu daya kecambah sekitar 7%, sedangkan cara vegetatif daya kecam- bah telah mencapai sekitar 70% untuk Metroxylon dan 92% untuk sagu Baruk (Arenga nicocorpha).

Anakan sagu dapat direndam secara langsung dalam kolam yang mengalir airnya (sistem rakit) atau ditanam dalam polibag. Tingkat keberhasilan cara di- rendam atau dirakit jauh lebih berhasil (lebih dari 90%), dibandingkan cara pem- bibitan polibag (kurang dari 50%). Anakan sagu siap ditanam setelah akar baru- nya muncul (Papilaya, 2009)

Pembibitan terapung atau sistem rakit hanya dikerjakan ditempat-tempat yang mendukung dan memungkinkan seperti ketersediaan air. Oleh karena alasan tersebut pembibitan anakan sagu dalam kantong-kantong plastik (polibag) perlu dikembangkan (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Pupuk Fosfor

Pupuk adalah senyawa yang mengandung unsur hara yang akan diberikan pada tanaman kemudian digunakan oleh tanaman untuk melakukan proses meta- bolisme sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang (Nurwardani, 2008). Pemupukan merupakan salah satu upaya pemeliharaan tanaman dengan tujuan memperbaiki kesuburan tanah melalui cara penambahan unsur hara, baik makro maupun mikro yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wachjar dan Kadarisman, 2007). Pupuk dapat menjadi tambahan nutrisi untuk meningkatkan daya hidup bagi tanaman sagu terutama saat di pembibitan atau dipersemaian (Bintoro et al., 2010).

Tanah dengan tingkat kemasaman yang tinggi memiliki sedikit ketersedian unsur P, disebabkan kelarutan Al, Fe dan Mn yang tinggi. Keasaman tanah berim- plikasi terhadap keracunan akar dan pada akhirnya tanaman sagu akan mengalami defisiensi hara. Salah satu usaha untuk mengatasi ketersediaan hara bagi tanaman adalah dengan memberikan tambahan unsur hara yang diperlukan sesuai dengan yang dibutuhkan.

Fosfor sebagai ortho-fosfat memegang peranan yang sangat penting dalam kebanyakan reaksi enzim yang tergantung kepada fosforilase. Hal tersebut karena fosfor merupakan bagian dari inti sel yang sangat penting dalam pembelahan sel dan untuk perkembangan jaringan meristem, dengan demikian fosfor dapat me- rangsang pertumbuhan akar tanaman muda, mempercepat pembungaan dan pema- sakan buah serta biji, selain itu juga sebagai penyusun lemak dan protein (Sarief, 1985).

Fosfor merupakan bagian integral tanaman yang berperan terutama dalam penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi. Fosfor terlibat dalam penangkapan energi sinar matahari yang menghantam sebuah molekul klorofil. Begitu energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (adenosine diphosphate) atau ATP (adenosis triphosphate), unsur tersebut dapat dipakai untuk menjalankan re- aksi-reaksi yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa, pati dan pro- tein (Salisbury and Ross, 1992).

Unsur P merupakan hara yang penting terutama pada pertumbuhan awal tanaman untuk perkembangan bagian reproduksinya. Hara P yang cukup berhu- bungan dengan meningkatnya pertumbuhan akar tanaman (Havin et al., 1999). Pada dosis rendah atau tanpa diberi fosfat alam, ketersedian fosfat di dalam tanah tidak mencukupi untuk tanaman sehingga penambahan fosfat alam berperan da- lam meningkatkan kelarutan fosfat. Pemberian fosfat alam dengan dosis 30, 60, dan 90 kg P/ha berturut-turut meningkatkan P tersedia tanah 247%, 356%, 592% dibandingkan tanpa fosfat alam (Noor, 2003).

Pada tanah-tanah masam terutama Oksisol dan Ultisol, P difiksasi oleh Fe dan Al bebas atau oksihidroksida. Pada tanah alkalin (Vertisol) P difiksasi oleh ion Ca atau Mg menjadi senyawa yang kurang larut sehingga menjadi tidak terse- dia bagi tanaman (Nursyamsi dan Suprihati, 2005). Untuk mencapai pertumbuhan tanaman maksimal dibutuhkan P dalam larutan tanah berkisar 0.2 sampai 0.3 mg/L. Kandungan P tanaman terbaik berkisar antara 0.3 sampai 0.5 persen dari total bobot bahan kering. Pemberian P meningkatkan pH tanah secara nyata di- bandingkan tanpa perlakuan P. Pupuk P dapat meningkatkan ketersedian unsur hara terutama K (Silahooy, 2008).

Fosfor berperan dalam pembentukan asam nukleat, transfer energi, dan sti- mulasi aktivitas ensim-ensim. Oleh sebab itu suplai P yang cukup dapat mening- katkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Fosfor bersifat mobil dalam tanaman, sehingga kekurangan fosfor pada daun-daun muda akan diimbangi oleh transfer fosfor dari daun tua (Mitrosuhardjo, 2002).

Fosfat dalam tanah sukar larut sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Tersedianya fosfat dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada pH rendah, ion fosfat membentuk senyawa yang tidak larut dengan besi dan alu- munium, sedangkan pada pH tinggi terikat sebagai senyawa kalsium, pH optimum untuk fosfat disekitar 6.5. Pupuk fosfat yang diberikan ke dalam tanah tidak selu- ruhnya tersedia bagi tanaman. karena terjadi pengikatan fosfat oleh partikel tanah. Agar tanaman memperoleh fosfat dari larutan tanah sesuai dengan kebutuhannya, maka disarankan pemberian pupuk fosfat melebihi daya fiksasi tanah (Sarief, 1985).

Tanaman yang kahat hara P, selain akan mengganggu proses metabolisme dalam tanaman juga sangat menghambat serapan hara-hara yang lain. Pemupukan 100 kg SP36/ha meningkatkan serapan hara P dan hasil umbi secara nyata diban-

Dokumen terkait