• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.2 Rekomendasi

Pe nge lol aan Hutan Mangrove dan Ek osi ste m P antai | 9

II. METODOLOGI

2.1 Pendekatan dan Ruang Lingkup

Penyusunan sintesis RPI dilakukan melalui pendekatan berdasarkan tujuan, sasaran dan luaran RPI sesuai rencana dan kegiatan penelitian yang telah dilakukan [penelitian atau kajian sebagai kegiatan untuk mencapai luaran]. Bentuk kegiatan mencakup kajian, valuasi dan ujicoba yang berkaitan dengan ekosistem mangrove dan pantai. Selanjutnya, rencana yang telah disusun dan hasil kegiatan penelitian yang telah dicapai dilakukan evaluasi, telaah dan sintesis dalam bentuk satu kesatuan hierarki substantif sehingga terdapat keterkaitan antara tujuan, sasaran, dan luaran RPI (Gambar 2.1.1 dan Gambar 2.1.2). Dengan demikian, sistematika usulan RPI [dalam hal ini urutan sasaran, luaran dan kegiatan] telah mengalami penyempurnaan di dalam sintesis ini.

Gambar 2.1.1 Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan evaluasi, telaah dan sintesis terhadap rencana dan hasil

10 | Si n te si s R PI

Selain itu, penyusunan sintesis ini juga menggunakan pendekatan berdasarkan aspek substantif bio-ekologi, nilai penting dan manfaatnya; serta berdasarkan karakteristik dan tipologi kawasan (tapak umum dan tapak khusus). Namun demikian, pendekatan berdasarkan tipologi kawasan pada sintesis ini akan lebih banyak membahas ekosistem mangrove. Sebaliknya, pembahasan ekosistem hutan pantai hanya bersifat melengkapi, mengingat selama tahun 2010–2014, kegiatan penelitian yang dilakukan lebih banyak terhadap ekosistem mangrove.

Ruang lingkup sintesis RPI yang mengacu pada kedua pendekatan tersebut meliputi informasi peran mangrove dan ekosistem pantai (kondisi biodiversitas dan mikroorganime yang terdapat pada ekosistem mangrove, jenis mangrove dan peran penjerapan polutan, serta peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut); teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus (jenis dan tahapan penanaman mangrove pada delta terdegradasi, areal terabrasi dan/atau pulau-pulau kecil); potensi dan nilai manfaat mangrove dan

Gambar 2.1.2 Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan keterkaitan antara sasaran dan luaran, serta hasil kegiatan yang telah dilaksanakan

Pe nge lol aan Hutan Mangrove dan Ek osi ste m P antai | 11 ekosistem pantai (potensi sumber pangan dan jasa lingkungan, serta distribusi dan perubahan tutupannya); manfaat sosial ekonomi konservasi mangrove dan ekosistem pantai (valuasi nilai ekonomi dan model kemitraan pemanfaatan mangrove); dan model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai (bentuk dan sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove).

2.2 Komponen Penelitian dan Organisasi Pelaksana

Bahan penyusunan sintesis RPI berasal dari kegiatan penelitian/kajian sebagaimana rencana yang telah disusun sebelumnya. Komponen penelitian dan organisasi pelaksana dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 terdapat pada Tabel 2.2.1.

Penelitian dikoordinasikan oleh seorang Koordinator, dibantu oleh Tim Pembantu Teknis Koordinator dan Tim Sekretariat yang semuanya berada pada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR/Puskonser) di Bogor. Sementara itu, beberapa Peneliti merupakan Pelaksana kegiatan penelitian, baik dari Puskonser maupun dari delapan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan (Balai Penelitian Kehutanan [BPK] Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Kupang, BPK Manado, BPK Makassar, BPK Manokwari, Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam [BPTK-SDA] Samboja, dan Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai [BPTK-PDAS] Solo).

Tabel 2.2.1 Komponen penelitian dan organisasi pelaksana RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai tahun 2010–2014

Sasaran Luaran dan Kegiatan Institusi

Tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai.

4.1 Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus. 4.1.1 Teknik penanaman pada delta

terdegradasi.

4.1.2 Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil.

BPTK-SDA Samboja BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Manado, BPK Makassar

12 | Si n te si s R PI

Sasaran Luaran dan Kegiatan Institusi

4.2 Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai.

4.2.1 Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. P3KR Tersedianya informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai.

4.3 Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan.

4.3.1 Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove.

4.3.2 Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut. 4.3.3 Kajian keragaman satwa dan

mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai. P3KR BPTK-PDAS Solo BPK Makassar, BPK Manokwari Tersedianya model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai.

4.4 Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai.

4.4.1 Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove.

4.4.2 Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.4.3 Kajian distribusi dan perubahan tutupan

mangrove.

P3KR P3KR, BPTK-SDA Samboja P3KR 4.5 Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan

mangrove dan ekosistem pantai.

4.5.1 Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.5.2 Kajian model kemitraan pemanfaatan

hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove.

P3KR, BPK Makassar P3KR, BPK Kupang

Keterangan: P3KR (Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi/Puskonser); BPK (Balai Penelitian Kehutanan); BPTK-SDA (Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam); BPTK-PDAS (Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai)

2.3 Waktu dan Lokasi Penelitian

Periode waktu dan lokasi penelitian dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 terdapat pada Tabel 2.3.1 dan Tabel 2.3.2.

Pe nge lol aan Hutan Mangrove dan Ek osi ste m P antai | 13 Tabel 2.3.1 Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan

Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014

Luaran Kegiatan Litbang

Kode Kegiatan dan Institusi Tahun Kegiatan 2010 2011 2012 2013 2014 4.1 Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus.

4.1.1 Teknik penanaman pada

delta terdegradasi. 4.1.1.16 x x x x x

4.1.2 Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil. 4.1.2.7 x x x x x 4.1.2.9 - - x x x 4.1.2.17 - - x x x 4.1.2.18 x x x - - 4.2 Model kelemba-gaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mang-rove dan pantai.

4.2.1 Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 4.2.1.1 - - x x x 4.3 Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan. 4.3.1 Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove.

4.3.1.1 x x - - -

4.3.2 Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut.

4.3.2.12 - x x x x

4.3.3 Kajian keragaman satwa dan mikro-organisme hutan mangrove dan ekosistem pantai.

4.3.3.18 x x x - -

4.3.3.19 - - x x x

4.4 Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai.

4.4.1 Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove.

4.4.1.1 x x - - -

4.4.2 Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.4.2.1 - - - x x 4.4.2.7 - - x x x 4.4.2.16 x x x x -

4.4.3 Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove. 4.4.3.1 - - x x x 4.5 Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai.

4.5.1 Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai.

4.5.1.1 - - - x x

4.5.1.18 x x x - -

4.5.2 Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove.

4.5.2.1 x x x x x

4.5.2.14 x x x x x

Keterangan: Digit terakhir 1: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi; 7: Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli; 9: BPK Palembang; 12: Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTK-PDAS) Solo; 14: BPK Kupang; 16: Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BPTK-SDA) Samboja; 17: BPK Manado; 18: BPK Makassar; dan 19: BPK Manokwari.

14 | Si n te si s R PI

Tabel 2.3.2 Lokasi pelaksanaan kegiatan penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014

Kegiatan Litbang Lokasi Penelitian

4.1.1 Teknik penanaman pada delta terdegradasi. Delta Mahakam (Kutai Kartanegara,

Kalimantan Timur) 4.1.2 Teknik penanaman pada areal terabrasi dan

pulau-pulau kecil. Pulau Weh (Aceh Besar, Aceh); Pulau Selayar (Selayar, Sulawesi Selatan); Pulau Talise dan Pulau Gangga (Minahasa Utara, Sulawesi Utara)

4.2.1 Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 4.3.1 Kajian penjerapan polutan perairan oleh

jenis-jenis mangrove. Ciasem (Purwakarta, Jawa Barat); Cilacap (Jawa Tengah); TN Alas Purwo, (Banyuwangi, Jawa Timur); Sayung (Demak, Jawa Tengah); Suwung (Denpasar, Bali)

4.3.2 Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam

penjeratan sedimen terlarut. Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah)

4.3.3 Kajian keragaman satwa dan mikro-organisme

hutan mangrove dan ekosistem pantai. TN Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara); TN Kepulauan Togean (Tojo Una-una, Sulawesi Tengah); Tanjung Batu- Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur); Pulau Numfor (Papua)

4.4.1 Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis

mangrove. TN Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur); Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah); Kubu Raya (Kalimantan Barat); Tembilahan (Riau); Ciasem-Pamanukan (Purwakarta, Jawa Barat)

4.4.2 Kajian potensi jasa lingkungan hutan

mangrove dan ekosistem pantai. Kubu Raya (Kalimantan Barat)

4.4.3 Kajian distribusi dan perubahan tutupan

mangrove. Kubu Raya (Kalimantan Barat); Pantai Utara Jawa Barat; TWA Pananjung Pangandaran (Ciamis, Jawa Barat); Sukadana (Lampung Timur, Lampung)

4.5.1 Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan

mangrove dan ekosistem pantai. Tanjung Batu- Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur); 4.5.2 Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan

dan jenis-jenis tumbuhan mangrove. Tanjung Batu- Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur);

Pe nge lol aan Hutan Mangrove dan Ek osi ste m P antai | 15

III. SINTESIS HASIL PENELITIAN

Penelitian dan kajian yang telah dilaksanakan dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun 2010–2014 telah mendapatkan data dan informasi, serta bahan rekomendasi terkait teknologi pengelolaan mangrove dan kelembagaannya. Beberapa hasil penelitian dan kajian tersebut memberikan gambaran tentang informasi biologis mangrove, terutama pada tapak-tapak khusus yang mengalami tekanan dan gangguan, baik secara alami maupun akibat dari dampak aktivitas manusia. Namun demikian, hasil penelitian tidak dapat merangkum secara keseluruhan ekosistem mangrove dan hutan pantai di Indonesia karena terbatasnya sumber daya dalam penelitian dan kajian ini. Oleh sebab itu, sintesis ini hanya dilakukan terhadap hasil kegiatan yang dilaksanakan pada lokus atau areal yang dianggap dapat mewakili kondisi dan permasalahan dalam pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai di sebagian daerah di Indonesia.

3.1 Informasi Biofisik dan Peran Mangrove dan Ekosistem Pantai dalam Pemeliharaan Kualitas Lingkungan

3.1.1 Kondisi Biofisik Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai

Penelitian atau kajian terkait biofisik (biodiversitas dan lingkungan) dilaksanakan pada kawasan hutan mangrove dan pantai di TN Rawa Aopa Watumohai, TN Kepulauan Togean, Tanjung Batu-Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur) dan Pulau Numfor (Papua). Mengingat mangrove merupakan suatu ekosistem dan sintesis ini ingin memberikan gambaran potensi dan peran mangrove; bahasan dilakukan terhadap jenis flora (terutama jenis mangrove), fauna, mikroorganisme dan komponen biofisik lainnya (air dan substrat). Selain itu, bahasan sintesis pada bagian ini akan diulas berdasarkan komponen biodiversitas dan lingkungannya, serta lokus kegiatan pada kawasan hutan mangrove dan hutan pantai sebagaimana hasil kegiatan dalam RPI.

16 | Si n te si s R PI

3.1.1.1 Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di TN Rawa Aopa Watumohai

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN RAW) adalah salah satu taman nasional tertua di Indonesia. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 1990 berdasarkan SK Menhut No. 756/Kpts-II/1990 dengan luas 105.194 ha. Secara administrasi, kawasan ini terletak pada empat kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara (Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana). Secara geografis terletak antara 121°44’–122°44’ Bujur Timur dan 4°22’–4°39’ Lintang Selatan.

Ekosistem mangrove TN RAW terdapat di sepanjang Pantai Lanowulu hingga Langkowala bagian selatan kawasan TN RAW dengan luasan ±6000 ha. Panjangnya sekitar 24 km mulai dari Sungai Roraya hingga Sungai Langkowala, dengan ketebalan mencapai 2–7 km dari garis pantai hingga batas tepi mangrove daratan. Mangrove di kawasan TN RAW memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Jenis vegetasi mangrove yang ada dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu mangrove mayor (Rhizophora, Bruguiera, Soneratia, Nypa dan lain-lain), mangrove minor (Xylocarpus sp, Aegiceras sp dan lain-lain), asosiasi mangrove (Hibiscus sp, Pandanus sp dan lain-lain).

a. Analisis Kualitas Air

Eksosistem mangrove mempunyai berbagai macam manfaat. Salah satu manfaatnya adalah perananya dalam meningkatkan kualitas air. Air laut merupakan habitat bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainya. Dengan semakin meningkat kualitas air laut maka produktifitas ikan, udang dan biota laut lainya aka semakin meningkat. Untuk mengetahui kesehatan air di habitat mangrove sebagai acuan digunakan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan. Analisis terhadap sifat fisik dan kimia air laut perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas air laut di lokasi penelitian. Beberapa sifat fisik air laut yang diteliti diantaranya adalah temperatur/suhu, salinitas, kekeruhan dan TSS (Total Suspended Solids).

Temperatur air laut berkisar antara -2°C sampai 30°C. Temperatur yang rendah terdapat pada laut-laut di sekitar kutub dan pada dasar laut dalam. Sedangkan temperatur air laut yang tinggi terdapat pada laut-laut daerah arid. Pada

Pe nge lol aan Hutan Mangrove dan Ek osi ste m P an tai | 17 kedalaman sekitar 1 meter, temperatur air laut cenderung lebih tinggi dari pada temperatur pada permukaan air laut, hal ini disebabkan karena beberapa sebab antara lain di bagian permukaan terjadi pemancaran panas kembali ke atmosfer, terjadi konveksi dengan udara bila udara tersebut merupakan massa dingin dan adanya proses pengupan di permukaan yang memerlukan panas. Secara umum, temperatur rata-rata air laut di lokasi penelitian secara alami berkisar antara 26°C sampai 31°C. Suhu rata-rata air laut secara umum yang terbaik berkisar antara 26°C sampai 30°C. Suhu air pada kisaran ini sangat baik dalam menunjang proses dekomposisi yang akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Perkins (1974) menyatakan bahwa kisaran suhu yang dianggap layak bagi kehidupan organisme akuatik bahari adalah 25°C sampai 32°C. Fluktuasi temperatur banyak dipengaruhi oleh absorbsi sinar matahari, kecepatan arus, kedalaman air dan kemiringan tempat. Perubahan suhu akan mempengaruhi distribusi, metabolisme, nafsu makan, reproduksi biota laut serta berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesis fitoplankton dan tanaman air.

Kekeruhan air menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organic maupun anorganik yang berupa plankton atau mikroorganisme lain (Ansori, 2008). Untuk mengetahui tingkat kekeruhan diukur dengan menggunakan Nephelometric. Satuan kekeruhan adalah NTU (Nephelometrikc Turbidity Unit). Nilai ambang batas untuk kekeruhan air laut adalah 30 NTU, sedangkan tingkat kekeruhan air yang paling baik adalah 5 NTU. Nilai kekeruhan air di lokasi penelitian berkisar antara 2 sampai 25 NTU, sedangkan nilai rata-ratanya adalah 8,27 NTU. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas air pada ekosistem mangrove secara keseluruhan berada di bawah ambang batas.

Salinitas merupakan bilangan yang menunjukkan berapa gram garam-garaman yang larut dalam air laut tiap-tiap kilogram (gr/kg) biasanya dinyatakan dalam persen (%) atau per mil (°/∞). Seluruh barang padat yang larut dalam air laut disebut garam-garaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya salinitas air laut, yaitu:

18 | Si n te si s R PI

1. Penguapan; penguapan semakin besar maka salinitas semakin tinggi, sebaliknya semakin kecil penguapan maka salinitasnya semakin rendah.

2. Curah hujan; curah hujan semakin besar maka salinitas semakin rendah, kebalikannya semakin kecil curah hujan maka salinitasnya semakin tinggi. 3. Air sungai; semakin besar suplai air sungai yang bermuara ke laut, maka

salinitas air laut semakin rendah.

4. Letak dan ukuran laut; laut-laut yang tidak berhubungan dengan laut lepas dan terdapat di daerah arid maka salinitasnya tinggi.

5. Arus laut; laut-laut yang dipengaruhi oleh arus panas maka salinitasnya akan lebih tinggi dari pada laut-laut yang dipengaruhi oleh arus dingin.

6. Angin dan kelembaban udara; angin dan kelelembaban udara berhubungan dengan penguapan dan penguapan berhubungan dengan besar kecilnya salinitas.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, besaran salinitas berkisar antara 5°/∞. sampai dengan 30°/∞ dengan rata-rata keseluruhan 16,21°/∞. Nilai salinitas yang rendah diambil pada titik terjauh dari pasang surut, sedangkan nilai salinitas yang tinggi diambil pada titik terdepan yang berbatasan langsung dengan laut. Tidak ada aturan baku tentang nilai ambang batas salinitas, nilai salinitas berfluktuatif secara alami.

Total Padatan Tersuspensi atau yang dikenal dengan Total Suspended Solid (TSS) adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganic yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45 μm. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. Kadar zat tersuspensi erat sekali hubungannya dengan kekeruhan karena kekeruhan pada air disebabkan adanya zat-zat tersuspensi yang ada dalam air tersebut. Zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat, misalnya pasir halus, liat dan lumpur alami yang merupakan bahan-bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang melayang-layang dalam air. Bahan-bahan organik yang merupakan zat tersuspensi terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti selulosa,

Pe nge lol aan Hutan Mangrove dan Ek osi ste m P an tai | 19 lemak, protein yang melayang-layang dalam air atau dapat juga berupa mikroorganisme seperti bakteri, algae, dan sebagainya. Bahan-bahan organik ini selain berasal dari sumber-sumber alamiah juga berasal dari buangan kegiatan manusia seperti kegiatan industri, pertanian, pertambangan atau kegiatan rumah tangga. Kekeruhan memang disebabkan karena adanya zat tersuspensi dalam air, namun karena zat-zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat yang bentuk dan berat jenisnya berbeda-beda maka kekeruhan tidak selalu sebanding dengan kadar zat tersuspensi. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan besaran TSS berkisar antara 5 ppm sampai dengan 39 ppm dengan rata-rata keseluruhan 13,7 ppm. Nilai ambang batas TSS berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan adalah 80 ppm, dengan demikian secara umum dari keseluruhan lokasi mempunyai TSS yang jauh dari ambang batas.

Beberapa sifat kimia air laut yang diamati pada penelitian ini adalah derajat keasaman (pH), Amoniak (NH3), Nitrat (NO3), Nitrit (NO2), Dissolved Oxigen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), Carbon Dioxide (CO2) dan Chemical

Oxygen Demand (COD). Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran dari

konsentrasi ion hidrogen positif yang menunjukkan suasana air (Hariadi, 1992 dalam Kembarawati dan Lilia, 2008). Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH=7 adalah netral, pH<7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH>7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jka pH rendah. Pada perairan dengan tingkat pH yang tinggi dapat menyebabkan amonium yang tidak bersifat toksik dapat tidak terionisasi dan berubah bersifat toksik. Amonia yang tak terionisasi ini akan mudah terserap dalam tubuh organisme aquatik. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan kertas lakmus besaran Nilai pH air berkisar antara 7 sampai dengan 8 dengan rata-rata nilai pengukuran pada semua lokasi sebesar 7,3. Hasil pengukuran pH air di laboratorium berkisar antara 7,24 sampai dengan 8,30 dengan rata-rata secara keseluruhan lokasi 7,96. Dalam kriteria penilaian termasuk dalam kelas netral sampai dengan agak alkalis. Tingkat keasaman yang bersifat alkalis ini sangat

20 | Si n te si s R PI

mendukung untuk proses dekomposisi pada suatu perairan. Nilai ambang batas pH yang baik untuk kehidupan organisme laut berkisar antara 6,5–8,5. Jadi kondisi pH di lapangan masih relatif bagus bagi perkembangan organisme laut.

Amonia adalah gas berbau tajam yang tidak berwarna dengan titik didih -35°C. Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4+ pada pH rendah dan disebut dengan amonium. Amonia yang terdapat dalam air permukaan berasal dari oksidasi zat organis secara mikrobiologi dan dapat pula berasal dari air seni dan kotoran. Kadar amonia dinyatakan dalam mg/l. Kadar amonia yang tinggi menunjukkan adanya pencemaran. Konsentrasi amonia yang tinggi pada perairan dapat menyebabkan kematian pada ikan. Pengaruh pH terhadap toksisitas amonia sangat besar, pada kondisi pH rendah akan bersifat racun bila jumlah amonia banyak, sedangkan pada pH tinggi, hanya dengan jumlah amonia yang rendah pun sudah akan bersifat racun. Kadar Amoniak (NH3) di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0,01 ppm, masih berada dibawah ambang batas normal yaitu kurang dari sama dengan 1 ppm. Analisis kandungan amoniak penting dilakukan karena merupakan parameter kunci layak tidaknya perairan untuk kehidupan biota laut.

Nitrit (NO2) merupakan bentuk nitrogen yang teroksidasi dengan bilangan oksidasi +3 (Edward dan Abd. Wahab Rajab, 2000). Nitrit merupaka salah satu parameter kunci dalam penentuan kualitas air. Nitrit biasanya merupakan bentuk transisi antara amoniak dan nitrat dan segera berubah menjadi bentuk yang lebih stabil yakni nitrat. Nitrit banyak dijumpai pada instalasi pengolahan air limbah, air sungai dan drainase. Nitrit juga bersifat racun karena dapat bereaksi dengan hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen, disamping itu nitrit juga membentuk nitrosamin (RRN-NO) pada air buangan tertentu dan dapat menimbulkan kanker (Alaert dan Santika, 1984). Nitrat (NO3-) merupakan bentuk nitrogen yang stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesis protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, namun pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan eutofikasi dan merangsang pertumbuhan ganggang secara tidak terbatas (blooming) bersama-sama dengan zat hara lainnya seperti fosfat, sehingga perairan dapat kekurangan oksigen dan menyebabkan kematian pada ikan (Edward dan Abd. Wahab Rajab, 2000). Kandungan Nitrat (NO3) di semua lokasi penelitian yang terbesar 0,05 ppm dan kandungan Nitrit (NO2) di semua lokasi penelitian yang

Pe nge lol aan Hutan Mangrove dan Ek osi ste m P an tai | 21 terbesar 0,087 ppm. Berdasarkan standar baku mutu seharusnya yang paling ideal kandungan Nitrit (NO2) untuk kehidupan biota air adalah nihil. Menurut Kembarawati dan Lilia (2008), kadar nitrat yang baik untuk perairan berkisar antara 2–5 ppm dan maksimum 10 ppm. Pada kondisi tersebut sangat baik untuk mendukung pertumbuhan plankton di perairan.

Disolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut adalah jumlah oksigen terlarut

dalam air yang berasal dari fotosintesis dan absorbs atmosfer/udara. Semakin banyak jumlah oksigen terlarut maka kualitas air semaik baik. Satuan DO biasanya dinyatakan dalam mg/l (ppm). Hasil pengukuran DO air di laboratorium rata-rata 4,4 ppm. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

Dokumen terkait