• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekomendasi Penanganan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana

Dalam dokumen Observasi Penanganan Pasca Bencana Provi (Halaman 29-35)

BAB III. REKOMENDASI MANAJEMEN BENCANA UNTUK DAERAH

II. PEMERINTAH PROPINSI

II.1. Rekomendasi Penanganan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana

Dengan pertimbangan bahwa pada saat ini upaya penanganan bencana sudah masuk ke tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, maka rekomendasi berikut diarahkan dalam rangka penguatan dan keefektifan kinerja manajemen penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi. Rekomendasi yang diajukan adalah sebagai berikut:

II.1. a. Rehabilitasi

Rekomendasi diarahkan pada:

1. Sosialisasi tentang bencana, ancaman bencana yang ada di DIY serta cara mitigasi untuk gempa yang dapat terjadi kapan saja di wilayah DIY. Program sosialisasi pada waktu yang masih dekat dengan peristiwa gempa akan membuat sosialisasi berjalan lebih efektif karena kecenderungan penerimaan masyarakat menjadi lebih tinggi. Pengalaman bencana lalu telah menjadi warning tersendiri untuk selalu waspada dan berupaya untuk meminimalkan kerugian akibat bencana. Sosialisasi pada fase ini mendapatkan peluang momentum yang tepat.

2. Sosialisasi dan pelatihan tentang konstruksi bangunan tahan gempa dengan berbagai media yang mudah terjangkau dan mudah dipahami oleh masyarakat.

3. Penyediaan fasilitas konsultasi teknis untuk kegiatan perbaikan rumah dan permukiman penduduk.

4. Perbaikan sarana dan prasarana yang vital bagi pemulihan layanan publik dan menunjang proses ekonomi masyarakat di Propinsi DIY seperti sarana irigasi, pendidikan, kesehatan.

5. Pemulihan lapangan kerja terutama untuk sector kerja padat karya 6. Pendampingan psikologis bagi korban gempa

II.1. b. Rekonstruksi

1. Penciptaan event daerah yang mampu menjadi stimulus perkembangan sector ekonomi dan budaya di wilayah DIY.

2. Peninjauan kembali peraturan-peraturan daerah yang berkaitan atau menunjang kegiatan penanggulangan bencana secara komprehensif seperti perda tentang RTRW, Perda tentang IMB, Perda tentang Izin Usaha untuk berbagai jenis usaha yang berhubungan atau potensial untuk berdampak atau terkena dampak dari bencan alam atau bencana social. Hal ini perlu untuk mulai dilakukan pada tahap ini agar terdapat keselarasan upaya untuk melakukan penanggulangan bencana secara komprehensif.

II.2.REKOMENDASI PENANGANAN MITIGASI DAN KESIAPSIAGAAN BENCANA

Fase penanggulangan bencana penting lain selain fase pemulihan yang dilakukan setelah terjadinya bencana adalah fase pengurangan risiko bencana yakni mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Perbedaan dari kedua aktivitas penanganan bencana ini terletak

pada jangka waktu dari aktivitas yang dijalankan serta level tindakan real yang dijalankan untuk mengurangi risiko bencana.

Pada dasarnya upaya penanganan mitigasi dan kesiapsiagaan bencana seringkali dilakukan sebagai hasil pembelajaran dari berbagai pengalaman bencana yang pernah dialami di masa lalu serta hasil pengenalan terhadap risiko bencana yang potensial terjadi di suatu wilayah. Oleh karena itu penanganan mitigasi dan kesiapsiagaan bencana haruslah dirancang untuk menyiapkan berbagai pihak dan kondisi dalam masyarakat untuk dapat meminimalkan risiko setiap ancaman bencana. Dengan demikian, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana janganlah hanya diarahkan pada jenis bencana yang telah terjadi di masa lalu.

Berdasarkan pada pemahaman di atas maka rekomendasi tindakan mitigasi dan kesiapsiagaan yang diajukan pada Pemerintah Propinsi DIY adalah mitigasi dan kesiapsiagaan yang mengarah pada berbagai jenis ancaman bencana yang potensial terjadi di wilayah DIY. Rekomendasi-rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

II.2.a. Mitigasi Bencana

1. Identifikasi ancaman bencana yang mungkin terjadi di wilayah DIY baik bencana yang dipicu karena faktor alamiah maupun faktor prilaku manusia (social) beserta pemetaan zonasi kerawanan bencana.

2. Identifikasi tingkat kerawanan dari wilayah-wilayah perbatasan kabupaten-kabupaten dan kota yang ada di wilayah DIY sebagai upaya penyiapan desain kebijakan atau program yang diarahkan untuk mengurangi risiko bencana yang terjadi di lintas wilayah administrative kabupaten/kota. Seperti dipahami bahwa bencana terjadi tanpa mengenal batas administrative. Bencana juga dapat terjadi karena dampak dari eksternalitas negative dari upaya pembangunan atau pola manajemen wilayah yang dilakukan oleh suatu wilayah yang berdampak luas pada wilayah lain. Selain itu bencana yang terjadi di suatu wilayah administrative dapat juga membawa dampak bencana pada wilayah administrative yang berbatasan dengannya. Seperti misalnya wilayah perbatasan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo yang rawan terhadap ancaman bencana banjir, wilayah perbatasan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul yang rentan terhadap ancaman bencana longsor dan kekeringan.

3. Pelaksanaan analisis Indeks Resiko Bencana setiap wilayah di Propinsi DIY. 4. Formulasi kebijakan teknis penanggulangan bencana lintas kabupaten/kota. 5. Penegakkan aturan standar bangunan di wilayah Propinsi DIY.

6. Penyesuaian kebijakan daerah tentang tata guna lahan dengan kondisi tingkat kerentanan setiap wilayah. Dengan pemahaman akan tingkat kerawanan wilayah-wilayah tertentu maka dapat dilakukan treatmen dalam kebijakan tata guna lahan yang bersifat mencegah aktivitas pembangunan di wilayah-wilayah tertentu. Penyesuaian dalam kebijakan tata guna lahan ini akan berdampak pada:

a) Program perlindungan bangunan atau rumah di area sepanjang pantai di wilayah Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul. b) Program penanaman bakau di wilayah pantai sebagai sarana pemecah gelombang. c) Pengaturan hunian penduduk di wilayah pantai, lereng gunung, jalur aliran

lumpur dan lava, wilayah lereng terjal dan puncak-puncak batu karang atau di tepi-tepi sungai sebagai upaya perlindungan terhadap penduduk di wilayah rawan bencana tersebut.

7. Penegakkan kebijakan daerah tentang penggunaan tanah dan air tanah di wilayah DIY.

8. Program penghijauan di wilayah DIY

9. Legislasi kebijakan daerah tentang emisi untuk polutan yang merentankan masyarakat di wilayah DIY.

10. Penyusunan buku profil bencana yang berisikan informasi mengenai sejarah bencana yang pernah terjadi dan ancaman bencana yang dihadapi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku ini disusun secara bervariasi sesuai dengan sasaran pembaca dan tujuan dari penggunaan buku tersebut.Oleh karena itu buku profil yang akan ditujukan bagi anak-anak akan berbeda dengan buku profil yang ditujukan untuk kalangan dewasa. Buku profil tersebut akan memiliki perbedaan dari segi tujuan utilisasi. Buku profil yang ditujukan sebagai sumber informasi umum akan berbeda dengan buku profil yang ditujukan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan kebencanaan dan penanggulangannya.

II.2.b. Kesiapsiagaan Bencana

Rekomendasi yang ditujukan untuk kesiapsiagaan terhadap situasi bencana di wilayah DIY adalah sebagai berikut:

1. Pengkajian kerentanan yang dilakukan secara kontinue. Kegiatan ini dipahami sebagai upaya untuk mengenai kelompok-kelompok yang rentan di setiap wilayah serta pengamatan terhadap berbagai sumber daya yang tersedia untuk mengatasi kerentanan tersebut. Pengkajian kerentanan ini akan tergambar secara nyata dengan pengkajian terhadap kelompok-kelompok lansia, balita dan anak-anak, kelompok wanita dan juga kelompok penduduk miskin di setiap wilayah di Propinsi DIY karena merekalah yang merupakan kelompok yang rentan terhadap kejadian bencana. Pengkajian ini dimaksudkan untuk memantau tingkat perkembangan keberdayaan mereka dari waktu ke waktu yang diperlukan untuk menetapkan sejumlah program bagi penguatan mereka dalam penanganan bencana. Kegiatan lain yang dilakukan dalam rangka pengkajian kerentanan adalah penilaian terhadap komponen-komponen infrastruktur fisik di setiap wilayah. Pengkajian kerentanan ini diupayakan dalam rangka menghindarkan kondisi infrastruktur fisik yang justru dapat menambah kerentanan suatu wilayah atau kerentanan dari kelompok-kelompok rentan ini.

2. Perencanaan. Kegiatan ini direalisasikan dalam bentuk penetapan panduan penanganan bencana. Dengan demikian dalam rangka penguatan kesiapsiagaan bencana ini Pemerintah Propinsi DIY perlu untuk merancang desain kegiatan penanganan bencana baik untuk fase tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bagi setiap ancaman bencana baik itu gempa, tsunami,longsor, banjir, kerusuhan dan lain sebagainya. Dalam rangka ini pemerintah juga menyiapkan scenario kerjasama penanganan bencana. Pembuatan MOU dengan LSM dalam maupun luar negeri, perusahaan-perusahaan swasta dilakukan dalam kegiatan perencanaan ini, yang diharapkan sebagai alat untuk menguatkan rencana penyiapan penanganan bencana oleh berbagai pihak.

3. Kerangka Kerja Institusional yang dapat direalisasi dalam upaya pembenahan kelembagaan Satkorlak PB. Seperti paparan rekomendasi yang diusulkan pada Pemerintah Pusat, rekomendasi berupa perubahan nomenklatur dan penambahan badan teknis di Propinsi yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk menjalankan aktivitas-aktivitas signifikan dan rutin dalam penanggulangan bencana untuk setiap

sector penanganan yakni penanganan mitigasi, kesiapsiagaan, rehabilitasi dan recovery. Hal ini diarahkan untuk memperkuat koordinasi vertical maupun horizontal yang diarahkan untuk kesiapsiagaan bencana. Dalam organisasi inilah kerangka kerja harian yang diarahkan untuk menguatkan pemahaman berbagai pihak akan bencana serta upaya penanganannya dilakukan.

4. Sistem Informasi. Pemerintah Propinsi DIY diharapkan mampu menciptakan sistem pendataan, penyebaran informasi serta pengolahan informasi yang efektif dari hasil pengkajian kerentanan yang hendaknya dilaksanakan secara continue. Dengan demikian diharapkan bahwa hasil pengkajian kerentanan terhadap kondisi kelompok rentan, perkembangan ancaman bencana di setiap wilayah, serta sumber daya yang telah tersedia di setiap wilayah untuk mengkondisikan agar seluruh pihak siap siaga terhadap bencana dapat terdistribusi secara cepat, aman dan dengan tingkat ketepatan informasi yang terjamin. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka supporting terhadap aktivitas pengambilan keputusan yang diarahkan untuk meningkatkan atau menjaga kesiapsiagaan seluruh pihak di wilayah Propinsi DIY dalam menghadapi bencana. 5. Basis Sumber Daya. Pemerintah Propinsi DIY diharapkan mampu untuk melakukan

berbagai program yang diarahkan untuk meningkatkan dukungan sumber daya bagi aktivitas peningkatan kesiapsiagaan berbagai pihak di wilayah DIY. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara penentuan prosentase tertentu dalam APBD yang diarahkan untuk menyiapkan sumber daya financial dalam rangka peningkatan kesiapsiagaan seluruh elemen publik di wilayah DIY terhadap ancaman bencana.Peningkatan sumber daya juga dilakukan dengan alokasi sejumlah perlengkapan vital yang dibutuhkan dalam rangka penanganan bencana serta penentuan cadangan pangan dalam jumlah tertentu untuk dugaan situasi darurat bencana tertentu.

6. Sistem Peringatan.Pemerintah Daerah melalui berbagai aksi harus mengupayakan tumbuhnya kesadaran publik akan ancaman bencana dan kondisi yang merentankan mereka serta upaya untuk mengantisipasi dan menyelamatkan diri saat bencana. Penyiapan sarana komunikasi modern dan tradisional harus dilakukan dalam rangka menguatan sistem peringatan bencana. Namun demikian perancangan mekanisme peringatan dini serta penggunaan instrument peringatan dini dan juga pola pendistribusian peringatan bencana harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sangat hati-hati untuk mencegah kebingungan publik atau bahkan ketidakpercayaan publik terhadap upaya peringatan bencana yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti dinyatakan oleh Breznitz (1984) bahwa masyarakat mungkin untuk menunjukkan fenomena crying wolf syndrome yakni tidak percaya atau menyikapi peringatan bencana yang telah dilakukan pemerintah dengan serangkaian aktivitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan respon kesiapsiagaan bencana.Hal ini dapat terjadi misalnya karena kesalahan yang sering terjadi dalam pendistribusian peringatan bencana atau ketidakakuratan informasi yang didistribusikan pada masyarakat.

7. Mekanisme Respon. Pemerintah Propinsi DIY diharapkan menyusun scenario penanganan bencana yang berisi pola pembagian kerja penanggulangan bencana, daftar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka penanganan setiap jenis bencana, pola penyediaan serta aktor-aktor yang dapat dikerahkan untuk kegiatan penanganan bencana lengkap dengan alamat kontak mereka.

8. Pendidikan, Pelatihan dan Penelitian. Satkorlak DIY diharapkan secara continue untuk melakukan kegiatan penelitian berkaitan dengan setiap ancaman bencana yang potensial terjadi di wilayah DIY serta penelitian mengenai upaya peningkatan kinerja penanggulangannya. Penempaan staf-staf Satkorlak dengan serangkaian keahlian professional penanganan bencana perlu dilakukan melalui berbagai mekanisme

pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan professional. Pendidikan dan pelatihan secara formal maupun informal harus dilakukan bagi seluruh elemen publik di wilayah DIY. Pemanfaatan media-media masyarakat yang bersifat formal maupun informal dapat dilakukan, sebagai contoh adalah penayangan cara kesiapsiagaan bencana melalui iklan layanan masyarakat, media massa, penyisipan pesan untuk membangun awareness terhadap bencana dapat dilakukan melalui media bahasan kasus-kasus dalam mata pelajaran di sekolah, paparan adegan pendek dalam tontonan wayang yang biasanya dinikmati oleh publik dan lain sebagainya.

9. Gladi. Upaya kesiapsiagaan lain yang sangat penting selain terbangunnya pengetahuan atau pemahaman mengenai bencana dan pola prilaku yang harus disiapkan untuk menyikapi bencana pada saat kejadian bencana, adalah pelaksanaan gladi yang sifatnya simulasi. Simulasi penyelamatan diri harus dilakukan untuk setiap jenis ancaman bencana yang mungkin menyerang wilayah DIY secara cepat dan tiba-tiba seperti banjir, gempa, tsunami atau letusan Gunung Merapi. Simulasi harus dilakukan pada seluruh elemen masyarakat terutama kelompok yang diperkirakan akan rentan pada saat terjadi bencana. Gladi ini pun haruslah dikemas dalam upaya yang bersifat menarik sehingga dapat membangkitkan partisipasi publik DIY secara serius dalam kegiatan tersebut.

III. PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

III.1. REKOMENDASI PENANGANAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASCA BENCANA GEMPA

Rekomendasi berkaitan dengan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa untuk Pemerintah Kabupaten/Kota hendaknya bersifat spesifik, karena gempa ini terjadi di seluruh wilayah kabupaten / kota yang ada di Propinsi DIY dengan dampak yang begitu bervariasi. Selain itu kondisi setiap wilayah kabupaten / kota juga pada dasarnya tidaklah seragam, sehingga upaya rehabilitasi dan rekonstruksi tentu akan dan harus berjalan secara berbeda. Namun demikian sehubungan dengan keterbatasan pemahaman Tim UNPAR akan kondisi wilayah setiap kabupaten/kota yang ada di DIY pasca gempa serta pengetahuan yang sangat terbatas tentang spesifikasi karakter wilayah beserta karakter kesiapan setiap Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah DIY, maka rekomendasi yang ditujukan bagi pihak Pemerintah Kabupaten /Kota lebih banyak akan bersifat umum.

Pada dasarnya rekomendasi yang sama yang telah ditujukan pada Pemeritah Propinsi DIY, juga diajukan pada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah DIY. Meski demikian, Tim UNPAR juga menambahkan beberapa rekomendasi spesifik bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah masing-masing. Rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

III.1.a. Rehabilitasi

1. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memanfaatkan mesin penghancur debris untuk mempersingkat masa rehabilitasi yang dilakukan oleh setiap penduduk.

2. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memanfaatkan mesin pencetak batako dalam rangka rehabilitasi bangunan fisik masyarakat maupun dalam rangka untuk menggerakkan perekonomian masyarakat jika dikoordinir secara baik.

3. Dalam rangka memulihkan keberdayaan sosial masyarakat, pemerintah diharapkan untuk memberikan layanan yang bersifat primer seperti layanan kependudukan atau kewargaan seperti KTP, Kartu Keluarga, dan Akte Kelahiran secara gratis pada para

korban gempa. Seperti diketahui gempa yang terjadi telah memungkinkan hancurnya dokumen-dokumen kewargaan yang bersifat vital tersebut. Dokumen ini dalam praktik jangka panjang akan sangat berpengaruh terhadap upaya masyarakat baik dalam unit individu maupun kolektif untuk memulihkan kapasitas ekonomi mereka, karena dokumen-dokumen ini hampir selalu menjadi syarat administrative bagi akses usaha dan akses terhadap peluang lainnya.

III.1.b. Rekonstruksi

1. Dalam fase rekonstruksi Pemerintah Kabupaten / Kota dapat melakukan pengaturan atau penataan pemukiman pada wilayah yang masih dapat direkayasa. Pada dasarnya upaya rekonstruksi juga dapat dijadikan momentum bagi Pemerintah Daerah untuk mengurangi kerentanan fisik dan sosial yang ada dalam masyarakat mereka. Berdasarkan pemahaman ini, maka rehabilitasi lingkungan permukiman penduduk dapat diawali dengan beberapa tindakan nyata sebagai berikut:

a) Kegiatan penataan jarak antara rumah-rumah penduduk yang cukup ideal. Hal ini dilakukan untuk mengatur kepadatan lingkungan permukiman. Hal ini penting karena dalam setiap bencana gempa setiap orang akan membutuhkan ruang yang cukup untuk upaya penyelamatan diri.

b) Pembangunan kesepakatan publik tentang perlunya ruang publik seperti lapangan atau taman publik untuk skope dusun, RW atau RT yang dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi pada saat bencana..

2. Fase rekonstruksi juga akan memaksa Pemerintah Kabupaten untuk melakukan relokasi penduduk dari wilayah-wilayah yang rawan longsor akibat gempa. Sebagai contoh Pemerintah Kabupaten Sleman yang dimungkinkan akan terpaksa harus merelokasi penduduk di Dusun Nglepen, Sengir Sumberharjo Prambanan karena mereka saat ini sangat rentan terhadap ancaman bahaya longsor akibat pembentukan bidang longsor seiring dengan terjadinya gempa. Hal yang sama juga dimungkinkan harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul dan Gunung Kidup. Namun demikian dalam kenyataan praktik, seringkali upaya ini mendapatkan reaksi yang bersifat negative yakni penolakan warga. Berhadapam dengan kondisi ini, maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah:

a) Memberikan informasi yang tepat pada penduduk target tentang risiko yang harus mereka alami jika bertahan di wilayah rawan longsor tersebut.

b) Melakukan pendekatan pada kelompok penduduk target untuk mengidentifikasikan alasan penolakan relokasi.

c) Menyediakan sejumlah fasilitas dasar yang dibutuhkan bagi penduduk untuk pindah dari wilayah semula dan mampu bertahan di wilayah yang baru. Upaya Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan fasilitas dasar ini perlu dilaksanakan dalam kondisi dimana terdapat sejumlah penduduk yang tidak bersedia direlokasi karena mereka tidak memiliki pilihan tempat tinggal yang baru ataupun keterbatasan social ekonomi.

d) Menghindarkan pola penanganan yang represif terhadap penduduk yang menolak relokasi karena alasan yang bersifat emosional atau psikologis. Mungkin saja terdapat sejumlah penduduk yang memiliki ikatan emosional atau psikologis yang sulit dipahami orang lain dengan wilayah yang dinyatakan rawan longsor tersebut.

III.2. REKOMENDASI PENANGANAN MITIGASI DAN KESIAPSIAGAAN BENCANA

Rekomendasi yang diarahkan untuk mitigasi pada Pemerintah Kabupaten/Kota pada dasarnya sama dengan rekomendasi yang diajukan pada Pemerintah Propinsi DIY. Namun demikian selain rekomendasi di atas, terdapat upaya tambahan yang hendaknya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Upaya tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pembenahan sistem pendataan demografi dusun hingga kecamatan agar dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan peninjauan kembali terhadap data-data yang sebenarnya vital bagi kegiatan penanggulangan bencana terutama untuk upaya peningkatan kesiapsiagaan. Pola pendataan juga dapat dilakukan secara partisipatif dan kontinue, yang tidak lagi hanya mengandalkan keaktifan para ketua RT hingga Camat. Dalam pola ini, masyarakat dirangsang untuk aktif untuk melakukan updating terhadap data-data keluarga mereka. Data yang akurat pada dasarnya sangat dibutuhkan dalam kondisi darurat bencana untuk penyiapan sistem distribusi bantuan darurat secara cepat pada warga dengan asumsi data monografi sebagai batas kebutuhan maksimal bagi bantuan yang akan didistribusikan jika terjadi situasi darurat bencana.

2. Pembenahan dalam sistem data base wilayah dan data base kependudukan di tingkat Kabupaten. Pola pendistribusian dan penyimpanan data monografi yang tersebar ke setiap unit teknis dan secara online akan mempermudah aktivitas penanganan bencana dalam situasi darurat.

3. Pemantauan dan pengkajian terhadap aspek geologis maupun ekosistem lingkungan di wilayah Kabupaten/Kota secara regular harus senantiasa dilakukan, agar Pemerintah Kabupaten / Kota selalu siap dengan informasi tentang kerentanan fisik dan kerentanan masyarakat untuk perancangan program mitigasi dan kesiapsiagaan di setiap wilayah. Pemantauan dan pengkajian tersebut juga bukan hanya ditujukan pada jenis-jenis ancaman bencana tertentu yang dapat terjadi secara mendadak seperti gempa atau tsunami atau letusan Gunung Merapi, tetapi juga ancaman bencana yang dapat menyerang secara lambat seperti kekeringan, konflik masyarakat, atau wabah penyakit. Hal ini diarahkan pada upaya untuk mengembangkan sejmlah program yang diarahkan untuk mitigasi maupun peningkatan kesiapsiagaan terhadap bencana.

Dalam dokumen Observasi Penanganan Pasca Bencana Provi (Halaman 29-35)

Dokumen terkait