• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Kajian Pustaka

2.2 Teori Yang Digunakan

2.2.3 Relasi Makna

Relasi makna adalah bermacam-macam hubungan makna yang terdapat

pada sebuah kata atau leksem.

1. Sinonim

Secara semantik Verhar dalam Chaer, (2009:83) mendefinisikan sebagai

sama dengan makna ungkapan lain.hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Hubungan makna antar dua buah kata yang

bersinonim bersifat dua arah, misalnya buruk bersinonim dengan kata jelek. Kalau

dibagankan adalah sebagai berikut.

Faktor yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah :

a. Faktor waktu, misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan.

Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya

cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais, sedangkan kata komandan hanya

cocok untuk situasi masa kini (modren).

b. Faktor tempat atau daerah, misalnya kata saya dan kata beta adalah

bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunkan pada pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku), sedangkan kata saya dapat digunakan secara

umum dimana saja.

c. Faktor sosial, misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata bersinonim

tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat

digunakan kepada orang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.

buruk

d. Faktor bidang kegiatan, misalnya kata satawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Kata tasawuf hanya lazim dalam agama

Islam. Kebatinan yang bukan Islam, dan mistik untuk semua agama.

e. Faktor nuansa makna, misalnya kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan

mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat bisa digunakan

secara umum, melirik hanya digunakan untuk melihat dengan sudut mata,

melotot digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar, meninjau hanya

digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi, kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.

2. Antonim

Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya

‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harafiah antonim berarti

‘nama lain untuk benda lain pula’.

Secara semantik dalam Chaer, (2009:89) mendefenisikan sebagai: ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.

Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah.

Misalnya dengan kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga

berantonim dengan kata bagus. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut :

buruk

Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa : tataran morfem, tataran kata, tataran frase dan tataran kalimat. Hanya

barangkali mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah. Dalam bahasa

Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa

inggris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, di mana ful dan less

berantonim; antara progresif dengan regresif dimana pro dan re berantonim.

Dilihat dari hubungannya, antonim dapat dibedakan antara antonim yang gradula/gradasi atau relatif dan yang bersifat mutlak (Chaer, 1994:299).

Antonim yang bersifat mutlak adalah kata-kata yang berlawanan dengan

bentuk nagasinya, yaitu disisipi dengan kata negasi

Hubungan antonim dikatakan bersifat mutlak karena

tidak bersinonim dengan yang

lainnya.

negasi

3. Homonim

pasangan

antonim yang di sebelah kiri bersinonim dengan pasangan antonim yang di

sebelah kanan atau negasi pasangan antonim yang disebelah kanan bersinonim dengan pasangan antonim yang disebelah kiri.

Kata homonim berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’

dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harafiah homonim dapat diartikan sebagai

Secara semantik verhaar dalam Chaer, (2009:94) memberi defenisi homonim sebagai ungkapan yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi

maknanya tidak sama.

Relasi antara dua buah ujaran yang berhomonim biasanya berlaku dua arah.

Contoh dalam bahasa Indonesia antara bulan yang bermakna benda yang ada di

langit, dan bulan yang datang tiap 30 hari pada wanita yaitu menstruasi, kata

pacar yang bermakna ’inai’ dan kata pacar yang bermakna ’kekasih’, antara kata

bisa yang bermakna ’racun’ dan bisa yang bermakna ’sanggup’.Hubungan antara

dua kata yang homonim bersifat dua arah, misalnya dalam kata bisa, artinya kalau

kata bisa yang berarti ‘racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti

‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ juga berhomonim dengan kata

bisa yang berarti ‘racun ular’, maka diagramnya menjadi sebagai berikut :

Berkaitan dengan homonim, ada yang disebut homofon dan homograf.

Homofon merupakan homonim yang sama bunyinya tetapi beda tulisan dan

maknanya, sedangkan homograf merupakan homofon yang sama tulisannya tetapi beda bunyi dan maknanya (Sudaryat, 2009 : 42).

a. Homonim yang homograf

Bisa I

Homonim yang homograf adalah homonim yang sama tulisannya, tetapi berbeda ucapan dan maknya. Misalnya : kata teras ‘bagian kayu yang keras’ dan

kata teras ‘lantai rumah di depannya’.

b. Homonim yang Homofon

Homonim yang homofon adalah homonim yang sama bunyinya tetapi

berbeda tulisan dan makna. Misalnya : kata bang yang berarti ‘saudara laki-laki

lebih tua’, dengan kata bank yang berarti ‘tempat simpan pinjam uang’.

c. Homonim yang homograf dan homofon

Homonim yang homograf dan homofon yakni homonim murni yang sama

bunyi dan tulisannya tetapi berbeda maknanya. Misalnya : kata buram yang berarti

‘rancangan, konsep’ ; dengan kata buram yang berarti ‘suram, tidak bening’.

Dengan kata beruang yang berarti ‘nama binatang ; dengan kata beruang yang

berarti ‘memiliki ruang’ ; dan dengan kata beruang yang berarti ‘memiliki ruang’.

4. Hiponimi

Kata hiponimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’

dan hypo berarti ‘di bawah’. Secara harafiah berarti ‘nama yang termasuk di

bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar dalam Chaer, (2009:98) menyatakan

hiponim ialah ungkapan yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna

Misalnya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan. Sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan

tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk banding, tengiri, teri,

mujair, cakalang dan sebagainya. Kalau diskemakan menjadi :

Ikan

Tongkol Bandeng Tenggiri teri Mujair Lele

5. Polisemi

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bias juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2009 : 101). Dalam bahasa

Melayu juga ditemukan sejumlah yang memiliki ciri polisemi. Kata-kata yang

berpolisemi kemungkinan akan menyebabkan ketaksaan di dalam kalimat tertentu.

Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari

satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti.

Misalnya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang lebih

dari satu. Dapat dilihat dari bagan berikut :

Makna 1 Makna 2 Makna 3 Makna 4 Makna 5 Kepala

Makna 6

6. Ambiguitas

Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna

ganda atau mendua arti (Chaer, 2009 : 104). Kegandaan makna dalam ambiguitas

berasal dari satuan gramatikal yang paling besar, yaitu frase atau kalimat, dan

terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Ambiguitas berasal dari

bahasa inggris ambiguity yang berarti suatu kontruksi yang dapat ditafsirkan lebih

dari satu arti. Hal ini mengakibatkan terjadinya lebih dari satu makna ini dapat

terjadi saat pembicaraan lisan ataupun dalam keadaan tertulis.

Ketaksaan adalah kegandaan makna sebuah kalimat yang lebih dari satu

makna sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman, khususnya apabila konteks

kalimatnya tidak begitu jelas. Ciri ketaksaan umumnya terjadi pada bahasa tulis,

karena pada bahasa tulis unsur supra segmental tak dapat dideskripsikan secara

akurat (Chaer, 1994:307).

Ketaksaan pada bahasa Melayu, terdiri dari ketaksaan leksikal dan

ketaksaan struktural. Ketaksaan leksikal adalah ketaksaan yang disebabkan oleh kata polisemi yang terdapat di dalam kalimat. Kata polisemi itu memiliki beberapa

makna, maka makna kalimat itupun bersifat taksa. Tetapi tidak semua kata

polisemi dapat menyebabkan ketaksaan makna kalimat, sebab ketaksaan makna

Konsep ini tidak salah melainkan kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi yang bermakna ganda. Perbedaannya kalau polisemi ialah

kegandaan makna dalam kata sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas

berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan

terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Misalnya, frase

buku sejarah baru, dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau

(2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Contoh lain, Orang malas lewat di sana

dapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau (2)

7. Redundansi

Redundansi adalah penggunaan unsur segmental yang berlebih-lebihan

dalam suatu bentuk ujaran (Chaer, 1994:310).

Redundansi secara umum dapat diartikan sebagai keterbuangan ruang,

waktu, materi, energi, yang terjadi dalam sistem teknologi. Bila redundansi dalam

istilah semantik sering sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam

suatu ujaran.

Secara semantik, masalah redundansi sebenarnya tidak ada, sebab salah

satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuj berbeda maka makna pun akan

berbeda. Oleh karena itu, redundansi kata-kata dikaji dengan netral dan tidak

dianalisis dengan parameter preskriptif berupa vonis salah-benar, berlebihan-

ekonomis.

Misalnya kalimat Kami dijemput oleh ibu dari bandara, tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan kami dijemput ibu dari bandara.

Dokumen terkait