RELASI MAKNA
DALAM BAHASA MELAYU
DESA PANTAI LABU BARU, KABUPATEN DELI SERDANG
SkripsiDikerjakan Oleh, NAMA : SATRIA SINAGA
NIM : 090702005
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU
MEDAN
RELASI MAKNA
DALAM BAHASA MELAYU
DESA PANTAI LABU BARU, KABUPATEN DELI SERDANG
SkripsiDikerjakan Oleh,
NAMA : SATRIA SINAGA NIM : 090702005
Diketahui Oleh,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Drs. Baharuddin, M.Hum
NIP. 196001011988031007 NIP. 196006091986122001 Dr. Rozanna Mulyani, M.A
Disetujui Oleh,
Departemen Sastra Daerah FIB USU Ketua,
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi kesehatan dan keselamatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Judul skripsi ini adalah “Relasi Makna Dalam Bahasa Melayu Desa Pantai Labu Baru, Kabupaten Deli Serdang”. Untuk memudahkan pemahaman isi skripsi ini, penulis akan memaparkan rinciannya, yakni bab pertama dibicarakan tentang pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian dan Sosial Budaya Masyarakat Pantai Labu. Pada bab kedua dibahas tentang kajian pustaka, yang terdiri atas kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan. Pada bab ketiga dibahas tentang metode penelitian yang terdiri atas metode dasar, lokasi dan sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Pada bab keempat dibahas tentang hasil penelitian dan pembahasan, dan bab lima dibahas tentang kesimpulan dan saran.
Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi semua pembaca. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.
Medan, 2014 Penulis
NIM : 090702005
Daftar Isi
Kata Pengantar ... i
Ucapan Terima Kasih ... ii
Daftar Isi ... v
Abstrak ... vii
Bab I Pendahuluan ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.5 Letak Geografis Kecamatan Pantai Labu, Kab. Deli Serdang ... 7
1.5.1 Letak Geografis Kecamatan Pantai Labu, Kab Deli Serdang ... 7
1.5.2 Keadaan Penduduk ... 9
1.5.3 Kondisi Bahasa Melayu di Lokasi Peneliti ... 10
1.5.4 Peran Bahasa Melayu Serdang (BMS) di Lokasi Peneliti ... 12
1.5.5 Adat Budaya Melayu Serdang ... 13
1.5.6 Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Serdang ... 15
Bab II Kajian Pustaka ... 19
2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 19
2.2 Teori Yang Digunakan ... 22
2.2.1 Teori-Teori Semantik ... 23
2.2.2 Jenis Makna... 25
2.2.3 Relasi Makna ... 28
Bab III Metode Penelitian ... 38
3.1 Metode Dasar ... 38
3.2 Lokasi dan Sumber Data ... 39
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 40
3.5 Metode Analisis Data ... 41
Bab IV Pembahasan ... 42
4.1 Sinonim ... 42
4.2 Antonim ... 45
4.3 Homonim ... 47
4.4 Hiponim ... 49
4.5 Polisemi ... 53
4.6 Ambiguitas/ Ketaksaan ... 57
4.7 Redundansi/ Kemubaziran ... 58
Bab V Simpulan Dan Saran ... 60
5.1 Simpulan ... 60
5.2 Saran ... 60
Daftar Pustaka ... 61
Lampiran Kosa Kata ... 63
Biodata Informan ... 75
Abstrak
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan setiap suku bangsa mempunyai bahasa tersendiri yang membedakannya dengan suku lain. Bahasa yang dipergunakan setiap suku bangsa tersebut, disebut bahasa daerah. Bahasa daerah yang tersebar di seluruh tanah air merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa dan salah satunya ialah Bahasa Melayu Serdang atau di singkat BMS. Dalam Ilmiah ini, penulis mengkaji tentang relasi makna, dimana di daerah penelitian masih ada dijumpai proses relasi makna antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya yang dilakukan dalam aktifitas yang dilakukan masyarakat setempat, khususnya masyarakat desa Pantai Labu Baru.
Dalam kajian relasi makna ini membicarakan tentang kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (hiponim), kelainan makna (homonim) dan kelebihan makna (redundansi). dan penulis menganalisis bersama contoh kalimat yang terdapat di daerah penelitian.
Penulis berharap, semoga ilmiah ini bisa menjadi bahan referensi berikutnya, bagi peneliti bahasa khususnya di desa Pantai Labu Baru dan semoga bahasa Melayu bisa lestari dan tidak punah di geser oleh bahasa asing. Terima kasih
Abstrak
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan setiap suku bangsa mempunyai bahasa tersendiri yang membedakannya dengan suku lain. Bahasa yang dipergunakan setiap suku bangsa tersebut, disebut bahasa daerah. Bahasa daerah yang tersebar di seluruh tanah air merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa dan salah satunya ialah Bahasa Melayu Serdang atau di singkat BMS. Dalam Ilmiah ini, penulis mengkaji tentang relasi makna, dimana di daerah penelitian masih ada dijumpai proses relasi makna antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya yang dilakukan dalam aktifitas yang dilakukan masyarakat setempat, khususnya masyarakat desa Pantai Labu Baru.
Dalam kajian relasi makna ini membicarakan tentang kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (hiponim), kelainan makna (homonim) dan kelebihan makna (redundansi). dan penulis menganalisis bersama contoh kalimat yang terdapat di daerah penelitian.
Penulis berharap, semoga ilmiah ini bisa menjadi bahan referensi berikutnya, bagi peneliti bahasa khususnya di desa Pantai Labu Baru dan semoga bahasa Melayu bisa lestari dan tidak punah di geser oleh bahasa asing. Terima kasih
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan setiap suku bangsa
mempunyai bahasa tersendiri yang membedakannya dengan suku lain. Bahasa
yang dipergunakan setiap suku bangsa tersebut, disebut bahasa daerah. Bahasa
daerah yang tersebar di seluruh tanah air merupakan salah satu kekayaan budaya
bangsa dan merupakan alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi, akan tetapi
bangsa Indonesia juga memiliki satu bahasa nasional sebagai alat komunikasi
yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa resmi dan bahasa nasional, bahasa Indonesia itu disebut juga bahasa
pemersatu yang diharapkan dapat mengikat dan mempersatukan semua warga
negara Republik Indonesia. Demikian, sebagian besar anggota masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang memiliki dan menggunakan paling sedikit dua
bahasa (bilingual), yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah sangatlah penting
dalam memperkaya kebudayaan nasional. Itulah sebabnya bahasa-bahasa daerah
harus dipelihara dan dilestarikan agar tetap menjadi wadah pengekspresian budaya
Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah tidak saja bertujuan menjaga
kelestarian bahasa daerah itu, tetapi juga bermanfaat bagi pembinaan,
pengembangan, dan pembakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Pembinaan bahasa nasional tidak bisa dilepaskan dari pembinaan bahasa daerah
karena kedua-duanya mempunyai hubungan timbal balik yang erat.
Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam
kehidupan manusia. Bahasa digunkan oleh manusia dalam berkomunikasi
sehari-hari untuk menjalankan segala aktivitas hidup, seperti penelitian, penyuluhan,
pemberitaan bahkan untuk menyampaikan pikiran dan pandangan.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional atau bahasa kebangsaan bagi
bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan undang-undang dasar 1945 pasal 36, yang
didalamnya dinyatakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”.
Bahasa Indonesia dipakai diseluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari
berbagai daerah yang mempunyai latar belakang social, budaya dan kebahasaan
yang beraneka ragam. Salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah
bahasa Melayu.
Bahasa Melayu adalah salah satu bagian dari bahasa daerah yang perlu
dikembangkan dan dilestarikan, karena bahasa Melayu berpengaruh besar
terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Kita mengetahui bahwa bahasa daerah
Oleh karena itu kita berkewajiban memelihara bahasa Melayu, tanpa harus
melupakan pembinaan bahasa daerah lainnya yang juga merupakan pendukung
berkembangnya bahasa Indonesia.
Ada beberapa dialek bahasa Melayu di Sumatera Utara, di antaranya adalah
bahasa Melayu Deli, bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Serdang, dan
lainnya.
Bahasa Melayu Serdang, merupakan suatu bahasa daerah yang digunakan
sebagai bahasa sehari-hari dan juga dalam upacara adat. Bahasa daerah ini berbeda
dalam pengucapan, seperti bunyi akhiran “a” dalam bahasa Indonesia diucapkan
menjadi “o”, misalnya “ada” menjadi “ado”, “siapa” menjadi “siapo”.
Berbicara mengenai bahasa sebagai alat komunikasi akan terkait erat
dengan semantik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna
bahasa.
Selain semantik seluruh bidang kajian linguistik berkembang sangat pesat
melalui penelitian-penelitian bahasa yang sering menghasilkan sejumlah teori dan
konsep baru tentang bahasa pada umumnya, serta konsep baru tentang fonologi,
morfologi dan sintaksis khususnya. Akibatnya bidang kajian semantik jauh
tertinggal dari bidang kajian lainnya sehingga teori dan konsep semantik hanya
mengandalkan teori dan konsep yang sama dalam kurun waktu yang cukup lama.
pertama (1957) tidak menyingung-nyinggung masalah makna. Baru kemudian
dalam bukunya yang kedua (1965) beliau menyatakan, bahwa semantik
merupakan salah satu komponen tata bahasa (dua komponen lain adalah fonologi
dan sintaksis), dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik ini,
(Chaer, 1994 : 285).
Semantik sebagai salah satu bidang kajian linguistik, sebenarnya
memegang peranan yang sangat penting dalam pengkajian bahasa karena tanpa
makna bahasa tidak mungkin berfungsi dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dari
pernyataan Parera sebagai berikut :
”[...] pembahasan linguistik tanpa mempersoalkan makna adalah tidak manusiawi. Bahasa adalah fenomena kemaknaan dalam Komunikasi antar manusia di manapun dia berada, kebermaknaan komunikasi inilah yang menjadi ciri khas bahasa sebagai satu isyarat komunikasi (Parera, 1990 : 12).
Penelitian tentang semantikpun tidak banyak dilakukan. Hal ini disebabkan
antara lain oleh kaitan makna dengan penutur bahasa. Selain itu makna juga terkait
erat tidak saja dengan struktur bahasa itu sendiri tetapi juga dengan sosial budaya
masyarakat pengguna bahasa itu, sehingga adanya kesan bahwa makna itu bersifat
subjektif.
Berdasarkan uraian di atas, maka dianggap perlu diadakan suatu penelitian
tentang makna bahasa dari sudut pandang semantik, terutama semantik bahasa
Pengkaji membahas tentang relasi makna atau sering juga kita sebut
hubungan makna. Relasi makna adalah bermacam-macam hubungan makna yang
terdapat pada sebuah kata atau leksem. Makna kata-kata itu membentuk pola
tautan semantik atau relasi leksikal. Tautan antara kata-kata itu berwujud
kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna
(polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna
(homonimi), kelebihan makna (redundansi).
Penelitian ini memaparkan relasi makna yang ada dalam bahasa Melayu
Deli Serdang. Berdasarkan hal di atas, judul yang dipilih dalam penulisan skripsi
ini adalah Relasi Makna Dalam Bahasa Melayu Desa Pantai Labu Baru,
Kabupaten Deli Serdang (selanjutnya disingkat dengan BMS).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut : Bagaimanakah Jenis-Jenis Relasi Makna dalam Bahasa Melayu
Serdang di Desa Pantai Labu Baru, Kabupaten Deli Serdang ?
Berdasarkan permasalahan yang ada di atas, tujuan penelitian skripsi ini
adalah : Mendeskripsikan Jenis-Jenis Relasi Makna dalam Bahasa Melayu
Serdang di desa Pantai Labu Baru, Kabupaten Deli Serdang.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis.
Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian terhadap
“Relasi makna dalam bahasa Melayu desa Pantai Labu Baru, Kabupaten Deli
Serdang”, yaitu :
1. Sebagai sarana untuk menunjang pengembangan ilmu pengetahuan melalui
penyediaan informasi yang berhubungan dengan analisis semantik.
2. Sebagai referensi dan pengembangan konsep bagi peneliti lain untuk
melakukan penelitian lebih lanjut, analisis bahasa umumnya dan analisis
semantik khususnya.
3. Mengembangkan dan membina kelestarian bahasa daerah khususnya tentang
relasi makna.
4. Sebagai penambah pengetahuan dan penambah data kepustakaan di
Departemen Sastra Daerah, khususnya program studi Bahasa dan Sastra
5. Melengkapi syarat ujian dan menempuh sarjana di Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
1.5 Sosial Budaya Masyarakat Melayu Serdang
1.5.1 Letak Geografis Kecamatan Pantai Labu, Kab Deli Serdang
Penelitian dilakukan di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Pantai Labu merupakan daerah pesisir yang
terletak di wilayah Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Pantai Labu
memiliki luas wilayah 81,85 km2 atau 8.185 Ha. Secara administrasi Kecamatan
Pantai Labu terdiri dari 19 desa dan 76 dusun dengan ibukota Desa Kelambir.
Secara geografis Kecamatan Pantai Labu terletak antara 2057’ – 3016’
Lintang Utara dan 98027’ Bujur Timur, serta berada pada ketinggian 0 – 8 meter
dari permukaan laut, di mana Pantai Labu berbatasan langsung dengan Selat
Malaka.
Pantai Labu beriklim tropis, di mana musim penghujan terjadi pada bulan
Maret, April serta September sampai Desember. Sedangkan musim kemarau
terjadi pada bulan Januari, Februari, serta Mei sampai Agustus. Pantai Labu
beriklim cukup panas dengan suhu maksimum mencapai 340C dan minimum
Kecamatan Pantai Labu memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Beringin
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis dan Kecamatan Percut Sei Tuan
Berdasarkan keadaan letak dan geografisnya tersebut, posisi Pantai Labu
memiliki nilai strategis sebagai salah satu akses dalam pemanfaatan potensi
sumber daya perairan Pantai Timur Sumatera. Potensi perikanan tangkap, Pantai
Labu juga memiliki potensi wisata bahari yang cukup potensial untuk
dikembangkan.
1.5.2 Keadaan Penduduk
Penduduk Kecamatan Pantai Labu berjumlah 43.981 jiwa yang terdiri dari
22.448 jiwa laki-laki dan 21.533 jiwa wanita. Jumlah penduduk di tiap desa di
Kecamatan Pantai Labu dapat dilihat pada tabel berikut:
No Desa Luas/km
1 Bagan Serdang 1.63
2 Binjai Bakung 3.11
3 Denai Kuala 4.50
5 Denai Sarang Burung 3.13
6 Durian 11.58
7 Kelambir 3.92
8 Kubah Sentang 1.28
9 Paluh Sibaji 2.06
10 P Labu Pekan 7.02
11 Pantai Labu Baru 1.10 12 Pematang Biara 4.04
13 Perkebunan Ramunia 8.43
14 Ramunia I 3.05
15 Ramunia II 1.33
16 Rantau panjang 4.70
17 Rugemuk 3.00
18 Sei Tuan 14.10
19 Tengah 1.20
Sumber : BPS sumatera Utara, kecamatan Pantai Labu dalam angka 2008
Keadaan Penduduk Menurut Suku Bangsa di Kecamatan Pantai Labu
Tahun 2007
No Suku Bangsa Jumlah/jiwa
1 Melayu 16.874
2 Jawa 16.436
3 Toba 3.728
4 China 3.669
5 Banjar 1.158
7 Mandailing 563
8 Karo 328
9 Minang 169
10 Aceh 144
11 Lainnya 326
Sumber : BPS sumatera Utara, kecamatan Pantai Labu dalam angka 2008
1.5.3 Kondisi Bahasa Melayu di Lokasi Penelitian
Bahasa Melayu Serdang (disingkat BMS) merupakan salah satu bahasa
Melayu yang ada di daerah kabupaten Deli Serdang, yang masih dipergunakan
sebagai bahasa sehari-hari dan dalam upacara adat.
Saat ini, penutur asli BMS berkurang dibandingkan dengan jumlah pemakai
BMS yang ada. Hal ini disebabkan pengaruh masyarakat pendatang seperti suku
Banjar, Jawa, Mandailing dan lainnya. Kewajaran tersebut sesuai dengan fungsi
BMS yang hanya terlihat dalam pergaulan sehari-hari dan dalam upacara adat
masyarakat pendukungnya.
Pendidikan formal, BMS tidak lagi dipakai. BMS dipakai dalam
lingkungan keluarga dan dalam upacara adat. Hal ini dapat dimaklumi karena
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau atau disingkat BMR.
Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan formal
di kabupaten Deli Serdang sudah mulai sejak awal abad 101 yang ditandai dengan
Pemakaian BMS dalam kehidupan sehari-hari terlihat berdampingan
dengan bahasa daerah pendatang seperti bahasa Banjar, Jawa, Minangkabau serta
Karo masih terlihat pada daerah yang diteliti. Penelitian yang sudah dilakukan,
orang pendatang sudah mulai bisa berbahasa Melayu Serdang dan sebaliknya.
Yang perlu diperhatikan disini ialah masalah kelangsungan hidup BMS saat ini
1.5.4 Peran Bahasa Melayu Serdang (BMS) di Lokasi Penelitian
Peranan BMS sangat fungsional pemakaiannya dalam pergaulan
sehari-hari. Pemakaiannya tidak saja terbatas pada suku Melayu, akan tetapi juga pada
suku pendatang.
Peranan BMS tampak dalam berbagai aspek kehidupan mereka, seperti
dalam tutur sapa, berbasa basi sewaktu berjumpa di jalan atau di pasar, di sawah,
dan lain sebagainya. Dapat terlihat dalam komunikasi lisan, bila dalam komunikasi
tertulis, masyarakat lebih memakai bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
Di daerah ini juga, penulis menemukan bahwa dalam upacara adat suku
bangsa Melayu Serdang berkaitan dengan belief sistem ‘sistem kepercayaan’,
nenek moyangnya yang masih dipercayai dan dilaksankan sampai saat ini.
Kepercayaan tradisional yang ada di dalam masyarakat dituangkan dalam bentuk
upacara-upacara adat, termasuk di dalamnya upacara meminang, perkawinan,
memasuki rumah baru, jamu laut, melenggang perut atau mandi tian, membelah
mulut, dan sebagainya. Dalam upacara tersebut, BMS sangat berperan.
Pemakaian BMS dalam upacara adat memperlihatkan corak tertentu, bila
dibandingkan pemakainya dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Yang dimaksud
dengan corak tertentu di sini ialah adanya variasi yang terlihat berbeda dari
istilah kekerabatan, dan bahasa bangsawan Melayu yang penggunaanya jarang
dipakai secara umum.
Di upacara adat tersebut, masyarakat biasanya dipandang dari segi umur,
bukan dari segi gelar kebangsawan Melayu. Saat upacara keagamaan peranan
BMS tidak menonjol, seperti khotbah di mesjid, upacara penguburan mayat, dan
akad nikah selain menggunakan bahasa Arab dipakai juga bahasa Indonesia.
Masyarakat Melayu Serdang juga memiliki sastra lisan, yang dimiliki oleh
orang-orang yang dulunya pernah bekerja atau tinggal di sekitar Kesultanan
Serdang.
1.5.5 Adat Budaya Melayu Serdang
Keanekaragaman bangsa Indonesia ditandai dengan adat istiadatnya
masing-masing dan sesuai dengan kebudayaan yang dipatuhi dan dilaksanakan
warganya. Umpamanya dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang walaupun
sudah dilaksanakan secara agama, namun masih harus diiringi dengan acara adat.
Anggapan bahwa adat itu sudah usang dan tidak sesuai dengan
perkembangan zaman adalah tidak tepat. Adat selalu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman bagi bangsa Indonesia adat merupakan nilai-nilai luhur yang
tidak mungkin dapat dipisahkan dari jiwa bagi bangsa Indonesia.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus
Ketentuan-ketentuan ini selalu didasari oleh falsafah hidup yang merupakan nilai luhur dari
masyarakat itu sendiri.
Masyarakat Melayu terkait erat dengan pilar utama peradatan budaya
Melayu, yang berbunyi ”Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan qitabullah”.
Demikian pula konsep budaya bagi masyarakat Melayu tidak boleh bergeser dari
konsep Islami. Bagi orang Melayu walaupun budaya dan agama saling
mendukung dan terkait namun agama bukan merupakan bagian dari kebudayaan.
Agama merupakan kehendak dan karunia dari Allah SWT, sedangkan budaya
merupakan hasil karya manusia.
Masyarakat Melayu Serdang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu.
Kebiasaan-kebiasaan ini ada yang sangat tebal, sehingga menjadi adat istiadat,
ataupun menjadi adat atau kebiasaan yang diadatkan.
Kata adat berasal dari bahasa Arab, yaitu ”adhi”, akhiran ”i” mempunyai
arti ”alam” atau tempat dimana ”adh” atau adat itu berlaku (Husny, 1972: 53).
Menurut Koentjaraningrat (1985 : 11) adat adalah wujud ideal dari kebudayaan.
Melayu mengatakan sesuatu dengan perumpamaan, seolah-olah menyuruh orang untuk berpikir.
1.5.6 Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Serdang
Masyarakat Melayu Serdang upacara perkawinan merupakan upacara yang
sangat sakral, upacara ini sangat penting dan merupakan bagian yang paling utama
dalam ritus-ritus peralihan (rites of the passage). Sebagai makhluk yang
berbudaya, manusia mengenal adat istiadat, salah satunya adat istiadat perkawinan
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dalam kegiatan yang berkaitan dengan
upacara perkawinan. Dalam upacara perkawinan adat istiadat masyarakat Melayu
Serdang, adat istiadat berfungsi sebagai pengatur tingkah laku dalam
melaksanakan upacara perkawinan.
Seseorang yang sudah melaksanakan upacara perkawinan akan mengalami
perubahan status, yaitu dari bujangan berubah menjadi berkeluarga, dan di dalam
masyarakat pasangan tersebut juga diperlakukan sebagai anggota penuh. Sistem
perkawinan juga dapat merubah sistem kekeluargaan, dan bahkan dapat juga
menggeser hak dan kewajiban anggota kerabat lainnya, misalnya kewajiban
seorang abang yang harus melindungi adik perempuannya, setelah perkawinan
kewajiban ini akan jatuh kepada suami si adik.
Masyarakat Melayu Serdang rangkaian penyelenggaraan proses perkawinan menurut adat terdiri atas beberapa tahap, yaitu:
2. Jamu sukut 3. Meminang 4. Ikat janji
5. Mengantar bunga sirih 6. Akad nikah
7. Berinai
yang terdiri atas:
a. Berinai tengah b. Berinai tengah
c. Berinai dan mandi berhias 8. Berandam dan mandi berhias 9. Bersanding
10. Nasi hadap-hadapan 11. Mandi berdimbar
12. Mandi selamat (lepas Halangan) (Basyarsyah II, 2005 : 52)
Zaman dahulu, semua, adat istiadat di atas musti dijalani satu persatu, tetapi
pada zaman sekarang adat istiadat ini lebih disederhanakan sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan, hal ini
disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Upacara-upacara yang dilakukan sebelum
upacara pernikahan adalah, merisik, jamu sukut, meminang ikat janji dan,
mengantar bunga sirih. Ini dilakukan sekaligus untuk mempersingkat waktu, pada
acara merisik dan meminang ini pihak laki-laki dan perempuan menggunakan jasa
telangkai, tugas telangkai ini adalah untuk menyampaikan maksud hati sang
pemuda kepada pihak perempuan. Seperti yang dikatakan di depan bahwa
masyarakat Melayu dalam menyampaikan maksud hati tidak pernah secara
terang-terangan selalu menggunakan kiasan dan sindiran, dan ini dilakukan dengan cara
petatah petitih dan berpantun. Ketika acara meminang ini pihak laki-laki
tepak sirih ikat janji dan 4 tepak sirih pengiring, dan semua tepak ini dibungkus
dengan kain songket. Dan dari pihak perempuan juga sudah ada 1 tepak sirih
menanti, 1 tepak sirih ikat janji dan 1 tepak sirih tukar tanda. Acara meminang
kedua orang tua si gadis tidak hadir dalam perundingan.
Pada acara akad nikah dilakukan dengan amat sakral dan seluruhnya
dilakukan dengan cara agama Islam tidak diganggu dengan adat. Sewaktu acara
bersanding, sebelumnya dilakukan upacara-upacara adat, seperti upacara
penyambutan pengantin pria dengan pencak silat, hempang batang/buluh, tukar
tepak, tengah halaman, tukar payung, perang bertih/bunga rampai disambut tari
persembahan dan hempang pintu. Upacara-upacara ini dilakukan di luar rumah.
Upacara yang dilakukan di dalam rumah adalah hempang kipas di pelaminan
bersanding, marhaban, doa, tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan dan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan Yang Relevan
Penulisan suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya
selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga
penulis tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan objek yang
diteliti, untuk itu mempertahankan hasil suatu karya ilmiah secara objektif
digunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, baik
berupa buku-buku acuan yang relevan maupun dengan pemahaman-pemahaman
teoritis dan pemaparan yang berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di lapangan.
Ada beberapa buku yang dipakai dalam penelitian ini seperti buku karangan
Chaer (2009) dengan judul “Pengantar Semantik Bahasa Indonesia” dan Sudaryat
(2009) dengan judul Makna dalam Wacana Prinsip-prinsip Semantik dan
Pragmatik.
Berkaitan dengan judul skripsi, “Relasi Makna Dalam Bahasa Melayu
Desa Pantai Labu Baru, Kabupaten Deli Serdang”, terlebih dahulu penulis akan
menguraikan beberapa defenisi para ilmuan tentang makna dan jenis makna;
Keraf, (1982:128) mengatakan makna adalah hubungan antara tanda dengan
Semantik merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna
(arti, Inggris : meaning). Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris.
Istilah semantik baru muncul dan diperkenalkan melalui organisasi filologi
Amerika (American Philological Association) tahun 1894. Istilah semantique
dalam bahasa Perancis yang diserap dari bahasa Yunani, diperkenalkan oleh Breal.
Semantik muncul sebagai subdisiplin ilmu linguistik muncul pada abad ke-19.
Breal, (1983), dalam sejumlah jurnal klasik membuat kerangka program
sejumlah ilmu pengetahuan ”baru” dan memberikan sebuah nama yang sampai
sekarang masih terkenal : ”Suatu studi yang mengundang pembaca untuk
mengikuti kami adalah barang baru yang belum diberi nama. Ilmu baru itu
mengenai batang tubuh dan bentuk kata-kata sebagaimana yang dikerjakan oleh
para linguis hukum yang menguasai perubahan makna, pemilihan bentuk-bentuk
pengungkapan baru, lahir dan matinya bentuk ungkapan (idiom), telah
ditinggalkan dalam gelap atau hanya secara kausal saja ditunjukkan, karena studi
yang tidak kurang pentingnya dari fonetik dan morfologi ini perlu mempunyai
nama, maka kami akan menyebutnya semantik, yaitu ilmu tentang makna”.
Pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19 mempercepat minat terhadap
semantik. Persoalan makna mendapat perhatian besar dalam buku Hermann Paul,
sarjana bahasa terkenal, Prinzipien der Sprachgeschichte (Pokok-pokok Sejarah
Bahasa) yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris (1880) dan
penting yang banyak dibaca orang yang menyangkut masalah semantik, yaitu
karya Arsens Darmesteter, La Vie des Mots etudies dans leurs significations
(1887) dan sepuluh tahun kemudian karya Breal, Essai de Semantique (1897).
Kedua buku ini boleh dikatakan merupakan karya klasik awal suatu ilmu
pengetahuan baru ( S. Ullman., 1977).
Semantik sebagai kajian makna, yaitu makna yang tersirat dalam kalimat
juga menjadi objek pembahasan dalam semantik, dan makna yang muncul dalam
pembicaraan tentang kata yang disebut makna kata. Pembicaraan tentang makna
kata juga menjadi objek dalam semantik. Semantik merupakan kajian yang sangat
luas tentang makna. Para ahli berpendapat bahwa semantik adalah studi tentang
makna.
Secara empiris sebelum seseorang berbicara dan ketika seseorang
mendengar ujaran seseorang terjadi proses mental pada diri keduanya. Proses
mental tersebut merupakan proses menyusun kode semantik, kode gramatikal dan
kode fonologi pada pihak pembicara, dan proses memecahkan proses fonologis,
gramatikal, dan kode semantik pada pihak pendengar lain, baik pada pembicara
maupun pendengar terjadi proses pemaknaan, (Pateda, 1996:7).
2.2 Teori Yang Digunakan
Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti
teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam
penelitian. Teori merupakan hal yang sangat perlu di dalam menganalisis suatu
karya ilmiah yang diajukan sebagai objek penelitian, karena teori adalah landasan
berpijak.
Penelitian ini menggunakan teori Chaer, (2009) yang menguraikan tentang
: Kata semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (tanda, lambang), semaino
(menandai atau melambangkan). Makna adalah: unsur dari sebuah kata atau lebih
tepat sebagai gejala-gejala dalam ujaran.
Ada beberapa kaidah umum yang berkenaan dengan studi semantik:
1. Hubungan antara sebuah kata atau leksem dengan rujukan atau acuannya
bersifat arbiter. Dengan kata lain tidak hubungan wajib diantara keduanya.
2. Secara sinkronik makna sebuah kata atau leksem tidak berubah, secara
diakronik ada kemungkinan berubah, maksudnya dalam jangka waktu terbatas
makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi dalam jangka waktu yang relatif
tidak terbatas ada kemungkinan bisa berubah. Namun, bukan berarti setiap kata
akan berubah maknanya.
3. Bentuk-bentuk yang berbeda akan berbeda maknanya.
4. Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri yang berbeda dengan sistem
budaya masyarakat pemakai bahasa itu. Sedangkan sistem budaya yang
melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama.
5. Makna setiap kata dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pandangan
hidup dan sikap anggota masyarakat yang bersangkutan
6. Luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik
dengan luasnya bentuk tersebut.
2.2.1 Teori-Teori Semantik
Teori tentang makna dibedakan atas :
1. Teori Refrensial, teori ini dikemukakan oleh Ogden dan Richards (1923) Yang
menggambarkannya dalam sebuah bentuk segitiga, yaitu segitiga makna.
Menurut teori ini makna sebuah kata cendrung semantik leksikal dalam arti
makna yang ditunjuk oleh kata itu, atau objek yang ditunjuk oleh objek itu.
Dengan kata lain makna adalah objek yang ditunjuk oleh satu kata (ujaran)
atau makna sebuah ujaran adalah referensi ujaran tersebut. Namun teori ini
memiliki kelemahan karena tidak semua kata mempunyai referensi meskipun
semua kata mempunyai makna.
Makna (referensi, pikiran)
2. Teori Behavioris, makna menurut teori ini adalah situasi bahasa ketika
seseorang mengucapkan sesuatu beserta tanggapan yang muncul pada pihak
pendengar terhadap ucapan tersebut. Salah seorang pelopornya yaitu
Bloomfield. Menurut Bloomfield situasi bahasa merupakan gambaran S
(stimulus) dan R (respons). S-R merupakan makna ujaran dan akhirnya
menentukan makna dengan ciri-ciri situasi yang berulang dimana bahasa
digunakan.
3. Teori Mentalis, menurut teori ini, makna merupakan gagasan, ide, konsep yang
berhubungan dengan ujaran tersebut. dengan kata lain arti makna sebuah kata
adalah konsep atau gagasan yang berhubungan dengan kata tersebut. Satu ciri
utama dari teori ini ialah ucapan Glucksberg dan Danks, yakni : ”The set of
possible meanings in any given word is the set of possible feelings, images,
ideas, concepts, thoughts, and inferences that a person might produce when
that word is heard and processed.”
4. Teori Pemakaian. Teori ini dikembangkan oleh filsuf Jerman yang bernama
Wittgenstein (1830, 1858). Bagi Wittgenstein, bahasa merupakan suatu bentuk
permainan yang diadakan dalam beberapa konteks dengan beberapa tujuan.
Bahasapun mempunyai kaidah yang membolehkan beberapa gerakan, tetapi
melarang gerakan yang lain. Wittgenstein memberi nasihat, ”Jangan menanyakan
segi ujaran digunakan oleh pemakai bahasa dengan kata lain makna sebuah ujaran
ditentukan oleh pemakainya dalam masyarakat bahasa.
2.2.2 Jenis Makna
Ada beberapa jenis makna, yaitu :
1. Makna Leksikal (lexical meaning)
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada kata tanpa
konteks apapun. Makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang
sesuai dengan hasil indera kita. contoh : ular, memiliki makna leksikal “sejenis
binatang melata yang sangat berbisa”.
Makna leksikal dikatakan juga makna kata ketika kata itu berdiri sendiri,
sebab makna sebuah kata dapat berubah apabila kata tersebut telah berada di
dalam kalimat. Demikian ada kata-kata yang makna leksikalnya dapat dipahami
jika kata-kata itu sudah dihubungkan dengan kata-kata yang lain. Kata-kata seperti
ini termasuk kelompok tugas atau partikel, misalnya kata, dan, ini, ke, yang.
2. Makna Gramatikal (gramatical meaning)
Makna gramatikal atau makna struktural adalah makna yang muncul
sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat. Makna gramatikal ada jika terjadi
proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi.
Makna kontekstual adalah makna yang muncul sebagai akibat hubungan
antara ujaran dan konteks. Konteks dapat berwujud banyak hal. Konteks yang
dimaksud adalah konteks orangan, yaitu konteks yang memaksa pembicara untuk
mencari kata-kata yang maknanya dipahami oleh lawan bicara sesuai dengan jenis
kelamin, usia, latar belakang pendidikan dan latar belakang ekonomi. Misalnya,
kata ‘relevan’ sulit bagi kita mengharapkan pemahaman kata itu bagi anak yang
belum sekolah. Konteks situasi, yaitu konteks yang memaksa pembicara mencari
kata yang maknanya berkaitan dengan situasi. Misalnya, situasi gembira maka kita
mencari kata yang maknanya sesuai dengan situasi tersebut. Konteks tujuan,
konteks formal, konteks suasana hati pembicara/pendengar, konteks waktu,
konteks tempat, konteks kebahasan, dan lainnya.
4. Makna Denotatif (denotative meaning) dan Makna Konotatif (conotative
meaning)
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya
yang dimiliki oleh sebuah kata. Menurut Harimurti, (1982:32), makna denotatif
merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan antara hubungan
lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa yang didasarkan pada
konvensi tertentu. Sedangkan makna konotatif adalah makna yang muncul sebagai
akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang dibaca. Dengan kata
lain makna konotatif berhubungan dengan nilai rasa pemakai bahasa.
Makna kognitif adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna
unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar bahasa, objek
atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya. Makna
kognitif lebih banyak berhubungan dengan pemikiran kita tentang sesuatu.
6. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual merupakan hal yang esensial di dalam suatu bahasa.
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata terlepas dari
konteks atau asosiasi apapun. Sebenarnya makna konseptual sama dengan makna
denotatif.
Sedangkan asosiasi adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan
dengan adanya hubungan kata tersebut dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Makna asosiasi termasuk juga dengan makna konotatif, karena kata-kata tersebut
berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata tersebut, (Leech, 1976).
2.2.3 Relasi Makna
Relasi makna adalah bermacam-macam hubungan makna yang terdapat
pada sebuah kata atau leksem.
1. Sinonim
Secara semantik Verhar dalam Chaer, (2009:83) mendefinisikan sebagai
sama dengan makna ungkapan lain.hubungan makna antara dua buah kata yang
bersinonim bersifat dua arah. Hubungan makna antar dua buah kata yang
bersinonim bersifat dua arah, misalnya buruk bersinonim dengan kata jelek. Kalau
dibagankan adalah sebagai berikut.
Faktor yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata
dengan kata lain yang bersinonim adalah :
a. Faktor waktu, misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan.
Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya
cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais, sedangkan kata komandan hanya
cocok untuk situasi masa kini (modren).
b. Faktor tempat atau daerah, misalnya kata saya dan kata beta adalah
bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunkan pada pemakaian
bahasa Indonesia timur (Maluku), sedangkan kata saya dapat digunakan secara
umum dimana saja.
c. Faktor sosial, misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata bersinonim
tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat
digunakan kepada orang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.
buruk
d. Faktor bidang kegiatan, misalnya kata satawuf, kebatinan, dan mistik adalah
tiga buah kata yang bersinonim. Kata tasawuf hanya lazim dalam agama
Islam. Kebatinan yang bukan Islam, dan mistik untuk semua agama.
e. Faktor nuansa makna, misalnya kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan
mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat bisa digunakan
secara umum, melirik hanya digunakan untuk melihat dengan sudut mata,
melotot digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar, meninjau hanya
digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi, kata mengintip
hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
2. Antonim
Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harafiah antonim berarti
‘nama lain untuk benda lain pula’.
Secara semantik dalam Chaer, (2009:89) mendefenisikan sebagai:
ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah.
Misalnya dengan kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga
berantonim dengan kata bagus. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut :
buruk
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran
bahasa : tataran morfem, tataran kata, tataran frase dan tataran kalimat. Hanya
barangkali mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah. Dalam bahasa
Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa
inggris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, di mana ful dan less
berantonim; antara progresif dengan regresif dimana pro dan re berantonim.
Dilihat dari hubungannya, antonim dapat dibedakan antara antonim yang
gradula/gradasi atau relatif dan yang bersifat mutlak (Chaer, 1994:299).
Antonim yang bersifat mutlak adalah kata-kata yang berlawanan dengan
bentuk nagasinya, yaitu disisipi dengan kata negasi
Hubungan antonim dikatakan bersifat mutlak karena
tidak bersinonim dengan yang
lainnya.
negasi
3. Homonim
pasangan
antonim yang di sebelah kiri bersinonim dengan pasangan antonim yang di
sebelah kanan atau negasi pasangan antonim yang disebelah kanan bersinonim
dengan pasangan antonim yang disebelah kiri.
Kata homonim berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’
dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harafiah homonim dapat diartikan sebagai
Secara semantik verhaar dalam Chaer, (2009:94) memberi defenisi
homonim sebagai ungkapan yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi
maknanya tidak sama.
Relasi antara dua buah ujaran yang berhomonim biasanya berlaku dua arah.
Contoh dalam bahasa Indonesia antara bulan yang bermakna benda yang ada di
langit, dan bulan yang datang tiap 30 hari pada wanita yaitu menstruasi, kata
pacar yang bermakna ’inai’ dan kata pacar yang bermakna ’kekasih’, antara kata
bisa yang bermakna ’racun’ dan bisa yang bermakna ’sanggup’.Hubungan antara
dua kata yang homonim bersifat dua arah, misalnya dalam kata bisa, artinya kalau
kata bisa yang berarti ‘racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti
‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ juga berhomonim dengan kata
bisa yang berarti ‘racun ular’, maka diagramnya menjadi sebagai berikut :
Berkaitan dengan homonim, ada yang disebut homofon dan homograf.
Homofon merupakan homonim yang sama bunyinya tetapi beda tulisan dan
maknanya, sedangkan homograf merupakan homofon yang sama tulisannya tetapi
beda bunyi dan maknanya (Sudaryat, 2009 : 42).
a. Homonim yang homograf
Bisa I
Homonim yang homograf adalah homonim yang sama tulisannya, tetapi
berbeda ucapan dan maknya. Misalnya : kata teras ‘bagian kayu yang keras’ dan
kata teras ‘lantai rumah di depannya’.
b. Homonim yang Homofon
Homonim yang homofon adalah homonim yang sama bunyinya tetapi
berbeda tulisan dan makna. Misalnya : kata bang yang berarti ‘saudara laki-laki
lebih tua’, dengan kata bank yang berarti ‘tempat simpan pinjam uang’.
c. Homonim yang homograf dan homofon
Homonim yang homograf dan homofon yakni homonim murni yang sama
bunyi dan tulisannya tetapi berbeda maknanya. Misalnya : kata buram yang berarti
‘rancangan, konsep’ ; dengan kata buram yang berarti ‘suram, tidak bening’.
Dengan kata beruang yang berarti ‘nama binatang ; dengan kata beruang yang
berarti ‘memiliki ruang’ ; dan dengan kata beruang yang berarti ‘memiliki ruang’.
4. Hiponimi
Kata hiponimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’
dan hypo berarti ‘di bawah’. Secara harafiah berarti ‘nama yang termasuk di
bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar dalam Chaer, (2009:98) menyatakan
hiponim ialah ungkapan yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna
Misalnya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan. Sebab makna
tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan
tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk banding, tengiri, teri,
mujair, cakalang dan sebagainya. Kalau diskemakan menjadi :
Ikan
Tongkol Bandeng Tenggiri teri Mujair Lele
5. Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bias juga
frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2009 : 101). Dalam bahasa
Melayu juga ditemukan sejumlah yang memiliki ciri polisemi. Kata-kata yang
berpolisemi kemungkinan akan menyebabkan ketaksaan di dalam kalimat tertentu.
Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari
satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu
aluran arti.
Misalnya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang lebih
dari satu. Dapat dilihat dari bagan berikut :
Makna 1
Makna 2
Makna 3
Makna 4
Makna 6
6. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna
ganda atau mendua arti (Chaer, 2009 : 104). Kegandaan makna dalam ambiguitas
berasal dari satuan gramatikal yang paling besar, yaitu frase atau kalimat, dan
terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Ambiguitas berasal dari
bahasa inggris ambiguity yang berarti suatu kontruksi yang dapat ditafsirkan lebih
dari satu arti. Hal ini mengakibatkan terjadinya lebih dari satu makna ini dapat
terjadi saat pembicaraan lisan ataupun dalam keadaan tertulis.
Ketaksaan adalah kegandaan makna sebuah kalimat yang lebih dari satu
makna sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman, khususnya apabila konteks
kalimatnya tidak begitu jelas. Ciri ketaksaan umumnya terjadi pada bahasa tulis,
karena pada bahasa tulis unsur supra segmental tak dapat dideskripsikan secara
akurat (Chaer, 1994:307).
Ketaksaan pada bahasa Melayu, terdiri dari ketaksaan leksikal dan
ketaksaan struktural. Ketaksaan leksikal adalah ketaksaan yang disebabkan oleh
kata polisemi yang terdapat di dalam kalimat. Kata polisemi itu memiliki beberapa
makna, maka makna kalimat itupun bersifat taksa. Tetapi tidak semua kata
polisemi dapat menyebabkan ketaksaan makna kalimat, sebab ketaksaan makna
Konsep ini tidak salah melainkan kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan
dengan polisemi yang bermakna ganda. Perbedaannya kalau polisemi ialah
kegandaan makna dalam kata sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas
berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan
terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Misalnya, frase
buku sejarah baru, dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau
(2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Contoh lain, Orang malas lewat di sana
dapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau (2)
7. Redundansi
Redundansi adalah penggunaan unsur segmental yang berlebih-lebihan
dalam suatu bentuk ujaran (Chaer, 1994:310).
Redundansi secara umum dapat diartikan sebagai keterbuangan ruang,
waktu, materi, energi, yang terjadi dalam sistem teknologi. Bila redundansi dalam
istilah semantik sering sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam
suatu ujaran.
Secara semantik, masalah redundansi sebenarnya tidak ada, sebab salah
satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuj berbeda maka makna pun akan
berbeda. Oleh karena itu, redundansi kata-kata dikaji dengan netral dan tidak
dianalisis dengan parameter preskriptif berupa vonis salah-benar,
berlebihan-ekonomis.
Misalnya kalimat Kami dijemput oleh ibu dari bandara, tidak akan berbeda
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metode artinya cara yang
tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu pengetahuan.
Sudariyanto (1998:2), mengatakan “metodologi adalah cara melakukan sesuatu
dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan”.
Metode penelitian adalah upaya untuk menghimpun data yang diperlukan
dalam penelitian. Metode penelitian akan memberikan Jawaban atau petunjuk
terhadap pelaksanaan penelitian atau bagaimana penelitian dilakukan. Penelitian
ini dilakukan untuk memperoleh kebenaran atau membuktikan kebenaran terhadap
objek permasalahan.
3.1 Metode Dasar
Metode dasar adalah metode yang digunakan dalam hal proses
pengumpulan data, sampai tahap analisis dengan mengklasifikasikan pada pokok
permasalahan untuk mendapatkan sesuatu hasil yang baik, sesuai dengan apa yang
diharapkan. Metode dasar yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Surdayanto dalam Swito (2004:1), mengatakan istilah deskriptif
bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang
ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga
adanya. Dengan metode tersebut, data, dan informasi dicatat dan dikumpulkan
untuk dianalisis sehingga diperoleh gambaran mengenai objek kajian penelitian
ini.
3.2 Lokasi dan Sumber Data
Adapun lokasi yang dijadikan objek penelitian adalah desa Pantai Labu
Baru, Kabupaten Deli Serdang. Lokasi ini dianggap tepat sebagai lokasi penelitian
karena di daerah ini masih didapati penutur asli bahasa Melayu, dan di lokasi
inilah yang mayoritas penduduknya adalah suku Melayu tidak seperti daerah lain
yang banyak berbaur dengan suku-suku lain di luar suku Melayu dan di daerah ini
juga masih banyak tokoh-tokoh yang dijadikan sebagai informan sehingga lebih
memudahkan penulis dalam melakukan pengumpulan data penelitian yang sesuai
dengan objek yang diteliti oleh penulis.
3.3 Instrumen Penelitian
Sebelum penulis melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu
mempersiapkan instrumen penelitian atau alat bantu penelitian. Instrumen
penelitian adalah alat atau fasilitas yang yang digunakan oleh peneliti dalam arti
yang paling lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Alat atau
instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam suara,
alat tulis, dan daftar pertanyaan.
Metode pengumpulan data, merupakan langkah yang sangat penting dalam
metode ilmiah, karena pada umumnya data yang dikumpulkan digunakan untuk
menguji hipotesis yang sudah dirumuskan. Metode pengumpulan data adalah
prosedur yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan dari
sumber-sumber data yang valid.
Adapun teknik metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Metode Kepustakaan, yaitu penulis berusaha mencari buku-buku
sebagai bahan acuan dari berbagai referensi sehingga lebih mendukung
dalam penelitian ini.
2. Metode Observasi, yaitu penulis turun langsung ke lokasi penelitian
untuk melakukan pengamatan terhadap pemakaian bahasa.
3. Metode Wawancara, yaitu metode yang digunakan untuk mendapatkan
kebenaran dan terperinci tentang data yang dibutuhkan. Teknik yang
digunakan adalah teknik rekaman dan teknik catat untuk mendapatkan
data yang akurat melalui tuturan masyarakat. Dengan kata lain, metode
ini digunakan untuk mengetahui sesuatu yang ingin diketahui oleh
penulis.
Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam
penelitian, karena tahap dalam menyelesaikan masalah adalah menganalisis.
Metode yang digunakan penulis dalam menganalisis data penelitian ini adalah
metode Deskriptif.
1. Menganalisis data yang sesuai dengan pokok permasalahan.
2. Menganalisis data yang terkumpul sesuai dengan bentuk dan jenisnya.
3. Menganalisis seluruh data sistematis sehingga semua data-data yang terkumpul
BAB IV
PEMBAHASAN
Bahasa Melayu Serdang (BMS) dijumpai adanya relasi makna antara
sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya.
Relasi makna ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan
makna (antonim), kegandaan makna (hiponim), kelainan makna (homonim) dan
kelebihan makna (redundansi). Berikut ini akan dibicarakan satu persatu, antara
lain ;
4.1 Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer,1994:297).
Seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia, kata benar dengan kata betul, kata
nasib dengan kata takdir. Hubungan kesinoniman berlaku timbal balik, kata nasib
bersinonim dengan takdir, sebaliknya kata takdir bersinonim dengan kata nasib.
Dalam BMS, dijumpai sinonim antara sebuah kata dengan kata lain. Dalam
linguistik tanda yang digunakan untuk menyatakan sinonim adalah =
Adapun contoh-contoh sinonim antara sebuah kata dengan kata lain adalah
seperti berikut ;
cekel = polit ‘pelit’
celaké = mosibah ‘kecelakaan’
Uraian di atas dapat dilihat bahwa sinonim bahasa Melayu di desa Pantai
Labu Baru dalam contoh kalimat berikut,
01. Aku lupo Aku
memosannyo ‘Aku lupa memesannya’
tak ingat
02. Siang tu dio
memosannyo ‘Aku tidak ingat memesannya’
bepanas
Tiap hai dio
‘Siang itu dia berpanas’
bajomu
03.
‘Tiap hari dia berjemur’
Cekel
‘Pelit betul kakak itu sama adeknya’
botul akak tu samo adeknyo
Tak heran memang polit
‘Tidak heran memang pelit dia kalau bicara soal duit’
dio kalo soal duit
04. Pantai labu botul
Cantek
nan elok ‘Pantai labu benar sangat indah’
Anton teliat gagah
‘anton terlihat gagah bila memakai baju itu’
bilo memakai bajo tu
06. Abah ponat
Abah
koko di ladang ‘Ayah lelah kerja di ladang’
lotih
07. Kecelakéan tu buat macat saje
kojo di ladang ‘Ayah lelah kerja di ladang’
‘Kecelakaan itu membuat macet saja’
Keluarganyo mendapat mosibah sangat parah
‘Keluarganya mendapat musibah sangat parah’
08. Abah manjorit memanggil adik ‘Ayah menjerit memanggil adik’
Abah bartariok panggil emak ‘Ayah berteriak panggil ibu’ 09. Abah awak selalu menday
‘Ayah saya selalu baik tiap hari’
tiop ari
Bini julham, berpakean sangat elok
‘Istri julham, berpakaian sangat bagus’
10. Abah melayat tetanggo meninggal
‘Ayah melayat tetangga yang meninggal dunia’
dunio
Kucing ani sudah mati
‘Kucing ani sudah mati tadi siang’
4.2 Antonim
Linguistik tanda yang digunakan untuk menyatakan antonim adalah ><.
Adapun contoh-contoh antonim antara sebuah kata dengan kata lain adalah seperti
berikut :
idup ‘hidup’ >< mati ‘mati’
di lua ‘di luar’ >< di dalam ‘di dalam’
jantan ‘laki-laki’ >< betino ‘betina’
tebuko ‘terbuka’ >< tetutop ‘tertutup’
diam ‘diam’ >< begoak ‘bergerak’
laki ‘suami’ >< bini ‘istri’
membogi ‘memberi’>< meneimo ‘menerima’
menjual ‘menjual’ >< memboli ‘membeli’
guwu ‘guru’ >< muid ‘murid’
golap ‘gelap’ >< towaŋ ‘terang’
buwok ‘jelek’ >< elok ‘cantik’
tuo ‘tua’ >< mudo ‘muda’
bosa ‘besar’ >< kocik ‘kecil’
manis ‘manis’ >< paet ‘pahit’
jaoh ‘jauh’ >< dokat ‘dekat’
itam ‘hitam’ >< puteh ‘putih’
konyang ‘kenyang’ >< lapa ‘lapar’
baosih ‘bersih’ >< koto ‘kotor’
ajin ‘rajin’ >< malas ‘malas’
Dalam bahasa Melayu Serdang atau di singkat dengan BMS dijumpai
antonim dalam kalimat. Seperti contoh-contoh berikutt ini,
21. Adiknyo pinta dan kakaknyo bodoh
‘Adiknya pintar dan kakaknya bodoh’
22. Lai moto tu kadang copat kadang lambat
‘Lari motor itu kadang cepat kadang lambat’
23. Lakinyo baek tapi bininyo cekel
‘Suaminya baik tapi istrinya pelit’
.
24. Bah yong itam sodangkan uncu puteh
‘Abang paling besar hitam sedangkan adik yang paling kecil putih’
25. Abah tinggi, omak pendek
‘Bapak tinggi, ibu pendek’
26. Wono kulit si Minah dan si Odah macam siang dan malam
‘Warno kulit si Minah dan si Odah macam siang dan malam’
.
27. Peel budak tu kadang elok tekadang jahat
‘Kelakuan anak itu kadang baik terkadang jahat’
.
28. Abahnyo gemok, tapi emaknyo kuRus
‘Ayahnya gemuk, tapi ibunya kurus’
29. Bagaimano kabar kamo, mendai keh atau burok
‘Bagaimana kabar kamu, baik kah atau buruk ?’ ?
30. Awak pilih la, dudok atau tegak
‘Kamu pilih, duduk atau berdiri ?
4.3 Homonim
Dalam BMS, dijumpai Homonim antara sebuah kata dengan kata lain.
Adapun contoh-contoh Homonim antara sebuah kata dengan kata lain adalah
seperti berikut ;
campak I ‘penyakit’
campak II ‘buang, lempar’
cokik I ‘makan’
cokik II ‘cekek’
ajat I ‘mau buang kotoran’
ajat II ‘niat/ keinginan/ maksud’
kecek I ‘bujuk’
kecek II ‘cakap’
kopayang I ‘sejenis pohon’
kopayang II ‘rindu sangat’
lancang I ‘kurang sopan, sembrono’
lancang II ‘perahu’
langga I ‘tabrak/ tubruk’
langga II ‘surau’
putek I ‘pucuk , buah muda’
putek II ‘petik, ambil’
sumbang I ‘janggal’
sumbang II ‘bantu, sokong’
uwout II ‘kusuk, pijit’
bulanI ‘satuan waktu’
bulanII ‘satelit bulan’
BMS dijumpai homonim dalam kalimat. Seperti contoh-contoh berikut ini,
31. Bulan juli depan, awak pegi ke bulan
‘Bulan juli depan, saya pergi ke bulan bersama tim’
bersamo tim
32. Abah sedaŋ di uwout oleh nenek, setelah tu abaŋ uwout
‘Ayah sedang di urut oleh nenek, setelah itu abang urutan berikutnya’
berikotnyo
33. Adek sedang puték daun jambu yang putěk
‘Adik sedang memetik daun jambu yang muda saja’
saje
34. Ani berajat nak sumbang duitnyo kepado pengemis tu, tetapi dia malah liat ajat dijalan tu sehinggo batal ajat
‘Ani berniat mau sumbang uangnya kepada pengemis itu, tetapi dia melihat kotoran di jalan sehingga niatnya batal’.
nyo
35. Abang telepon bang becak, supayo jemput dia hendak pegi nuju bank
‘Abang telepon bang becak, supaya jemput dia hendak pergi menuju bank mandiri.
mandiri
36. Kakak sedang membuat buram
‘Kaka sedang membuat konsep tugas adik besok’
tugas adik esok
Air di sumor tuh buram
‘Air di sumur tidak bening kelihatannya’
keliatannyo
37. Adik meliat beruang
‘Adik melihat beruang/sejenis binatang di televisi’
Saat ini, abah sangat beruang
‘Saat ini, ayah sangat banyak uang dan sukses selalu’
dan sukses selalu
38. Badannyo məntal
‘Badannya terpelanting sangat keras’
sangat koas
membaco surat tuh ‘dia dapat membaca surat itu’
bisa
40.
‘Ayah digigit ular beracun’
Bandar
‘Bandaran Kuala namu terletak di Pantai Labu’
an Kuala Namo terletak di Pantai Labu
Kemarin, bandar
‘Kemarin, Bandar juri di kampong di tangkap polisi’
judi di kampong ditaŋkap polisi
4.4 Hiponim
BMS, dijumpai Hiponim antara sebuah kata dengan kata lain. Adapun
contoh-contoh Hiponim antara sebuah kata dengan kata lain adalah seperti berikut
;
Bungo ’bunga’, memiliki hiponim seperti : mawa, ’mawar’ melati, ‘melati’,
anggek ’anggrek’, cempako ’cempaka’, kenango ’kenanga’, tanjong ’tanjung’, dan
sebagainya.
Buwong ’burung’, memiliki hiponim seperti : bango ’bangau’, gawudo
’garuda’, geejo ’gereja’, gelotik ’gelatik’, kakaktuo ’kakaktua’, moak ’merak’,
Wono ’warna’, memiliki hiponim seperti : meah ’merah’, kuneng ’kuning’,
ijo ’hijau’, puteh ’putih’, itam ’hitam’, biwu ’biru’, dan sebagainya.
Buwa ’buah’, memiliki hiponim seperti : kelapo ’kelapa’, cempodak
’cempedak’, mangges ’manggis’, empolam ’mangga’, pepayo ’pepaya’, dan
sebagainya.
BMS dijumpai hiponim. Seperti contoh-contoh berikut ini,
41. Superordinat : bungo ’bunga’ Hiponim
mawa ’mawar’
cempako ’cempaka’
anggek ’anggrek’
melati ’melati’
tanjong ’tanjung’
kenango ’kenanga’
42. Superordinat : buwong ’burung’
Hiponim
gawudo ’garuda’
geejo ’gereja’
bango ’bangau’
gelotik ’gelatik’
pekutut ’perkutut’
moak ’merak’
kakaktuo ’kakaktua’
43. Superordinat : wono ’warna’
Hiponim
meah ’merah’
kuneng ’kuning’
ijo ’hijau’
puteh ’putih’
itam ’hitam’
biwu ’biru’
44. Superordinat : buwa ’buah’
Hiponim
kelapo ’kelapa’
cempodak ’cempedak’
mangges ’manggis’
empolam ’mangga’
pepayo ’pepaya’
45. Superordinat : aRi ‘hari’
Hiponim
Isnin ‘senin’
sElasa ‘selasa’
abu ‘Rabu’
khamis ‘kamis’
jum’at ‘jumat’
ahad ‘minggu’
46. Superordinat Ikan ‘ikan’ Hiponim
guRami ‘gurami’
bəlut ‘belut’
udang ‘udang’
lele ‘lele’
mujair ‘mujair’
nila ‘nila’
tongkol ‘tongkol’
47. Superordinat Mata angin ‘mata angin’
Hiponim
utaRa ‘utara’
səlatan ‘selatan’
baRat ‘barat’
timoR ‘timur’
48. Superordinat Anggota tuboh ‘anggota tubuh’ Hiponim
rambut ‘rambut’
matə ‘mata’
batang ləhər ‘kerongkongan’
kəpale ‘kepala’
pəRut ‘perut’
lutot ‘lutut’
49. Superordinat Mata Wang ‘mata uang’ Hiponim
Rupiah ‘rupiah’
Ringgit ‘ringgit’
dolaR ‘dollar’
50. Superordinat Binatang buas ‘hewan buas’ Hiponim
Anjeng ‘anjing’
ulaR ‘ular’
haRimau ‘harimau’
sRigala ‘srigala’
4.5 Polisemi
BMS, dijumpai polisemi antara sebuah kata dengan kata lain. Adapun
contoh-contoh polisemi antara sebuah kata dengan kata lain adalah seperti berikut:
abah, dapat diartikan ayah atau abang; adu, dapat diartikan melapor atau
laga/tarung; daki, dapat diartikan kotoran badan atau mendaki gunung; gatal,
dapat diartikan gatal atau genit; jangko, dapat diartikan jangka untuk mengukur
atau masa waktu; jati, dapat diartikan kayu jati atau asli/murni; laku, dapat
diartikan sebagai laris atau tingkah/perangai; dan geloga, dapat diartikan sebagai
bagian bawah dari rumah tempat memaku lantai atau suara menggelegar.
’abang’
Adu : ’melapor, mengadukan’ ’laga, tarung’
Daki : ’kotoran badan’ ’mendaki gunung’
Gatal : ’gatal’ ’genit’ Jangko : ’jangka’
’masa’ Jati : ’kayu jati’
’asli, murni’ Laku : ’laris’
’tingkah, perangai’
BMS dijumpai polisemi dalam kalimat. Seperti contoh-contoh berikut ini,
Kata ‘Raja’
51. Rhoma Irama si rajo dangdut nak hendak konse musik di Suoboyo. ‘Rhoma Irama si raja dangdut sedang melakukan konser di Surabaya’ Kata raja bermakna senior dari semua kalangan penyanyi
52. Rajo utan hendak memburo mangsanyo di hutan
‘Raja hutan sedang memburu mangsanya di hutan’
kata raja bermakna penguasa hutan
53. Rajo dari kerajaan mojopahet hendak lakukan sayembaro
Kata ‘Buah’
54. Buwa apel ialah buah tangan khas kota malang
‘Buah apel merupakan oleh oleh khas kota malang’
kata buah bermakna buah buahan
55. Abah memiliki buah hati yang bernamo nabila
‘Ayahnya memiliki buah hati yang bernama Nabila’ kata buah bermakna anak
56. Nadzar membawo buah tagan dari kota Madura
‘Nadzar membawa buah tangan dari kota Madura’
kata buah bermakna oleh-oleh
Kata ‘Kepala’
57. Kepala Ani pusing memikirkan tugas matematika
‘Kepala Ani pusing memikirkan tugas matematika’
kata kepala bermakna anggota tubuh
58. Abahku menjadi kepala rumah tanggo yang disiplin
‘Ayahku menjadi kepala rumah tangga yang disiplin’ kata kepala bermakna pemimpin keluarga
59. Kepala cabang bank BCA berado di daerah Petisah
‘Kepala cabang bank BCA berada di daerah Petisah’
kata kepala bermakna kantor cabang atau membawahi pusat.
Kata ‘Bola’
60. El Ghifari merupokan kapten dari club sepak bola Ac Milan