• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis mengenai relasi antara masyarakat dengan pemangku kepentingan lain mengkaji, seberapa besar hubungan yang terjalin diantara masyarakat dengan pemangku kepentingan lain yang ada di wilayah Lokapurna TNGHS. Untuk menganalisis tingkat relasi tersebut, dapat dilihat dengan menggunakan dua indikator, yaitu ancaman dan kerjasama masing-masing pemangku kepentingan lain dari sudut pandang masyarakat.

Pandangan Masyarakat terhadap Pemangku Kepentingan Lain: Aspek Ancaman terhadap Akses Masyarakat ke dalam Kawasan Hutan

Hasil pengolahan data mengenai pandangan masyarakat terhadap pemangku kepentingan lain dalam aspek ancaman terhadap akses masyarakat ke kawasan hutan, dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6 Pandangan masyarakat terhadap para pemangku kepentingan lain dalam aspek ancaman

Pandangan Masyarakat terhadap Para Pemangku Kepentingan Lain8

Pemerintah Desa

Organisasi

Lokal BTNGHS Pemangku kepentingan selalu berbeda

pendapat dengan warga 3 3 4

Pemangku kepentingan kerap bersaing dengan warga dalam akses

sumberdaya hutan

4 5 7

Kesepakatan yang terjalin antara pemangku kepentingan dengan warga sering berubah

11 11 6

Pemangku kepentingan sering

bertindak kurang adil kepada warga 14 13 8

Warga cenderung tidak percaya lagi

kepada pemangku kepentingan 19 19 12

Rata-rata pandangan warga terhadap

setiap pemangku kepentingan 10 10 7

Rata-rata pandangan warga terhadap

seluruh pemangku kepentingan 9

Berdasarkan Tabel 6 di atas, dapat dilihat bahwa indeks ancaman yang dirasakan oleh masyarakat terhadap pemerintah desa adalah 10, organisasi lokal 10, dan BTNGHS 7. Nilai indeks ini menunjukkan bahwa di mata warga masyarakat pemerintah desa dan organisasi Fusyakah lebih mengancam akses

8

Indeks berkisar antara 1-20, nilai 20 menunjukkan indeks terendah dalam hal sering berubahnya kesepakatan, adanya ketidak adilan, dan kesepakatan sering berubah

mereka terhadap sumberdaya hutan, dibanding BTNGHS. Bila dikaji lebih dalam dari tabel tersebut terlihat bahwa di mata warga, kalangan pemerintah desa dan organisasi Fusyakah dinilai lebih sering merubah kesepakatan, sering bertindak kurang adil, dan tidak dapat dipercaya; dibanding BTNGHS.

Oleh warga seluruh pemangku kepentingan dipandang memberi ancaman yang cukup serius terhadap akses mereka ke sumberdaya hutan. Hal ini ditunjukkan dengan indeks ancaman sebesar 9 (dari maksimum indeks 20). Dapat dikatakan di mata masyarakat ancaman pemangku kepentingan tergolong pada kategori sedang sebagaimana yang diutarakan juga oleh Ibu S, sebagai berikut:

“kami tidak pernah menganggap keberadaan mereka (pemangku kepentingan lain) sebagai hubungan yang negatif, yah meskipun sudah tidak bebas seperti dulu waktu tempat ini dipegang oleh perhutani, asalkan keberadaan kami di sini tidak diganggu, dan kami masih diperbolehkan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup kami di sini.”

Pandangan Ibu S tersebut menunjukkan bahwa walau saat ini kawasan hutan Lokapurna telah beralih menjadi kawasan TNGHS, namun sumberdaya hutan tersebut masih dapat di akses oleh warga.

Pandangan Masyarakat terhadap Pemangku Kepentingan Lain: Aspek Kerjasama

Hasil pengolahan data mengenai kerjasama yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan lain dari sudut pandang masyarakat dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 tersebut dapat dilihat bahwa kerjasama yang dirasakan oleh masyarakat terhadap pemerintah desa, organisasi lokal, dan BTNGHS berturut- turut ditunjukkan dengan indeks sebesar 6, 6, dan 5 (dari maksimum 16). Hal ini menunjukkan bahwa di mata masyarakat kemauan atau potensi kerjasama pemerintah desa dan organisasi Fusyakah relatif tidak berbeda dibanding BTNGHS. Bila dikaji lebih jauh dari tabel tersebut terlihat bahwa di mata masyarakat, kalangan pemerintah desa dan organisasi Fusyakah dinilai relatif lebih tinggi dalam mendengarkan pendapat masyarakat. Sehingga masyarakat merasa lebih nyaman dalam mengeluarkan pendapatnya kepada pemerintah desa dan organisasi Fusyakah dibanding terhadap BTNGHS.

Pandangan masyarakat terhadap kerjasama seluruh pemangku kepentingan ditunjukkan dengan nilai indeks sebesar 6. Ini menunjukkan bahwa kemauan kerjasama pemangku kepentingan di mata masyarakat berada pada kategori sedang. Nilai indeks ini juga menunjukkan, bahwa masyarakat masih menaruh harapan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan kerjasama, terutama kepada pemerintah desa dan organisasi Fusyakah. Keadaan ini sejalan dengan pernyataan dari bapak M, bahwa:

“kami berharap agar suatu saat kami ikut dilibatkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan, paling tidak biarkan kami untuk mengelola wisata alam yang ada di sini. Kami merupakan orang lokal di sini, maka kami juga mempunyai hak untuk ikut mengelola wisata tersebut.”

Tabel 7 Pandangan masyarakat terhadap para pemangku kepentingan lain dalam aspek kerjasama

Pandangan Masyarakat terhadap Para Pemangku Kepentingan Lain9

Pemerintah Desa

Organisasi

Lokal BTNGHS

Adanya pelibatan masyarakat dalam

perlindungan SDH 4 4 4

Kontribusi masyarakat dihargai dan

dihormati 5 5 5

Masyarakat merasa nyaman

menyampaikan pendapatnya secara terbuka, karena didengarkan secara berhati-hati oleh para pemangku kepentingan lain

6 6 5

Masyarakat mengakui adanya

kepentingan para pemangku lain 8 7 7

Rata-rata pandangan masyarakat

terhadap setiap pemangku tertentu 6 6 5

Rata-rata pandangan masyarakat

terhadap seluruh para pemangku 6

Karakter Pemangku Kepentingan Lain di Mata Masyarakat

Karakter para pemangku kepentingan lain di kawasan hutan Lokapurna TNGHS selanjutnya dideskripsikan dengan menggunakan matriks managing stakeholders: type and strategies (Savage et al 1991). Dalam skripsi ini matriks Savage dimodifikasi dengan memasukkan nilai indeks kerjasama dan indeks ancaman. Tingkat kerjasama ditunjukkan dengan indeks maksimum sebesar 16 dan minimum 1. Tingkat ancaman ditunjukkan dengan indeks maksimum 20 dan minimum 1. Lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 4.

Dari analisa potensi kerjasama yang telah dilakukan diketahui relasi antara masyarakat dengan seluruh pemangku kepentingan berada pada indeks sebesar 9. Sementara dari hasil analisis tingkat ancaman diketahui relasi antara masyarakat dengan seluruh pemangku kepentingan berada pada indeks sebesar 6. Merujuk kepada kerangka tipologi pemangku kepentingan pada Gambar 4 tampak bahwa para pemangku kepentingan berada pada tipe stakeholders yang “marginal”.

Pemangku kepentingan yang bersifat marjinal ini oleh Savage dikategorikan sebagai pemangku kepentingan yang memberi dukungan yang rendah terhadap masyarakat. Dalam konteks hutan Lokapurna dapat dikatakan dukungan pemerintah desa, organisasi Fusyakah, dan BTNGHS tergolong rendah.

9

Catatan: indeks berkisar antara 1-16. indeks 16 menunjukkan nilai tertinggi dalam hal masyarakat mengakui adanya kepentingan para aktor, masyarakat merasa nyaman menyampaikan pendapatnya secara terbuka, kerna didengarkan secara berhati-hati oleh para aktor, adanya pelibatan masyarakat dalam perlindungan SDH, dan kontribusi masyarakat dihargai dan dihormati.

Indeks Ancaman 20 1 Indeks Kerjasama 16 Stakeholder type 4 Mixed blessing Strategy: collaborate Stakeholder type 1 Supportive Strategy: involve 1 Stakeholder type 3 Non-supportive Strategy:defend Stakeholder type 2 Marginal Strategy: monitor

Gambar 4 Modifikasi matriks Savage et al (1991) untuk menganalisis kategori pemangku kepentingan di hutan Lokapurna TNGHS

Merujuk Savage, relasi antara warga masyarakat dengan pemangku kepentingan yang tergolong tipe 2 (marginal), dapat ditingkatkan atau dikembangkan bila masing-masing pemangku termasuk warga Lokapurna aktif melakukan pemantauan terhadap kerjasama yang dibangun dan pemantauan terhadap ancaman kerusakan taman nasional.

Ikhtisar

Berdasarkan hasil analisis relasi sosial pemangku kepentingan dengan menggunakan modifikasi matriks Savage et al (1991), diketahui bahwa relasi antara masyarakat dengan pemangku kepentingan lain berada pada tipe “marginal”, dimana hal ini berarti dukungan yang diberikan oleh pemangku kepentingan lain kepada masyarakat adalah rendah. Strategi yang dapat diterapkan pada tipe ini adalah “monitoring”. Melalui strategi pemantauan diharapkan relasi antara warga Lokapurna dengan pemangku kepentingan dapat ditingkatkan atau dikembangkan.

PENUTUP

Simpulan

Kawasan hutan Lokapurna telah mengalami tiga kali perubahan status dan fungsi hutan. Pertama, merupakan kawasan hutan lindung yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (1967). Dalam konteks properti kawasan hutan Lokapurna tergolong sebagai common pool state property right. Kedua, merupakan kawasan hutan produksi di bawah penguasaan dan pengelolaan Perum Perhutani (1987). Dalam konteks hak properti, kawasan hutan Lokapurna di Desa Gunung Sari pada akhir dekade 1980, berubah menjadi common pool private property right. Ketiga, kawasan Lokapurna menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (2003). Dalam konteks properti kawasan Lokapurna berubah menjadi common pool state property right. Meski terjadi tiga kali perubahan status dan fungsi kawasan hutan di Lokapurna, namun dari segi konsepsi Ostrom, kawasan hutan yang dimaksud masih merupakan common pool resource yang senantiasa akan berhadapan dengan ancaman menjadi open access resource.

Pemangku kepentingan yang ada di wilayah Lokapurna, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terdiri dari empat kategori, yaitu Balai TNGHS, masyarakat Desa Gunung Sari, pemerintah Desa Gunung Sari, dan organisasi lokal Fusyakah. Para pemangku kepentingan tersebut mempunyai kepentingan yang saling berbeda dalam mengakses sumberdaya hutan.

Terdapat 4 macam akses yang dilakukan oleh masyarakat yaitu berkemah; mengambil ranting kayu, dan buah; mengambil tanaman, satwa, dan menebang pohon; serta mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian dan lahan usaha. Diantara keempat macam akses tersebut konversi hutan menjadi lahan pertanian dan lahan usaha merupakan kegiatan yang lazim dilakukan oleh masyarakat (ditunjukkan dengan indeks sebesar 12 dari maksimum 16).

Dari analisis relasi sosial pemangku kepentingan dengan menggunakan modifikasi matriks Savage et al (1991) diketahui bahwa relasi antara masyarakat dengan pemangku kepentingan lain berada pada tipe “marginal”. Kondisi ini merupakan cerminan dari potensi kerjasama pemangku kepentingan yang di mata masyarakat tergolong sedang (indeks 6 dari maksimum 16); dan tingkat ancaman pemangku kepentingan yang di mata masyarakat tergolong sedang (indeks 9 dari maksimum 20).

Tipe pemangku kepentingan yang tergolong marjinal menunjukkan bahwa dukungan yang diberikan oleh pemangku kepentingan lain kepada masyarakat

adalah rendah. Strategi yang dapat diterapkan pada tipe ini adalah “monitoring”.

Melalui strategi pemantauan diharapkan relasi antara warga Lokapurna dengan pemangku kepentingan dapat ditingkatkan atau dikembangkan.

Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan, didasarkan atas hasil penelitian sebagai bahan pertimbangan, antara lain:

1. Sebaiknya segera ditentukan batas-batas untuk zona khusus agar masyarakat dapat mengetahui batasan-batasan sejauh mana mereka boleh mengelola hutan di lokasi penelitian.

2. Sebaiknya perlu ada dukungan dari para pemangku kepentingan terhadap masyarakat, dengan cara mengikut sertakan masyarakat dalam program- program yang dibuat oleh para pemangku kepentingan terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan.

3. Perlu adanya pelatihan-pelatihan untuk membekali masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan, karena selama ini masyarakat hanya menggunakan pengetahuan yang terbatas dalam mengalola sumberdaya hutan.

4. Bagi para akademisi, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai relasi di kawasan Lokapurna, pada aspek hubungan antar pemangku kepentingan.

Dokumen terkait