• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV RELEVANSI NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN

B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Kepemimpinan Pada Kitab

ansi Metode Pendidikan Kepemimpinan ... 87

c) ... Relev

ansi Tujuan Pendidikan Kepemimpinan ... 91

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 94 B. Saran-saran ... 96 C. Kata Penutup ... 96 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan bisa berubah-ubah sampai kapanpun. Allah SWT telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan itu, seluruh problem makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satupun yang yang dirugikan. Aturan-aturan Islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia, sebab Islam lahir dari Dzat yang menciptakan manusia. Dia Maha Tahu atas hakikat makhluk yang diciptakan-Nya.

Konsep Islam tentang hakikat manusia secara mendasar telah diajarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an yang dikembangkan lebih

lanjut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Manusia diciptakan oleh Allah selain menjadi hamba-Nya juga menjadi penguasa (khalifah) di atas bumi. Selaku hamba dan khalifah, manusia diberi kelengkapan kemampuan jasmani (biologis) dan rohaniah (psikologis) yang dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat budaya, guna dalam ikhtiar kemanusiaannya untuk melaksanakan tugas kehidupan di dunia (Arifin, 1990 : 156).

Hadirnya manusia di muka bumi ini bukan atas kehendak dan kemauan sendiri, tetapi manusia diciptakan atas kehendak dan kekuasaan yang Maha Pencipta. Menurut Joko Suharto bin Matsnawi (2007:22) Diciptakannya manusia bukan tanpa maksud, tetapi sebagaimana firman

Allah SWT, bahwa “Dijadikan manusia adalah untuk menjadi khalifah atau penguasa di muka bumi”. Amanat mengemban misi suci ini disebutkan

dalam surat al Ahzab ayat 72:







































Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. Al Ahzab:72)

Amanat tersebut telah pernah ditawarkan Tuhan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tapi semuanya enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang suka rela menerima untuk mengemban amanat tersebut (Musbikin, 2005:79).

Manusia yang lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa telah diberi kemampuan termasuk akal serta pengetahuan-pengetahuan sehingga akan mampu melaksanakan tugasnya selaku khalifah atau penguasa di muka bumi ini. Dengan indra, akal, dan segenap kemampuan yang dikaruniakan

Allah SWT ini, manusia mempunyai kemampuan untuk memimpin, memelihara, dan membangun kehidupan di dunia (Musbikin, 2005:22).

Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, telah meletakkan persoalan pemimpin dan kepemimpinan sebagai salah satu persoalan pokok dalam ajarannya. Beberapa pedoman atau panduan telah digariskan untuk melahirkan kepemimpinan yang diridhai Allah SWT, yang membawa kemaslahatan, menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat kelak.

Pemimpin yang dicintai dan dipercaya serta diikuti oleh para pengikutnya adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk memecahkan persoalan mereka. Ini dapat berupa masalah personal, publik, atau masalah yang berhubungan dengan kehidupan pribadi seseorang, komunitas sosial, persoalan ekonomi dan politik.

Maju mundurnya kelompok atau organisasi itu sangat tergantung oleh pemimpinnya. Seseorang pemimpin akan dikatakan berhasil jika dalam melakukan proses kepemimpinannya itu, ia mempunyai visi dan misi yang jelas. Sehingga dalam melakukan proses kepemimpinannya itu akan sesuai dengan arah yang sudah direncanakan.

Kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini. Sudah merupakan fitrah manusia untuk selalu membentuk sebuah komunitas. Dan dalam sebuah komunitas selalu dibutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin adalah orang yang dijadikan rujukan ketika komunitas tersebut. Pemimpin adalah orang yang memberikan visi dan tujuan. Dalam

suatu kelompok katakanlah organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama saja dengan membubarkan organsasi tersebut. Hal terebut bahkan berlangsung sampai kedalam tataran Negara. Dan hanya pemimpinlah yang mampu mengatur dan mengarahkan semua itu. Dan sejarah teori kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan Islam adalah model terbaik. Model kepemimpinan yang disebut sebagai Prophetic leadership yang contoh nyatanya adalah orang teragung sepanjang sejarah kemanusiaan yaitu Rasullullah SAW.

Pentingnya pemimpin dan kepemimpinan ini perlu dipahami dan dihayati oleh setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini. Pada prinsipnya menurut Islam setiap orang adalah pemimpin, Ini sejalan dengan fungsi dan peran manusia di muka bumi sebagai khalifatullah, yang diberi tugas untuk senantiasa mengabdi dan beribadah kepada-Nya.

Setiap manusia adalah pemimpin, namum kebanyakan dari mereka melupakan atau tidak menahu atas apa yang menjadi tanggungjawabnya sebagai seorang pemimpin, sehingga para penganutnya tidak terurusi. Manusia seperti itu telah lalai di dalam hidupnya dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas segala perbuatan yang telah mereka lakukan. Pernyataan tersebut berkaitan dengan hadits nabi yang berbunyi:

يبل ٞش٘ضٌا ٓع ظٔٛ٠ بٔشبخأ يبل الله ذبع بٔشبخأ يبل ذّسِ ٓب ششب بٕثذز

بٔشبخأ

ٍٝص الله يٛعس ْأ بّٕٙع الله ٟضس شّع ٓب ٓع الله ذبع ٓب ٌُبع

ٍُع ٚ ٗ١ٍع الله

عاس َبِلإاٚ ٗت١عس ٓع يٚإغِ ُىٍوٚ عاس ُىٍو: يٛم٠

ٗت١عس ٓع يٚإغِٚ

ٗت١عس ٓع يٚإغِ ٛ٘ٚ ٍٗ٘أ ٟف عاس ًخشٌاٚ

ٌّاٚ

تٌٚإغِٚ بٙخٚص ت١ب ٟف ت١عاس ةأش

يبِ ٟف عاس َدبخٌاٚ بٙت١عس ٓع

ذل ْأ تبغزٚ يبل . ٗت١عس ٓع يٚإغِٚ ٖذ١ع

يبِ ٟف عاس ًخشٌاٚ يبل

ٗت١عس ٓع يٚإغِٚ عاس ُىٍوٚ ٗت١عس ٓع يٚإغِٚ ٗ١بأ

ٖاٚس(

)ٜسبخبٌا

Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibn Muhammad, dia

berkata : “Telah mengabarkan kepada kami „Abdullah”, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Zuhriy”, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami Salim ibn „Abdillah dari Ibn Umar r.a” Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaan atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di

rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas

kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengolah harta

tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang

kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”HR. Bukhari (Albani, 2006:357).

Di dalam konsep Islam, seorang pemimpin menempati kedudukan yang sangat fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan

masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama’ah, pemimpin ibarat kepala

dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapan dalam kepemimpinan akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan ridha Allah SWT

seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 207: “Dan diantara manusia ada orang

yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah dan Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (Al-Baqarah:207).

Sebenarnya pemimpin yang harus diteladani adalah Rasulullah , karena semua yang beliau lakukan adalah berasal dari al-Qur’an. Beliau

mendidik umatnya agar menjadi pemimpin yang berakhlak seperti apa yang beliau ajarkan kepada umatnya yaitu mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah. Nabi Muhammad mempunyai semua kualitas kepemimpinan yang diperlukan untuk keberhasilannya dalam segala aspek kehidupan. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah beliau mampu memimpin umatnya menuju keberhasilan di segala bidang. Beliau adalah sumber yang mengalirkan semua perkembangan selanjutnya yang berhubungan dengan komando, kenegaraan, agama, perkembangan spiritual dan sebagainya di seluruh dunia muslim. Beliaulah kiblat dari semua pendidik sekaligus pemimpin bagi umat Islam di dunia ini (Gulen, 2002:290).

Fenomena kehidupan sekarang ini yang semakin bobrok saja moral dan mentalnya. Ibaratnya, semakin sulit mencari pemimpin yang baik (good leader). Banyak pemimpin yang hadir dengan tanpa mencerminkan sosok pemimpin yang seharusnya, malah terlihat adanya pemimpin-pemimpin yang jauh dari harapan rakyat, tidak peduli dengan nasib rakyat bawah, dan hampir tidak pernah berpikir untuk melayani masyarakat. Karena kepemimpinan mereka lebih dilandasi pada keinginan pribadi dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok.

Saat ini banyak sekali pemimpin-pemimpin yang muslim bahkan tidak sedikit yang menggunakan Islam sebagai identitas khasnya, tetapi malah menjadi petualang politik yang tidak berakhlak. Bahkan tidak sedikit pemimpin kita yang tampil ke tengah-tengah masyarakat dengan slogan memperjuangkan Islam dan kaum muslimin, namun nyatanya bertindak korupsi dan memalukan umat Islam sendiri di tengah-tengah publik.

Banyak pemimpin yang pada awalnya bertekad untuk selalu berbuat adil. Keadilan ditegakkan tidak pandang bulu, jika ada yang melakukan kesalahan, siapapun orang tersebut akan diproses dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal itu disosialisasikan misalnya pada saat masa kampanye politik. Pada awal masa pemerintahannya, boleh jadi masih terlihat ketegasan dalam menjalankan sifat keadilan. Namun, lambat laun, seiring dengan waktu, tekad itupun sirna sedikit demi sedikit, lalu tampaklah sifat otoriternya. Sikapnya sudah melampaui batas. Manusia menjadi angkuh dan semena-mena atas kekuasaan yang dipegangnya. Pantaslah jika Allah mengkritik sifat tersebut dengan firman-Nya:



















Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, Karena dia melihat dirinya serba cukup”.(QS. Al-Alaq:6-7)

Sudah lama umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia mendambakan pemimpin Islami dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kepemimpinan Islami di sini adalah sikap kepemimpinan yang berasaskan norma-norma Islam seperti halnya bersikap adil, amanah, tabligh dan lain sebagainya. Meskipun di Indonesia ini kaum muslimin merupakan mayoritas, namun sikap Islami dalam kepemimpinan belumlah tampak dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita dapat dengan mudah melihat tampilannya pemimpin muslimin yang tidak amanah, bahkan

terseret dalam pola politik “menghalalkan segara cara” (Zaenudin, 2002:7).

Berdasarkan fenomena di atas maka penulis terdorong mengkaji lebih lanjut tentang “NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (ANALISIS KITAB I’DHOTUN NASYIIN KARANGAN SYEIKH MUSTHAFA AL-GHALAYAINI)”.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan sistematika

kitab I’dhotun Nasyiin?

2. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan kepemimpinan yang diajarkan

3. Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam

kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini?

C. Tujuan Penelitian

Berangkat dari latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka dapat ditetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Biografi Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dan

sistematika kitab I’dhotun Nasyiin.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam

perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab I’dhotun Nasyiin.

3. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan

dalam kitab I’dhotun Nasyiin dengan konteks kepemimpinan masa kini.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun penelitian atau pembahasan terhadap masalah tersebut di atas mempunyai maksud agar berguna sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu tentang pendidikan kepemimpinan, terutama mengenai nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab

I’dhotun Nasyiin.

pembahasannya berguna menambah literatur atau bacaan tentang nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam perspektif Islam dalam

kitab I’dhotun Nasyiin.

c. Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sebagai calon pemimpin khususnya

d. penulis untuk mengetahui dan mendalami nilai-nilai pendidikan kepemimpinan dalam perspektif Islam yang diajarkan dalam kitab

I’dhotun Nasyiin. Dengan ini diharapkan dapat memperluas

kepustakaan yang dapat menjadi reverensi penelitan-penelitian setelahnya.

2.Manfaat Praktis

Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan sebagai berikut:

a. Dapat menjadi inspirasi bagi calon pemimpin dalam mensosialisasikan nilai-nilai kepemimpinan di masyarakat sesuai dengan aturan ajaran agama Islam.

b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan acuan khususnya bagi para calon pemimpin agar dapat mengaplikasikan nilai-nilai kepemimpinan Islam dalam kehidupan sehari-hari.

c. Dengan skripsi ini, juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka. Penulis mengacu pada pendapat M. Arifin (1990:135) yang menyebutkan bahwa penelitian literatur dimaksudkan sebagai studi kepustakaan, karena penulis meneliti dan menggali datanya dari bahan-bahan tertulis. Di mana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul yang diangkat. Dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik yang primer maupun yang sekunder, dicari dari sumber-sumber kepustakaan (seperti buku, majalah, artikel dan jurnal) (Kuswaya, 2011:11).

Berkaitan dengan jenis penelitian literatur, pengumpulan data pada penulisan ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan dari buku-buku yang berkaitan langsung dengan pokok permasalahan dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan, pertama-tama dicari segala buku yang ada mengenai tokoh dan topik yang bersangkutan (Bakker, 1990:63).

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan dikaji dalam permasalahan. Karena sifat dan penelitian literatur, maka datanya bersumber dari literature. Adapun yang menjadi

sumber data primer adalah kitab I’dhotun Nasyiin dan Terjemah I’dhotun Nasyiin.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder yang diambil dalam penelitian ini yaitu data yang mengandung dan melengkapi sumber-sumber data primer. Adapun sumber data sekunder berupa buku-buku kepemimpinan, internet, dan informasi lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang menjadi sumber data primer yakni kitab Idhotun Nasyiin dan data sekunder yakni terjemah Idhotun Nasyiin, buku Pemimpin dan Kepemimpinan dan buku-buku serta kitab yang relevan lainnya. Setelah data terkumpul, maka dilakukan penelaah secara sistematis dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti, sehingga diperoleh data/informasi untuk bahan penelitian.

4. Metode Analisis Data

Objek penelitian ini adalah buku-buku atau literatur yang termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan sebagai datanya. Metode penulisan data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah:

a. Deduktif

Metode yang digunakan untuk menjelaskan nilai pendidikan kepemimpinan adalah metode deduktif sesuai dengan yang telah dicanangkan pemerintah yaitu tentang kepemimpinan. Yang dimaksud metode deduktif adalah metode berfikir yang didasarkan pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1990:42).

b. Induktif

Metode yang digunakan adalah metode induktif guna mengkaji data yang telah didapat yang terkait dengan nilai pendidikan kepemimpinan yang telah dipaparkan oleh Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam kitab Idhotun Nasyiin dan dikaitkan dengan relevansi kekinian. Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1990:42).

F. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan tehadap judul penelitian ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini antara lain:

1. Nilai Pendidikan

Nilai dalam bahasa Inggris value yang berarti quality of being useful or desirable (Hornby, 1974:950) dan dalam bahasa Latin valere yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku dan kuat. Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga preferensinya tercemin dalam perilaku, sikap, dan perbuatan-perbuatan (Maslikhah, 2009:106).

Nilai-nilai berasal dari kata “nilai” dapat diartikan dengan sifat -sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Poerwadarminta, 2006:801). Dalam definisi lain yang di sampaikan Noor Syam. Bahwa nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat, sehingga nilai merupakan suatu otoritas ukuran dari subjek yang menilai, dalam artian koridor keumuman dan kelaziman dalam batas-batas tertentu yang pantas bagi pandangan individu dan sekelilingnya.

Pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan

sehari-hari (Armai, 2002:40). Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk meyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur, 2004:57). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, bangsa dan negara (Maslikhah, 2009:130).

Menurut pandangan Islam bahwa “Pendidikan” adalah tindakan

yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).

Dalam bahasa Arab “pendidikan” itu sama dengan at-Tarbiyyah,

sedangkan menurut Abdurrahman An-Nahlawi bahwa kata At-Tarbiyah berasal dari tiga bentuk. Pertama kata “Robbaa-yarbuu” yang berarti bertambah tumbuh. Kata kedua “Robiya-yarba” yang berarti menjadi besar dan yang ketiga adalah kata “robba-yarubbu” yang berarti menuntun, menjaga dan memelihara (Abdurrahman, 1992:31).

Menurut Syeikh Mustafa al-Ghalayaini pendidikan bukanlah sekedar mengasuh, memelihara atau mendidik anak didik, namun pendidikan merupakan pengembangan pengetahuan, ketrampilan, maupun kepandaian yang melalui adanya pengajaran, latihan-latihan atau

pengalaman-pengalaman. Lebih lanjut anak didik secara bertahab dengan memperhatikan usia kemampuan anak (al-Ghalayaini, t.t:189).

Dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa nilai pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga berguna bagi kehidupannya yang diperoleh melalui proses pendidikan. Proses pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan suatu waktu. Dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia, nilai pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya.

2. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah suatu proses interaksi sosial untuk mempengaruhi. Teknisnya adalah mempengaruhi bagian-bagian dalam organisasi. Dalam hal ini berupa perilaku sengaja yang dijalankan oleh seseorang untuk mengatur aktivitas, pekerjaan dan cara-cara berhubungan di dalam sebuah kelompok/organisasi/lembaga, dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan (Karim, 2010:14).

Adapun kepemimpinan menurut Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini

“Ummat tidak mungkin memiliki sutu negara yang kokoh dan kuat, tentram dan sejahtera, kecuali kalau di kalangan mereka itu ada pemimpin, kepala, penganjur, pembimbing dan sebagainya yang semakna dengan itu. Tugas orang-orang itu ialah menggerakan ummatnya di kala ummatnya itu dalam keadaan lumpuh tidak berdaya,

meluruskan mereka, baik kelakuan yang tampak atau akhlak dan tatakrama di kala menyimpang dan menyeleweng, menarik mereka di kala mereka jatuh dan menunjukkan jalan yang benar di kala mereka dalam keadaan tersesat. Empat itulah tugas pokok bagi setiap pemimpin ummat” (Al-Ghayalayaini, 2002:145).

Dari pengertian di atas dapat ditarik, kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang terjadi dalam suatu komunitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan bersama. Karena kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi, maka seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dalam bidang yang dipimpinnya, contoh kepala sekolah harus mempunyai kompetensi yang cukup dalam kependidikan agar mampu mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya dalam mewujudkan visi dan misi kepemimpinannya.

Sedangkan kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, kelompok, keluarga, bahkan sampai umat manusia. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.

3. Perspektif Islam

Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer perspektif diartikan dengan sudut pandang atau pandangan (Depdikbud, 1995:1060). Sedangkan Islam adalah ajaran atau petunjuk Allah. Selain dari pada itu,

Islam juga diartikan damai, tentram, atau agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dengan kitab suci Al-Qur’an. Arti utama kata tersebut

adalah tenang, diam, telah menunaikan kewajiban, dan memenuhi kedamaian yang sempurna. Adapun arti lainnya adalah berserah diri pada Tuhan pencipta kedamaian (Ali, 2008:157-158).

Dilihat dari segi bahasa, al-Islam memiliki akar kata yang sama dengan as-Salam, yang berarti perdamaian. Kata al-Islam dan as-Salam sama-sama berasal dari akar kata sa-li-ma, yang berarti selamat dari bahaya atau terbebas dari gangguan. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh (Madkour, 319). Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al- baqarah:112



































Artinya:“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Baqarah:112).

Dari kata aslama itu terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh kepada ajaran-Nya (Razak, 1986:56-57). Sehingga dari beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwasannya perspektif

Islam mempunyai arti segala sesuatu yang ditelaah melalui sudut pandang Islam.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi ini degan mudah, penulis berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkait yaitu sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, Dalam hal ini penulis menjabarkan pokok permasalahan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II Landasan Teori, berisi tentang Diskripsi Pemikiran Syeikh

Dokumen terkait