BAB III BIOGRAFI IMAM AN-NAWAN
B. Relevansi Nilai Pendidikan Akhlak Kitab Al-adzkar dalam kehidupan
Dapat dikemukakan bahwa analisis nilai pendidikan akhlak yang dimaksud ialah yang ada hubungannya dengan pengertian pendidikan akhlak di dalam kitab Al-adzkar kesesuaiannya dengan kehidupan manusia. Imam al-Nawawi mengatakan di dalam muqaddimah kitab al-Adzkar-nya:
“Bahawa sebaik-baik keadaan seorang hamba adalah di saat dia berdzikir kepada Rabb-nya, yaitu Rabb sekalian alam. Dia menyibukkan dirinya dengan dzikir-dzikir yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, pemimpin seluruh Rasul.
Tujuan dari pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat
bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan. Berdasarkan tujuan di atas, keadaan, pelajaran, aktivitas merupakan sarana pendidikan akhlak, dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak di atas segalanya. (Ramayulis, 2004: 115)
Dari penjelasan di atas begitu banyak nilai-nilai pendidikan akhlak yang dapat kita ambil dari kitab Al-adzkar dan dapat diterapkan dalam kehidupan manusia, untuk menata kehidupan mereka agar menjadi lebih baik
Bagi kehidupan manusia pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hidupnya. Tanpa pendidikan umat manusia sama sekali tidak dapat hidup berkembang sejalan dengan cita-cita untuk maju.
Nabi Muhammad SAW bergelar Nabiyyurrahman, nabi yang memiliki belas kasih terhadap seluruh umatnya. Diantara bentuk kasih sayang beliau kepada umatnya beliau mengajarkan berbagai adab berpendidikan akhlak, yang menjadi sebab seseorang akan mendapatkan kebaikan di dunia maupun di akhirat.
Akhlak Islam adalah suatu keyakinan terhadap nilai-nilai ketuhanan di dalam kehidupan nyata, semata-mata untuk meraih ridha Allah SWT. Akhlak merupakan aktivitas lahir maupun batin. Aktivitas lahir nampak dalam budi pekerti terpuji dan aktivitas batin nampak dalam bentuk
keteguhan dan kekuatan jiwa, menumbuhkan optimisme dan tekat yang kuat. (Mujib, 2009: 57)
Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak yang relevan dapat diambil dan diterapkan terhadap dunia pendidikan di masyarakat sekarang dari kitab Al-adzkar karya Imam Nawawi antara lain dapat penulis uraikan sebagai berikut:
Pendidikan untuk selalu berdoa kepada Allah SWT ini sangat relevan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Setiap manusia pasti mempunyai kebutuhan masing-masing setiap harinya. Untuk menyeimbangkan kebutuhan dunia dan akhirat, seseorang dibekali untuk mengingat Allah SWT dalam keadaan apapun. Disaat susah maupun senang sebagai makhluk yang diciptakan sang Khaliq harus senantiasa mengingat Allah dimanapun dan kapanpun berada. Serta berdoa ataupun memohon kepada-Nya apa saja yang menjadi kebutuhan.
Orang yang jauh dari (mengingat Allah SWT) dijamin hidupnya selalu dipenuhi berbagai masalah dan kesulitan. Hati tidak pernah nyaman dan tentram, hidup selalu gelisah dan tertekan, berbagai masalah dan kesulitan bertubi-tubi datang menghimpit. Di dunia hidup sulit di akhiratpun lebih sulit lagi.
Sikap tawakkal terhadap Allah ini relevan sekali dengan kehidupan manusia sehari-hari, karena dengan tawakkal kepada Allah SWT itu berarti kita meyakini bahwa Allah itu adalah tempat untuk berserah diri atas segala sesuatu yang akan dialaminya. Tawakkal kepada Allah SWT bukan berarti
menghilanglkan dan meninggalkan usaha atau ikhtiar. Bahkan tawakkal tidak sah tanpa adanya usaha. Rasulullah SAW adalah contoh orang yang paling bertawakkal kepada Allah. Beliau memerintahkan kepada orang lain agar bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Orang yang tidak mau berusaha, tidak akan memperoleh sesuatu yang diharapkan. Jika seseorang ingin sembuh dari penyakitnya, hendaklah berobat. Dalam hal ini Rasulullah SAW menegaskan, “Hai manusia berobatlah! Sesungguhnya Allah SWT tidak menurunkan penyakit, kecuali telah menyiapkan obatnya.” (Ibnu Qudamah, 2007: 37)
Sikap tawadhu’ terhadap Allah ini relevan sekali dengan kehidupan manusia sehari-hari, karena dengan tawadhu’ seseorang menghantarkan dirinya secara tidak langsung untuk berjalan dengan ketundukan dan kepatuhan menjalankan segala yang diperintahkan oleh Allah SWT dengan memasrahkan diri kepada-Nya.
Manusia dituntut untuk menyadari banyaknya kebutuhan dan kefakirannya, membutuhkan pengampunan Allah SWT serta menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT. Sehingga dengan pemahamannya tersebut, maka tidak pernah terbesit sedikitpun dalam hatinya sikap sombong dan rendah diri, karena telah meresapnya keyakinan yang menghujam ke dalam hatinya. (syaikh Amin, 1/3)
Pendidikan akhlak Tawadhu’ pada Allah SWT artinya pendidikan untuk selalu merendahkan diri dihadapan-Nya, diantaranya dengan merasa
kecil dan sedikit dalam taat kepada-Nya, artinya merasa bahwa dalam ketaatan dan ibadahnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan dosa- dosa yang telah dilakukan. Merasa banyak dan sering melakukan maksiat atau dosa, dalam arti merasa bahwa dosa yang telah dilakukan sangat besar dibandingkan dengan amalnya. Mempebanyak pujian kepada Allah SWT. Tidak menuntut hak kepada Allah SWT, tetapi berorientasi pada amal yang harus dilakukan. (http://pondokpesantrenwaliaminah.blogspot.com)
Mengucapkan Shalawat pada Nabi SAW sangat relevan dengan kehidupan manusia sehari-hari, karena dengan membacakan Shalawat pada Nabi SAW berarti manusia sudah memenuhi hak Nabi Muhammad SAW atau menunaikan satu tugas ibadah yang diperintahkan atas umatnya.
Umat manusia diajarkan apa saja faidah-faidah membacakan shalawat Nabi SAW, baik faidah secara dhohir maupun batin, diantaranya: 1. Memperoleh limpahan rahmat dan kebaikan dari Allah SAW serta
digolongkan sebagai orang yang shaleh
2. Diangkat drajatnya dan dihapus dosa-dosa dan kesalahannya
3. Bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperoleh syafa’at di hari kiamat sera membuka kesempatan untuk bertemu dengannya. 4. Menjalin komunikasi yang akrab dengan Nabi SAW, karena shalawat
dan salamnya tersebut akan disampaikan oleh Malaikat kepada Nabi 5. Dapat menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak sanggup
6. Menjadikan sebab diterimanya dan dikabulkannya doa (Muhammad, 2012: 22)
Umat manusia juga diajarkan membaca Shalawat Nabi SAW dan memuji sebanyak-banyaknya diwaktu kapan saja dan ditempat-tempat yang diperbolehkannya berdzikir, berdoa maupun bershalawat. Umat manusia biasanya memperbanyak membaca shalawat Nabi di hari Jum’at. Di kampung-kampung atau masjid-masjid mengadakan pembacaan Maulid Barzanji sebagai trik mudah agar bisa bershalawat sebanyak-banyaknya di
malam Jum’at.
Membaca Al-qur’an dan memahami isinya sangat relevan dengan kehidupan manusia sehari-hari, karena dengan membaca Al-qur’an kita sudah memenuhi kewajiban yang ke-tiga dari rukun iman, apalagi mau untuk mengamalkan isi dari pada Al-qur’an tersebut.
Umat manusia diajarkan untuk membaca Al-qur’an di dalam shalat (surat-surat pendek), sebagai awal dari pembelajaran Al-qur’an. Setelah itu mereka diajarkan apa saja faidah yang didapat bagi orang yang gemar membaca Al-qur’an, di antaranya:
1. Sebaik-baik manusia adalah orang yang mempelajari dan mengajar Al-
qur’an
2. Memberikan syafa’at kepada diri sendiri dan orang tuanya
3. Mendapatkan pahala serta memperoleh kemuliaan dan rahmat dari Allah 4. Menentramkan hati serta sebagai cahaya di tengah kegelapan
6. Ahlul Al-qur’an adalah keluarga Allah SWT (Muhammad, 2012: 40) Dengan beberapa faidah di atas tentunya mereka yang belajar Al-qur’an akan lebih semangat dan giat dalam membacanya.
Sikap mempunyai rasa persaudaraan dengan sesama manusia sangat relevan dengan kehidupan manusia sehari-hari, karena sesama manusia itu bersaudara. Persaudaraan merupakan anugrah yang agung dan nikmat dari Allah SWT.
Umat manusia diajarkan untuk berusaha semaksimal mungkin, agar anugrah tersebut tetap terjaga pada diri manusia, yaitu dengan cara:
1. Mencintai saudaranya semata-mata karena Allah SWT dan bukan karena urusan duniawi. Mengikhlaskan niat untuk mencintai dan menyayangi saudara karena Allah SWT. Jika seseorang mencintai saudaranya yang lain karena Allah, maka kecintaan tersebut akan tetap lestari. Tetapi jika melakukannya karena tujuan duniawi, maka lambat laun kecintaan tersebut akan pupus di tengah jalan.
2. Lebih mendahulukan membantu saudaranya dengan apa yang mampu dari jiwa dan harta dari pada dirinya sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa dalam kehidupan bermasyarakat masing-masing individu memiloiki strata sosial yang berbeda-beda. Antara yang satu dengan yang lainnya saling membantu. Yang kaya membantu yang miskin, dan yang miskin membantu yang kaya. Yang memiliki kedudukan membantu orang yang tidak memiliki kedudukan, dan sebagainya. Hakikat persaudaraan
adalah lebih mendahulukan kepentingan saudaranya dari pada diri sendiri.
3. Menjaga kehormatan dan harga diri saudaranya. Ini termasuk inti dan hak yang agung dalam persaudaraan. Kehormatan seorang muslim terhadap muslim yang lainnya adalah haram secara umum. Realisasi dalam hal ini yaitu, tidak menyebutkan aib saudaranya, baik ketika ia hadir dihadapannya maupun ketika tidak ada, tidak mencampuru urusan pribadinya, dan menjaga rahasinya. (Rasyid, 2000: 76)
Tidak berperilaku Ghibah (menggunjing) dan Namimah (mengadu domba) relevan sekali dengan kehidupan manusia sehari-hari. Dianjurkan bagi setiap orang mukallaf (orang yang telah dibebani tanggung jawab), menjaga lisannya dari setiap perkataan yang tidak bermanfaat. Salah satunya Ghibah, dinamakan ghibah karena menggunjing dilakukan ketika orang yang digunjingkan tidak ada di tempat maupun berada di tempat namun tidak mendengarnnya. Seseorang yang ghibah tidak terbatas hanya dengan lisan saja, namun juga bisa dengan tulisan atau isyarat seperti kedipan mata, cibiran bibir, gerakan tangan dan sebagainya yang intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. (Amrullah, 2005: 26) Tak kalah meluasnya ghibah dengan tulisan karena tulisan adalah lisan kedua, seperti banyak dimuat diberbagai media, seperti facebook, BBM, WA, instagram dan lain sebagainya.
Untuk menghindari sifat tersebut, seorang manusia diajarkan untuk selalu mengingat bahwa ghibah adalah penyebab kemarahan dan
kemurkaan serta turunnya adzab Allah, bahwasannya timbangan kebaikan perilaku ghibah akan pindah kepada orang yang digunjingkan, melihat aib sendiri sebelum mengotak-atik aib orang lain, mengingatkan bahwa berghibah itu sama saja memakan bangkai saudaranya sendiri, membuang penyakit hati, kerena ghibah biasanya bermula dari sakit hati, dan lain sebagainya. (Amrullah, 2005: 29)
Selain dilarang bergunjing, umat manusia juga dilarang mengadu domba (namimah) yaitu aktivitas seseorang dalam memindahkan suatu perkataan dari satu orang atau satu kelompok dengan mengemukakan apa yang tidak disukai kedua belah pihak. Biasanya kalimat namimah selalu ditambah-tambah dan dikemas sedemikian rupa, sehingga apa yang disampaikan tersebut menarik untuk didengar. (Umary, 1993: 52-53)
Umat manusia diajarkan untuk agar senantiasa tidak melakukan perbuatan namimah, yaitu dengan cara: tidak mempercayainya karena setiap pembawa namimah adalah fasiq, melarang orang tersebut untuk meneruskan ucapannya dan menasehatinya dengan sebaik-baiknya, membencinya karena Allah sebab perbuatan itu tidak disekai Allah, tidak berprasangka buruk dengan orang yang diadu domba, tidak membawa hikayat cerita kemana-mana, dan tidak ridla dengan orang yang mengadu domba dan lain sebagainya. (Abdullah, 2004: 48)
Sikap tidak menampakkan kegembiraa di atas penderitaan orang lain sangat relevan sekali dengan kehidupan manusia sehari-hari, karena antara
muslim satu dengan muslim yang lain itu bersaudara, maka tidak pantas jika sifat itu ada antara sesama orang yang beriman.
Allah SWT berfirman dalam QS An-nur: 19:
اَيْنُّدلا ىِف ٌمْيِلَأ ٌباَذَع ْمُهَل اوُنَمَأ َنْيِذَّلا ىِف ُةَشِحاَفلا َعْيِشَت ْنَأ َنوُّبِحُي َنيِذَّلا َّنِإ
ِةَرِخَلأا َو
“sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi
mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An-nur: 19) Umat manusia diajarkan sebagaimana yang telah dituliskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadus Shalihin membawakan ayat di atas untuk menunjukkan terlarangnya menampakkan kebahagiaan ketika seorang muslim mendapatkan musibah. Pendalilannya dari ayat tersebut adalah jika seseorang menyebar berita jelek yang dilakukan orang mukmin yang terjerumus dalam dosa mendapatkan ancaman kerugian di dunia dan akhirat, apalagi jika seseorang menampakkan rasa gembira atas musibah saudara muslim tanpa adanya sebab apa-apa. Secara umum kehormatan sesama muslim tidak boleh diinjak, bisa jadi orang yang dijelekkan itu dirahmati oleh Allah SWT (Syarh Riyadus Shalihin, 6/ 263)
Sikap tidak menyebut-nyebut pemberian serta menyakiti penerimanya ini sangat relevan sekali dengan kehidupan manusia sehari- hari. karena tidak jarang setiap manusia pasti ada yang yang mempunyai sifat resebut.
Umat manusia diajarkan bagaimana supaya mereka tidak mempunya sifat tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti penerimanya merupakan sifat orang bakhil, karena ia merasa takjub dengan pemberiannya. Ia pun merasa pemberiannya adalah perkara yang besar meskipun sebenarnya adalah kecil. Lalu ia iringi dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti hati penerima karena ia mengira bahwa dirinyalah yang telah memberi.
2. Haram hukumnya mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti hati penerima, karena kedua sifat ini membatalkan rasa syukur dan dapat menghapus pahala amal, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, mengungkit-ungkit pemberian dapat merusak seluruh kebaikan yang telah engkau berikan, seseorang yang mulia yaitu orang yang apabila memberi tidaklah menyertakan pemberiannya dengan mengungkit- ungkit.
3. Infaq fi Sabilillah termasuk peruatan ma’ruf yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan melindungi dari keburukan-keburukan, hendaknya amal tersebut benar-benar ikhlas mengharap wajah Allah semata, dan lain sebagainya.
Manusia yang memberikan sesuatu kepada orang lain, kalau itu adalah sedekah maka ia memberikannya karena Allah SWT. Jika demikian adanya, maka manusia tidak boleh menyebut-nyebut pemberiannya, baik mengatakan itu dihadapan penerima atau tidak.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-baqarah: 264:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan
penerimanya, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu mendaikannya bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan dan Allah SWT tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fakir. (QS. Al-baqarah: 264)
Ini menunjukkan bahwa jika manusia menyebut-nyebut pemberiannya maka pahalanya batal, ia tidak mendapatkan pahala darinya dan juga mendapat dosa besar.
Sikap syukur sangat relevan dengan kehidupan manusia sehari-hari, karena bersyukur berarti berterimakasih atas segala nikmat yang diberikan Allah SWT. Dan perilaku ini harus ada dalam diri setiap manusia, karena setiap nafas yang kita hirup merupakan Kuasa-nya. Umat manusia diajarkan berterima kasih kepada Allah dengan cara mempergunakan nikmat sebagaimana diperintahkan Allah SWT. Nikmat sehat untuk beribadah dan bekerja, nikmat harta untuk nafkah dan zakat, infak, dan sedekah, nikmat jabatan untuk membuka jalan kebaikan bagi islam dan kaum muslim.
Allah SWT berfirman dalam QS. Ibrahim: 7 :
ٌدْيِدَشَل ىِباَذَع َّنِإ ْمُتْرَفَك ْنِئَل َو ْمُكَّنَدْيِزَ َلأ ْمُتْرَكَش ْنِئَل ْمُكُّبَر َنَّذَأَت ْذِإ َو
“Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah nikmat-Ku untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Rasa syukur seorang muslim dilakukan dengan hati, yaitu dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah SWT. Syukur dengan lisan berupa
ucapan hamdalah (Alhamdulillah) dan syukur dengan anggota badan dilakukan dengan mempergunakan segala nikmat hanya untuk kebaikan. (www.risalahislam.com)
Seorang manusia yang mempunyai sifat sabar dalam kesusahan, maka kesusahan itulah yang menjadikan masalahnya sebagai sumber kebaikan. Saat bergembira mendapatkan nikmat juga menjadi ladang amal kebaikan dengan cara bersyukur. Maka, sabar dan syukur adalah sikap dasar kehidupan seorang muslim yang membuatnya selalu bahagia, ceria, dan optimis.
Mengingat Allah SWT dalam melakukan aktivitas sehari-hari sangat relevan dengan kehidupan manusia sehari-hari, karena mengingat Allah SWT merupakan kegiatan utama yang seharusnya dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Manusia diajarkan agar semua kegiatan senantiasa berkah dan mendapat nilai ibadah di sisi Allah SWT, maka hendaklah setiap akan melakukan kegiatan, kita berdoa kepada Allah SWT.
Shalat adalah kegiatan dzikir yang telah ditetapkan waktu dan tata caranya. Di luar shalat lima waktu tersebut juga bisa melaksanakan kegiatan dzikir lainnya, dalam rangka menjaga komunikasi dan hubungan dengan Allah SWT setiap saat. Rasulullah banyak mengajarkan doa-doa yang dianjurkan dibaca setiap hari, seperti doa yang dibaca ketika mau tidur dan bangun tidur, masuk kamar mandi dan keluar kamar mandi, sebelum makan dan sesudah makan, keluar rumah dan masuk rumah, masuk masjid dan keluar masjid, doa saat melakukan perjalanan, dan lain sebagainya. Semua
doa itu merupakan kalimat dzikir yang menjaga hubungan dan komunikasi dengan Allah SWT. (Aditia, 2011: 20)
Umat manusia juga diajarkan apa saja manfaat dari pada melakukan dzikir saat melakukan aktivitas sehari-hari supaya mereka sadar dan mau mengamalkan dzikir-dzikir yang sudah diajarkan Rasulullah SAW, diantaranya yaitu,
1. Mendapatkan keberuntungan, yaitu masuk surga 2. Mendapatkan pahala yang besar
3. Menolak syaitan dan menghancurkannya
4. Membuat hati tenang, gembira, dan lapang serta hilangnya duka cita 5. Menumbuhkan mahabbah dan muqarrabah kepada Allah SWT 6. Diingat oleh Allah SWT
7. Menggugurkan dosa sekaligus menghilangkannya 8. Menghindarkan diri daru ghibah dan namimah
9. Akan diliputi malaikat, dituruni rahmat, mendapatkan kedamaian, dan dibanggakan Allah SWT di hadapan malaikat
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya yang dilakukan penulis, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Al-adzkar Karya Imam An-
nawawi
a. Pendidikan Akhlak terhadap Allah SWT
1) Pendidikan untuk selalu berdoa kepada Allah SWT 2) Pendidikan Tawakkal kepada Allah SWT
3) Pendidikan tawadhu’ terhadap Allah
b. Pendidikan Akhlak terhadap Raasulullah SAW
Pendidikan untuk mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW ketika nama beliau disebut
c. Pendidikan Akhlak terhadap Al-Qur’an
1) Pendidikan untuk selalu membaca Al-qur’an 2) Pendidikan untuk mengamalkan isi dari Al-qur’an d. Pendidikan Akhlak tehadap sesama manusia
Di dalam kitab al-Adzkar di sebutkan bahwa, akhlak terhadap sesama manusia dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Akhlak terpuji, yaitu meliputi: a) Rasa persaudaraan b) Menahan amarah
c) Tawadhu’ 2) Akhlak tercela
a) Ghibah dan Namimah
b) Menampakkan kegembiraa di atas penderitaan orang lain c) Memberikan persaksian palsu
d) Menyebut-nyebut pemberian serta menyakiti penerimanya e) Berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim
e. Pendidikan Terhadap diri sendiri, yaitu meliputi: 1) Sabar
2) Syukur 3) Optimis
f. Pendidikan Tata cara melakukan aktivitas sehari-hari
1) Pendidikan untuk selalu berdoa ketika sebelum dan sesudah melakukan aktivitas sehari-hari
2) Pendidikan untuk selalu berdzikir (mengingat Allah SWT) ketika akan atau sesudah melakukan aktivitas sehari-hari 2. Relevansi Nilai Pendidikan Akhlak Kitab Al-adzkar dalam kehidupan
sehari-hari.
Nilai-nilai pendidikan akhlak yang relevan dapat diambil dan diterapkan terhadap masyarakat sekarang dari kitab Al-adzkar karya Imam Nawawi antara lain dapat penulis uraikan bahwasannya nilai pendidikan akhlak dalam kitab Al-adzkar sudah sangat relevan sekali dengan kehidupan manusia sehari-hari, tidak hanya pendidikan akhlak
terhadap sesama muslim tetapi bersifat universal (menyeluruh) karena setiap manusia itu benar-benar harus mempunyai pendidikan akhlak yang baik, baik pendidikan akhlak terhadap Tuhannya maupun terhadap sesama manusia.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan di atas penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk lembaga IAIN Salatiga
Sasaran jurusan pendidikan agama Islam merupakan aktualisasi dari tujuan jurusan yaitu menghasilkan praktisi pendidikan agama Islam yang profesional dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, untuk menghasilkan lulusan yang yang berakhlak mulia sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, hendaknya lembaga-lembaga pendidikan agama Islam, khususnya lembaga IAIN Salatiga menyediakan lebih banyak literatur yang membahas tentang akhlak dan kegiatan-kegiatan perjalanan Rasulullh SAW.
2. Untuk mahasiswa IAIN Salatiga
Peran sejarah akhlak dan aktivitas Nabi Muhammad SAW dan para sahabat Rasulullah SAW, berperan sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah maupun pendidikan dan aktivitas kehidupan lainnya. Oleh karena itu, siswa dan mahasiswa yang belajar dalam bidang agama Islam hendaknya bersungguh-
tingkah laku Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi umat manusia.
3. Untuk peneliti selanjutnya
Hendaknya kepada peneliti selanjutnya lebih banyak lagi dalam meneliti tentang pendidikan akhlak ini. Bahan referensi dalam penelitian juga diharapkan lebih banyak dan luas lagi tentang buku- buku atau kitab yang membahas tentang akhlak. Karna pendidikan akhlak yang islami sangat dibutuhkan dan diperlukan di zaman sekarang. Dengan banyaknya lagi penelitian tentang pendidikan akhlak diharapkan dapat membantu dan memperbaiki akhlak bangsa terutama bagi kaum muda. Selain itu diharapkan juga agar dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dan semua yang membacanya.
C. Penutup
Syukur Alhamdulillah penulis aturkan kepada Allah SWT, Dialah yang mengawali dan mengakhiri, berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya skripsi yang sangat sederhana ini dapat terselesaikan dengan segala keterbatasan penulis.
Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, sosok yang baik, tenang dan sempurna dari seluruh