• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo

tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL ?

2. Apa saja kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana upaya mengatasinya ?

5 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama yang hendak dicapai peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana upaya mengatasinya.

Manfaat penelitian diharapkan dapat dipergunakan baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis :

a. Dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah pengetahuan di bidang hukum khususnya dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL).

2. Manfaat Praktis :

a. Bagi Mahasiswa, sebagai masukan dan referensi kepada mahasiswa baik secara hukum mengenai Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.

6

b. Memberikan sumbangan Pemikiran kepada kalangan Akademisi Kampus, praktisi hukum bisnis, Lembaga Pemerintah, Institusi Peradilan termasuk Aparatur Penegak Hukum lainnya dalam rangka menerapkan dan menegakkan Perda dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.

D. Keaslian Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil topik : Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Tinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL. Penelitian ini mengambil Studi Kasus PKL Terminal Terboyo Kota Semarang. Berdasarkan hasil penelusuran yang Penulis lakukan terdapat penulisan yang serupa secara karakteristik, namun meskipun hampir sama tetap terdapat perbedaan. Adapun Karya Ilmiah yang hampir serupa di maksud adalah sebagai berikut :

1. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pembinaan Pedagang Kaki Lima : Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima Di Kelurahan Paropo Kecamatan Panakukang Kota Makassar ( Nurul Azizah Syam / Nim : E 121 11 609 / Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin 2016 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah implementasi kebijakan pemerintah dalam pembinaan pedagang kaki lima di Kota Makassar ( studi kasus di Kelurahan Paropo Kecamatan Panakukang Kota Makassar ) ?

7

b. Apasaja faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembinaan pedagang kaki lima di Kota Makassar ( studi kasus di Kelurahan Paropo Kecamatan Panakukang Kota Makassar ) ?

2. Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima Di Surakarta ( Nur Fatnawati / Nim : 8111409233 / Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 2013 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah langkah Pemerintah Kota Surakarta dalam penerapan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima ?

b. Bagaimanakah cara Relokasi PKL menurut Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima ?

c. Bagaimanakah dampak relokasi bagi Pedagang Kaki Lima dan masyarakat sekitar ?

3. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Tlogosari Semarang ( Yonathan Katon Adinugroho / Nim : 7465407 / Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2015 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah Implementasi Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Tlogosari Semarang ?

8

b. Apasajakah faktor-faktor pendorong dan penghambat Impementasi Peraturan Daerah tersebut ?

4. Implementasi Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 13 Tahun 2007 Pasal 22 Ayat (1) Dan (2) Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 44 Tahun 2002 Tentang Ketentraman Dan Ketertiban Terhadap Pedagang Kaki Lima Di Area Kambang Iwak Kota Palembang ( Ratika Desyarani / Nim : 02121401095 / Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Kampus Palembang 2017 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Apasajakah faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan Pedagang Kaki Lima di area Kambang Iwak ?

b. Upaya-upaya apasaja yang dilakukan Pemerintah Kota Palembang dalam menangani keberadaan Pedagang Kaki Lima di area Kambang Iwak Palembang ?

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, pada bab ini diuraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka, pada bab ini berisi tinjauan umum tentang pedagang kaki lima, tinjauan umum tentang pembinaan pedagang kaki lima, dan tinjauan umum tentang kebijakan relokasi pedagang kaki lima.

9

BAB III : Metode Penelitian, metode penelitian terdiri dari jenis / tipe panelitian yang menggunakan yuridis empiris, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, metode pengumpulan data menggunakan teknik pengumpulan data penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, metode analisis datanya menggunakan analisis kualitatif.

BAB IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan, uraian mengenai Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo serta kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana upaya mengatasinya.

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Sektor Informal

Pada saat ini keberadaan sektor informal di daerah perkotaan pada khususnya di Kota Semarang telah menjadi masalah yang penting, terbukti dengan angka pertumbuhan yang cukup pesat. Selain itu, sektor informal juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyerap angkatan kerja. Tadjudin Noer Effendi, menyatakan bahwa ada kecenderungan pada proporsi pekerja-pekerja sektor informal yang semakin kecil dengan semakin besarnya suatu kota. Perbedaan ini terkait dengan konsentrasi kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi moderen dari sektor industri cenderung mengelompok di kota-kota besar, akibatnya sifat permintaan atas pelayanan barang dan jasa di kota-kota besar lebih bersifat formal dari pada informal. Kegiatan sektor informal memiliki karasteristik sebagai berikut :

1. Mudah untuk masuk ke sektor ini ; 2. Menggunakan sumber-sumber asli ; 3. Merupakan usaha milik keluarga ; 4. Skala operasinya kecil ;

5. Intensif tenaga kerja dan teknologi sederhana ;

6. Keterampilan yang diperoleh di luar pendidikan formal ; dan 7. Pasar yang kompetitif dan tak terlindungi oleh undang-undang. 3 Ciri-ciri dari sektor informal pada umumnya dapat dilihat dari kacenderungan masyarakat pada umumnya, yang dapat dihubungkan dengan ada tidaknya bantuan secara ekonomi dari pemerintah, yaitu ciri-cirinya antara lain sebagai berikut :

1. Aktivitasnya tidak terorganisisir secara baik, karena timbulnya tak berlangsung melalui lembaga yang ada pada perekonomian moderen ;

_______________________

3 Tadjudin Noer Effendi, “Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan“, Cetakan Ke-II, ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2016 ), halaman 190.

11

2. Tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah ;

3. Pada umumnya setiap unit usaha tidak mempunyai izin usaha dari pemerintah ;

4. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti tempat maupun mengenai jam kerja ;

5. Mudah untuk keluar dan masuk dari satu sub ke sub sektor yang lain ; 6. Karena modal dan peralatan serta perputaran usaha relatif kecil, maka

skala operasinya kecil ;

7. Tekhnologi yang digunakan bersifat sederhana ;

8. Untuk mengelola usaha tidak diperlukan tingkat pendidikan tertentu, karena pendidikan yang diperlukan dapat diperoleh dari pengalaman saat melakukan perdagangan ;

9. Kebanyakan termasuk one man enterprise, buruh yang berasal dari lingkungan keluarga, maka bersifat family enterprise ;

10. Sumber dana untuk modal umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari sumber keuangan tidak resmi ; dan

11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota maupun desa berpenghasilan rendah dan kadang-kadang golongan menengah.

Soetjipto Wirosardjono memberikan batasan mengenai ciri-ciri sektor informal adalah sebagai berikut :

a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya ;

b) Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah ;

c) Modal, peralatan, maupun perlengkapan dan omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar perhitungan harian ;

d) Umumnya tidak mempunyai tepat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya ;

12

e) Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain ;

f) Umumnya dilakukan oleh dan untuk melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah ;

g) Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga dapat dengan mudah menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja ;

h) Menggunakan buruh yang sedikit dan dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama ; serta

i) Tidak menganal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan lain sebagainya. 4

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dengan beberapa ciri, tampak bahwa sektor informal merupakan suatu istilah yang mencakup berbagai kegiatan usaha yang bersifat wiraswasta dimana campur tangan pemerintah terutama dalam hal permodalan sangatlah kurang. Begitu juga dengan aturan-aturan hukum yang tampaknya jauh dari jangkauan sehingga kehadirannya dianggap melanggar norma terutama ketertiban umum. Oleh karena itu banyak pihak yang memposisikan sektor informal sebagai bagian dari sektor ekonomi minor yang seolah-olah mengurangi kemanfaatan sektor informal itu sendiri.

Padahal pada hakekatnya, sektor informal dapat dijadikan sebagai sektor ekonomi yang dapat dibina dan dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi riil. Hal tersebut disebabkan karena ditinjau dari daya serapnya, ternyata jumlah pekerja sektor informal ini semakin meningkat. Besarnya daya serap tersebut sebenarnya merupakan cerminan bahwa sektor formal dirasa sudah tidak mampu lagi untuk menampung penambahan angkatan kerja. Asumsinya adalah bahwa orang akan selalu berusaha untuk dapat bekerja di sektor formal yang lebih memberikan jaminan dibanding sektor _______________________

4 Soetjipto Wirosardjono, “ Pengertian, Batasan, Dan Masalah Sektor Informal “, Cetakan Ke-V, ( Jakarta : LP3ES, 2015 ), halaman 5.

13

informal. Hanya saja apabila sudah tidak tersedia lagi kesempatan kerja di sektor formal, mau tidak mau orang akan mencari alternatif lain yang salah satunya adalah menciptakan kesempatan kerja di sektor informal.

Namun disamping itu ada juga beberapa pihak yang sengaja terjun di sektor informal, jadi bukan lantaran sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk bekerja di sektor formal. Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa sektor informal lebih mempunyai daya tarik, sehingga dapat memberikan imbalan yang sesuai dengan kemampuan. Dimana kemampuan setiap individu yang dibutuhkan untuk memasuki sektor informal tidaklah terlalu berat, bahkan bisa dikatakan bahwa setiap individu bisa memasukinya apabila mempunyai kemauan dan sedikit kemampuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para pekerja di sektor informal belum tentu terdiri dari orang-orang yang putus asa karena tidak tertampung dalam sektor formal.

B. Tinjauan Umum Tentang PKL

Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga " kaki " gerobak ( yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki ).

Jenis dagangan dari PKL sangat dipengaruhi oleh sifat pelayanan PKL itu sendiri. Barang yang didagangkan biasanya bergantung pada lokasi dimana PKL berdagang. Jenis dagangan yang biasa didagangkan oleh PKL, diantaranya sebagai berikut :

1. Makanan dan minuman, terdiri dari pedagang yang berjualan yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa

14

pulang. Lokasi dagangan biasanya di perkantoran, tempat rekreasi, sekolah, ruang terbuka atau taman, dan persimpangan jalan utama menuju keramaian ;

2. Pakaian atau tekstil dan mainan anak. Untuk barang dagangan seperti ini biasanya pola pengelompokan lebih berbaur dengan komoditas lain. Lokasi dagangan cenderung sama dengan para pedagang makanan dan minuman ;

3. Buah-buahan, dimana jenis buah yang diperdagangkan berupa buah-buah segar. Komoditas perdagangkan cenderung berubah-ubah sesuai dengan musim-musim buah. Lokasi PKL yang menjual buah-buahan berada di pusat-pusat keramaian serta cenderung berbaur dengan komoditas lain ;

4. Rokok dan obat-obatan, biasanya pedagang yang menjual rokok juga berjualan makanan ringan, obat, dan permen. Lokasi dagangan jenis ini cenderung berada di pusat-pusat keramaian ;

5. Barang cetakan seperti majalah, koran dan buku bacaan. Jenis ini cenderung berlokasi di pusat-pusat keramaian dan berbaur dengan pedagang jenis komoditas lainnya ; dan

6. Jasa perorangan, terdiri dari tukang kunci, reparasi jam, tukang stempel hingga tukang pembuat figuran. Pedagang jenis ini berlokasi di pertokoan dan berbaur dengan jenis komoditas lain. 5 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, PKL adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan, serta tempat-tempat yang tidak diperuntukkan untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya. Peraturan pemerintah menetapkan setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sebutan untuk pedagang tersebut adalah “ pedagang emperan jalan ” akan tetapi sekarang menjadi “ pedagang kaki lima ”. 6

_______________________

5 M.S. Rusli Ramli, “ Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima “, ( Jakarta : Ind-Hil.co., 2009 ), halaman 3.

6

Lukman Ali, “ Kamus Besar Bahasa Indonesia “, Cetakan Ke III, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2011 ), halaman 568.

15

Berdasarkan Perda Kota Semarang No. 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan swasta yang bersifat sementara.

Menurut McGee dan Yeung, pedagang kaki lima atau PKL mempunyai pengertian yang sama dengan „ hawkers ‟, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. PKL juga sebagian kelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau ditepi / dipinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan / pertokoan, pasar, pusat rekreasi / hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari. 7

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki lima merupakan suatu pekerjaan atau usaha kecil oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau mempunyai modal kecil dengan menjual barang atau jasa di tempat umum yang bukan miliknya. Proses perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka.

_______________________

7 Syamsul Hilal, “ Upaya Penataan dan Pembinaan PKL di.Indonesia ", ( http://

16

PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.

Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman, yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan lingkungan kotor serta kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.

Menurut Kartono, ciri-ciri umum dari pedagang kaki lima adalah sebagai berikut :

1. Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus sebagai produsen ;

2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu ketempat yang lain ;

3. Menjajakan bahan makanan, minuman, maupun barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran ;

17

4. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atas jerih payahnya ;

5. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar ;

6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli merupakan pembeli yang berdaya beli rendah ; dan

7. Tawar menawar antar penjual dan pembeli merupakan relasi ciri khas pada usaha pedagang kaki lima. 8

Upaya penertiban, sering kali berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL itu sendiri. Tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa, padahal sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengah-tengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi ( part of solution ).

Seperti yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup atau survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative / lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain.

_______________________

8 Kartono, “ Pedagang Kaki Lima “, Cetakan Ke-VI, ( Bandung : Universitas Katholik, 2010 ), halaman 7.

18 C. Tinjauan Umum TentangPembinaan PKL

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “ pembinaan ” berasal dari kata “ bina ” yang artinya sama dengan “ bangun ”. Jadi pembinaan dapat diartikan sebagai pembangunan yaitu mengubah sesuatu sehingga menjadi baru yang memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi. Pembinaan merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan daya saing. Berdasarkan pada pengertian pembinaan tersebut, maka pembinaan PKL diartikan sebagai memberikan pengarahan, bimbingan dan juga melakukan pengaturan dan pengawasan sehingga keberadaan PKL dapat memberikan manfaat bagi kehidupan sosial perkotaan tanpa harus menjadi unsur pengganggu kenyamanan warga kota.

Menurut Mangunhardjana, mendefinisikan pembinaan dalam konteks manajemen yang berarti makna dan pengertian yang terungkap masih sekitar persoalan pengelolaan untuk mencapai hasil yang terbaik. Hal-hal yang baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif. 9

Dari definisi tersebut, pembinaan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan sikap dan ketrampilan dengan harapan mampu mengangkat nasib dari obyek yang dibina. Dalam pembinaan, dilatih untuk mengenal kemampuan dan mengembangkannya agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang hidup atau kerja mereka.

Dalam menangani PKL perlu mencari solusi yang baik dan bijaksana, karena pemusnahan tanpa memberi jalan keluar dengan memberi tempat

_______________________

9 Ali Achsan Mustafa, “ Model transformasi sosial sektor informal : sejarah, teori,

19

yang memenuhi syarat, sama saja dengan mematikan tumbuhnya ekonomi kerakyatan, yang notabene-nya sumber kehidupan masyarakat bawah. Sektor ini membutuhkan perhatian yang lebih baik lagi dari pihak pemerintah. Oleh karena itu, jalan yang terbaik untuk menangani sektor ini adalah melalui pembinaan.

Namun pembinan sektor informal ini juga memiliki dampak negatif dalam kaitannya dengan gejala urbanisasi. Sebab pembinaan yang menguntungkan sektor informal ini akan memancing orang-orang desa lainnya masuk ke sektor informal perkotaan. Hal ini akan menambah beban urbanisasi yang dihadapi kota. Oleh karena itu, program pembinaan sektor informal harus dijalankan secara terpadu dengan pembinaan perekonomian dan sektor informal di pedesaan agar pembinaan itu tidak menjadi bumerang bagi maksud baik pembinaan itu sendiri.

Pembinaan dalam sektor informal bukan hanya menyangkut mereka yang menggeluti bidang PKL, melainkan juga organ kepemerintahan yang ada di dalam instansi yang terkait dengan bidang tersebut. Oleh karena itu, aktivitas-aktivitas program pembinaan PKL dapat dikelompokkan ke dalam empat pendekatan yaitu : 10

1. Mendorong sektor-sektor yang ada menjadi formal.

PKL diorientasikan nantinya dapat mendirikan toko-toko yang permanent, untuk itu diperlukan dukungan moral dan latihan manajerial serta pengetahuan teknis. Pendirian toko-toko permanent tentunya didirikan pada tempat-tempat yang memang khusus untuk menampung _______________________

20

pedagang-pedagang formal. Misalnya, pasar, pusat-pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Dengan demikian penempatan mereka harus dibekali dengan penyuluhan-penyuluhan yang berkaitan dengan bidang usahanya

Dokumen terkait