i USM
RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA ( PKL ) DI TERMINAL TERBOYO DI TINJAU BERDASARKAN
PERDA KOTA SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PKL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Syarat-Syarat Guna Menyelesaikan
Program Studi Stara 1 Ilmu Hukum
Disusun Oleh :
Nama : Taufan Budi Fariyanto Nim : A.131.15.0178
UNIVERSITAS SEMARANG FAKULTAS HUKUM
SEMARANG 2019
v
DOKUMENTASI PERPUSTAKAAN
FAKULTAS ILMU HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Perpustakaan Fakultas Ilmu Hukum Universitas Semarang dengan ini menerangkan, bahwa skripsi dibawah dengan keterangan sebagai berikut dengan Judul :
RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA ( PKL ) DI TERMINAL TERBOYO DI TINJAU BERDASARKAN
PERDA KOTA SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PKL
Oleh :
Nama : Taufan Budi Fariyanto Nim : A.131.15.0178
Telah didokumentasikan dengan nomor : ... diperpustakaan Fakultas Ilmu Hukum Universitas Semarang untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, _____________________ Bagian Administrasi Perpustakaan Fakultas Ilmu Hukum Universitas Semarang
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT ( Tuhan Yang Maha Esa ) karenatelah memberkati Penulis dan memberikan pertolongannya dengan banyak cara dalam penulisan penyusunan skripsi ini, sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penulisan penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak, sejak awal masa perkuliahan hingga akhir penulisan ini. Oleh karena itu Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis kepada seluruh pihak yang telah ikhlas membantu penulis dengan berbagai cara sehingga Penulis dapat menjalani masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Semarang dengan baik dan lancar hingga menyelesaikan penulisan ini. Rasa terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Andy Krisdasusila, S.E., M.M. Selaku Rektor Universitas Semarang yang memberi dan menjadi motivasi bagi saya dalam menuntut ilmu di Universitas Semarang.
2. Ibu B. Rini Heryanti S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan kepada saya dan banyak mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas.
3. Bapak Muhammad Iftar Aryaputra, S.H., M.H. selaku dosen wali yang telah memberikan banyak arahan dan masukan. Serta dengan sabar membimbing dan mengajari saya.
vii
4. Bapak A. Heru Nuswanto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas arahan judul akan topik dan pembahasan dalam karya ilmiah ini. Terima kasih telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Bapak Dr. Amri P. Sihotang, S.S., S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas saran-sarannya sehingga penulis dapat membuat pola pikir yang lebih tepat dalam menyusun materi dan membuat analisis dalam penyusunan skripsi ini.
6. Kedua orang tua penulis, yang tercinta ayahanda “ Riyanto, S.E.” dan ibunda “ Siti Faizah “, terima kasih atas kasih sayang, doa, dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
7. Istriku tersayang “ Erna Yohana Setyo Rini “ dan anakku “ Muhammad Tirta Al Fatih “, kalian berdua sumber inspirasiku.
8. Adikku yang ku banggakan “ Ismail Zein Nur Fariyanto “ dan “ Afifah Maulidina Fariyanto “ serta adik iparku “ Irma Febina Anisa “, Ibu mertuaku “ Hari Suprihatiningsih “, terima kasih atas segala dukungan nya selama ini.
9. Segenap keluarga besar yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu, berbangga hati menjadi bagian dari semuanya.
ix
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Berfikirlah realistis ....
“ Saat kau yakin, maka jalanilah, berjuang dan berkorbanlah. Jika tidak, maka lepaskan dan tinggalkanlah. Jika setengah-setengah, maka anggaplah itu tidak, lalu carilah yang membuatmu yakin dan merasa pantas untuk diperjuangkan. Karena kepastian akan menentukan apa yang kamu dapat dari buah keyakinanmu .... “
# Luckmand Hackeem
Setiap orang berhak menentukan apa pada setiap pilihanya sendiri tanpa intervensi dari orang lain. Yang perlu di ingat adalah konsekwensi dari apa yang kita pilih sekarang untuk bagaimana kedepan. Karena penyesalan memang selalu datang terlambat, kalau itu masih bisa kita perbaiki sekarang, maka perbaikilan. Tuhan selalu memberikan jalan bagi orang-orang yang mau memperbaiki dirinya ke arah yang lebih positif.
Saya persembahkan Skripsi ini kepada : Yang terkasih dan tersayang :
Ayahanda “ Riyanto, S.E.” dan ibunda “ Siti Faizah “ ;
Istriku “ Erna Yohana Setyo Rini “ dan anakku “ Muhammad Tirta Al Fatih “ ;
Adikku “ Ismail Zein Nur Fariyanto “ dan “ Afifah Maulidina Fariyanto “ serta adik iparku “ Irma Febina Anisa “.
x ABSTRAK
Keberadaan pedagang kaki lima di Kawasan Terminal Terboyo sering kali menimbulkan masalah. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan menjadi paten yang melekat pada usuha mikro ini. Seiring pengalihan status terminal Terboyo yang semula dari terminal penumpang menjadi terminal angkutan barang untuk pemindahan PKL. Berdasarkan hal tersebut maka bagaimana Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo dan apa saja kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana upaya mengatasinya. Jenis / tipe panelitian yang menggunakan yuridis empiris, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, metode pengumpulan data menggunakan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, dan menggunakan analisis kualitatif. Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo pada dasarnya konsep Relokasi dilaksanakan karena alih fungsi lahan yang di peruntukan bagi pembangunan Terminal Terboyo menjadi terminal barang. Dalam proses penataan ke lokasi yang sudah disediakan pemerintah untuk mereka yaitu ke Pasar Banjardowo yang sudah dikoordinasikan dengan Dinas Perdagangan, dan ke Terminal Mangkang seperti yang direncanakan sebelumnya yang sesuai dengan jenis-jenis usaha yang mereka jalankan. Kendala-kendalanya adalah rendahnya kesadaran hukum PKL, lemahnya Pengawasan oleh Aparat Kota Semarang, relokasi tempat jualan PKL yang tidak strategis dan memadai, serta faktor ekonomi PKL. Upaya-upaya yang dilakukan adalah memberikan penyuluhan dan pembinaan, meningkatkan pengawasan dengan mengadakan penertiban mengupayakan lokasi atau lahan baru, serta memberikan pelatihan dan bantuan modal bagi PKL.
xi
ABSTRACT
The presence of street vendors in the Terboyo Terminal Area often creates problems. Shabby impression, wild, damaging beauty, seems to be a patent attached to this micro. Along with the transfer of the Terboyo terminal status from the passenger terminal to the goods transportation terminal for the transfer of street vendors. Based on this, how is the Relocation of Street Vendors (PKL) in Terboyo Terminal and what are the constraints in the construction of Street Vendors (PKL) in Terboyo Terminal?. Types / types of research that use empirical juridical, research specifications use analytical descriptive, methods of data collection using field research and library research, and using qualitative analysis. Basically, the Relocation of Street Vendors (PKL) in Terboyo Terminal was carried out due to the conversion of land designated for the construction of the Terboyo Terminal to become a goods terminal. In the structuring process to the location that the government has provided for them, namely to Banjardowo Market, which has been coordinated with the Trade Office, and to Mangkang Terminal as planned in advance according to the types of businesses they run. The obstacles are the low legal awareness of street vendors, the weak supervision by Semarang City officials, the relocation of street vendors selling places that are not strategic and adequate, and the economic factors of street vendors. Efforts are made to provide counseling and guidance, improve supervision by organizing control to seek new locations or land, and provide training and capital assistance for street vendors.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ... ii
HALAMAN PENGESAHAN MEMPERBANYAK ... iii
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN ... iv
DUKUMENTASI PERPUSTAKAAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... ix
ABSTRAK ... iix
DAFTAR ISI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Keaslian Penelitian ... 6
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Tinjauan Umum Tentang Sektor Informal ... 10
B. Tinjauan Umum Tentang PKL ... 13
C. Tinjauan Umum TentangPembinaan PKL ... 18
D. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Relokasi PKL ... 22
E. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Daerah ... 26
F. Tinjauan Mengenai Efektivitas Berlakunya Hukum ... 29
xiii
BAB III : METODE PENELITIAN ... 40
A. Jenis / Tipe Penelitian ... 41
B. Spesifikasi Penelitian ... 41
C. Metode Penentuan Sampel ... 42
D. Metode Pengumpulan Data ... 44
E. Metode Analisis Data ... 47
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48
A. Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL ... 48
B. Kendala-Kendala Dalam Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL Dan Bagaimana Upaya Mengatasinya ... 60
1. Kendala-kendala yang timbul dalam Pembinaan dan Penataan PKL Di Terminal Terboyo Kota Semarang ... 60
2. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam Pembinaan dan Pelaksanaan Penataan PKL di kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang ... 63
BAB V : PENUTUP ... 67
A. Simpulan ... 67
B. Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kuatnya magnet bisnis mampu memindahkan penduduk dari desa berurbanisasi ke kota dalam rangka beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil-kecilan. Untuk menjadi pedagang kaki lima (PKL) tidak membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar, namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal. PKL cenderung mengelompok dengan pekerjaan yang sejenisnya. Jenis usaha yang paling banyak diminati adalah makanan dan minuman.
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu alternatif mata pencaharian sektor informal yang termasuk ke dalam golongan usaha kecil. Usaha kecil dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Usaha kecil adalah kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya.
Penduduk yang datang ke kota dari pedesaan untuk mencari kerja, pada umumnya adalah urban miskin. Namun demikian, mereka merasakan bahwa kesempatan hidup, mendapat pekerjaan dan gaji yang lebih baik, lebih memungkinkan daripada jika mereka tetap tinggal di desa. Tekanan
2
arus penduduk dari desa ke kota setiap tahun yang semakin meningkat, berdampak pada kurangnya lapangan pekerjaan yang disediakan di perkotaan terutama Kota Semarang. Hal tersebut disebabkan pula karena umumnya orang-orang yang masuk ke kota tidak dipersiapkan dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Mencari pekerjaaan yang tidak memerlukan persyaratan salah satunya adalah dengan berjualan sebagai pedagang kaki lima. Lalu beberapa masalah yang ditimbulkan oleh PKL di kota biasanya seperti masalah kebersihan serta keindahan kota.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, peraturan daerah ini digunakan sebagai dasar kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk mengatur, menata, dan menertibkan PKL Penegakan hukum dan ketertiban, agar PKL tertib dan patuh pada ketentuan Perda tersebut. Pengaturan PKL dilakukan sesuai Pasal (2) yaitu pengadaan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL ditetapkan oleh Walikota, lokasi dan pengaturan tempat-tempat usaha PKL ditunjuk dan ditetapkan oleh Walikota, penunjukan dan penetapan tempat usaha adalah milik atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain.
Salah satu area penelitian yaitu PKL di Kawasan Terminal Terboyo yang sering menjadi perbincangan karena keberadaannya. Keberadaan pedagang kaki lima di Kawasan Terminal Terboyo sering kali menimbulkan masalah-masalah. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan menjadi paten yang melekat pada usuha mikro ini. Terminal Terboyo sebenarnya adalah daerah perindustrian, namun berubah menjadi kawasan Terminal
3
atau transit bus antar kota dalam provinsi maupun luar provinsi dan daerah atau area perdagangan.
Seiring pengalihan status terminal Terboyo yang semula dari terminal penumpang menjadi terminal angkutan barang untuk pemindahan PKL, Dishub tengah berkoordinasi dengan Dinas Perdagangan Kota Semarang agar para PKL direlokasi ke Pasar Banjardowo yang sudah dikoordinasikan dengan Dinas Perdagangan, selain ke Terminal Mangkang seperti yang direncanakan sebelumnya. 1
Kepala Dishub Kota Semarang M Khadik, beliau mengatakan bahwa pemindahan transit bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) ke Terminal Penggaron, sudah dikomunikasikan dengan Dishub provinsi. Sementara bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) ke Terminal Mangkang koordinasi dengan kementerian. Ini disebabkan, Terminal Mangkang saat ini pengelolaanya dipegang pemerintah pusat bukan lagi Pemkot Semarang. Begitu juga Terminal Penggaron pengelolaan nya menjadi kewenangan Pemprov Jateng. Kami sudah kirim surat ke Dishub provinsi dan Kemenhub untuk pemindahan bus AKDP ke Terminal Penggaron dan bus AKAP ke Terminal Mangkang. Kalau dari kami, ya, berharap secepatnya dimulai pembangunan. 2
Pemerintah kota Semarang harus tegas dalam menangani masalah pedagang kaki lima, seperti kebijakan yang belum lama terjadi tentang penggusuran PKL di Sekitaran Kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang, ketika pedagang kaki lima mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang untuk menolak penggusuran tersebut padahal ditempat tersebut akan beralih fungsi dari terminal penumpang menjadi terminal angkutan barang.
_______________________ 1
“ Sudah Mulai Dibongkar, PKL Terminal Terboyo Belum Mau Pindah “, ( http:// Muria News. Blogspot / 2018 / 06. html ), diakses pada tanggal 22 September 2018.
4
Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Kebersihan, Satpol PP, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Semarang seharusnya dapat berperan aktif dalam merumuskan, membina dan mengelola pedagang kaki lima. Berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah kota untuk mengatasi masalah pedagang kaki lima namun terkadang penerapannya di lapangan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul : “ Relokasi Pedagang Kaki Lima ( PKL ) Di Terminal Terboyo Di Tinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Bagaimana Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL ?
2. Apa saja kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana upaya mengatasinya ?
5 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama yang hendak dicapai peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana upaya mengatasinya.
Manfaat penelitian diharapkan dapat dipergunakan baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis :
a. Dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah pengetahuan di bidang hukum khususnya dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL).
2. Manfaat Praktis :
a. Bagi Mahasiswa, sebagai masukan dan referensi kepada mahasiswa baik secara hukum mengenai Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.
6
b. Memberikan sumbangan Pemikiran kepada kalangan Akademisi Kampus, praktisi hukum bisnis, Lembaga Pemerintah, Institusi Peradilan termasuk Aparatur Penegak Hukum lainnya dalam rangka menerapkan dan menegakkan Perda dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.
D. Keaslian Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil topik : Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Tinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL. Penelitian ini mengambil Studi Kasus PKL Terminal Terboyo Kota Semarang. Berdasarkan hasil penelusuran yang Penulis lakukan terdapat penulisan yang serupa secara karakteristik, namun meskipun hampir sama tetap terdapat perbedaan. Adapun Karya Ilmiah yang hampir serupa di maksud adalah sebagai berikut :
1. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pembinaan Pedagang Kaki Lima : Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima Di Kelurahan Paropo Kecamatan Panakukang Kota Makassar ( Nurul Azizah Syam / Nim : E 121 11 609 / Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin 2016 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah implementasi kebijakan pemerintah dalam pembinaan pedagang kaki lima di Kota Makassar ( studi kasus di Kelurahan Paropo Kecamatan Panakukang Kota Makassar ) ?
7
b. Apasaja faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembinaan pedagang kaki lima di Kota Makassar ( studi kasus di Kelurahan Paropo Kecamatan Panakukang Kota Makassar ) ?
2. Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima Di Surakarta ( Nur Fatnawati / Nim : 8111409233 / Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 2013 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah langkah Pemerintah Kota Surakarta dalam penerapan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima ?
b. Bagaimanakah cara Relokasi PKL menurut Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima ?
c. Bagaimanakah dampak relokasi bagi Pedagang Kaki Lima dan masyarakat sekitar ?
3. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Tlogosari Semarang ( Yonathan Katon Adinugroho / Nim : 7465407 / Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2015 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah Implementasi Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Tlogosari Semarang ?
8
b. Apasajakah faktor-faktor pendorong dan penghambat Impementasi Peraturan Daerah tersebut ?
4. Implementasi Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 13 Tahun 2007 Pasal 22 Ayat (1) Dan (2) Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 44 Tahun 2002 Tentang Ketentraman Dan Ketertiban Terhadap Pedagang Kaki Lima Di Area Kambang Iwak Kota Palembang ( Ratika Desyarani / Nim : 02121401095 / Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Kampus Palembang 2017 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apasajakah faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan Pedagang Kaki Lima di area Kambang Iwak ?
b. Upaya-upaya apasaja yang dilakukan Pemerintah Kota Palembang dalam menangani keberadaan Pedagang Kaki Lima di area Kambang Iwak Palembang ?
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, pada bab ini diuraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka, pada bab ini berisi tinjauan umum tentang pedagang kaki lima, tinjauan umum tentang pembinaan pedagang kaki lima, dan tinjauan umum tentang kebijakan relokasi pedagang kaki lima.
9
BAB III : Metode Penelitian, metode penelitian terdiri dari jenis / tipe panelitian yang menggunakan yuridis empiris, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, metode pengumpulan data menggunakan teknik pengumpulan data penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, metode analisis datanya menggunakan analisis kualitatif.
BAB IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan, uraian mengenai Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo serta kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana upaya mengatasinya.
10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Sektor Informal
Pada saat ini keberadaan sektor informal di daerah perkotaan pada khususnya di Kota Semarang telah menjadi masalah yang penting, terbukti dengan angka pertumbuhan yang cukup pesat. Selain itu, sektor informal juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyerap angkatan kerja. Tadjudin Noer Effendi, menyatakan bahwa ada kecenderungan pada proporsi pekerja-pekerja sektor informal yang semakin kecil dengan semakin besarnya suatu kota. Perbedaan ini terkait dengan konsentrasi kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi moderen dari sektor industri cenderung mengelompok di kota-kota besar, akibatnya sifat permintaan atas pelayanan barang dan jasa di kota-kota besar lebih bersifat formal dari pada informal. Kegiatan sektor informal memiliki karasteristik sebagai berikut :
1. Mudah untuk masuk ke sektor ini ; 2. Menggunakan sumber-sumber asli ; 3. Merupakan usaha milik keluarga ; 4. Skala operasinya kecil ;
5. Intensif tenaga kerja dan teknologi sederhana ;
6. Keterampilan yang diperoleh di luar pendidikan formal ; dan 7. Pasar yang kompetitif dan tak terlindungi oleh undang-undang. 3 Ciri-ciri dari sektor informal pada umumnya dapat dilihat dari kacenderungan masyarakat pada umumnya, yang dapat dihubungkan dengan ada tidaknya bantuan secara ekonomi dari pemerintah, yaitu ciri-cirinya antara lain sebagai berikut :
1. Aktivitasnya tidak terorganisisir secara baik, karena timbulnya tak berlangsung melalui lembaga yang ada pada perekonomian moderen ;
_______________________
3 Tadjudin Noer Effendi, “Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan“,
11
2. Tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah ;
3. Pada umumnya setiap unit usaha tidak mempunyai izin usaha dari pemerintah ;
4. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti tempat maupun mengenai jam kerja ;
5. Mudah untuk keluar dan masuk dari satu sub ke sub sektor yang lain ; 6. Karena modal dan peralatan serta perputaran usaha relatif kecil, maka
skala operasinya kecil ;
7. Tekhnologi yang digunakan bersifat sederhana ;
8. Untuk mengelola usaha tidak diperlukan tingkat pendidikan tertentu, karena pendidikan yang diperlukan dapat diperoleh dari pengalaman saat melakukan perdagangan ;
9. Kebanyakan termasuk one man enterprise, buruh yang berasal dari lingkungan keluarga, maka bersifat family enterprise ;
10. Sumber dana untuk modal umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari sumber keuangan tidak resmi ; dan
11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota maupun desa berpenghasilan rendah dan kadang-kadang golongan menengah.
Soetjipto Wirosardjono memberikan batasan mengenai ciri-ciri sektor informal adalah sebagai berikut :
a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya ;
b) Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah ;
c) Modal, peralatan, maupun perlengkapan dan omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar perhitungan harian ;
d) Umumnya tidak mempunyai tepat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya ;
12
e) Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain ;
f) Umumnya dilakukan oleh dan untuk melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah ;
g) Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga dapat dengan mudah menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja ;
h) Menggunakan buruh yang sedikit dan dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama ; serta
i) Tidak menganal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan lain sebagainya. 4
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dengan beberapa ciri, tampak bahwa sektor informal merupakan suatu istilah yang mencakup berbagai kegiatan usaha yang bersifat wiraswasta dimana campur tangan pemerintah terutama dalam hal permodalan sangatlah kurang. Begitu juga dengan aturan-aturan hukum yang tampaknya jauh dari jangkauan sehingga kehadirannya dianggap melanggar norma terutama ketertiban umum. Oleh karena itu banyak pihak yang memposisikan sektor informal sebagai bagian dari sektor ekonomi minor yang seolah-olah mengurangi kemanfaatan sektor informal itu sendiri.
Padahal pada hakekatnya, sektor informal dapat dijadikan sebagai sektor ekonomi yang dapat dibina dan dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi riil. Hal tersebut disebabkan karena ditinjau dari daya serapnya, ternyata jumlah pekerja sektor informal ini semakin meningkat. Besarnya daya serap tersebut sebenarnya merupakan cerminan bahwa sektor formal dirasa sudah tidak mampu lagi untuk menampung penambahan angkatan kerja. Asumsinya adalah bahwa orang akan selalu berusaha untuk dapat bekerja di sektor formal yang lebih memberikan jaminan dibanding sektor _______________________
4 Soetjipto Wirosardjono, “ Pengertian, Batasan, Dan Masalah Sektor Informal “,
13
informal. Hanya saja apabila sudah tidak tersedia lagi kesempatan kerja di sektor formal, mau tidak mau orang akan mencari alternatif lain yang salah satunya adalah menciptakan kesempatan kerja di sektor informal.
Namun disamping itu ada juga beberapa pihak yang sengaja terjun di sektor informal, jadi bukan lantaran sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk bekerja di sektor formal. Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa sektor informal lebih mempunyai daya tarik, sehingga dapat memberikan imbalan yang sesuai dengan kemampuan. Dimana kemampuan setiap individu yang dibutuhkan untuk memasuki sektor informal tidaklah terlalu berat, bahkan bisa dikatakan bahwa setiap individu bisa memasukinya apabila mempunyai kemauan dan sedikit kemampuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para pekerja di sektor informal belum tentu terdiri dari orang-orang yang putus asa karena tidak tertampung dalam sektor formal.
B. Tinjauan Umum Tentang PKL
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga " kaki " gerobak ( yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki ).
Jenis dagangan dari PKL sangat dipengaruhi oleh sifat pelayanan PKL itu sendiri. Barang yang didagangkan biasanya bergantung pada lokasi dimana PKL berdagang. Jenis dagangan yang biasa didagangkan oleh PKL, diantaranya sebagai berikut :
1. Makanan dan minuman, terdiri dari pedagang yang berjualan yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa
14
pulang. Lokasi dagangan biasanya di perkantoran, tempat rekreasi, sekolah, ruang terbuka atau taman, dan persimpangan jalan utama menuju keramaian ;
2. Pakaian atau tekstil dan mainan anak. Untuk barang dagangan seperti ini biasanya pola pengelompokan lebih berbaur dengan komoditas lain. Lokasi dagangan cenderung sama dengan para pedagang makanan dan minuman ;
3. Buah-buahan, dimana jenis buah yang diperdagangkan berupa buah-buah segar. Komoditas perdagangkan cenderung berubah-ubah sesuai dengan musim-musim buah. Lokasi PKL yang menjual buah-buahan berada di pusat-pusat keramaian serta cenderung berbaur dengan komoditas lain ;
4. Rokok dan obat-obatan, biasanya pedagang yang menjual rokok juga berjualan makanan ringan, obat, dan permen. Lokasi dagangan jenis ini cenderung berada di pusat-pusat keramaian ;
5. Barang cetakan seperti majalah, koran dan buku bacaan. Jenis ini cenderung berlokasi di pusat-pusat keramaian dan berbaur dengan pedagang jenis komoditas lainnya ; dan
6. Jasa perorangan, terdiri dari tukang kunci, reparasi jam, tukang stempel hingga tukang pembuat figuran. Pedagang jenis ini berlokasi di pertokoan dan berbaur dengan jenis komoditas lain. 5 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, PKL adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan, serta tempat-tempat yang tidak diperuntukkan untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya. Peraturan pemerintah menetapkan setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sebutan untuk pedagang tersebut adalah “ pedagang emperan jalan ” akan tetapi sekarang menjadi “ pedagang kaki lima ”. 6
_______________________
5 M.S. Rusli Ramli, “ Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima “, ( Jakarta :
Ind-Hil.co., 2009 ), halaman 3.
6
Lukman Ali, “ Kamus Besar Bahasa Indonesia “, Cetakan Ke III, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2011 ), halaman 568.
15
Berdasarkan Perda Kota Semarang No. 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan swasta yang bersifat sementara.
Menurut McGee dan Yeung, pedagang kaki lima atau PKL mempunyai pengertian yang sama dengan „ hawkers ‟, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. PKL juga sebagian kelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau ditepi / dipinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan / pertokoan, pasar, pusat rekreasi / hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari. 7
Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki lima merupakan suatu pekerjaan atau usaha kecil oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau mempunyai modal kecil dengan menjual barang atau jasa di tempat umum yang bukan miliknya. Proses perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka.
_______________________
7 Syamsul Hilal, “ Upaya Penataan dan Pembinaan PKL di.Indonesia ", ( http://
16
PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman, yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan lingkungan kotor serta kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
Menurut Kartono, ciri-ciri umum dari pedagang kaki lima adalah sebagai berikut :
1. Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus sebagai produsen ;
2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu ketempat yang lain ;
3. Menjajakan bahan makanan, minuman, maupun barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran ;
17
4. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atas jerih payahnya ;
5. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar ;
6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli merupakan pembeli yang berdaya beli rendah ; dan
7. Tawar menawar antar penjual dan pembeli merupakan relasi ciri khas pada usaha pedagang kaki lima. 8
Upaya penertiban, sering kali berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL itu sendiri. Tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa, padahal sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengah-tengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi ( part of solution ).
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup atau survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative / lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain.
_______________________
8 Kartono, “ Pedagang Kaki Lima “, Cetakan Ke-VI, ( Bandung : Universitas
18 C. Tinjauan Umum TentangPembinaan PKL
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “ pembinaan ” berasal dari kata “ bina ” yang artinya sama dengan “ bangun ”. Jadi pembinaan dapat diartikan sebagai pembangunan yaitu mengubah sesuatu sehingga menjadi baru yang memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi. Pembinaan merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan daya saing. Berdasarkan pada pengertian pembinaan tersebut, maka pembinaan PKL diartikan sebagai memberikan pengarahan, bimbingan dan juga melakukan pengaturan dan pengawasan sehingga keberadaan PKL dapat memberikan manfaat bagi kehidupan sosial perkotaan tanpa harus menjadi unsur pengganggu kenyamanan warga kota.
Menurut Mangunhardjana, mendefinisikan pembinaan dalam konteks manajemen yang berarti makna dan pengertian yang terungkap masih sekitar persoalan pengelolaan untuk mencapai hasil yang terbaik. Hal-hal yang baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif. 9
Dari definisi tersebut, pembinaan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan sikap dan ketrampilan dengan harapan mampu mengangkat nasib dari obyek yang dibina. Dalam pembinaan, dilatih untuk mengenal kemampuan dan mengembangkannya agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang hidup atau kerja mereka.
Dalam menangani PKL perlu mencari solusi yang baik dan bijaksana, karena pemusnahan tanpa memberi jalan keluar dengan memberi tempat
_______________________
9 Ali Achsan Mustafa, “ Model transformasi sosial sektor informal : sejarah, teori, dan praksis pedagang kaki lima “, ( Malang : InTrans, 2012 ), halaman 46.
19
yang memenuhi syarat, sama saja dengan mematikan tumbuhnya ekonomi kerakyatan, yang notabene-nya sumber kehidupan masyarakat bawah. Sektor ini membutuhkan perhatian yang lebih baik lagi dari pihak pemerintah. Oleh karena itu, jalan yang terbaik untuk menangani sektor ini adalah melalui pembinaan.
Namun pembinan sektor informal ini juga memiliki dampak negatif dalam kaitannya dengan gejala urbanisasi. Sebab pembinaan yang menguntungkan sektor informal ini akan memancing orang-orang desa lainnya masuk ke sektor informal perkotaan. Hal ini akan menambah beban urbanisasi yang dihadapi kota. Oleh karena itu, program pembinaan sektor informal harus dijalankan secara terpadu dengan pembinaan perekonomian dan sektor informal di pedesaan agar pembinaan itu tidak menjadi bumerang bagi maksud baik pembinaan itu sendiri.
Pembinaan dalam sektor informal bukan hanya menyangkut mereka yang menggeluti bidang PKL, melainkan juga organ kepemerintahan yang ada di dalam instansi yang terkait dengan bidang tersebut. Oleh karena itu, aktivitas-aktivitas program pembinaan PKL dapat dikelompokkan ke dalam empat pendekatan yaitu : 10
1. Mendorong sektor-sektor yang ada menjadi formal.
PKL diorientasikan nantinya dapat mendirikan toko-toko yang permanent, untuk itu diperlukan dukungan moral dan latihan manajerial serta pengetahuan teknis. Pendirian toko-toko permanent tentunya didirikan pada tempat-tempat yang memang khusus untuk menampung _______________________
20
pedagang-pedagang formal. Misalnya, pasar, pusat-pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Dengan demikian penempatan mereka harus dibekali dengan penyuluhan-penyuluhan yang berkaitan dengan bidang usahanya masing-masing. Setelah mendapatkan bimbingan dan binaan, dalam jangka waktu tertentu diharapkan usaha PKL menjadi lebih maju. Disamping meningkatkan kemampuan dan penghasilan, juga cenderung untuk menambah kesempatan kerja dan lebih mudah dicatat sebagai wajib pajak.
2. Meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informal.
PKL dapat dibantu melalui penyediaan bahan baku atau membantu kelancaran pemasaran. Selain itu, untuk menambah kebersihan dan kecantikan wilayah PKL, pemerintah dapat membantu dengan memberi gerobak supaya seragam. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan dalam usaha PKL hendaknya sewa lokasi atau pungutan uang harus benar-benar menciptakan keadilan untuk masing-masing PKL.
3. Dilakukan relokasi yaitu penempatan para PKL di lokasi baru.
Penempatan PKL di lokasi yang baru ini dianggap penting karena PKL sering dianggap menimbulkan kerugian sosial misalnya kemacetan jalan. Namun penempatan ini perlu dipertimbangkan faktor konsumen dan kemampuan penyesuaian lokasi baru, di pihak lain yang tidak kalah pentingnya adalah konsistensi pengaturan yang perlu diterapkan.
21
4. Mengalihkan usaha yang sama sekali tidak mempunyai prospek ke bidang usaha lain.
Pendekatan ini bagi PKL tidak sepenuhnya sesuai karena yang diharapkan oleh PKL biasanya bukan pengalihan usaha atau penggantian bidang usaha melainkan peningkatan usaha mereka. Bidang usaha PKL ini dipandang masih mempunyai prospek untuk lebih maju.
Menurut Retno Widjayanti, bentuk sarana perdagangan yang digunakan pedagang kaki lima untuk berdagang dikelompokan sebagai berikut :
a) Pikulan atau Keranjang, bentuk sarana ini digunakan oleh pedagang keliling atau sering berpindah-pindah. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah untuk dibawah berpindah-pindah tempat ;
b) Gelaran atau alas, pedagang menjual barang dagangannya diatas kain atau tikar. Bentuk sarana ini digunakan oleh pedagang semi menetap ;
c) Meja, bentuk sarana berdagang yang menggunakan meja dan beratap maupun tidak beratap. Sarana ini digunakan oleh PKL yang menetap ;
d) Gerobak atau kereta dorong. Jenis sarana ini dibagi atas dua jenis, yaitu yang beratap dan tidak beratap. Sarana ini dikategorikan untuk yang menetap maupun tidak menetap ;
e) Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak yang dilengkapi dengan meja dan bangku-bangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal atau plastik yang tidak tembus air. PKL yang menggunakan sarana ini merupakan jenis PKL yang menetap ; dan
f) Kios, pedagang yang menggunakan jenis sarana ini merupakan pedagang yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan. Biasanya merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan. 11
Walaupun tidak ada pengaturan khusus tentang hak-hak Pedagang Kaki Lima (PKL), namun kita dapat menggunakan beberapa produk hukum yang dapat dijadikan landasan perlindungan bagi Pedagang Kaki Lima. _______________________
11
Retno Widjayanti, “ Penataan Fisik Pedagang Kaki Lima pada Kawasan
Komersial di Pusat Kota, ( Studi Kasus : Simpang Lima Semarang ) “, Tesis : Magister
22
Ketentuan perlindungan hukum bagi para Pedagang Kaki Lima ini adalah : Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 11 mengenai Hak Asasi Manusia : “ setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
D. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Relokasi PKL
Relokasi merupakan suatu jalan atau usaha pemerintah untuk menata dan mengelola Pedagang Kaki Lima (PKL). Pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Tidak heran jika kebanyakan masyarakat menyebut Pedagang Kaki Lima merupakan salah satu sektor informal yang sedang berkembang di perkotaan saat ini.
Selain definisi secara umum, Kota Semarang telah mendefinisikan PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Sosialisasi yang dibutuhkan oleh masyarakat bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung misalnya melalui media internet ataupun dengan diadakannya acara budaya yang dapat menarik perhatian masyarakat sekaligus megenalkan PKL kepada masyarakat.
23
Lukman Mokoginta mengatakan bahwa : “ Peranan PKL dalam tahap pemahaman mengenai relokasi sangat penting dan strategis bagi masyarakat kota, bahkan fondasi ekonomi warga kota sesungguhnya terletak pada lapisan pengusaha tersebut. PKL bukan sekedar berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan konsumsi lapisan masyarakat menengah ke bawah, tetapi juga benteng terakhir bagi segenap lapisan masyarakat kota yang karena berbagai sebab membutuhkan lapangan pekerjaan “. 12
Selain jenis usaha yang berbeda, sarana yang digunakan PKL juga beragam tergantung dengan jenis dagangannya. Sarana fisik yang biasa digunakan PKL adalah warung semi permanen, gerobak / kereta dorong, meja, gelaran / lesehan, dan pikulan / keranjang. Pada lokasi penelitian, sebagian besar menggunakan sarana fisik dagang berupa warung semi permanen dan gerobak / kereta dorong, sedangkan yang menggunakan gelaran / leseahan dan pikulan / keranjang hanya sebagian kecil saja.
Seperti yang dijelaskan oleh Kepala Dishub Kota Semarang M Khadik, sebagai berikut : “ Sarana yang diperbolehkan tentunya yang dapat dibongkar pasang, seperti yang diterangkan dalam Perda No. 11 tahun 2000 sudah ada kebijakan terkait syarat untuk berjualan kaki lima. Walau hanya sebatas bangunan semi permanen, gerobak dan yang paling jarang itu lesehan, yang hanya digunakan untuk jualan makanan yang sudah matang. Untuk sarana usaha yang digunakan oleh PKL memang seperti yang tertuang pada Perda tersebut. Dan apabila ada yang tidak mentaati aturan tersebut, akan diadakan suatu peringatan dan jika mendesak akan mengeluarkan surat pencabutan ijin berdagang ”. 13
Sejauh ini Pemkot Semarang belum membuat klasifikasi tentang PKL terkait dengan variasi hak dan kewajibannya. Berdasarkan kajian hukum tentang PKL yang dilakukan oleh pemkot Semarang, perlu dibuat definisi / batasan dan klasifikasi PKL yang mampu menjadi payung penataan dan
_______________________ 12
Lukman Mokoginta, “ Jakarta Untuk Rakyat “, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2009 ), halaman 122.
24
pengendalian PKL, baik dalam konteks perkembangan fisik visual perkotaan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Keberadaan pedagang kaki lima menimbulkan banyak stigma positif maupun negatif di kalangan masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena pada awalnya mereka belum memahami secara benar mengenai PKL maupun pemahaman akan relokasi PKL.
Dasar dari suatu pemahaman masyarakat banyak dimunculkan dengan klasisifiksi pedagang kaki lima yaitu sebagai berikut :
1. Berdasar latar belakang ekonominya. Klasifikasi sebagai berikut : a) Pertama, adalah PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL
karena kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung beroda / dorongan ataupun bangunan semi permanen. Sambil berdagang mereka bertempat tinggal disitu, karena tidak ada tempat lain lagi untuk dijadikan tempat tinggal.
b) Kedua, PKL yang berdagang karena masalah ekonomi juga tetapi mereka telah memiliki tempat tinggal dan simbol hidup moderen sperti TV misalnya.
c) Ketiga, PKL yang berdagang karena melihat potensi keuntungan yang jauh lebih besar dari pada membuka warung dibanding jika harus menyewanya. Selain itu juga mudah diakses oleh pembelinya.
2. Berdasar jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual makanan, pakaian, kelontong, peralatan bekas (klitikan) dan sebagainya.
3. Berdasarkan waktu berjualan, terdiri dari PKL yang berdagang pada pagi hingga siang hari, pagi hingga sore hari, sore hingga malam hari, pagi hingga malam hari dan sepanjang hari.
4. Berdasarkan bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan : a) PKL tanpa bangunan seperti PKL oprokan / dasaran / gelaran, b) PKL bergerak / movable / dorongan,
c) PKL dengan bangunan permanen ( selalu ada setiap saat, baik bentuknya masih tetap maupun sudah berubah ) ; dan
d) PKL dengan bangunan non permanen ( bongkar pasang ).
5. Berdasarkan Luasan bangunan / tempat berdagag ( space use ) terdiri dari 7 kelompok yaitu PKL dengan Luasan 1-3 m2, 4-6 m2, 7-9 m2, 13- 15 m2, 16-17 m2 dan seterusnya. 14
_______________________
14 Indrawati, “ Perlindungan Pedagang Kaki Lima di Indonesia “. ( FKIP :
25
Sebagaimana klasifikasi Pedagang Kaki Lima diatas, semua PKL boleh menjual segala jenis dagangan asalkan barang dagangan tersebut merupakan barang legal yang sudah disetujui oleh Pemkot. Adanya pesyaratan mengenai ijin usaha menimbulkan berbagai anggapan mengenai jenis dan karakteristik dari PKL itu sendiri.
Dibutuhkannya suatu penggolongan karakteristik PKL yang mendasar untuk membedakan PKL yang satu dengan PKL yang lainnya, karakteristiknya sebagai berikut :
1. PKL umunya merupakan mata pencaharian pokok, 2. PKL umumnya tergolong angkatan kerja produktif, 3. Tingkat pendidikan mereka umumnya relative rendah,
4. Sebagian besar PKL pendatang dari daerah dan belum mempunyai status kependudukan yang sah di kota,
5. Mereka berdagang sejak 5-10 tahun yang lalu,
6. Sebelum menjadi PKL mereka pada umumnya petani atau buruh, 7. Permodalan umumya sangat lemah dan omset penjualan juga relatif
rendah,
8. Umunya memilih atau mengusahakan modal sendiri dan belum ada hubungan dengan bank, dan
9. Umunya mereka memperdagangkan bahan pangan, sandang dan kebutuhan sekunder. 15
Dengan karakteristik PKL diatas, menimbulkan bentuk-bentuk jenis cara menjual barang dagangannya dengan sarana :
a) Kios, menggunakan tempat usaha yang beratap dan berdinding semi permanen. Dinding kios biasanya terbuat dari kayu atau triplek. Relatif bebas menentukan waktu berjualannya karena tidak meduduki tempat-tempat peruntukan lain.
b) Tenda, menggunakan meja dengan waktu berjualan yang dibatasi.
c) Secara gelar, dilakukan dengan menghamparkan barang dagangan, bersifat mudah memindahkan dagangannya ke lokasi lainnya.
_______________________
15 Yetti Sarjono, “ Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan “, ( Surakarta :
26
Dengan adanya Relokasi Pedagang Kaki Lima disini, merupakan sutau bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah Kota terhadap PKL untuk secara bebas menjual dagangannya dengan tanpa adanya gangguan penertiban dari Satpol PP.
E. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Daerah
Didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memberi pengertian bahwa Peraturan Daerah adalah peraturan perundangan-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama kepala daerah. Peraturan daerah merupakan kebajikan umum pada tingkat daerah yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislatif sebagai pelaksana asas desentralisasi dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
S.F Marbun memberikan pengerian bahwa Peraturan daerah adalah perpaduan antara dua kata yaitu, peraturan dan daerah, peraturan merupakan hukum yang in abstacto atau General Norms yang sifatnya mengikat secaranumum (berlaku umum) dan suaranya adalah mengatur hal-hal yang bersiafat umum (General). 16
Menurut Laica Marzuki, pada hakikatnya peraturan daerah merupakan sarana lagislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dibuat oleh pemerintahan daerah dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Pemerintah daerah menurut konstitusi diadakan dalam kaitan desentralisasi, karena dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 45 menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk desentralisasi bukan sentralisasi. 17
_______________________
16 Siswanto Sunarno, “ Hukum Pemerintah Daerah di Indonesia “, ( Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 2012 ), halaman 94.
17 H.M. Laica Marzuki, Prinsip-Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah, ( Jakarta :
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi M.K Volume 6 Nomor 4, 2014 ), halaman 1.
27
Dasar Konstitusional Pembentukan Peraturan Daerah terdapat pada Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menetapkan bahwa Pemerintah Daerah berhak menentukan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Perda merupakan aturan daerah dalam arti materiil, Perda mengikat warga dan penduduk daerah otonom. Regulasi perda merupakan bagian dari kegiatan legislasi lokal dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang berkaitan dengan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Perda merupakan produk legislasi pemerintah daerah, yakni kepala daerah dan DPRD, sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Perda merupakan hak legislasi konstitusional Pemda dan DPRD. Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota berdasarkan pada Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Pemda Tahun 2004. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan, lalu DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda. Penyampaian rancangan Perda dilakukan 7 (Tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan perda ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.
Mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) berasal dari Kepala daerah, diatur dengan Peraturan presiden. Sedangkan Ranperda yang berasal dari DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Mengenai tata cara mempersiapkan Ranperda, merupakan hak inisiatif DPRD yang diatur dalam peraturan tata tertib DPRD. Dalam
28
rangka sosialisasi dan pubikasi Ranperda yang berasal dari DPRD, menyebarluaskan Ranperda yang bersal dari kepala daerah dilakukan oleh sekretaris daerah. Jika Ranperda tidak ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 30 hari maka Ranperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan rancangan Perda dimaksud dengan mencantumkan tanggal sahnya.
Untuk membuat suatu Perda, kiranya harus memperhatikan landasan perundang-undangan. Menurut ilmu pengetahuan hukum, landasan pembuatan Perda paling tidak memuat tentang : 18
1. Landasan filosofis adalah dasar filsafat, yaitu pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan pemerintahan kedalam suatu rancangan peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah. Misalnya di negara republik indonesia adalah pancasila yang menjadi dasar filsafat peraturan perundangan-undangan Pemerintah Daerah. Pada prinsipnya tidak ada peraturan daerah yang bertentangan prinsip dasar filsafat pancasila.
2. Landasan yuridis adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtsground) bentuk pembuatan suatu peraturan pemerintahan daerah, dan landasan yuridis ini terbagi dalam tiga segi yaitu :
a) Landasan yuridis segi formal, yiatu landasan yuridis yang memberi kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu ;
_______________________
18 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, “ Pemerintah Daerah Di Indonesia “,
29
b) Landasan yuridis segi material, yaitu landasan yuridis segi isi atau matari sebagai dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, dan c) Landasan yuridis segi teknis, yaitu landasan yuridis yang memberi
kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu mengenai tata cara pembuatan peraturan tersebut.
3. Landasan politis adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintah negara dan pemerintah daerah. Sementara landasan sosiologis adalah garis kebijakan yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
F. Tinjauan Mengenai Efektivitas Berlakunya Hukum
Mengkaji mengenai suatu peraturan perundang-undangan, tentunya berkaitan dengan efektivitas dari pelaksanaan peraturan tersebut. Dalam rangka mengefektifkan hukum diperlukan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi sehingga tercapai tujuan yang ingin dicapai dari pembuat kebijakan.
Dalam memahami suatu rumusan aturan hukum tidak cukup hanya memahami wujudnya dalam rumusan-rumusan tertulis saja, tetapi juga memahami aturan hukum sebagai gejala empiris yang tampak dan berlaku dalam masyarakat. Memahami hukum tidak terbatas hanya pada bentuk-bentuk perwujudannya yang sudah jadi, melainkan juga melihat ke latar belakang yang mendasari perlakuan aturan hukum dan bagaimana implementasi atau penegakannya.
30
Masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor atau komponen-komponen yang mempengaruhinya. Faktor dan komponen tersebut adalah sebagai berikut : 19
1). Faktor peraturan hukum itu sendiri
Hukum yang telah dibuat oleh pembentuk hukum merupakan suatu peraturan-peraturan secara tertulis yang merupakan perundang-undangan yang resmi. Peraturan tersebut mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu yang harus dibuat secara sistematis agar suatu peraturan dapat dilaksanakan dengan baik. Substansi peraturan tersebut harus padat dan sederhana, tidak berbelit-belit, struktur bahasanya pun harus baku dalam arti mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat. Apabila dalam setiap pasal-pasal peraturan tersebut sulit dimengerti maka hal ini dapat membuat peraturan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat. 2). Faktor penegak hukum
Pihak yang membentuk hukum merupakan pihak atau badan yang dalam perannya membuat peraturan hukumnya sedangkan yang menerima hukum adalah pihak atau badan yang menerapkan dan menegakkan hukum tersebut. Penegak hukum mencakup lingkup yang sangat luas karena menyangkut petugas-petugas pada strata atas, menengah dan bawah dalam melaksanakan tugas-tugasnya harus mempunyai suatu pedoman yaitu peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya tersebut.
_______________________
19 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Cetakan Ke-IV,
31
3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung Penegakan Hukum
Sarana atau fasilitas merupakan segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat yang dapat memberikan kemudahan dan kelancaran dalam mencapai maksud dan tujuan. Apabila maksud dan tujuannya adalah mengefektivkan undang-undang, maka segala sarana dan fasilitas yang mendukung perlu disediakan sehingga pihak yang melaksanakan undang-undang tersebut akan lebih mudah dan nyaman dengan sarana dan fasilitas yang memadai.
4). Faktor masyarakat
Lingkungan adalah dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Masyarakat merupakan himpunan kesatuan baik individu maupun kelompok yang memiliki kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat merupakan subjek hukum sehingga efektivitas berlakunya hukum dipengaruhi oleh keadaan masyarakat tersebut. Bisa dikatakan bahwa seseorang taat apabila ia bersikap atau berperilaku sesuai dengan harapan pembentuk hukum itu sendiri. Indikator-indikator dari masalah kesadaran hukum masyarakat adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum, warga masyarakat
sebagai objek dari suatu peraturan perundang-undangan paling tidak harus mengetahui adanya aturan hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu komunikasi sangat penting untuk diperhatikan sebagai sarana sosialisasi sehingga masyarakat luas dapat mengetahui dan selanjutnya melaksanakan dan mematuhinya.
32
b. Pengertian Hukum, yang dimaksud adalah pengetahuan tentang isi dan maksud yang terkandung di dalam suatu peraturan hukum tertentu.
c. Penerimaan hukum, adalah perasaan senang terhadap peraturan hukum sehinga bersedia untuk mematuhinya.
d. Pola perilaku hukum, yaitu perilaku seseorang yang sesuai dengan pereturan-peraturan hukum.
5). Faktor kebudayaan
Sebagai hasil karya, ciptaan, dan rasa yang didasarkan pada karya manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan merupakan hal yang kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat.
Budaya hukum pada hakikatnya merupakan salah satu komponen yang membentuk suatu sistem hukum, maka keberadaannya sangat penting dan menentukan. Budaya hukum merupakan komponen yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur bangsa secara keseluruhan. Aspek kultural dalam suatu bangsa sangat diperlukan dalam memahami nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat yang berkaitan dengan sistem hukumnya. Dengan demikian pengkajian budaya hukum lebih memperluas dan menambah lengkap kajian sistem hukum.
Budaya hukum lebih mengacu pada bagian-bagian dari budaya pada umumnya yang berupa kebiasaan, pendapat, cara-cara berperilaku dan
33
berpikir yang mendukung atau menghindari hukum. Hukum dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat yaitu hukum merupakan konkretisasi dari nilai-nilai budaya suatu masyarakat dengan kata lain hukum merupakan penjelmaan dari sistem nilai-nilai budaya.
G. Tinjauan Umum Tentang Penataan Ruang
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang, sedangkan penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan ruang kota, pemanfaatan ruang kota dan pengendalian pemanfaatan ruang kota. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pelaksanaannya, tata ruang kota mencakup 3 (Tiga) proses, yaitu perencanaan ruang kota,pemanfaatan ruang kota, dan pengendalian pemanfaatan ruang kota. 20
Pengertian tata ruang tersebut di atas juga diadopsi oleh Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2000-2010. Menurut Pasal 1 huruf (e) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2004 disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan atau tidak. Pengertian ruang menurut Pasal 1 huruf (d) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2004 adalah wadah yang meliputi ruang daratan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah,
_______________________
20 B. Restu Cipto Handoyo, “ Aspek-Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Penataan Ruang “, Cetakan Ke VII, ( Yogyakarta : Atmajaya, 2015 ), halaman 48.
34
tempat manusia dan makhluk lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan tentang asas penataan ruang meliputi :
1. Keterpaduan ;
2. Keserasian, keselarasan, keseimbangan ; 3. Keberkelanjutan ;
4. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan ; 5. Keterbukaan ;
6. Kebersamaan dan kemitraan ; 7. Perlindungan kepentingan umum ; 8. Kepastian hukum dan keadilan ; dan 9. Akuntabilitas.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan tentang tujuan dari penataan ruang, yaitu :
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya.
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :
a) Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera.
b) Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
c) Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
d) Mewujudkan perlindungan fungsi tata ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
e) Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. 21
Konsep-konsep pengembangan kota selalu memperhatikan proses maupun akibat megenai growth and develop. Oleh karenanya perencanaan tata kota harus memiliki berbagai alternatif di dalam kebijaksanaan pengembangan kota. Salah satu konsep pengembangan yang konservatif adalah melalui penataan kembali terhadap keadaan yang sudah ada yaitu Re-
_______________________
35
settlement atau secara berani mengembangkan suatu fokus baru dipinggiran kota sebagai suatu satelit.
Dilihat dari segi dimensi ruang, maka bentuk-bentuk penataan ruang kota meliputi tata ruang daratan, tata ruang lautan, dan tata ruang udara beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Perencanaan tata ruang kota dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa proses dan prosedur penyusunan tata ruang wilayah nasional yang meliputi rencana tata ruang wilayah Propinsi dan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota dilakukan secara terarah dan terpadu. Sedangkan pemanfaatan ruang adalah serangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Tata ruang yang ada perlu dikembangkan dan dimanfaatkan guna kepentingan masyarakat dan pembangunan. Pemanfaatan ruang dikembangkan melalui pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta perangkat yang berupa insentif dan disinsentif dengan menghormati hak penduduk sebagai warga negara. Ditinjau dari sisi kegiatan yang dilakukan, maka bentuk-bentuk penataan ruang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian.