• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RETRET AUDIO VISUAL DAN

A. Kajian Pustaka

3. Remaja

a. Pengertian Remaja

Masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980: 206). Monks mengatakan bahwa remaja tidak mempunyai tempat yang jelas. Remaja tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak juga termasuk golongan dewasa. Ia melihat bahwa remaja berada di antara anak dan orang dewasa (Monks, 1982: 216). Menurut Shelton, kaum remaja adalah orang-orang yang berusia antara 12-20 tahun dan sedang mengalami tahap pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, emosional, sosial, moral serta religius.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa remaja adalah orang yang sedang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam segala aspek kehidupan. Remaja berada pada masa peralihan antara masa kanak- kanak menuju dewasa. Remaja adalah harapan dan masa depan Gereja dan masyarakat. Dalam perkembangannya, harus dipandang sebagai pribadi yang sedang berkembang. Mereka memiliki ciri khas dan keunikan yang tak tergantikan, kualitas, bakat dan minat yang perlu dihargai. Mereka mempunyai perasaan, pola pikir, tata nilai dan pengalaman tertentu, serta permasalahan yang timbul sebagai akibat dari perkembangan yang mereka alami dan kebutuhan yang perlu dipahami.

Mereka memiliki hak dan kewajiban, tanggung jawab dan peran tersendiri yang perlu diberi tempat. Semua itu merupakan potensi untuk dikembangkan dalam proses pembinaan, sehingga dapat berperan aktif dan positif dalam kehidupan keluarga, Gereja dan masyarakat.

Hendaknya remaja diberi kemungkinan, kesempatan, kepercayaan dan tanggung jawab sebagai subjek dan pelaku utama proses bina diri dan saling bina. Mereka bukan lagi bejana kosong yang perlu diisi atau lilin yang harus dibentuk menurut selera para pembina. Dengan demikian, segala bentuk pengembangan yang sifatnya menggiring, mendikte, mengobjekkan dan memperalat demi suatu kepentingan di luar perkembangan diri mereka haruslah dihindari dan dihilangkan. Hakikat pengembangan kaum remaja sebagai karya pastoral adalah pelayanan dan pendampingan.

b. Ciri-ciri Remaja

Masa remaja merupakan masa yang sangat penting dan sangat berpengaruh bagi setiap orang, di mana pada masa remaja terjadi berbagai macam perubahan dalam diri seseorang. Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena memiliki sifat khas dan peranannya yang menentukan dalam hidup masyarakat (Munawar, 2005:122). Pada masa remaja, seorang remaja memiliki ciri-ciri yang dapat kita lihat. Di bawah ini akan diuraikan satu persatu mengenai ciri-ciri remaja (Hurlock, 1990: 207-209).

1) Mempunyai daya imajinasi dan fantasi yang tinggi serta cenderung tidak

realistik

Perkembangan kognitif yang dialami oleh remaja menyebabkan mereka dapat mempunyai imajinasi dan fantasi yang tinggi. Perkembangan kognitif ini memampukan mereka untuk berpikir melampaui batas normal. Daya imajinasi dan fantasi yang tinggi mengakibatkan mereka sering kali tidak berpikir secara realistik, serta mengakibatkan mereka kadang-kadang tidak dapat menerima keadaan yang sebenarnya. Daya imajinasi yang dimiliki oleh remaja dapat membuatnya sangat kreatif dalam melakukan sesuatu.

2) Mudah terpengaruh oleh dunia luar dan mudah meniru apa yang

dilakukan oleh orang dewasa

Dalam pencarian jati diri, remaja belum mampu menentukan arah dan tujuan hidup yang pasti. Remaja mudah sekali terpengaruh oleh dunia luar, seperti terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan yang mereka lihat dari media dan

terpengaruh untuk meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Remaja rentan terhadap pengaruh dari luar.

3) Sering mencoba-coba hal yang baru

Keingintahuan akan segala sesuatu sangat tinggi pada remaja, oleh karena itu mereka mulai menganalisis dan mencari tahu segala sesuatu yang menarik bagi dirinya. Dalam upaya pencarian jati diri, remaja sangat ingin tahu tentang siapa dirinya. Segala macam upaya mereka lakukan untuk menemukan jati dirinya, oleh karena itu mereka suka sekali pada hal baru dan mencoba-coba hal yang baru yang belum mereka ketahui sebelumnya. Semua itu mereka lakukan dalam upaya pencarian jati diri.

4) Belum dapat menentukan arah dan tujuan hidup yang pasti

Salah satu ciri remaja lainnya adalah belum dapat menentukan arah dan tujuan hidup yang pasti. Daya imajinasi dan fantasi yang tinggi serta cenderung tidak realistik membuat remaja susah untuk dapat menentukan arah dan tujuan hidup yang pasti. Mereka masih sering goyah dalam menentukan arah dan tujuan hidup. Remaja juga sering ikut-ikutan teman/kelompok dalam menentukan tujuan hidup. Remaja juga belum dapat mengembangkan sikap, keterampilan dan kecakapan yang dimiliki, mereka juga belum dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang mereka lakukan. Remaja cenderung lari dari masalah dan tidak mau berusaha menyelesaikan masalah yang kerap menghampirinya. Mereka belum mampu mengambil keputusan.

5) Memiliki emosi yang belum stabil

Remaja yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan seringkali menjumpai berbagai macam permasalahan. Permasalahan remaja tersebut muncul dari pergaulan dengan sesama di lingkungan dirinya. Hal ini mengakibatkan terjadi gejolak emosi yang tidak stabil pada remaja. Ketidakstabilan emosi pada remaja, mengakibatkan mereka mudah sekali terpengaruh dan terbakar amarah jika menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ketidakstabilan emosi yang ada pada remaja membuatnya mudah sekali untuk dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya.

c. Perkembangan Kaum Remaja

Pada saat berusia 13-17 tahun terjadi perkembangan dalam diri kaum

remaja baik itu perkembangan kognitif, perkembangan moral/etika,

perkembangan ego, maupun perkembangan iman (Fowler, 1995: 134-160).

1) Perkembangan kognitif

Pada usia ini terjadi perkembangan kognitif yang juga sering disebut dengan tahap operasi formasi di mana pada usia ini, kaum remaja memasuki tahap kematangan intelek. Pada usia ini mereka mulai mampu berpikir jauh melebihi dunia nyata dan keyakinannya sendiri, yaitu memasuki dunia ide-ide. Tahap ini merupakan awal berpikir ilmiah. Mereka dapat memakai pendekatan sistematis untuk memecahkan masalah dengan tidak hanya mendasarkan diri pada meniru orang lain. Mereka juga dapat berpikir reflektif, mengevaluasi pemikiran, berimajinasi ideal, dan berpikir abstrak. Mereka juga dapat berpikir mengenai

konsep, berpikir menggunakan proporsi dan perbandingan, mengembangkan teori dan mempertanyakan hal-hal yang bersifat etis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2007: 124-125). Perkembangan pada kaum remaja tidak hanya terbatas pada usia 13-17 tahun, melainkan akan terus berkembang.

2) Perkembangan Moral/Etika

Pada taraf ini remaja lebih menegakkan hukum dan disiplin sebagai orientasi utama. Tekanan pada tingkat moral ini adalah siapa yang memegang kekuasaan, dialah yang harus dihormati. Pemuda-pemudi senang memperhatikan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang serta bagaimana harus mempertahankan tata kehidupan sosial untuk kepentingan ketertiban dan keamanan sendiri. Fokus mereka pada tahapan ini adalah memelihara masyarakat. Jadi, tidak hanya patuh kepada lingkungan masyarakat (seperti pada masa kanak- kanak). Remaja mencari patokan moral, yang dapat mereka pergunakan sebagai alat untuk menentukan mana yang baik dan benar, mana yang tidak baik dan tidak benar serta menentukan pegangan yang dapat mereka pergunakan sebagai pedoman hidup (Mangunhardjana, 1986: 15).

Menurut L, Kholberg, perkembangan moral remaja berada pada tahap ketiga yakni moralitas paskakonvensional (pascaconvensional morality). Tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar moral.

Dalam artian standar moral dapat diperbaiki atau dirubah tergantung dari situasi dan permasalahan yang dihadapkan pada prinsip moral tersebut. Tahap kedua, individu menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal yang diinternalisasi, terlebih untuk menghindari hukuman. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi (Hurlock, 1980: 225).

3) Perkembangan Ego

Pada taraf ini, orang berada dalam suatu situasi di antara mencari intimitas (kedekatan) dan menyisihkan isolasi atau keterasingan. Yang dimaksud dengan intimitas adalah suatu kapasitas untuk membuat komitmen pribadi kepada orang lain meskipun mungkin harus membuat kompromi, bahkan ada kemungkinan mengalami penderitaan. Intimitas dapat dikembangkan pada dua insan yang berbeda jenis kelamin, atau persahabatan di antara sesama jenis kelamin. Yang penting di sini adalah kemampuan untuk sharing dan saling memerhatikan tanpa harus kehilangan identitas. Sementara, isolasi terjadi apabila intimitas tidak dapat direalisasikan. Isolasi merupakan suatu tendensi untuk menyendiri dan ketakutan kehilangan identitas. Isolasi terjadi bila seseorang mengalami kelemahan identitas dan tidak mampu menopang ketidakpastian dalam intimitas. Orang tersebut tidak dapat dan tidak mau berbagi dalam banyak hal dengan orang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masa remaja ini dapat disebut sebagai alat untuk merealisasikan cinta kasih.

Pola emosi remaja sama dengan pola emosi masa anak-anak, hanya yang membedakannya terletak pada rangsangan yang dapat membangkitkan emosi dan

derajatnya, khususnya pada pengendalian emosi mereka. Remaja tidak mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah. Remaja mengalami kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang dapat diterima. Kematangan lain yakni seperti menilai situasi secara kritis sebelum beraksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya (Hurlock, 1980: 212-213).

4) Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial remaja menyangkut perluasan jalinan hubungan dengan orang lain. Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibandingkan dengan orang tua. Hal ini karena remaja sudah memasuki tahap perkembangan dan identitas yang baru, dia bukan lagi anak-anak melainkan sudah hampir memasuki masa dewasa. Remaja menyerupai orang dewasa karena perekembangan fisik yang terjadi pada dirinya. Remaja mulai berperilaku selayaknya orang dewasa, namun remaja lebih merasa nyaman bergaul dengan teman sebaya. Kelompok teman sebaya ini akan memberikan pengaruh yang sangat kuat, bahkan kadangkala melebihi pengaruh keluarga.

Penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Remaja merasa turut bertanggungjawab atas kegiatan sosial yang ada di lingkungannya. Hal ini membuat remaja mau berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang ada di masyarakat, namun dalam

aksinya itu remaja tergabung dalam kelompok teman sebaya. Pada remaja kelompok teman sebaya memberikan kesempatan kepada mereka untuk melatih cara mereka dalam bertindak, berperilaku, dan melakukan hubungan sosial (Hurlock, 1980: 214).

5) Perkembangan iman kaum remaja

Perkembangan iman kaum remaja berada pada taraf iman disebut individual reflektif. Pada masa ini, mereka harus memulai secara serius untuk membangun keyakinannya sendiri, gaya hidup mandiri, dan sikap pribadi yang khas. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai ketegangan karena pada saat yang sama, ia juga mencari keseimbangan antara: memiliki sikap mandiri dan mengikuti pola yang disepakati oleh kelompok tempat mereka menjadi anggotanya. Juga ada subjektivitas berkaitan dengan dorongan nafsu yang sering tidak terkendali versus objektivitas dan sikap kritis terhadap diri sendiri; adanya keinginan untuk memenuhi hasrat pribadi serta ekspresi diri versus sikap mau melayani dan hidup untuk orang lain.

Pada usia ini mereka mulai menimbang-nimbang semua alternatif dan menentukan pandangan pribadi. Refleksi pribadi dan pemikiran secara mandiri akan membantu terbentuknya pandangan yang khas. Kepercayaan dan pemahaman mengenai Tuhan bersifat sangat personal. Pada umumnya, taraf iman seperti ini memang sering kita jumpai pada kehidupan remaja (Fowler 1995: 134- 160). Meskipun demikian, ada pula orang-orang yang mencapai taraf ini pada usia 30-an sampai 40-an. Ego identitas ditopang oleh lingkungan terdekat (orang tua,

teman dekat, dan sebagainya), sekarang, ego berdiri sendiri dan membentuk pandangan secara mandiri.

Fowler (1995: 134-160) mengatakan bahwa taraf iman remaja disebut sebagai sintetis konvensional. Disebut sintetis karena tidak reflektif dan unsur- unsurnya tidak analitis, namun dipersatukan dalam keseluruhan struktur global. Disebut konvensional karena berbagai unsur keyakinan religius didapatkan dari orang lain, sehingga bersifat solider dan comform dengan sistem masyarakat.

Bagi remaja, Allah adalah pribadi yang paling berperan dalam hidupnya. Dia menjadi sahabat yang paling akrab. Di lubuk hati remaja, ada komitmen dan loyalitas yang sangat mendalam terhadap Allah. Pada tahap ini, Allah dipandang sebagai “Allah kelompok” atau “Allah kolektif” yang konvensional. Lewat perantaraan Allah yang konvensional, remaja sanggup menyesuaikan diri secara konformistis dengan harapan dan penilaian orang lain serta kelompok. Mereka merasa terikat dengan Allah yang konvensional karena belum memiliki kemampuan batin untuk secara pribadi dan mandiri menyusun suatu gambaran tentang Allah berdasarkan gaya identitas diri yang mantap dan otonom, dan tidak tergantung sepenuhnya kepada orang lain (Fowler, 1995: 134-160).

Banyak remaja yang mulai meragukan konsep dan keyakinan religiusnya pada masa kanak-kanak dan oleh karena itu, periode remaja disebut dengan keraguan religius. Pada remaja juga terjadi pola perubahan minat religius. Pola perubahan minat religius remaja yang pertama yakni disebut dengan periode kesadaran religius. Pada periode ini remaja menunjukkan ketertarikan dan kesadaran akan peranan agama. Remaja juga seringkali membandingkan keyakinannya dengan keyakinan teman-teman, atau menganalisis keyakinannya

secara kritis sesuai dengan meningkatnya pergaulan remaja. Pola perubahan minat religius remaja yang kedua disebut periode keraguan religius. Pada tahap ini remaja sering bersikap skeptis pada pelbagai bentuk religius, seperti berdoa dan upacara-upacara Gereja yang formal, dan kemudian mulai meragukan isi religius, seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan kehidupan setelah mati. Bagi beberapa remaja keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama, sedangkan remaja yang lain berusaha untuk mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhan daripada kepercayaan yang dianut oleh keluarga. Bila hal ini terjadi, ia mencari kepercayaan baru, kepercayaan pada sahabat karib sesama jenis atau lawan jenis, atau kepercayaan pada salah satu kultus agama.

d. Permasalahan Kaum Remaja

Permasalahan yang sering muncul berasal dari dalam dan dari luar dirinya. Permasalahan itu biasanya ada keterkaitan satu sama lain. Permasalahan yang ada pada dirinya itu akan mempengaruhi perkembangan kepribadian. Berbagai permasalahan yang dialami oleh kaum remaja, menentukan beberapa kebutuhan dasar seperti kebutuhan perlindungan, kedamaian, rasa aman dan keleluasaan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat terpenuhi apabila kaum remaja merasa diterima, didengarkan, dihargai dan diakui sebagai pribadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya (Tangdilintin, 1984: 44).

1) Permasalahan dalam diri

Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena memiliki sifat khas dan peranannya yang menentukan dalam hidup masyarakat.

Munawar (2005:122. Permasalahan dalam diri remaja berkaitan dengan permasalahan fisik, permasalahan kognitif, permasalahan emosi, permasalahan sosial, dan iman.

a) Permasalahan fisik

Dalam perkembangannya remaja sering merasa tidak nyaman. Terlebih dalam menghadapi perkembangan fisik. Permasalahan kaum remaja yang terjadi akibat perubahan fisik dirasakan awal ketika mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan atau keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimilikinya, yang kadang kala tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan. Mereka kadang kala tidak dapat menerima dirinya apa adanya.

b) Permasalahan kognitif

Kaum remaja sudah dapat berpikir logis, abstrak, konkret dan sudah dapat menganalisis, mengevaluasi dan merefleksi segala sesuatu yang terjadi (Mangunhardjana, 1986: 13). Permasalahan yang terjadi disebabkan apa yang dievaluasi tidak sesuai dengan harapan mereka.

c) Permasalahan emosi

Kaum remaja sering tidak mampu menahan emosinya, sehingga sering terjadi luapan emosi ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Tidak hanya itu, ketidakstabilan emosi yang ada pada remaja mengakibatkan permasalahan muncul pada remaja, ketidakstabilan emosi ini

dapat berdampak pada permasalahan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Keadaan emosi selama masa remaja cenderung tidak stabil (Hurlock, 1990: 212, 235). Ini akibat dari ideologi-ideologi yang ada dalam diri mereka sering kali tidak realistik.

Tidak hanya itu mereka memiliki pikiran dan cita-cita yang tidak realistik, sehingga apa bila cita-citanya tidak tercapai remaja merasa gagal dan ini mengakibatkan permasalahan dalam diri (Hurlock, 1980: 235).

Semakin tidak realistik ideologi dan pemikirannya semakin mereka menjadi emosi jika kenyataan yang terjadi berbeda dengan yang mereka pikirkan. Hal ini yang cenderung menimbulkan permasalahan dalam diri mereka.

d) Permasalahan Sosial

Kaum remaja yang berhubungan dengan kehidupan sosial sering disebabkan oleh adanya kesenjangan antara dirinya dengan teman sebaya, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Erikson mengatakan bahwa dalam perkembangannya, remaja sering kali mencari kejelasan identitas dirinya dalam kehidupan bersama masyarakat dan orang-orang di sekelilingnya. Oleh karena itu mereka kerap kali mencari kejelasan tentang siapa dirinya. Dalam pencarian identitas dirinya remaja sering menemukan permasalahan. Dalam diri remaja sering terjadi krisis identitas. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan, adanya perasaan kosong akibat perombakan pendapat dan petunjuk hidup mengakibatkan permasalahan dalam remaja (Gunarsa,1989:100).

Kaum Remaja mengalami masa badai dan tekanan (strom and stress). Kaum remaja mendapat banyak tekanan dalam hubungannya dengan teman sebaya, di sisi lain mereka ingin menjadi diri sendiri di satu sisi mereka juga ingin

diakui dalam lingkungan kelompok sebaya, sehingga mereka harus menyesuaikan diri dengan prinsip kelompok teman sebaya. Hal ini mengakibatkan tekanan dalam dirinya. Bagi remaja yang penting adalah pencapaian status sosial. Remaja tidak sabar sehingga bertindak kasar dan melanggar nilai yang dianut oleh masyarakat, di sinilah timbulnya kelainan kelakuan yang biasa disebut nakal.

e) Permasalahan iman

Permasalahan iman remaja berkaitan dengan perkembangan iman yang dialami oleh dirinya. Remaja mengalami keraguan religius. Mereka seringkali tidak percaya dan mempertanyakan konsep iman yang diyakini oleh keluarganya yang mereka ikuti ketika masih kecil (Hurlock, 1990: 222).

2) Permasalahan dalam Keluarga

Adanya “kesenjangan generasi” antara kaum remaja dan orang tua, dikarenakan adanya perubahan radikal dalam nilai dan standar perilaku yang biasanya terjadi dalam setiap perubahan budaya yang pesat. Kesenjangan generasi yang paling menonjol terjadi di bidang norma-norma sosial. Banyak dari remaja menganggap bahwa orang tua tidak mengerti mereka. Biasanya mereka menganggap bahwa peraturan dan standar yang ditetapkan oleh orang tua tidak sesuai dengan dirinya, tidak sesuai dengan perkembangan zaman sekarang. Remaja menganggap kuno peraturan dan standar perilaku yang ditetapkan oleh orang tua. Tidak hanya itu, remaja juga menganggap bahwa metode disiplin yang digunakan oleh orang tua dianggap tidak adil atau kekanak-kanakan, yang mengakibatkan adanya pemberontakan kaum remaja terhadap orang tua. Selain

itu, hubungan dengan saudara kandung juga dapat menimbulkan pertentangan dengan orang tua, karena remaja menganggap orang tua pilih kasih.

Hurlock (1980: 232-233) mengemukakan bahwa adanya pertentangan antara kaum remaja dan orang tua dalam hal prinsip mengakibatkan hubungan mereka dengan anggota keluarga menjadi kurang baik. Mereka merasa menjadi korban dalam keluarga ketika diminta untuk merawat adik. Selain itu sikap mereka yang kritis kadang kala tidak disukai oleh orang tua sehingga menjadi sumber pertentangan orang tua. Besarnya keluarga dan perilaku yang kurang matang yang ada dalam keluarga juga mengakibatkan sumber pertentangan dan permasalahan kaum remaja. Biasanya dalam keluarga yang terdiri dari tiga atau empat anak lebih sering terjadi pertentangan dibandingkan dengan keluarga kecil. Sikap menghukum yang diberikan kepada kaum remaja bila mereka mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya mengakibatkan mereka membenci dan tidak menyukai orang tua. Pemberontakan yang dilakukannya dan masalah pergaulan juga menjadi sumber pertentangan dalam keluarga. Hal ini menimbulkan permasalahan kaum remaja dalam keluarga.

3) Permasalahan dengan Masyarakat

Anggapan bahwa remaja adalah orang yang tidak dapat bertanggungjawab mengakibatkan sumber pertentangan dan permasalahan bagi kaum remaja dalam masyarakat. Peraturan dan norma yang ditetapkan oleh masyarakat sering bertentangan dengan apa yang ada dalam konsep kaum remaja. Anggapan stereotif pada kaum remaja membuat mereka merasa tidak nyaman dengan keadaan dirinya. Hal ini mengakibatkan sumber permasalahannya dengan

masyarakat (Hurlock 1990: 208). Tidak hanya itu, nilai-nilai moral yang ada di lingkungan masyarakat juga kadang kala berbeda dengan nilai moral yang ditanamkan dalam keluarga. Aturan ketat dalam masyarakat yang serba imperatif dan keseragaman perilaku yang ditetapkan mengurangi tantangan dan daya cipta pada diri remaja. Remaja merasa kurang diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan berdialog secara leluasa, sehingga remaja merasa apatis, frustasi, dan merasa tidak aman dalam transisi (Tangdilintin, 1984: 42).

Dokumen terkait